bab 1
" REN, ayo cepat! " teriak Sintya sambil menarik tangan Rena.
Dengan nafas yang tidak beraturan sinta terus berlari serta menggerutu karena hatinya tidak bisa tenang.
" Dasar anak bodoh kenapa selalu cari masalah saja bisanya," gumam Sintya dalam hati.
Setelah dia mendapat kabar dari Andi kalau saat ini Aldi sedang terluka karena dikeroyok anak anak muda kampung sebelah desanya.
" Sintya, ini sebenarnya ada masalah apa? Sampai kita harus lari seperti ini," tanya Rena.
Yang tampak bingung karena tidak tahu ada masalah apa tiba tiba saja tangan nya ditarik Sintya dan diajak berlari.
" Sudahlah ikuti aku dulu nanti kalau sudah sampai baru aku jelaskan apa yang terjadi, " Jawa Sintya. Dia yang sudah terlihat sangat gelisah.
Cukup jauh juga mereka berdua berlari karena memang jaraknya cukup jauh dari tempat kejadian.
Mereka terus berlari dengan berbagai macam pertanyaan muncul dalam benaknya masing masing.
Ketika Meraka sampai ditempat yang dituju dan melihat keadaan Aldi yg sudah babak belur.
Sintya langsung melepaskan genggaman tangannya dari tangan Rena, serta langsung menghampiri Aldi tergolek lemah dengan tubuh yang penuh dengan luka lebam yg sedang dirawat oleh Andi.
" Aldi bagaimana ceritanya kok sampai seperti ini, kenapa kamu selalu bertindak ceroboh serta bodoh?" tanya Sintya.
Sambil meneliti keadaan aldi untuk memastikan seberapa parah luka yang ada di tubuhnya.
" Maafkan aku kak Tya, Mereka tiba tiba datang dan langsung mengeroyok.
Aku sendiri juga tidak tahu sebenarnya ada masalah apa? Dan salahku itu apa?.
Tiba tiba langsung menyerang hingga seperti ini. Untung saja ada mas Andi lewat dan menolong ku, mereka lari setelah dikalahkan mas Andi," jawab Aldi menjelaskan.
" Kebetulan saya aku tadi lewat pulang dari kantor," jawab Andi
" Aduuuh, pelan pelan mas Andi sakit," suara rintihan Aldi terdengar sangat pelan.
" Maaf-maaf tidak sengaja Aldi," jawab Andi.
Dengan rasa bersalah karena telah melakukan kesalahan menekan luka Aldi cukup keras, sebenarnya dia ingin menghentikan darah yg terus merembes keluar dari luka yang ada di pelipis Aldi.
" Waow jagoan kok Cemen, makanya jangan sok jagoan baru bisa belajar karate saya sudah bertingkah. Lihat itu mas Andi meski sudah sabuk hitam tidak pernah sombong! " Rena menasihati Aldi.
Karena bagi Rena, Aldi sudah seperti adik kandungnya sendiri mereka tumbuh dan besar didalam satu lingkungan bersama.
Rumah Rena ada disebelah rumah Sintya makanya mereka sangat akrab seperti saudara kandung.
Semenjak orang tua Sintya dan Aldi meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas.
Keluarga Rena lah, yang selama ini menolong mereka, sebab keluarga Sintya tidak ada yang tinggal di kampung mereka.
Orang tua mereka dahulu nya adalah pendatang ibu Sintya seorang bidan dan ayahnya seorang guru SD, sekaligus seorang pelatih karate.
Itulah sebabnya Sintya bisa menjadi pelatih karate sanggar PUTRA HARAPAN yang cukup terkenal di kampung mereka.
Karena dulu dia sering sekali menggantikan ayahnya apabila ayahnya sedang tidak bisa melatih.
Saat ini Sintya sudah sabuk hitam sama seperti Andi.
Aldi Santoso adik kandungnya saat ini masih kelas 3 SMA, sementara itu Sintya Anindya baru Lulus kuliah sedang berencana mencari pekerjaan.
" Andi tolong bantu aku mengangkat Aldi masuk dalam ambulan. Kita bawa dia ke puskesmas," suara Sintya.
Andi pun membantu mengangkat Aldi masuk dalam mobil ambulans. Sintya dan Rena ikut masuk dalam ambulans, sementara Andi mengikuti mereka dari belakang dengan motornya.
Satu Minggu semenjak kejadian pengeroyokan yang menimpa Aldi, Sintya lebih protektif lagi terhadap adiknya.
Dia berjanji dalam hati untuk lebih mendidik adiknya lebih baik lagi dan melatih adiknya agar cepat sampai di tingkatan tertinggi. Agar bisa menggantikannya sebagai pelatih karate di sanggar.
Memang selama ini adiknya paling malas untuk berlatih karate makanya sampai sekarang masih sabuk coklat.
" Dik, nanti sore jadwal latihan di sanggar. Kamu nanti bantu kakak ya, untuk mengajar anak-anak pemula yang baru masuk," kata Sintya sambil menyiapkan masakan untuk sarapan mereka.
" Tapi Kak, aku masih belum bisa melatih seperti Kakak, " jawab Aldi.
" Dik, sampai kapan kamu baru bisa kalau kamu tidak pernah mencoba?Bagaimana apa kamu mau sanggar yang didirikan oleh ayah ditutup saja? Karena sebentar lagi kakak harus cari kerja untuk biaya sekolah kamu dan sebentar lagi kamu masuk kuliah. Kalau cuma mengandalkan gaji pensiunan ayah dan bunda tidak akan cukup Dik, " suara Sintya memberikan penjelasan kepada adiknya.
" Ya. Baiklah Kak. Akan aku coba bantu kakak nanti. Jangan pernah sanggar itu ditutup ya Kak. Karena itu peninggalan ayah satu satunya yang harus kita jaga, " jawab Aldi.
" Nah begitu dong, coba seperti itu dari dulu Dik. Sekarang ayo kita sarapan dulu, " kata Sintya.
" Iya Kak, " jawab Aldi.
Mereka menikmati sarapan pagi seperti biasanya.
Setelah selesai sarapan pagi Aldi mengeluarkan motor kesayangannya yang selama ini selalu setia menemani pulang dan pergi ke sekolah. Dia lalu berpamitan kepada kakaknya untuk berangkat sekolah.
Sementara itu Sintya membersihkan meja makanan dan rumah seperti biasanya dengan ditemani alunan musik dari handphone.
Sintya Gadis yang rajin dan sangat mandiri dalam segala hal. Tempaan dan cobaan hidup yang dijalaninya semenjak ditinggal pergi kedua orang tuanya, menjadikan pribadinya lebih matang serta tegas.
***
Kumandang adzan sholat subuh terdengar sahut menyahut dari masjid ke masjid, membangunkan hamba hamba-Nya untuk menunaikan kewajiban sebagai hamba Allah yang taat.
Udara pagi hari sangat dingin serasa menusuk tulang, tidak menjadi penghalang bagi Sintya bangun dari tidurnya.
Sintya membersihkan diri sekalian mengambil air wudhu baru masuk ke kamar menunaikan ibadah dengan khusyuk.
Dia membangun kan adiknya untuk menunaikan shalat subuh, setelah adiknya bangun seperti biasa dia pergi ke dapur untuk mempersiapkan sarapan.
Mentari pagi sudah mulai sudah mulai menampakkan sinar keemasan dari ufuk timur. Sungguh agung nan indah ciptaan-Mu, ya Allah.
Terima kasih atas segala nikmat dan rahmat yang selalu engkau limpahkan kepada hamba-Mu yang hina dan penuh dosa ini.
" Dik, kemarin kakak dapat panggilan kerja di perusahaan XXX tp ada di kota Surabaya. Besok kakak harus datang ke kantornya untuk melakukan tes wawancara. Menurut mu bagaimana Dik? " tanya Sintya kepada adiknya sambil sarapan.
" Terus bagaimana dengan aku Kak? Apakah kakak akan meninggalkan aku sendirian disini? " tanya Aldi.
Dengan wajah terlihat sedih dan tidak bersemangat setelah mendengar kalau kakaknya mendapat panggilan kerja di kota yang cukup jauh dari tempat tinggalnya saat ini.
Karena dalam benaknya sudah terbayang dengan jelas kalau dia akan ditinggalkan oleh kakaknya sendirian.
" Kakak mengerti perasaanmu Dik. Sekarang coba renungkan dulu, kita bisa setiap hari berkumpul akan tapi kita kekurangan uang. Karena kita selaku kekurangan uang akhirnya terpaksa kita harus berhutang. Lama kelamaan hutang kita akan menumpuk. Apakah kamu mau hidup kita terlilit hutang? " Sintya memberikan pengertian.
Dengan sabar dan telaten dia memberikan pengertian dan penjelasan yang masuk akal dan mudah untuk dipahami.
Meskipun berat bagi Sintya ini lah jalan terbaik yg harus ditempuh setelah mempertimbangkan dengan baik baik.
Tinggal 3 bulan lg adiknya Aldi sudah tamat SMA, dalam waktu 3 bulan ini dia harus sudah bisa mempersiapkan rumah kontrakan untuk mereka.
Karena Sintya sudah berjanji pada adiknya untuk menjemput adiknya dan tinggal bersama kembali.
Sore itu di dalam sanggar karate setelah selesai melatih, Sintya mendekati Andi.
Dia berencana berpamitan dan sekaligus menyerahkan sanggar karate yg selama ini dipimpin. Dia ingin menyerahkan kepemimpinan kepada Andi.
Dia mau minta tolong pada Andi untuk melatih serta mengawasi Aldi selama dia tidak ada.
Karena saat ini Aldi masih belum memenuhi syarat untuk mengelola serta menjadi pemimpin sanggar.
Setelah selesai berpamitan dengan semua anggota sanggar Sintya pulang bersama Aldi.
Suasana kampung yang nyaman dan tenang jauh sekali dari hiruk pikuk kehidupan kota. Sejujurnya dia lebih suka tinggal di kampung halamannya, yang sudah ditinggalinya kurang lebih selama 23 tahun.
Dari pada harus merantau serta tinggal di kota, tapi apa boleh buat keadaan lah yang memaksa dia harus ke kota tempat yang sebenarnya tidak dia inginkan.
Karena menurutnya semua orang kota sangat sibuk dengan urusannya masing-masing.
Dan tidak jarang mereka sampai harus mengabaikan orang yang dicintainya dan orang disekitarnya.
Sehingga cenderung menjadi pribadi egois, seperti itu lah pemikiran Sintya saat ini.
Belum lagi pencemaran udara, lalu lalang kendaraan, kepulan asap asap mulai dari kendaraan bermotor hingga asap pabrik pabrik semua ini mempunyai andil terbesar semakin memburuknya udara di kota.
" Dik, bangun sholat subuh dulu, " suara Sintya.
Membangunkan adiknya, untuk menunaikan kewajiban sholat subuh sebagai hamba Allah yang beriman.
" Iya Kak, " sahut Aldi dari dalam kamar.
Meskipun masih terasa kantuknya tapi dia harus tetap bangun. Bukan takut karena kakaknya yang akan marah, tapi dia jauh lebih takut kalau Allah yang marah.
Sebab jika Allah sudah benar-benar marah dan murka sudah tidak akan ada kata ampun lagi bagi-Nya.
Karena semuanya sudah terlambat dan tidak akan mungkin dapat dirubah kembali.
Maka sebelum semua itu terjadi lebih baik melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ajaran tentang keimanan yang mereka terima dari kedua orang tuanya ketika masih kecil dulu benar benar tertanam dengan kuat dan sudah mendarah daging dalam tubuh mereka.
Karena itulah wajib bagi setiap orang tua menanamkan ajaran ajaran agama sesuai dengan akidahnya masing-masing agar tersimpan sempurna dalam memori otaknya.
Pagi hari ini setelah selesai sarapan mereka berangkat lebih pagi karena Sintya meminta Aldi untuk mengantarkan ke terminal.
Sintya dan Aldi berpamitan untuk berpisah sementara waktu, sambil memeluk adiknya Sintya berpesan banyak hal pada adiknya.
" Jika nanti ada sesuatu masalah yg tidak dapat kamu selesaikan sendiri atau ada masalah apapun cepat hubungi kakak ya Dik, Kakak akan selalu merindukan mu. "
" Iya Kak. " Aldi tidak terasa air mata mereka meleleh membasahi pipi Meraka.
" Jaga dirimu baik-baik ya Dik, " suara Sintya yang sudah sedikit parau.
" Sama-sama. Kakak juga harus hati-hati dan jaga kesehatan kakak, jangan lupa kabari aku kalau kakak sudah sampai tujuan ya, " jawab Aldi sambil melepaskan pelukan dari kakaknya.
***
Hari itu Sintya sudah sampai di kantor xx yang memberinya surat panggilan wawancara.
Hidup setiap orang itu memiliki takdirnya masing-masing, contohnya hari ini meskipun Sintya sudah berusaha semaksimal mungkin akan tetapi takdir berkata lain.
Meskipun dia lolos dari seleksi pertama dan selanjutnya, akan tapi di seleksi terakhir dia gagal sehingga harus ter diskualifikasi.
Harapan besar yang sudah terlanjur digantungkan harus putus sebelum dia sempat mengikatnya.
Dengan langkah gontai dia meninggalkan halaman gedung pencakar langit yang ada di kota Surabaya itu.
Dia terus berjalan menyusuri trotoar yang ada di kota pahlawan itu, waktu sudah menunjukkan pukul 12.30.
Suara adzan sholat dhuhur sudah berkumandang saling bersahutan, Sintya terus berjalan mencari masjid terdekat untuk menunaikan kewajibannya.
Setelah dia keluar dari masjid tidak terasa perutnya sudah lapar akhirnya dia memutuskan untuk mencari warung untuk mengisi perutnya.
Beberapa saat kemudian muncul 2 orang yang berpenampilan sedikit menyeramkan.
Menghampiri mobil yang terparkir didepannya yang berjarak kurang lebih 15 meteran darinya.
Dalam hati Sintya muncul perasaan tidak nyaman ketika mengamati gerak-geriknya yang sedikit mencurigakan dari mereka.
Ketika Sintya menoleh kearah kanan saat hendak menyeberang jalan, tiba tiba terdengar suara seorang wanita setengah baya berteriak minta tolong.
Akan tetapi orang yang menyerangnya itu langsung menodongkan senjata tajam kearah leher wanita setengah baya.
Sambil mengancam akan langsung membunuhnya jika berteriak lagi maka wanita itu langsung diam terpaksa menuruti ancaman pria tersebut.
Sementara itu sang sopir juga tidak bisa bergerak karena dia juga sudah di todong senjata tajam juga.
Suasana saat itu memang cukup sepi sehingga tidak ada orang yang bisa menolong mereka.
Sintya menjadi sedikit ragu apakah dia akan menolong atau tidak, di dalam kebimbangan itu tiba-tiba muncul bayangan wajah ibunya.
Dalam hatinya berkata bagaimana seandainya itu terjadi pada ibuku pasti ada rasa menyesal karena tidak mampu menolong nya.
Maka dengan secepat mungkin dia berlari kearah wanita tersebut untuk menolongnya.
Ketika jaraknya sudah kurang dari 2 meter dia melompat dan mengayunkan kaki kanannya menendang tubuh pria yg menodongkan senjata tersebut.
Karena memang dia tidak menyadari kehadiran Sintya yang tiba-tiba datang.
Langsung menyerang membuat tubuhnya limbung akhirnya jatuh dan sedikit melukai leher wanita tersebut.
Karena merasa ada yang menggangu dan menyerangnya tiba tiba membuat nya marah.
Dia langsung bangkit dan mengayunkan senjatanya kearah Sintya, namun Sintya dengan gerakan pelan namun pasti dia mudur kebelakang menghindari senjata tersebut.
Sintya melepaskan tas yang ada di punggungnya dan melemparkannya ke tepian untuk meringankan beban tubuhnya dalam bergerak.
" Siapa kamu, jangan ikut campur masalah kami. " Bentaknya menunjukan rasa tidak suka pada Sintya.
" Bukannya saya mau ikut campur urusan kalian. Akan tetapi tindakan kalian tidak dapat dibenarkan karena mengancam nyawa orang lain. Karena mereka minta tolong jadi sekarang saya akan membantu dan menolongnya, " jawab Sintya dengan santai tanpa meninggalkan kewaspadaannya.
" Kurang ajar, " teriaknya dengan melompat mengayunkan kakinya menendang Sintya.
Sintya dengan tenang meladeni setiap serangan lelaki tersebut. Sesekali Sintya melayangkan serangan balik ke tubuh pria tersebut, lama kelamaan lelaki tersebut semakin terdesak.
Sehingga teriak kepada temannya untuk membantunya mengalahkan musuh yang sudah membuat tubuhnya babak belur.
" Jangan diam saja cepat sini bantu aku mengatasi gadis ini, " teriaknya dengan nafas yang memburu.
Tanpa banyak kata teman lelaki tersebut menyerang Sintya. Kini Sintya mendapat dua lawan sekaligus.
Karena sekarang Sintya melakukan pertarungan 2 lawan 1 maka Sintya menggunakan seluruh kemampuannya dan harus lebih hati-hati.
Dengan gerakan yang sangat lincah dan gesit Sintya menyerang dan menghindari serangan lawan.
Yang awalnya tidak seimbang lama kelamaan Sintya bisa membalikkan keadaan.
Sehingga dua orang tersebut babak belur karena merasa sudah tidak akan mungkin menang akhirnya mereka memutuskan untuk berlari dari Sintya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!