Mentari pagi menyinari bumi, menghangatkan hari di suguhi kicauan burung yang menyapa. Menuntun seorang anak perempuan imut yang masih memakai baju putih merah bernyanyi riang menapaki pinggiran sawah dengan hati yang gembira.
Dia adalah Ayunda, gadis cilik yang selalu ramah dan sopan pada setiap orang yang lebih dewasa darinya. Lahir dari keluarga sederhana yang selalu di penuhi kebahagiaan. Ayah dan bundanya selalu memberikan kasih sayang penuh padanya dan sang kakak.
Kebahagiaan mereka selalu terpancar dari setiap gelak tawa yang terdengar dari rumah kediaman mereka. Hampir tak pernah terdengar pertengkaran antara ayah dan bunda Ayunda. Namun selalu ada saja yang coba menfitnah keluarga Ayunda. Entah kenapa para tetangga sirik itu sangat suka mengusik keluarga Ayunda. Pada hal mereka tidak pernah sekalipun menyinggung bahkan menghina para tetangga resek itu.
***
"Ayah... Bunda..." panggilnya dengan ceria berlari di pinggir sawah.
"Yunda, hati-hati, jangan lari-lari tanahnya licin. Nanti kamu jatuh, nak." ujar sang ayah.
Baru saja sang ayah mengingatkannya.
Aaa... teriak Ayunda saat dia terpleset jatuh ke pematang sawah.
"Yunda!" teriak sang ayah sambil berlari menghampirinya. Dia menggapai tangan Ayunda menariknya ke luar dari lumpur. "Baju kamu jadi kotor, kan", ucap sang ayah.
"Ayah cuma kuatir dengan baju Yunda", ucap bibir mungilnya sambil merengut.
"Iya, maaf. Kamu tidak apa-apa, Nak?"
"Ayunda baik-baik saja kok, yah."
"Syukurlah, tapi bajumu", risau sang ayah.
"Tenang, yah. Ayunda kan belum memakai seragam." Ayunda tersenyum sambil menunjukkan kantong kresek berisikan pakaian sekolahnya.
"Oo... ayo segera ganti! Ngomong-ngomong kenapa kamu kemari, Nak?" tanyanya saat berjalan bersama.
"Aku membawa godok-godok kesukaan Ayah, tapi sudah kotor. Besok aku buat lagi ya, Yah", janjinya pada sang ayah.
"Tidak perlu! Kamu belajar yang rajin saja, itu sudah cukup."
"Baiklah Ayah", ucapnya riang, lalu dia berjalan menuju sebuah aliran air untuk membersihkan dirinya, lalu mengganti pakaiannya di sebuah pondok tempat orang tuanya berteduh.
"Sepertinya Kamu sudah mempersiapkan semuanya", ujar sang ayah.
Ayunda hanya membalas dengan cengiran kuda menampilkan gigi putih kecilnya. Lalu dia berpamitan pada ayah dan bundanya.
"Yunda berangkat, Ayah, Bunda", ucapnya sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya lalu berjalan meninggalkan mereka.
"Iya... hati-hati, jangan sampai jatuh lagi", ucap sang bunda.
"Iya, Bun", ucapnya sambil melambaikan tangan.
"Putri kecil kita sangat cantik ya, Bun", ucap sang ayah dengan menatap Ayunda yang terus berjalan sampai dia tidak terlihat lagi dari pandangannya. "Rasanya sudah tidak sabar melihatnya bertumbuh dewasa", ujar sang ayah melanjutkan perkataannya. Sang bunda hanya membalas dengan anggukan dan tersenyum lebar.
***
"Aku mau kita cerai!" tegasnya.
"Ayah, jangan seperti itu. Kita bisa bicara baik-baik, pikirkan juga anak-anak kita, Yah", ucap sang istri dengan terisak-isak.
Tak berselang lama Ayunda pulang dari sekolah. Dia mengucapkan salam, lalu menghampiri sang Bunda.
"Bunda..." panggilnya lalu memeluk erat sang bunda. "Bunda menangis?" tanyanya dengan heran.
"Ah, enggak! Ini mata bunda kemasukan debu, Nak", elaknya.
"Oo..." sahut Ayunda.
Ayunda kecil kemudian berlari menghampiri sang ayah. "Ayah, Yunda dapat nilai bagus di sekolah, coba lihatlah", pintanya pada sang ayah.
Sang ayah hanya melihat sekedarnya, lalu mengembalikannya pada sang putri. Dia tidak ingin putrinya melihat kesedihan di wajahnya. Tak berselang lama sang kakak juga pulang dari sekolah. Dia mengucapkan salam dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya dengan muka merengut.
"Ayah, Bunda, kenapa hari ini tidak datang ke sekolah Adrian?" tanyanya dengan kecewa.
"Maafkan kami, Nak, ayah dan bunda lagi ada keperluan mendadak", sahut sang bunda lirih.
"Apakah ada yang lebih penting dari anak Ayah dan Bunda?" tanyanya dengan sedih.
Sang ayah dan bunda tertunduk lesu, mereka tidak dapat berkata-kata untuk membela diri. Di pandangnya anak tertua mereka dengan wajah sendu. Andai kau tau nak, kalau kedua orang tuamu ini akan segera bercerai. Bagaimana nanti responmu? batin sang bunda.
Adrian berlari ke luar rumah kesal dengan kedua orang tuanya. Ini pertama kalinya kedua orang tuanya ingkar janji. Ayunda menyusul sang kakak mencoba membujuknya.
"Jangan ikuti aku!" seru sang kakak yang tak ingin di kasihani Ayunda.
***
Di sebuah warung berdiri seorang anak laki-laki dengan berpaikaian lusuh. "Bu, bolehkah aku meminta sedikit makanan, sudah berhari-hari aku tidak makan, Bu", ucap seorang anak laki-laki dengan wajah lesu pada pemilik warung.
"Apa Kau pikir ini panti sosial, pergi sana!" ucap pemilik warung dengan acuh.
Sang anak laki-laki menelan salivanya saat seorang anak kecil lain membeli jajanan dan langsung melahapnya di tempat. "Mama... teriak sang anak saat dia terus di pandang oleh anak laki-laki itu.
"Pergi sana!" usirnya pada anak laki-laki itu. "Kau membuat pembeli jadi ketakutan", teriaknya sambil mendorong si anak. Dia terjatuh tepat di depan sang pemilik warung.
"Hei berdirilah dan pergi dari sini! desak sang pemilik warung.
Anak laki-laki itu berdiri, lalu dia kembali menelan salivanya, memandang lekat roti yang di bungkus dan di letakkan di dalam rak keranjang dagangan pemilik warung. Dia berjalan perlahan mengambil dua buah roti. Lalu berlari tanpa membayarnya.
"Maling... maling... " teriak pemilik warung.
"Kak, sepertinya ada maling", ucap Ayunda.
"Diamlah!" bentak Adrian yang masih kesal.
Seorang anak laki-laki seusia Adrian berlari kencang ke arah mereka. Lalu bersembunyi di balik semak, dia meminta agar Adrian dan Ayunda tidak memberitahu keberadaannya. "Tolong jangan bilang aku di sini ya", pintanya sambil mengkatupkan kedua telapak tangannya.
Adrian paham maksud anak lelaki itu, dia melihat orang-orang berlari mencarinya. Lalu dia menggeser sedikit tubuhnya mencoba menutupi anak laki-laki itu agar tidak terlihat oleh mereka.
"Nak, apa kalian melihat anak lelaki seusiamu berlari ke arah sini?" tanya salah seorang dari mereka.
"Ada", ucap Ayunda serius.
"Ke mana dia pergi?" tanya mereka dengan serius.
"Aku tidak tau, Pak, Bu!" sahutnya santai membuat orang-orang yang mengejar semakin emosi. "Aku hanya melihatnya lari di depan kami menuju ke arah sana", Ayunda melanjutkan ucapannya sambil menunjuk dengan jari mungilnya.
"Terima kasih", ucap mereka lalu berlari menuju arah yang di tunjuk Ayunda.
"Kenapa Kau berbohong", tutur sang kakak saat orang-orang itu sudah berlari jauh.
"Aku tidak berbohong, Kak", ketusnya. "Dia memang lari ke arah sana, aku cuma tidak mengatakan setelah itu dia ke mana", ucapnya serius.
"Kamu pintar, Dek", pujinya sambil mengacak rambut sang adek.
"Aaa... rambutku jadi berantakan", kesalnya.
Anak lelaki itu ke luar dari persembunyian, saat di rasanya aman.
"Terima kasih", ucapnya dengan nafas tersenggal-senggal.
"Siapa namamu? tanya Adrian.
"Alfian", ucapnya.
"Aku Adrian, dan ini adikku Ayunda. Kau tinggal di mana?" tanyanya kembali.
Aku tinggal... like dan vote 😊
Hai Reader yang baik hati, semoga kalian semua dalam keadaan sehat 😇
🌸🌸🌸
"Kau tinggal di mana?" tanya Ardian kembali.
"Aku tidak punya tempat tinggal", ucapnya dengan wajah sendu.
"Keluargamu di mana?"
"Mereka telah tiada", jawabnya lirih dengan menitikkan air mata.
"Maaf, jadi Kau sebatang kara!" serunya dengan simpatik.
Alfian hanya menganggukkan kepalanya sambil tertunduk lesu.
Adrian merasa iba, lalu dia menarik tangan Alfian, "Ayo kita ke rumahku saja!" ajaknya dengan sedikit memaksa.
"Tapi, aku takut", sahut Alfian.
"Begini saja... Kau bisa tinggal di gudang pupuk, tapi--" ujar Adrian menggantung ucapannya, dia ragu dengan idenya itu.
"Tidak apa-apa, aku bisa tidur di mana saja, dari pada di teras rumah orang, aku pasti selalu di usir", ujarnya tertunduk lesu.
"Oke, ayo ikutlah bersama kami", ucapnya sambil merangkul tangan Alfian.
Mereka berjalan bersama menuju tempat tinggal Adrian. Sesampainya di halaman rumah Adrian, mereka berjalan mengendap-endap menuju belakang rumahnya.
Kluntang, kluntung, sebuah benda jatuh tanpa sengaja di senggol oleh Ayunda.
Ssst...
Mereka berdiam di tempat, lalu celingak celinguk melihat keadaan sekeliling. Saat di rasa aman mereka melanjutkan langkahnya menuju gudang pupuk.
"Kau diamlah di sini, nanti aku akan membawakan makanan untukmu", ucap Adrian.
Adrian bersama adiknya Ayunda masuk melalui pintu belakang rumah dengan diam-diam.
"Kenapa kalian berjalan seperti pencuri?" tanya sang bunda saat mereka ketahuan sedang mengendap-endap.
"Aku masih marah sama Ayah dan Bunda", sahutnya dengan gugup.
"Hmm... tapi bunda tidak akan pernah marah padamu, kalian berdua adalah cahaya dalam hidup bunda", tuturnya dengan suara bergetar. "Maukah Kau memaafkan bunda", sahutnya kembali.
Adrian berjalan menghampiri sang bunda, lalu dia memeluk erat sang bunda dengan menangis. Rasanya kekesalannya sirna seketika, saat pelukan hangat sang bunda merasuki tubuhnya.
"Maafkan Adrian, Bun. Hiks, hiks, Adrian sudah kurang ajar sama Bunda dan juga Ayah", ucapnya dengan tersedu-sedu.
"Sudahlah, yang penting Kau tidak marah lagi, kalian mandilah dulu, setelah itu kita akan makan malam bersama", pinta sang bunda dengan lembut.
"Baik, Bun", ucap mereka bersamaan.
***
"Alfian..." panggil Adrian dengan suara pelan.
Alfian ke luar dari tempat penyimpanan pupuk itu, berjalan menghampiri Adrian.
"Ini, makanlah", ucap Adrian dengan lembut. "Aku juga membawa pakaianku, ini... pakailah", pintanya sambil menyodorkan dua helai pakaian.
"Terima kasih", sahut Alfian dengan mata berkaca-kaca. "Kau orang baik, aku beruntung bertemu denganmu", ujarnya sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya.
"Kak... aku juga membawa selimutku, ini, pakailah", ucap Ayunda sambil memberikan selimut berwarna pink favoritnya itu dengan kedua tangannya.
"Terima kasih, gadis kecil. Kalian berdua sama-sama memiliki hati yang baik", ujarnya dengan tersenyum.
***
Setelah makan malam selesai sang ayah mulai menyampaikan keputusan mereka.
"Apa! Kenapa, Yah,,, kenapa, Bun?" tanya Adrian dengan syok. Lalu dia beringsut mundur, meninggalkan ke dua orang tuanya.
"Adrian...!" panggil sang Bunda.
"Jangan pergi, Nak!" seru sang bunda sambil mengejar, namun Adrian tak dapat di susul oleh sang bunda karena kondisi di luar yang gelap.
Sang bunda kembali masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. "Ini semua karena Ayah, lihatlah yah, Adrian lari meninggalkan rumah."
Ayunda menangis saat mendengar suara sang bunda yang meninggi pada sang ayah, "hiks, hiks, Bunda... kenapa kakak pergi, hiks, hiks."
Sang bunda langsung memeluk erat Ayunda, di elusnya dengan lembut rambut putri kecilnya itu. Setelah tenang, dia langsung membisikkan dengan lembut di telinga putri kecilnya itu, "Bunda sayang kamu, Nak", lirihnya menjeda ucapannya. "Bunda juga sayang kakakmu." Air matanya pun jatuh bebas membasahi pipinya dan mengenai pipi Ayunda.
"Bunda menangis?" tanya Ayunda.
Sang bunda langsung mengusap air matanya, menarik sudut bibirnya mencoba tersenyum. Lalu dia membawa putri kecilnya itu ke dalam kamar, menemaninya tidur, mengabaikan sang suami yang masih terdiam di meja makan.
***
Pagi hari terasa begitu cepat, mengurangi waktu kebersamaaan kedua orang tua Ayunda. Mereka harus bersiap mengurus surat perceraian pada hari itu.
"Aku akan ke luar dari rumah ini", sahut sang ayah.
"Aku juga tidak ingin tinggal di rumah ini, banyak kenangan yang tidak dapat aku lupakan di sini", ucap sang bunda lirih sambil meneteskan air mata.
Mereka sama-sama merasakan perih di hati. Rumah yang baru saja di renovasi dari hasil keringat mereka, yang di kumpul sedikit demi sedikit setiap bulannya harus mereka tinggalkan begitu saja. Semua angan dan harapan sirna seketika. Tidak ada lagi kehangatan dan kebahagiaan di rumah itu.
"Baiklah, surat tanah untukmu saja", ucap sang ayah.
"Tidak! Aku tidak mau! Ayah saja yang pegang", sahut sang bunda masih dengan terisak-isak.
Ayunda kecil terdiam sambil mengucek matanya karena baru bangun dari tidurnya. Dia tidak ingin mencampuri urusan orang dewasa. Dia berfikir bahwa orang tuanya sedang bertengkar biasa dan dia harus diam.
"Ayunda akan tinggal bersamaku!" seru sang bunda.
"Oke!" sahut sang ayah singkat.
Mereka telah sepakat berpisah, tidak ada lagi harapan untuk rujuk kembali. Mereka sama-sama tidak akan tinggal di rumah itu. Namun surat tanah akhirnya di terima sang bunda karena desakan sang suami.
***
"Bunda... kita mau ke mana? Kenapa Ayah tidak ikut?" tanya Ayunda sambil memandang sang bunda.
"Kita tidak tinggal di sini lagi, Nak. Kita akan pergi ke tempat lain."
"Kenapa, Bun?" tanyanya pada sang bunda. Dia menunggu jawaban dari sang bunda, namun bundanya diam tanpa berkata apa pun. "Bunda..." rengeknya pada sang bunda yang masih mematung. Dia memandang lekat sang bunda yang tak kunjung bersuara, lalu dia berlari ke arah sang ayah. "Ayah... kenapa Ayah tidak ikut bersama kami?" tanyanya sambil menggoyang-goyang lengan sang ayah, namun ayahnya berlalu meninggalkan mereka tanpa menyahut sang istri dan putri kecilnya itu.
"Ayah... Ayah...!" teriaknya kembali histeris sambil menangis. "Jangan pergi Ayah!" pintanya sambil mengejar sang ayah.
Aagh... rintihnya saat dia jatuh terjerembab ke tanah.
"Ayunda!" teriak ayah dan bundanya bersamaan, namun hanya sang bunda yang merangkulnya.
Maafkan ayah putri kecilku, batinnya menangis.
Lalu dia melanjutkan langkahnya, pergi menjauh meninggalkan putrinya yang masih menangis di pelukan sang istri, lebih tepatnya mantan istri. Mereka telah resmi bercerai, karena suatu hal yang belum ada kepastiannya. Semua impian mereka sirna dalam sekejap, tak pernah terbesit dalam pikirannya bahwa keluarga bahagianya akan berakhir.
***
Perkenalan tokoh
Ayunda Mily Rendra
Ferdo Alfian Santoso
Adrian Rendra
Semoga para reader menyukai visual yang otor berikan 😊
Jangan lupa like, coment dan vote 🙏
Happy Reading 😊
Hai Reader yang baik hati, semoga kalian semua dalam keadaan sehat 😇
🌸🌸🌸
12 tahun kemudian
Huff... huff... nafas seorang wanita imut nan cantik tersenggal-senggal saat tiba di gerbang kampus. Di pegangnya dadanya, dirasakan degupan jantung yang memompa dengan sangat kencang. "Akhirnya", ucapnya lega karena telah meloloskan diri dari kejaran an*ing milik pak Tupang pemilik bengkel di dekat kampus.
Wanita imut nan cantik itu adalah Ayunda, saat ini dia berusia 20 tahun, mahasiswa semester lima jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Tri Karya. Dia menekuni kuliahnya sambil bekerja paruh waktu di sebuah cafe dekat kampus. Hampir setiap hari dia berjalan kaki sehabis pulang bekerja. Tak heran jika dia sering di kejar an*ing, karna dia harus melewati bengkel pak Tupang saat berjalan menuju kampus.
Dua menit setelah Ayunda mengatur kembali nafasnya.
"Hei!" sapa seseorang dengan menepuk keras pundak Ayunda.
"An*ing... an*ing..." ucapnya kaget.
"Mana... mana?" tanya orang itu tak kala kagetnya.
"REINA MAUDY ARASTYA!" teriak Ayunda pada teman kuliahnya itu.
"Ya, Bu Dosen", sahutnya meledek Ayunda.
"Kenapa Kau mengagetkanku?"
"Iseng", sahutnya dengan muka polos.
Ayunda menatap kesal teman kampus sekaligus sahabatnya itu. Dia tak habis pikir dengan semua tingkah konyolnya.
"Apakah Kau tau, aku baru saja di kejar an*ing?" tanyanya dengan kesal.
"Mana aku tau", jawabnya enteng sambil berjalan meninggalkan Ayunda yang masih berdiri di depan gerbang kampus.
"Hei, tunggu aku!" serunya sambil mengejar Reina.
"Kau, kenapa meninggalkanku?" tanya Ayunda saat sudah mensejajarkan langkahnya dengan Reina.
Reina menoleh sekilas ke arah Ayunda, "Untuk apa berlama-lama di gerbang kampus" ujarnya. Lalu dia berfikir sejenak, "hmm.. aku tau, Kau mau menggunakan cara itu untuk tebar pesona pada setiap pria tampan yang lewat di gerbang kampus, kan?" tanya Raina sambil menyipitkan matanya.
Ayunda menatapnya dengan muka cengo. Lalu diletakkannya punggung tangannya di dahi Reina. "Hmm... masih stabil", ucapnya meyakinkan sahabatnya itu dalam keadaan baik-baik saja.
"Ya, iyalah aku baik-baik saja, Kau pikir aku sakit apa, hah!" ketusnya.
Ayunda tidak menyahutnya, dia melanjutkan langkahnya mengabaikan ucapan Reina. Jika dilanjutkan bisa panjang, batinnya.
***
Mata kuliah pun di mulai, dan selama jam kuliah berlangsung Reina merasa bosan dengan dosen yang mengajar. Di raihnya tas sandangnya, di rogohnya sesuatu di dalam tasnya, "Ah, dapat", gumamnya. Sebuah compact powder di raih jemarinya, lalu di bukanya.
Ayunda memandang jengah apa yang sedang di lakukan sahabatnya itu. Bisa-bisanya dia merapikan riasan wajahnya saat dosen mengajar, batin Ayunda.
Lalu Ayunda menulis sebuah catatan di sobekan kertas, lalu di remasnya membentuk bulatan kecil. Di amatinya sang dosen, saat sang dosen sedang mengarahkan pandangannya ke whiteboard di lemparnya kertas kecil itu mengenai sahabatnya.
Reina terkejut, hampir saja dia berteriak kaget saat bulatan kertas itu di lempar tepat mengenai jidatnya. Lalu dia membalas, dengan menulis kembali di bulatan kertas yang di lempar Ayunda. Saat Reina akan melemparnya, hal yang tak di duga terjadi.
"Reina!" teriak sang dosen memanggil namanya. "Bawa ke mari kertas di tanganmu!" pinta sang dosen.
Ayunda dan Reina saling memandang, ada kekuatiran yang tersirat di mata mereka. Dia berjalan sangat perlahan membuat sang dosen tidak sabar, "Bawa ke mari lebih cepat lagi!" desak sang dosen. Saat Reina sudah berada di hadapan sang dosen, dia langsung memberikan bulatan kertas itu sambil menutup matanya.
M**ampus aku, batin Reina.
Sang dosen membukanya, lalu membaca catatan pada kertas itu. Dia mengkerutkan keningnya saat membaca tulisan di dalamnya. Saat dia sudah selesai membacanya, pandangannya terhunus tajam ke arah Reina.
Matilah aku kali ini, batinnya.
"Baca ini dengan suara keras", pinta sang dosen.
"Bagian yang mana, Pak?" tanyanya gugup.
"Semuanya!" sergahnya.
Lalu Reina mulai membaca apa yang di minta oleh sang dosen. "Reina, kenapa Kau memakai bedak saat jam kuliah? Karena aku ingin- " ucapannya terputus, dia ragu untuk melanjutkannya. Di tatapnya sang dosen yang mematapnya tajam. "Lanjutkan!" pinta sang dosen.
"Karena aku ingin Pak Diran memakainya, agar dia terlihat cantik", ucapnya melanjutkan kata-kata yang terputus tadi.
Wuahahaha... tawa satu kelas pun pecah. Wajah Pak Diran, dosen yang sedang mengajar saat itu terlihat memerah, dia menghukum Reina dengan memintanya membuat sebuah pidato singkat mengenai corona. Setelah itu dia harus berpidato di kelas di hadapan teman-temanya.
***
"Sejak kapan Kau menginginkan pak Diran terlihat cantik?" tanya Ayunda saat mereka sudah berada di kantin.
"Hmm... jangan membahas itu lagi, aku sudah kehilangan muka karnamu", ketusnya.
"Karna, aku?" tanya Ayunda.
"Ya, siapa lagi."
"Kamu sih, aneh. Di sini tu kampus bukan salon, sahabatku."
Reina masih terlihat kesal karena ulah Ayunda, jus mangga pesanannya pun terasa pahit saat di minumnya. Imagenya pasti buruk di mata gebetannya saat ini, karena gebetannya itu berada di kelas yang sama dengannya. Pastilah dia sudah tau semua kejadian dengan rinci.
"Ini semua karnamu Ayunda, Dafa pasti ilfeel melihatku", risaunya.
"Kamu tenanglah, aku akan membantumu menjelaskan semuanya padanya.
"Menjelaskan apa? kami tidak punya hubungan apa pun!" ujarnya.
"Aku akan membantumu supaya kalian mempunyai suatu hubungan.
"Emang Kamu bisa?" tanya Reina.
"Eits, Jangan sepele, ilmu mak comblangku sudah teruji.
"Oke... aku percaya padamu", sahut Reina sambil tersenyum.
Mereka pun langsung menikmati makanan pesanan masing-masing sambil berbincang santai. Tak sengaja ekor mata Reina menangkap sosok sang gebetan yang sedang mengantri memesan makanan. Ayunda seolah paham akan tatapan dalam Reina pada Dafa. Saat Dafa melewati meja mereka, Ayunda memanggilnya dan memintanya duduk bersama di meja mereka. Dafa pun mengikuti permintaan Ayunda.
Reina yang biasa bawel seolah menjadi pendiam saat berada di dekat Dafa, dia kehabisan kata-kata, bahkan tak sepatah kata pun yang berhasil ke luar dari mulutnya.
"Daf... Kamu rencana PKL di mana?" tanyanya memecahkan kebisuan di antara mereka.
"Perusahaan papaku, kenapa,Ay? apa Kamu mau ikut?" tanyanya mengabaikan Reina.
"Masih bisa nambah satu orang lagi, gak?" tanyanya yang mendapat tatapan tajam Reina.
"Masih", sahut Dafa antusias.
"Oke, tolong masukkan Reina ya", ujarnya sambil tersenyum.
Dafa kaget, kenapa Ayunda malah meminta bagian itu untuk orang lain. Pada hal dia sangat berharap akan PKL bersama dengan Ayunda.
"Gimana, Daf?" tanyanya memastikan.
"Hmm... nanti aku tanyakan dulu pada papaku", ujarnya.
Kenapa bukan kamu saja sih Ayunda, kenapa harus orang lain, batin Dafa.
***
Mata kuliah terakhir pun selesai, para mahasiswa bergegas meninggalkan kampus sebelum malam menyelimuti langit.
*
*
Ayo dukung otor dengan beri like dan vote.🙏
Happy Reading 😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!