Sebelum baca ini, ada baiknya baca cerita Almira dulu ya. Di sana Mira nya masih bengek. Kalau di sini udah tobat. 😂
Happy reading!
Menikah itu bukanlah perkara mudah. Terlebih pada usia yang terbilang masih muda. Dan terlebih lagi kalau menikahnya itu karena perbuatan sekongkol antara pacar dengan keluarga sendiri. Itu gimana ceritanya, Mira juga gak pernah puas dengan jawaban semua orang.
Jujur, senang sih dia dengan pernikahan ini, tapi dia juga merasa gak terima aja karena gak dilibatkan dalam rencana itu. Sebenarnya yang mau menikah itu siapa sih?
Gue kan?!
Oke, itu satu hal yang masih saja mengganjal di hati Mira. Biasalah, cewek kan gitu. Peristiwa lampau selampau-lampaunya bisa tuh diulang-ulang sampai seribu kali juga.
"Abaaaaang!"
"Hm ...."
"Bangun, gak?!"
"Hm ...."
"Ham hem ham hem, ini udah jam berapa? Katanya ada meeting penting?"
Seketika Athar melebarkan matanya dan langsung bangkit dari kasur. Dia berlari bergegas menuju kamar mandi ... seperti biasa.
Mira hanya berdecak sambil geleng-geleng kepala. Kedua tangannya bersedekap di depan dada sambil menggerutu, "Emang ya, cogan itu gak selalu sempurna. Gak perfect! Buktinya, dari paripurnanya sosok Athar, satu hal yang paling-paling bikin gue kesal, yaitu ... dia tukang tidur."
Mungkin sejuta kali Mira merasa beruntung dan bangga –walau masih ada ganjelan sedikit– saat mendapati kenyataan kalau sekarang status Athar adalah suaminya. Athar yang tampan, cerdas, kaya, perhatian dan penyayang. Tapi rupanya, ada beberapa kelemahan Athar yang tidak banyak orang ketahui.
Tidak sabaran, pemaksa, pemarah, dan tukang tidur.
Oke, saat ini Mira tengah berupaya menjalani rumah tangganya yang masih seumur jagung, dengan membiasakan diri bahwa dibalik kesempurnaan seseorang, akan ada kekurangan-kekurangan yang mesti kita terima juga. Sebagai paketan, bahwa mencinta itu harus komplit, harus terima segala kelebihan dan kekurangan orang itu.
* * *
Sejak awal Athar telah menetapkan pilihannya pada satu gadis yang unik, yang belum pernah terlintas dalam benaknya akan dirinya yang ternyata terjebak juga pada sebuah kata yang disebut oleh generasi milenial sebagai ... bucin.
Ya, Athar mengakui kalau dia sebucin itu pada gadis seperti Almira. Awalnya dia merasa kalau gadis yang terlalu biasa itu tidak akan pernah mampu mengetuk hatinya. Jangankan untuk jatuh cinta, untuk sekedar berniat memandang dua kali pun rasanya mustahil.
Akan tetapi, rupanya ternyata dia bukan terjerat pada fisik wanita yang umumnya terjadi setiap kali dia memilih seorang wanita untuk dijadikan kekasihnya. Kali ini berbeda, tingkah dan kebiasaan unik gadis biasa itulah yang membuatnya tak ingin berada jauh-jauh darinya.
Semacam sebuah ketergantungan yang membuatnya tidak bisa kalau tidak ada dia, maka dengan segala tekad dan niat baik yang sangat sangat kuat, dia meminta izin untuk menikahi Almira, tanpa sepengetahuan gadis itu sendiri. Bagaimana bisa rencana awal yang mereka siapkan adalah sebuah pertunangan tapi berakhir dengan sebuah pernikahan?
Athar seringkali senyum-senyum sendiri bila mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, saat akad telah terucap, dan dia menyaksikan sendiri bagaimana lucunya wajah gadis yang telah resmi menjadi istrinya itu terkejut dan tak mampu ditutupinya.
Nanti, nanti itu akan ia ceritakan lagi kepada anak-anaknya di suatu hari, di masa depan.
Masa depan ya?
Athar sudah yakin dengan masa depan yang hendak dia bangun bersama Almira mulai sekarang. Meskipun banyak temannya yang tak percaya dengan kenyataan bahwa dia memilih Almira dalam hidupnya, tapi buatnya itu bukan sebuah hal yang mesti dipikirkan.
Karena sudut pandang setiap orang itu pastilah berbeda. Begitupun dengan dirinya yang hanya akan fokus untuk melihat Almira pada sisi yang baik-baiknya saja. Dengan hal-hal yang akan membuatnya tersenyum bahagia dan bersyukur dengan hidupnya saat ini.
Hanya saja ...
Semua gak semudah dengan apa yang ada di pikirannya.
Dengan sifat tidak sabaran yang dimilikinya, sangat sulit bertentangan dengan jiwa muda istrinya yang penuh dengan pemberontakan.
Akankah hubungan keduanya akan teruji dan menjadi sebuah cerita yang indah?
Ataukah cobaan demi cobaan dalam rumah tangga membuat keduanya goyah dan berpisah?
*****
huhu ... gak sabar euy aku tuh buat rilis yang ini. Ternyata komen dan segala dukungan pembaca itu adalah salah satu motivasi aku agar terus menulis.
Eh, apa si? 😪
Ya udah deh, gitu aja prolognya.
Jangan nagih update cepet ya. Soalnya, kali ini gak bakal serajin Almira dalam update. (Hadeh, males kok diniatin 😂)
*
°AttT°
\=\=\=\=\=\=\=\=
"Laki lo mana?" tanya Shelia sambil celingukan melongok ke dalam kamar Mira. Sedangkan dirinya sendiri masih berdiri di depan pintu kamar Mira. Sekarang, dia mesti tau privasi kalau adiknya sudah bukan single lagi seperti sebelumnya. Ada penghuni lain yang bakalan tidur sekamar dengan adiknya itu. Cukup miris juga, kenyataan bahwa dirinya lebih segalanya dibandingkan sang adik, bahkan sejak zaman mereka kecil pun, tapi rupanya takdir berkata lain. Malah adiknya yang lebih dulu mendapatkan jodoh dibandingkan dirinya yang sudah eksis dan famous di kalangan kaum adam sejak dahulu kala.
Laki? Idih, "Lagi mandi."
Sheli mendesah. "Ya udah deh, gue bertamunya ntar aja."
"Yailah, Shel–"
"Eh stop!" Shelia menghentikan langkah Mira yang berniat untuk menyusulnya. "Lo mau kemana?"
"Mau ikut lo. Kalo lo keberatan ke kamar gue, itu berarti gue yang mesti ke kamar lo."
Shelia menggeleng keras. "Enak aja. Lo tuh mestinya diam, tungguin sampai Athar kelar, trus anter dia sampai depan pintu kalo dia mau berangkat kerja."
"Masa sih?"
"Kayaknya iya. Gue perhatiin dulu Mama kayak gitu sih."
"Oh ..." Mira mengangguk paham. Tapi sesaat kemudian dia protes, "Tapi gak mendadak kayak gini juga kali."
"Apanya yang mendadak?"
"Ipinyi ying mendidik," Mira menatap kakaknya itu dengan sebal. "Kita belum bikin penyelesaian ya. Awas aja,"
"Udah sih, jangan bahas itu sekarang. Dah, sana tutup pintu. Gue balik ke kamar aja deh. Gak level ganggu pengantin baru yang mau belah duren, anu-anu, uhuy-uhuy, mantab-mantab ..."
"Sheliiiiiiii!"
Kakaknya itu segera kabur menuju kamarnya, meninggalkan Mira yang masih merasa kesal sendirian.
Kenapa jadi begini sih? Cinta sih cinta, tapi jangan jadi mendadak kawin begini dong. Gue kan belum siap. Ngurusin diri sendiri aja gue belum becus, ini gimana mesti ngurusin anak orang? Hadeeeehhh, sebel.
Dan lagi, Mira baru menyadari satu kebodohannya. Mana ada Athar pergi ke kantor malam-malam gini? Akibat pikirannya yang sedang mengalami kejutan keras, kan dia jadi gak fokus dan dengan mudahnya terperdaya oleh Sheli, seperti biasanya.
Setelah menutup kembali pintu kamarnya, perlahan Mira berjalan menuju kasur lalu mengambil bantal kesayangannya. Saat itulah terlihat Athar keluar dari kamar mandi dengan kaus dan celana selututnya.
"Mau diapain bantalnya?"
"Mau kurebus," sahutnya jutek.
Athar tak menyahut, tapi dia malah berjalan mendekati Mira dengan wajah datarnya.
Mira yang pikirannya sedang kacau balau akibat cerita hidupnya yang tiba-tiba berubah ini, seketika menghindar dengan mengitari ranjang pada sisi satunya, masih dengan tangan mendekap bantal kesayangannya. Hal itu membuat Athar melotot.
"Kenapa kamu menjauh?"
"Gak papa."
Kaki Mira melakukan pergerakan dengan pelan dan hati-hati agar Athar tak melihatnya. Maksudnya sih dia hendak kabur keluar dari kamar.
Gue mesti keluar, gue mesti angkat kaki, gue mesti–
Dua langkah Mira mulai berlari, tapi Athar telah menghadangnya dengan tangan berkacak pinggang dan kedua alis yang terangkat menatapnya. "Kamu mau kabur?"
Sumpah, Mira tuh deg-degan banget sekarang ini. Dia takut diapa-apain sama Athar, karena dia sangatlah belum siap untuk melakukan sebuah hubungan dewasa dengan jiwa polosnya yang masih mendominasi.
Mira tersenyum garing. Gue kesel sih, tapi mesti senyum kan?! Biar dia gak marah, sedangkan gue udah marah. Ah tau ah.
"A-aku mau ke kamar Sheli."
"Buat?"
"Ada urusan."
"Urusan apa?"
"Abang mesti tau?"
"Pastinya."
Mira gak heran dengan sikap pemaksa Athar yang seringkali dia tak mampu elak. Bukan hal baru, sifat Athar yang satu itu memang telah Mira pahami sekali sejak masa mereka pacaran kemarin.
"Mau ..." gimana sih biar enak jawabnya?
"Mau apa?"
"Mau ngobrol."
"Bisa besok."
"Tapi aku maunya sekarang."
"Aku gak kasih izin."
"Terserah aku."
"Yakin?"
Tatapan intimidasi Athar selama beberapa detik membuat Mira akhirnya menyerah dan memakai jurus andalannya tatkala saat berada di dekat cowok itu, yakni ... merengek. "Abang, iiihh ... plis izinin aku ke kamar Sheli sebentaaar aja ...."
"Nggak. Aku yakin, setelah kamu berhasil keluar dari kamar ini, kamu gak bakalan masuk lagi." Athar menyunggingkan senyum yang terlihat horor dalam mata Mira.
Dia menggeleng keras. "Mana ada. Aku janji bakalan balik," eh, kalo gue ingkar, dosa gak ya?
"...."
"Abang, plis ..."
Athar menatap Mira dalam. "Kamu tega tinggalin aku sendirian di malam pengantin kita?"
Malam pengantin? Ya Alloh, horor banget gue dengernya.
"Satu jam di kamar Sheli," jawab Mira dengan berani.
"Yakin, kamu tega sama aku?"
Gak mempan. Pokoknya gak mempan.
"Yakin."
Athar berbalik melangkah kembali menuju kamar mandi sambil berkata, "Setengah jam aku tunggu. Kalau kamu gak balik sendiri, aku yang bakal jemput paksa kamu dari sana dan membuat keributan di rumah ini."
Mira hanya bisa menelan saliva.
* *
"Jelasin sekarang juga kenapa ini bisa terjadi? Kapan? Bagaimana? Kok bisa? Buruan jawab gak pakai lama. Soalnya dalam setengah jam gue mesti balik ke kamar."
Shelia memberi cengiran lebarnya. "Cieeee ... cieeee ... yang mau ehem-ehem,"
Mira segera menepis perasaan malu yang bakalan membuat wajahnya merah, sehingga Sheli akan semakin lama meledeknya. "Jangan mengalihkan pembicaraan."
Tapi Shelia tetap tersenyum meledek dengan telunjuk yang sudah mencolek-colek pinggang Mira. "Cie-cie,"
"Gue serius, Shel,"
"Eh, katanya sakit loh," bisik Shelia di dekat telinga Mira.
Hah?
"Apanya?" Kening Mira berkerut dalam.
"Kalau pertama itu terasa sakit," Shelia mengucapkannya dengan pelan. Intonasi nadanya dibuat seseduktif mungkin.
Mira yang terpengaruh kini merasakan merinding pada bagian belakang tengkuknya. Dia menelan saliva. Haduh, ini gimana?
"Udah siap, belum?" tanya Shelia lagi. Senyum jahilnya semakin membuat Mira merasakan gugup yang semakin jadi.
Lantas Mira menggeleng pasrah tanpa sadar. Itu membuat Shelia jadi tertawa terpingkal-pingkal.
Mira mencubiti pinggang kakaknya yang tak berhenti-berhenti tertawa itu. "Sialan. Jangan nakutin gue."
"Haha ... emang nyatanya begitu."
Mira menghentikan gerakannya tiba-tiba. "Nyata? Lo udah pernah?" tanyanya dengan mata memicing. Apalagi jantung Mira, gak tau kayak apa rasanya karena mendadak dia memiliki pemikiran-pemikiran mengerikan tentang kakaknya itu.
Sheli menghentikan tawanya seketika. Dia menggerak-gerakkan kedua alisnya dengan jahil. "Menurut lo?"
Mira merasakan dadanya sesak seketika. Seperti dia mewakili apa yang kedua orang tuanya rasakan bila mengetahui kenakalan putri cantik kesayangan mereka. "Shel ..." lirihnya sambil meraba perut kakaknya itu.
"Apa sih!" Sheli menepis tangan Mira seketika.
"Jangan-jangan ... sebenernya gue punya keponakan–"
Shelia mentoyor kepala Mira. "Jangan kotor deh isi kepala lo. Dari pada lo pikirin hidup gue, mendingan lo pikirin detik-detik terakhir lo sebagai seorang perawan."
Mira menabok lengan Sheli. "Sembarangan sih, Shel!"
"Idih, kenapa sembarangan? Kan lo emang udah punya suami mulai hari ini. Trus ini malam adalah malam pengantin lo. Mending lo balik ke kamar deh sekarang. Tapi belah durennya jangan berisik ya. Tolong hargailah kaum jomblo di sekitar lo. Eh, nggak ding! Gue ini calon bini ustadz. Hihi ..."
"Idih, siapa juga yang mau gituan."
"Wah, lo belajar jadi istri durhaka nih? Ckck, gak boleh kayak gitu, Mir. Gak baik."
"Sholehah bener omongan lo, tumben!"
Mata Shelia berbinar. "Beneran? Serius? Berarti gue udah cocok jadi calonnya si Ubay?"
"Sorry, gue salah ngomong."
Shelia cemberut. "Resek lo!"
"Udah deh, Shel, buruan cerita yang sebenarnya. Kenapa gue malah jadi nikah bukannya tunangan?"
"Besok aja deh gue ceritanya. Capek tau gue tuh." Shelia merebahkan tubuhnya di kasur.
"Baru jam sembilan, kali."
"Gue kan mau chit chat sama calon laki. Emangnya lo doang yang punya laki. Laki gue juga otewe KUA dong. Haha ..."
Mira masih diam di tempatnya, yakni di sisi kanan Shelia. Bahkan sekarang dia malah ikut merebahkan dirinya juga.
"Shel ... gue tidur sini aja ya ...." cicit Mira.
"Jangan ngawur." Mata Shelia berfokus pada layar hpnya. "Lo mendadak benci gitu sama Athar gara-gara dinikahin?"
"Bukan gitulah. Mana ada kayak gitu."
"Kalau gitu ya sana balik. Ada pacar sah dan halal, masa lo malah pengen tidur di sini?"
"Ya lagian lo nya malah nakutin gue,"
"Nakutin?" Shelia menoleh. "Nakutin apaan?"
"Yang tadi." Mira menutup wajahnya dengan bantal.
"Yang tadi?" Shelia meloading cepat. "Ya ampun, Mira. Masa lo takut gituan?" matanya melebar tak percaya.
Mira mendesah. "Gue bukan takut, gue cuma belum siap."
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Lanjut yuk aah!
...-----***-----...
Mira melongok ke dalam kamarnya perlahan. Masih kurang lima menit dari waktu yang diberikan Athar tadi. Dia tidak berniat melanggar karena jelas mengetahui bagaimana sifat cowok itu yang amat sangat disiplin kalau soal waktu. Apalagi kalau itu terkait dengan ucapannya sendiri.
Ya udah, mau gak mau Mira juga harus kembali lagi ke kamarnya, kan?! Kalau pergi ke kamar tamu sudah pasti bakal dimarahin sama Mamanya. Bisa diusir dia dari rumah ini.
"Hehe ..." cengiran lebarnya terbit setelah melihat wajah Athar yang terbenam separuh di bantalnya. Sepertinya Athar sedang beristirahat dengan posisi telungkup di atas ranjang.
Lalu perlahan Mira berjalan mendekati cowok yang telah resmi menjadi suaminya itu dengan ceria. Hatinya sudah tidak resah lagi seperti setengah jam yang lalu. Sudah plong istilahnya.
"Abang lagi ngapain?" tanyanya sambil menaiki ranjang dan duduk di sisi Athar. Telunjuknya mencolok-colok bisep Athar dengan gemas. Keren euy, ototnya.
"Tidur."
"Kok tidur masih nyaut? Eh, aku tepat waktu kan?! tuh, tuh, masih kurang dua menit. Aku kan udah hitung dengan akurat sejak aku keluar dari kamar ini tadi,"
"Tapi aku nggak."
"Lah?"
Athar membawa kepalanya untuk rebah di atas paha Mira. Refleks Mira mengusap-usap rambut suaminya itu dengan sayang. Duh, yang udah jadi suami, boleh ya nempel-nempel gini, hmmm ...
"Kamu udah gak marah, Al?"
Pertanyaan Athar membuat Mira bingung. "Marah kenapa?" tanyanya.
"Karena aku nikahin kamu gak melalui persetujuan kamu. Bukannya kamu lagi marah ya, sampai menghindariku?"
Kesel sih iya. Apalagi belum tau jelasnya apa yang terjadi. Tapi, gue gak semarah itu kok. Gue menghindar itu karena sebab yang lain.
"Nggak juga."
"Kamu tenang aja, kita bakal melewati semua fase romantis yang biasanya dibayangkan oleh semua wanita. Satu hal yang pasti juga, kita bakalan resepsi nanti." Athar mengecup singkat tangan Mira yang berada di dekat wajahnya.
"Emang kenapa mesti buru-buru kayak gini sih, Bang? Kita kan masih muda. Belum selesai kuliah juga. Trus aku kan nggak tekdung duluan kali ah."
Athar tersenyum geli tanpa merubah posisinya. "Iya, aku tahu. Lagian aku belum apa-apain kamu, gimana bisa hamil kan?!"
Mira merasakan wajahnya merona karena ucapan Athar. Mendadak hatinya deg-degan lagi setelah tadi susah payah dia meredamnya di kamar Shelia.
"Ya trus kenapa alasannya?"
"Ya karena ini satu-satunya solusi supaya aku bisa bawa kamu kemanapun aku mau. Mana bisa aku tenang tinggalin kamu di rumah ini kalau dia masih ada di sini."
Mira paham maksud Athar. "Ryo udah pindah kok ke hotel, eh–" dia mengambil hpnya dan berniat menghubungi Ryo perihal kapan temannya itu hendak kembali ke Jepang. Tapi belum juga niat itu terlaksana, Athar telah merebut hpnya dan menyimpannya di saku celana cowok itu. "Abang!"
"Kamu mau ngapain?"
"Mau telepon sebentar," tangannya berupaya merebut kembali hpnya, tapi Athar tak berniat memberikannya.
"Gak perlu."
"Ish, aku mau nanyain Ryo kapan pulang ke Jepangnya. Cuma itu."
"Gak usah. Gak penting."
"Ya pentinglah. Siniin hpku, Bang. Abang mah gitu banget."
Adegan tangan Mira yang hendak merebut hp di saku celana Athar, kini malah tangannya ditarik Athar dan membuat tubuh Mira jatuh menimpa Athar.
Sebuah kecupan yang cukup lama mendarat di kepala Mira. "Ternyata enak ya kalau udah sah kayak gini. Bebas mau ngapain aja. Kenapa nggak dari awal aja ya kita nikah?"
Mira mengangkat wajahnya dan menatap Athar dengan datar, "Sebelum Abang bikin adegan wafat itu kan ya?"
"Tuh kan dibahas lagi," Athar mencium paksa bibir Mira dengan kedua tangan yang memegang kedua pipi Mira dengan gemasnya. "Dibahas lagi gak?"
"Apa–"
Athar kembali mencium bibirnya dengan gemas lalu melepasnya. "Yang waktu itu."
Ya ampun
"Bang Athar ih," Mira mencoba mendorong dada Athar, tetapi sukar. "Jangan deket-deket dong! Nyosor-nyosor aja,"
"Emangnya kenapa? Kita kan udah halal."
"Oh iya ya. Eh– bukan itu maksud aku,"
"Apa?"
Udah waktunya bilang, apa belum ya?
Mira melebarkan telapak tangannya untuk mengalihkan pembicaraan barusan. "Hp sini," pintanya.
Athar seketika bangkit. Dia berjalan menuju sebuah lemari besar meletakkan hp Mira di atasnya.
Mata Mira melebar. "Abang kok gitu? Jangan jahat deh,"
"Nggak ada hp di malam pengantin kita ya."
Wajah Mira udah gak merona lagi. Dia biasa saja. Malahan, sekarang dia sudah memindahkan tubuhnya ke satu sisi tempat tidurnya –menyadari kenyataan kalau mulai malam ini ia mesti berbagi ranjang dengan Athar– lalu ditariknya selimut sebatas dada.
"Terserah Bang Athar deh ya." emangnya kita mau ngapain? Ih, yang ada gue pengen buru-buru tidur supaya besok bisa mendengar penjelasan Mama, Shelia, atau Ghani.
"Al," Athar berjalan menuju Mira kembali. "Kamu mau apa?"
"Mau apa?" Mira membeo. "Mau tidurlah. Ngantuk."
"Ooh tidak bisa ya," Athar sudah menaiki ranjang dan segera menyergap tubuh Mira. Ditatapnya wajah Mira dalam jarak yang paling dekat. Kedua tangannya memegang tiap sisi pipi Mira, seperti tadi.
"Abang mau cium?" tanya Mira pelan nyaris berbisik.
Kilatan gairah itu nampak di netra mata Athar saat menatap Mira. "Lebih dari cium, boleh?" suara paraunya membuat Mira merinding. Dia mengatakan begitu sambil perlahan mengecup bibir Mira lagi. Tanpa bertanya boleh atau tidak, sudah pasti Athar tidak akan melewatkan malam pertamanya.
Tapi,
"Gak boleh," balas Mira masih dengan berbisik.
Athar tak menyahutinya. Dia masih saja sibuk melanjutkan mencium lembut setiap inci wajah Mira.
"Serius gak boleh, Bang. Ya kalau sekitar wilayah atas aja sih gak papa ..."
Athar menarik wajahnya dan menatap Mira. "Ada apa dengan semua wilayah?" dia menunggu kalimat horor apa yang akan diucapkan oleh gadis yang telah sah menjadi istrinya itu.
Mira tersenyum lebar karena perasaan cemasnya akan sesuatu telah lenyap sama sekali. Bahkan, melihat wajah Athar yang langsung berubah ekspresi dalam sekejap membuat Mira tak mampu menahan rasa geli dalam hatinya. Oke, selama seminggu ini pastinya dia bakalan tenang. Tapi setelahnya ... ah, itu kan masih seminggu lagi. Santuy lah.
Dia mengecup singkat bibir Athar sebelum berkata, "Aku lagi datang bulan ... baru aja."
* * *
^^^Me:^^^
^^^Dear, A' Ubay.^^^
^^^Mau tanya dong, gimana caranya menghilangkan rasa iri hati serta dengki, kalau gak jauh dari tempat kita berada sedang ada pengantin baru yang menikmati surga dunia? Gimana nggak iri kan, kalo akunya jomblo?^^^
^^^Jawab dong, A^^^
^^^Aku butuh nasehat banget ini^^^
^^^A Ubay^^^
^^^Aku butuh siraman rohani^^^
^^^Aku butuh kata-kata mutiara yang menguatkan jiwaku yang kesepian ini^^^
^^^A Ubay, bales dong^^^
^^^Apa mau aku telepon aja?^^^
A' Ubay:
Kenapa, Shelia?
***
bersambung.
Jangan lupa dukungannya ya. Biar aku semangat lagi. 😆
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!