NovelToon NovelToon

Rahasia Jodoh

Prolog

Bunyi alat kardiografi terdengar begitu jelas di dalam ruang rawat di salah satu rumah sakit jantung tenama di kota tersebut. Sudah 30 menit berlalu, namun tak kunjung ada yang membuka suara. 2 orang paruh baya, yang salah satunya tengah terbaring lemah diatas brankar dan seorang pemuda yang duduk di sofa yang tak jauh dari keduanya.

"Bunda benar-benar kecewa sama kamu. Sebenarnya apa yang ada di dalam fikiran kamu sih, Mas?" Akhirnya wanita yang terbaring di atas tempat tidur itu membuka suara. Ucapannya sangat menusuk, namun tak membuat tubuh gagah pemuda yang kini tengah menunduk dengan kedua tangan bertautan itu bergeming.

"Sabar, Bun. Ingat tadi kata dokter, Bunda harus lebih mengontrol emosi." sang suami yang tengah duduk di samping wanita itu mengingatkan. Tangannya tak henti mengusap lengan sang istri, berusaha menenangkan.

"Tapi yah, ini sama sekali tidak benar. Bagaimana bisa? Hiks.. Hiks.." wanita itu tak dapat melanjutkan ucapannya. Ia memalingkan wajah, disertai isak tangis yang terdengar menyayat hati.

"Ampun, Bunda. Abang minta maaf! Abang yang salah! Abang tidak sanggup mendengar tangisan Bunda. Abang mohon, jangan menangis lagi."

Pemuda berkisaran 26 tahun tersebut, luruh di lantai yang dingin. Ia jatuh bersimpuh di samping brankar sang Bunda, air matanya mengalir menganak sungai. Sebelah tangannya meraih tangan wanita paruh baya yang menjabat sebagai Ibunya, namun tangan itu mendapat tepisan kasar.

"Ayah sudah membuat keputusan! Besok Ayah akan mengantar Ayra ke Turki dan ini keputusan mutlak tanpa bisa diganggu gugat lagi!" Seru Ayah dengan tegas.

Sorot mata yang biasanya teduh itu, kini memancarkan sebuah keseriusan. Ia tak mau siapapun menolak keputusan yang sudah ia buat.

"Ayah.." Bunda menoleh, menatap kecewa pada keputusan suaminya.

Sementara Sakti, pemuda yang masih bersimpuh di lantai. Mendongak dengan cepat, ia menatap nanar sang Ayah.

"Ayah, Sakti mohon jangan Ayra! Biarkan Sakti yang pergi!" Pintanya dengan penuh permohonan, ia berharap dengan sangat agar Ayahnya itu mau mendengarkannya.

"Dan kamu, mau meninggalkan segala tugasmu di kantor? Sakti! Bukankah kamu sendiri tahu bahwa Ayah sudah tak sekuat dulu dalam bekerja. Jadi untuk kali ini, biarkan Ayra yang pergi, Ayah akan mengurus kepindahan kuliahnya di sana." jawab Ayah. Untuk kali ini, ia benar-benar tidak ingin siapapun membantah lagi.

Sakti menundukkan kembali wajahnya, tangis Bunda kembali terdengar. Nasi sudah menjadi bubur, semua tak dapat kembali seperti sebelumnya.

Tanpa mereka ketahui. Di balik pintu. Seorang gadis yang sedang di perdebatkan nasibnya, sejak tadi ternyata tanpa sengaja ia mendengar semua pembicaraan ketiga orang di dalam ruangan itu. Air matanya tak berhenti membasahi pipi cantiknya.

Gadis berhijab pink itu, kembali memutar langkah. Ia berlari meninggalkan rumah sakit dengan hati yang hancur. Ia yang tak tahu apa-apa, kenapa harus dirinya yang menjadi korban.

_

**Hai.. Hai..

Ketemu lagi nih sama aku, othor kece penuh mimpi. Aseekkk.

Aku punya cerita baru nih, tapi gak tahu bakal seru atau enggak? Kita simak bareng-bareng aja ya!!

Tadinya aku kira cerita ini hanya boleh di up di App sebelah, ternyata boleh di manapun. Jadi ya aku up di sini juga deh!!

Biar kalian gak perlu nyari-nyari/donlod App lain. Kan kasihan bagi yang pengen baca terus gak bisa donlod. Ya 'kannnn..

Happy reading geng's**

Kehangatan keluarga

“Assalamualaikum, Ayah, Bunda!” Teriak seroang gadis berseragam putih abu-abu, ketika memasuki rumahnya.

“Waalaikum salam, Ay. Loh, loh. Ini kenapa teriak-teriak sih?” seorang wanita paruh baya, datang menghampiri putrinya.

“Bunda,” gadis itu menuntun sang Bunda menuju sofa dan segera ia bersimpuh di depan Bundanya yang sudah duduk “Ayra lulus dengan nilai terbaik, Bunda!" Lanjutnya dengan mata mulai berkaca-kaca.

“Alhamdulilah, Bunda bahagia mendengarnya. Kamu memang anak kebanggan Bunda dan Ayah, sayang!” Bunda mengusap lembut kepala Ayra yang kini sudah berpindah di pangkuan sang Bunda.

“Semua berkat doa Bunda.” Jawab Ayra, cairan bening itu sudah tak dapat lagi ia tahan.

Bunda tersenyum tulus melihat putrinya. Sebagai orang tua ia hanya bisa mendokan anak-anaknya. Ayra adalah satu-satunya putri kebanggaannya. Walau ia juga mempunyai seorang anak laki-laki, yang tak kalah membuat dirinya bangga. Di masa tuanya, Bunda sangat bersyukur pada Yang Maha Kuasa, karena telah diangurahi 2 orang anak yang sangat berbakti padanya.

“Loh, ini kenapa?” tiba-tiba 2 orang lelaki yang berpakaian formal datang, membuat suasana haru pada anak dan Bunda tersebut hancur seketika.

“Ayah, Ayra sudah lulus dong!” serunya. Dengan bangga ia memperlihatkan sebuah piagam yang ia dapatkan dari sekolahnya.

“Wah, benarkah putri Ayah sudah lulus. Selamat ya, Nak! Ayah bangga sama kamu!” Ayah mencium puncak kepala putrinya, yang kini mendekapnya erat. Ayra mengangguk dalam dekapan ayahnya.

"Hanya Ayah nih yang dipeluk? Abang tidak?” pemuda yang sedari tadi hanya diam menyimak, ikut bersuara. Ia bersedekap dada pura-pura merajuk.

Melihat adik tersayangnya itu telah lulus, ditambah dengan nilai terbaik ia dapatkan. Tentu saja sebagai seorang kakak, ia merasa bangga.

“Abang cemburu ya?” Ayra melepaskan pelukan dari Ayahnya. Tangannya menuding tepat di wajah Abangnya dengan bibir maju beberapa centi.

Ia beralih menghampiri kakaknya, dengan iseng tangannya itu mencolek dagu sang kakak.

“Enggak! Abang nggak cemburu ya. Cemburu itu bagi orang yang tidak percaya diri.” pemuda tersebut memalingkan wajahnya menghindari godaan adiknya itu.

“Ya sudah kalau begitu. Padahal tadinya Ay mau meluk Abang, tapi nggak jadi deh.” Ayra membalik badannya, seolah hendak meninggalkan pemuda tersebut yang bergelar sebagai kakaknya itu.

Tapi sebelum kakinya berhasil melangkah. Sakti, sang kakak, lebih dulu menarik tubuh mungil adik kesayangannya itu kedalam dekapannya.

“Dih katanya nggak mau Ay peluk, tapi sekarang Abang duluan yang meluk, Ay.” Ayra menggerutu didalam kungkungan tubuh jangkung kakaknya. Tapi walau begitu, bibirnya tak henti mengembangkan senyum bahagia.

“Iya, iya Abang ngaku.” Sakti lebih mengeratkan pelukannya. Sementara Ayra hanya terkekeh mendengar jawaban kakaknya itu. “Abang bangga sama kamu!” ucapnya dengan penuh rasa bangga sekaligus haru.

Kedua orang tua itu menyaksikan anak-anaknya penuh rasa haru. Melihat betapa besar kasih sayang terhadap adik kakak tersebut. Ayah melingkarkan tangannya pada pundak sang istri. Membuat rasa hangat kekeluargaan kian terasa.

Anak yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang, tumbuh dengan saling menyayangi. Mereka tak perlu khawatir saat nanti, usia senja mulai mereka jalani. Karena melihat kedua anaknya seperti itu, tentu adalah sebuah kebahagian yang luar biasa bagi semua orang tua.

Keberhasilan seorang anak bukan hanya saat seorang anak bisa mencapai apa yang kalian inginkan. Tapi saat seorang anak melihat senyum orang tua karena keinginan yang bisa kalian capai

Rasa sayang. Sakti

“Loh, loh. Ini mau kemana? Sudah pada rapi begini?” tanya Bunda. Saat melihat dua anaknya turun dari tangga dengan pakaian yang sudah rapi.

“Ayra diajakin Abang nonton, Bun.” jawab Ayra penuh semangat.

“Bener, Bang?” selidik Bunda pada anak sulungnya.

“ya, Bun. Hari ini Abang akan traktir Ayra, untuk merayakan kelulusannya.” Sakti membenarkan jawaban Ayra.

“Ya sudah, jangan pulang kemaleman ya?”

“Iya, Bunda!” sahut keduanya.

Setelah berpamitan pada Bunda. Sakti dan Ayra pun berangkat, menuju sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota ini.

Sepanjang perjalanan. Ayra yang dasarnya aktif tak pernah berhenti mengoceh, menceritakan apa yang ia lihat dan yang ia alami selama di sekolah. Ia juga menceritakan beberapa orang temannya yang sudah punya pacar. Hanya dirinya yang sampai saat ini belum pernah merasakan berpacaran, karena Sakti selalu melarangnya.

Pernah ada seorang pemuda menyatakan cinta pada Ayra dan saat itu kebetulan Sakti datang menjemput Ayra ke sekolah. Tanpa fikir panjang lagi, Sakti menghajar pemuda tersebut. Setelah kejadian itu, tak ada satu pun pemuda yang berani mendekati Ayra. Mereka hanya bisa memandangi penuh damba wajah cantik Ayra dari jauh.

Bagi Sakti, Ayra adalah segalanya. Ia tak ingin satu orang pun menyakiti adiknya. Sebagai kakak tentu saja ia menginginkan kehidupan yang sempurna untuk adik satu-satunya itu.

“Bahkan nih ya, Bang, Mila sudah biasa pulang bareng pacarnya. Kata orang tuanya sih, nggak apa-apa pacaran, yang penting tidak melampaui batas.” Ayra menutup ceritanya. Ia melirik Sakti yang tengah fokus menyetir sambil menjadi pendengar yang baik.

Ayra memang lebih terbuka sama Sakti, ketimbang pada kedua orang tuanya. Jika sama Sakti, ia bebas menceritakan apa saja. Tanpa perlu takut Sakti akan marah padanya, jika ia melakukan kesalahan.

Ayra menghembuskan napas pelan, ah dasar Abangnya ini memang kurang peka. Padahal ia sudah bercerita panjang lebar tentang teman-temannya yang berpacaran tapi dengan tujuan saling memotivasi dalam hal kebaikan. Ia juga berharap agar Sakti mau mengijinkannya berpacaran seperti yang lain. Ia 'kan sudah lulus SMA masa masih saja tidak boleh.

“Menurut Abang, bagaimana jika..”

“Tidak boleh!”

“Ih Abang, 'kan Ay belum selesai ngomong.” Ayra bersedekap dada dengan bibir mengerucut.

“Abang tahu, kamu mau minta ijin buat pacaran.” Sakti kembali melirik adiknya “Emang bener kamu sudah siap pacaran?” lanjutnya.

Mata Ayra berbinar mendengar pertanyaan Sakti. Ia merubah duduknya, menyamping. Lebih ke menghadap pada Abangnya. Kepalanya mengangguk 2 kali.

“Boleh kok. Abang ijinin kamu pacaran, asal..” ucapan Sakti menggantung, membuat Ayra semakin penasaran.

"Asal apa, Bang?” ia mencondongkan wajahnya lebih dekat.

“Asal kamu siap nikah sekarang?”

“Nggak mau lah, orang Ay mau kuliah dulu. Baru nanti setelah lulus kuliah, nikah deh. Abang gitu gak seru ah. Ya kali Bang, orang nikah dikata pacaran.” Ayra kembali ketempat duduk semula dengan wajah kesal. Sementara Sakti terkekeh karena berhasil mengerjai adiknya.

“Loh emang kenapa kalau pacaran setelah menikah, bukannya lebih enak ya? Dinda hauw sama Rey mbayang aja gak pacaran tapi langsung nikah. Abis itu baru mereka pacaran.” jelas Sakti, ia seakan belum puas menggoda Ayra.

“Ya kali, Ay harus ngikutin mereka, Bang. Mereka kan artis.” Sahut Ayra.

“Artis juga manusia, Ay. Sama aja seperti kita.”

“Ih Abaaaaangg, tahu ah Ayra kesel sama Abang.”

Kini bukan hanya kekehan yang keluar dari bibir Sakti, melainkan tawa puas. Ia puas sangat puas telah membuat Ayra kesal sendiri dengan keinginannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!