NovelToon NovelToon

Mahkota Bunga

PROLOG

"Oek... Oek..."

Suara tangisan bayi menggema menenuhi mobil mercedes benz yang mereka naiki.

Sepasang suami istri yang sedari tadi bersenda gurau menikmati kebahagiaan mereka atas kelahiran putri pertamanya, sedikit panik saat mendengar putri kecilnya menangis dengan kencang.

"Cup cup.. Putri Ibu lapar ya? Atau mau ganti popok?" ucap Andini sambil menimang-nimang bayi dalam gendongannya.

Bima yang duduk di sebelahnya, langsung membantu Andini memeriksa popok putrinya.

"Pak Juki, tolong berhenti sebentar ya, kami mau ganti popok Adira dulu," perintah sang majikan kepada supirnya.

"B-baik T-Tuan..." ucap Juki tergagap.

Setelah mobil ditepikan, Andini pun turun dari mobil dan mengganti popok Adira di luar.

Bima yang menyadari suara supirnya yang bergetar, mulai memandangi wajah supirnya itu. Pucat pasi. Keringat mengucur deras di seluruh wajahnya.

"Pak Juki, ada apa? Bapak sakit? Perlu saya gantikan menyetir?" tanya Bima penuh perhatian.

Juki yang kaget karena majikannya menyadari gelagat anehnya, menjawab dengan spontan,"N-Nggak, Tuan.. Mungkin cuma masuk angin. Malam-malam di hutan begini cukup dingin, Tuan. Saya ijin kecilkan ACnya saja ya, Tuan.." Juki berusaha mengontrol suaranya agar tak terdengar gugup.

"Iya, Pak. Matikan saja nggak papa. Kalau Pak Juki nggak enak badan, bilang ya. Nggak papa saya yang gantikan menyetir," ucap Bima menepuk pundak supirnya yang sudah bertahun-tahun kerja dengannya.

"Sudah, Pa," ucap Andini masuk kembali ke dalam mobil.

Juki pun mulai menginjak gas mobil, dan melajukan mobil dengan perlahan. Tujuan mereka masih jauh, Jakarta. Tapi saat ini, mereka masih berada di Jawa Tengah. Setelah kembali menidurkan Adira, pasangan suami istri itu pun tertidur.

Mobil silver itu masih berjalan dengan perlahan, mengikuti liuk-liuk jalanan aspal satu arah. Beberapa meter di depannya, Juki melihat dua buah plang pertanda bertuliskan 'Alas Sewu' yang mengarah ke kiri, dan 'Tawangmangu Kota' mengarah ke kanan.

Dengan hati berdebar, dan keringat yang mengucur semakin deras, pria paruh baya itu mulai membelokkan setirnya ke kiri. Jalanan aspal yang tadi dilewatinya, kini berubah menjadi tanah bebatuan.

Jalanan yang tidak rata itu sontak membangunkan kedua penumpang dewasa di kursi belakang.

"Loh, Pak? Ini kita di mana?" tanya Bima yang tak bisa melihat sekitar. Tak ada lampu-lampu jalan di kanan kiri mereka. Hanya pepohonan rindang di kanan kiri dengan jalanan tanah berkerikil yang dapat dilihatnya melalui kaca depan mobil.

"Itu, Tuan.. Tadi jalan utamanya ditutup, ada perbaikan jalan. Tadi disuruh lewat sini, Tuan.." ucap Juki berusaha mengeluarkan suara setenang mungkin.

"Oh gitu.. Pak Juki tau daerah sini?" tanya Bima sedikit khawatir.

"Tadi katanya suruh ikutin jalan setapak ini saja," ucap Juki.

"Hati-hati ya, Pak. Jalannya nggak rata," ucap Andini berusaha menjaga putrinya agar tetap terlelap.

Mobil masih melaju perlahan, semakin masuk ke dalam hutan tersebut. Dengan jantung semakin berdegup kencang, Juki menghentikan mobilnya setelah melihat pohon yang diikat kain merah.

"Tuan.." ucap Juki.

"Kenapa, Pak?" tanya Bima khawatir.

"A-anu.. Saya kebelet kencing.. Saya permisi dulu ya," ucap Juki tak bisa menutupi kegugupannya.

"Ya sudah, hati-hati ya, Pak," ucap Bima sedikit heran, dan terus mengamati Juki yang terus berjalan masuk ke dalam hutan.

"Oek.. Oek.."

Tangisan kencang Adira menepiskan kecurigaan Bima. Kini, Bima dan Andini fokus menenangkan putrinya yang mulai kelaparan. Dengan lembut, Andini menyusui putri pertamanya itu. Tangisannya mulai berhenti.

"Ma, terima kasih ya sudah melahirkan putri secantik Adira.." ucap Bima mengecup kening istrinya.

"Maafin Mama ya, Pa.. Mama nggak bisa kasih anak laki-laki seperti harapan keluarga besar Papa.." ucap Andiri sedikit sedih.

"Ma, itu semua kan sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Lagipula keluarga Papa sayang kok dengan kehadiran Adira. Buktinya Papa mah mengadakan syukuran di villanya, kan?" ucap Bima lagi.

"Iya, Pa.. Pa, Kok Pak Juki nggak balik-balik ya?" ucap Andini khawatir.

Tak lama, beberapa orang pria berpakaian hitam mulai mendatangi mobil mereka.

"A.. Apa ini, Pa?" teriak Andini terkejut.

Bima pun sama sekali tak menyangka akan ada penyamun di tengah hutan begini. Dengan ketakutan, ia memeluk istri serta putrinya itu.

"Dorong mobil itu!" ucap salah satu pria.

Beberapa orang pria pun mulai mendorong mobil mereka menuju jurang di sebelahnya.

Bima yang sudah jelas tak bisa mengalahkan belasan pria-pria bersenjata itu, langsung mendorong istri dan anaknya keluar dari mobil, sebelum mobil itu jatuh ke dalam jurang terjal.

"Ma.. Selamatkan Adira.." teriak Bima.

Andini memeluk Adira dengan erat, mereka jatuh berguling entah menuju kemana. Dengan segenap kekuatannya, Andini menjaga Adira agar tidak terluka. Didekapnya kepala mungil Adira dengan telapak tangannya, dan dilindunginya tubuh Amira dengan kedua lengannya. Ia sudah tak peduli dengan darah yang bercucuran di sekujur tubuhnya, asal putrinya selamat.

Dhuarr!!!

Terdengar suara ledakan dari belakangnya. Andini tentu saja tahu, suara ledakan itu tidak lain tidak bukan adalah mobilnya. Dia juga tahu, suaminya masih berada di dalam mobil saat mobil itu jatuh ke dalam jurang.

"Pa ... Maafkan Mama ..." ucapnya lirih sambil menitikkan air mata.

###

"Saya sudah melaksanakan perintahmu! Sekarang kembalikan istri dan anak saya!!" teriak Juki kepada seorang pria yang ditemuinya di balik pohon itu.

"Hahaha, sana. Anak dan istrimu ada di dalam hutan itu. Cepetan, keburu dimakan macan!" ucap pria itu dengan nada mengejek.

Tanpa memikirkan apapun, Juki langsung berlari menuju arah yang ditunjuk oleh pria dengan suara serak tersebut.

"Pak.. Bapak.." terdengar tangisan seorang bocah yang kira-kira berusia dua-tiga tahunan.

"Rendra... Renda... Kamu nggak papa, Nak? Ibumj di mana, Nak..?" tanya Juki dengan cemas. Diperiksanya seluruh tubuh putranya itu. Tak ada luka berat, hanya beberapa goresan ranting-ranting kering dari sekitar hutan.

"Ibu.. Ibu.. Ibu di cana.." ucap Rendra menunjuk dengan jari kecilnya.

Juki mengikuti telunjuk putranya, yang mengarah kepada seorang wanita yang tergeletak di tanah.

Terlihat jelas dari kejauhan, sebilah pisau berkilau memantulkan temaram rembulan mencancap di perut istrinya. Tak ada lagi tenaga yang tersisa di tubuhnya. Juki merangkak menuju raga istrinya yang sudah tak bernyawa. Darah merah pekat menggenang pada pakaian putih yang dikenakannya.

"La-Lastri... Lastri!! Maafkan aku.." jerit Juki memeluk jasad istrinya.

"Bapak..." ucap Rendra berlari menyusul Juki.

Dengan segera, Juki melepas pakaiannya dan menutupi jasad istrinya, agar putranya tak melihat kejadiaan naas yang menimpa istrinya. Diusapnya wajahnta dengan kasar, menghapus air mata yang tersisa di pipinya.

"Pak.. Ibu kenyapa.." tanya Rendra melihat ibunya ditutupi kain.

"Maafkan Bapak, Nak.. Bapak tidak bisa menjaga ibumu.." ucap Juki pelan. "Kita makamkan ibumu ya."

Juki pun langsung mengambil bebebrapa batu di sekitarnya, dan menggunakannya untuk mengais tanah.

Setelah berusaha beberapa jam, akhirnya Juki selesai memakamkan dan mendoakan istrinya.

"Pak, aku lapal.." ucap Rendra dalam gendongan Juki.

"Sabar ya, sebentar lagi kita sampai."

###

"Oek.. Oek.." Adira menangis dengan keras.

Andiri membelai lembut putrinya dengan segenap tenaga yang tersisa. Tubuhnya sendiri sudah tak bisa digerakan. Mungkin beberapa rusuknya sudah patah. Tapi Andini masih memeluk Adira dengan lembut, menjaganya agar tidak terluka.

Di sela-sela pandangannya yang sudah kabur, ia melihat seorang pria tua dengan pakaian serba putih, dengan rambut dan janggut yang juga putih.

Perlahan, pria itu mendekati Andini, memeriksa denyut nadinya. Dengan hembusan nafas berat, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"T-tuan.. Putri sa-ya ... Adira ... To-long selamatkan dia.." ucapnya dengan terputus-putus.

"Baiklah.. Pergilah dengan tenang.." ucap Sang Pria mengambil Adira dari pelukan Andini.

"Terima kasih, Tuan.. Budimu akan saya balas di kesempatan lain.." ucap Andini mulai memejamkan matanya.

Sang Pria yang dikenal dengan sebutan 'Pertapa Tua' oleh warga sekitar, mulai menggali lubang besar, dan memakamkan Andini di sana. Diberinya batu seadanya sebagai nisan wanita yang tak dikenalnya itu.

Setelah memakamkan Andini, Pertapa Tua langsung membawa Adira ke rumah kabinnya di tengah hutan dan menidurkannya di sana.

Merasa pekerjaannya belum selesai, Pertapa Tua kembali menuju ke tepi jurang. Dilihatnya sebuah rongsokan mobil di dalam jurang yang masih mengepulkan asap bekas kecelakaan barusan. Kira-kira tiga ratus meter dalamnya.

Pertapa tua itu mulai melompat dan melayang ke dalam jurang tersebut. Diperiksanya mobil itu, dan didapati jasad seorang pria di kursi penumpang.

Dikeluarkannya jasad pria itu perlahan. dam Pertapa Tua mendapati pria itu sedang menggenggam erat sebuah foto. Foto wanita yang ditemuinya tadi, sedang tersenyum ke arah kamera sambil menggendong bayinya yang baru lahir.

Dibaliknya foto tersebut,

'Adira Angkasa Samudra, 19-03-2003'

Disimpannya foto itu ke dalam jubahnya, lalu Pertapa Tua menggendong jasad Bima menuju tempat Andini disemayamkan.

Digalinya satu buah lubang lagi di sebelah makam Andini, lalu Pertapa Tua menguburkan Bima di dalam sana, bersebelahan dengan makam istrinya.

"Semoga jiwa kalian dipertemukan di nirwana," ucap Pertapa Tua sambil meletakkan nisan di makam Bima.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...Hai~...

...Author kembali dengan novel baru...

...Semoga pembaca suka yaa.....

...Terima kasih atas dukungannya selama inii~...

PART 1

"Arya, kamu tahu, Bima adikmu kemana?" tanya Adiyaksa Samudra, sang 'Raja' dari Buana Samudra Company.

"Nggak tau, Yah. Lagi sibuk ngurusin putrinya kali," ucap Arya dengan acuh.

"Hmm.. Kemarin katanya dia mau pulang ke Jakarta, tapi Papa nggak bisa hubungi dia," ucap Adi sambil sekali lagi mencoba menghubungi ponsel Bima.

"Anaknya cewek, Pa. Pasti rewel deh di perjalanan," ucap Arya.

"Mau anaknya perempuan atau laki-laki, dia tetap cucu pertamaku," ucap Adi dengan tegas.

"Ehm.." Arya berdeham salah tingkah.

Setelah berkali-kali tak berhasil menghubungi putranya, Adi mulai mematikan komputernya dan memasukkan berkas-berkas yang berserakan di mejanya ke dalam tas kerjanya.

"Papa mau ke mana?" tanya Arya.

"Papa ada janji makan siang. Kamu jaga kantor dulu ya," ucap Adi melangkah pergi meninggalkan ruangan.

Setelah ayahnya meninggalkan ruangan, Arya pun ikut ke luar ruangan. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu memang tak suka berkutat dengan pekerjaan yang menurutnya membosankan.

"Mel cantik, mau kemana nih?" goda Arya kepada sekretaris ayahnya-Melanie, yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pergi.

"Aku keluar sebentar ya," jawab Melani sambil tersenyum dan mengedipkan matanya kepada Arya.

Setelah Melanie sampai di lobby, supir bosnya sudah menunggu di depan. Dengan segera, Melani langsung masuk dan menutup pintu mobil tersebut.

"Pak Daus, kita ke Hotel Queen ya," ucap Melanie sambil merapikan dandanannya.

Sopir yang kebingungan karena yang naik hanya sang sekretaris tanpa majikannya itu pun merasa ragu untuk melajukan mobil. "Loh, kok cuma Bu Melani saja? Tuan Adi di mana?" tanyanya panik.

"Sudah jalankan saja, cepat! Sudah ditunggu Pak Adi di hotel!" ucap Melani memaksa Daus untuk bergegas.

Daus yang kebingungan pun langsung menginjak gasnya dan berangkat menuju ke Hotel Queen. Perasaan Tuan Adi dari tadi belum keluar gedung..

Tak lama setelah kepergian Melani dan Daus, sebuah taksi pesanan berhenti di depan lobby perusahaan. Dengan sedikit berlari, seorang pria berusia lima puluhan langsun masuk ke dalam taksi, dan mereka pun hilang dari pandangan.

"Ke Jalan Harisa ya, Pak," ucap sang penumpang kepada supir taksi tersebut.

"Halo Rafa, ini Papa." Terdengar percakapan di telepon dari kursi penumpang.

"Rafa, Papa sudah sewa pesawat untuk kamu dan Mama. Kamu bawa Mama ke Philipine ya. Nanti Papa menyusul, dan jangan sampai ada yang mengetahui hal ini," ucap Adi terdengar gelisah.

"Baik, Pa," ucap Rafa tanpa bertanya.

Adi pun segera mematikan panggilannya, lalu melempar ponselnya keluar jendela.

"Pak, berhenti sini saja," ucap Adi kemudian memberikan dua lembar uang berwarna merah kepada supir taksi tersebut.

Dilihatnya kanan dan kiri, lalu ia menyeberang menuju pangkalan taksi di depannya. Tanpa basa-basi, Adi langsung menaiki salah satu taksi tersebut.

Di tengah perjalanan, lagi-lagi ia meminta supir untuk berhenti, dan kembali menaiki taksi lainnya. Begitu terus hingga empat kali.

###

"Bu.. Ini beneran Pak Adi nggak ikut..?" tanya Daus yang yakin kalau majikannya masih ada di perusahaan.

"Iya, beneran. Pak Adi sudah menunggu di Hotel. Sudah, kamu cepetan nyetirnya, biar cepat sampai," ucap Melanie sambil memperbaiki pakaian dan dandanannya.

Daus yang cemas dan gugup, terus-terusan memperhatikan Melani melalui kaca spion hingga ia tak sadar ada sebuah truk melaju dengan kencang di depannya.

Daus segera menginjak rem, tapi mobil mereka tak berhenti. Ia semakin panik, lalu membanting setirnya ke pembatas jalan. Melani yang duduk di kursi belakang dan tak mengenakan sabuk pengaman langsung terpental keluar mobil, sedangkan Daus berusaha merangkak keluar dan mencari pertolongan.

###

Setelah matahari bersinar terik, setelah lima jam berjalan kaki menelusuri hutan, akhirnya Juki menemukan perkampungan terdekat.

Dihampirinya sebuah warung nasi yang sedang dasaran, lalu dibangunkannya Rendra perlahan.

"Rendra, ayo makan, Nak," ucap Juki dengan lembut.

"Bu, Nasi sama ayam goreng dua ya. Minumnya kopi panas sama susu putih," ucapnya kepada penjaga warung.

"Ditunggu sebentar ya, Pak. Bapak bukan orang sini ya?" tanya sang penjaga warung kepada wajah asing dihadapannya.

"Iya, Bu. Kami semalam tersesat," ucapnya sambil menyeruput kopi panas.

"Tersesat? Di Alas Sewu?" tanya sang penjaga warung dengan wajah memucat.

"Me-memang kenapa Bu?" tanya Juki dengan panik, ia takut tindakannya diketahui orang lain.

"Waduh, Pak.. Alas Sewu memang angker. Konon katanya, ada Pertapa Tua yang pelihara harimau jadi-jadian di sana. Bapak harusnya bersyukur, bisa keluar dengan selamat, nggak dimakan harimau jadi-jadian.." ucap sang penjaga warung.

Juki pun menghela nafas lega. Bukan. Bukan karena ia bersyukur tidak dimakan harimau, tapi ia bersyukur karena tindakannya tak diketahui orang lain.

"Bu, apa di dekat sini ada penginapan?" tanya Juki dengan sopan.

"Kalau penginapan kayak hotel sih nggak ada, Pak. Adanya rumah petak yang mau disewakan di sana," ucap sang penjaga warung menunjuk sebuah gang. "Coba aja ke sana, Pak. Siapa tahu boleh disewa beberapa hari."

"Oh gitu.. Kalau mau ke kota lewat mana ya?" tanyanya setelah menghabiskan makanannya.

"Dekat Pasar Krompang di situ, dari jam tiga pagi sampai jam empat sore ada mikrolet lewat. Lewat jam empat sore, udah nggak ada angkutan lagi."

"Baik, Bu. Terima kasih," ucapnya sambil membayar makanannya.

"Pak, aku capek.." ucap Rendra kembali mengusap-usap matanya.

Semalaman, putranya itu memang tidur dengan tak nyenyak.

Akhirnya, Juki pun menggendong putranya menuju rumah petak yang ditunjuk oleh penjaga warung.

"Permisi, Pak. Cari siapa?" tanya seorang pria menghampiri mereka.

"Anu, kami mau sewa rumah ini, yang punya rumah siapa ya?" tanya Juki.

"Oh.. Saya yang punya rumah, Pak. Nama Saya Pak Mustofa. Silakan kalau mau lihat dalamnya," ucap Pak Mustofa segera membukakan pintu rumah kontrakannya.

Rumah kecil berdinding separuh bata separuh papan, dan berlantai separuh tanah separuh semen. Sudah ada sebuah kompor dan dua buah kasur di sana. Dengan dua buah kamar, sebuah kamar mandi, dan sebuah dapur kecil, menurutnya cukup untuk kehidupannya sementara.

"Saya mau sewa, sebulannya berapa ya, Pak?" tanya Juki, lalu menawar harga hingga muncul kata sepakat.

"Baiklah, sepakat aeratus ribu per bulan ya," ucap Pak Mustofa tersenyum lebar

###

Di sebuah lapangan terbang rahasia milik keluarga Samudra, Rafa berdiri di dekat anak tangga dengan cemas menunggu kedatangan ayahnya.

Berkali-kali ia melirik arloji di lengannya, menunggu kedatangan ayahnya. Hingga Dari kejauan, terlihat seorang pria berjalan kaki ke arahnya.

"Papa kok jalan kaki? Ada apa ini sebenarnya?" tanya Rafa heran.

"Ayo naik. Kita bicara setelah pesawat lepas landas," ucap Adi tergesa-gesa.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...HAI!! Terima kasih buat para pembaca yang sudah mendukung saya agar tetap semangat melanjutkan cerita ini setiap harinya!!...

...Agar saya tetap semangat update, dukung saya terus dengan memberikan LIKE, dan VOTE sebanyak-banyaknya ya!!...

...Jangan lupa tinggalkan bintang lima...

...(⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️)...

...dan klik FAVORIT agar tak ketinggalan episode selanjutnya ya!!...

...Terima kasih.❤...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

PART 2

"Mama gimana, Raf?" tanya Adi sambil melepas sabuk pengamannya.

"Kondisi Mama masih sama, Pa. Sekarang sedang ada di kamar dengan Dokter Irvan. Sebenarnya ada apa, Pa?" tanya Rafa yang melihat kecemasan di wajah ayahnya.

"Huff..." Adi menghela nafas panjang sambil menegak sebotol air mineral.

"Tadi pagi Papa dapat kabar dari Pak Marwan, polisi kenalan Papa. Katanya tadi pagi dia menemukan bangkai mobil di dalam jurang, dugaan itu mobil yang dikendarai Bima. Tapi polisi masih belum bisa mengeluarkan bangkai mobil itu karena jurangnya terlalu dalam.." Adi memandang jendela pesawat dengan tatapan kosong, lalu melanjutkan penjelasannya.

"Dugaan Papa, ada orang yang menyebabkan kecelakaan ini.."

"Apa Arya sudah tahu, Pa?"

"Belum. Kamu jangan kasih tahu Arya dulu, Raf.Kakakmu itu tak bisa diandalkan. Sudah dua puluh enam tahun tapi masih saja suka main-main," ucap Adi menggeram. "Kalau dugaan Papa benar, tak hanya Bima, mereka pasti akan mencelakai keluarga kita lagi. Makanya Papa bawa Mama ke luar negri. Lagipula, tim medis di sana lebih handal."

"Kalau begitu, Rafa dan Dokter Irvan akan konsul kepada pihak rumah sakit di sana, supaya Mama bisa dirawat di luar rumah sakit saja. Rafa akan carikan rumah dan kerahkan beberapa orang untuk menjaga Mama di sana," ucap Rafa saat pesawat mulai mendarat.

Di lapangan terbang yang luas tersebut, sudah menunggu satu buah ambulance dan satu buah mobil van hitam. Rafa dan Dokter Ivan segera mendorong brankar Rahayu-Ibunda Rafa, menuju ke dalam ambulans, dan Adi segera berlari masuk ke dalam van.

###

"Pa, pemeriksaannya sudah selesai. Dokter bilang Mama boleh dirawat di rumah. Rafa sudah beli sebuah rumah di pinggiran kota, jauh dari pemukiman warga. Akan ada dua puluh orang penjaga, satu orang asisten, dua orang dokter termasuk Dokter Ivan, dan dua orang perawat yang akan menjaga Mama 24 jam di sana. Nanti Rafa juga akan tinggal di sana menjaga Mama," ucap Rafa menjelaskan.

"Hmm.. Tidak. Kamu pulanglah ke Indonesia. Untuk sementara, Papa yang akan tinggal di sini menjaga Mama." Adi beranjak berdiri dan bergegas masuk ke kamar rawat istrinya.

"Tuan Adi, Nyonya Rahayu sudah boleh dipindahkan. Kita bergerak sekarang?" tanya Dokter Irvan, dokter yang sudah dua generasi mengabdi sebagai dokter pribadi Keluarga Samudra.

"Ya, kita bergerak sekarang," ucap Adi memberikan kode kepada para perawat untuk memindahkan brankar Rahayu ke dalam Ambulans.

"Saat kamu tiba di Indonesia, segeralah hubungi Pak Kumar. Beliau menyimpan berkas-berkas penyelidikan Papa selama ini," ucap Adi merangkul putra bungsunya sebelum berpisah.

Mereka berangkulan cukup lama, hingga Adi melepaskan pelukannya dan masuk ke dalam ambulans.

"Baik, Pa," ucap Rafa sambil menutup pintu belakang Ambulans.

###

"Oek.. Oek.."

Di dalam rumah kabin kecil di tengah hutan, Adira kecil menangis dengan kencangnya. Mengundang perhatian hewan-hewan disekitarnya. Hutan yang tadinya ramai dengan suara serangga, monyet, dan kelinci yang sedang bermain-main, tiba-tiba menjadi hening karena suara asing yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.

Beberapa hewan yang penasaran, datang mendekati sumber suara, tetapi mereka langsung kabur setelah melihat seekor harimau besar sedang berdiri dengan gagah di depan sebuah kabin.

Sang harimau yang sedang mondar mandir di depan pintu kabin itu segera masuk menghampiri bayi mungil yang sudah banjir air mata.

Perlahan, sang harimau merebahkan tubuhnya di sebelah Adira dan mendekatkan perutnya ke wajah Adira. Spontan, Adira langsung menyusu pada harimau besar tersebut.

"Pintar kamu Loreng," ucap Pertapa Tua yang baru pulang dari meditasinya.

"Roarr.." sang harimau mengaum merespon ucapan majikannya.

Mendengar suara raungan yang begitu besar dan mengintimidasi, Adira kecil bukannya takut tetapi malah tertawa. Pertapa Tua langsung mengangkat tubuh Adira, dan ikut tertawa.

"Hahaha, bocah pintar. Tak hanya pemberani, tubuhmu juga sangat kuat! Lihat tulang-tulangmu ini! Hahaha. Mulai sekarang, kau akan kujadikan muridku," ucapnya dengan senang.

Dengan lembut, Pertapa Tua meletakkan Adira ke atas tikar, membuat beberapa gerakan dengan telapak tangannya, lalu ia menekan kening Adira dengan kuat. Cahaya putih berkilauan keluar dari jari telunjuknya dan tertanam dalam kening Adira.

"Ini akan melindungimu, dan akan membuatku semakin kuat! Hahaha," ucap Pertapa Tua dengan senang.

"Loreng, kau temani Adira lagi ya. Aku akan kembali meditasi," ucap Pertapa Tua berjalan menuju ke sebuah gua.

Dengan patuh, Loreng mulai merebahkan tubuhnya dan duduk melingkari Adira. Adira kecil yang sedang aktif-aktifnya, meraih tubuh Loreng, dan mencoba untuk menegakkan tubuhnya.

"Uh.. Uh.." Berulang kali Adira berusaha untuk menegakkan tubuhnya. Loreng hanya diam memperhatikan Adira dan membiarkan tubuhnya dijadikan sebagai sanggaan.

Tak disangkal, setiap usaha pasti pernah gagal. Adira kecil terjatuh, sikunya membentur tanah dan ia kembali menangis.

Loreng yang melihat itu, mengubah posisinya menjadi duduk dan menjilati luka Adira, dan juga wajahnya. Seketika, Adira kegelian dan kembali tertawa. Luka disikutnya pun sudah tak sakit lagi, bahkan tak membekas sama-sekali.

"Hahaha. Loleng," ucapnya sambil tertawa

Loreng pun mendengkur dan mengusap-usapkan kepalanya pada tubuh kecil Adira.

Adira kecil pun kembali bertekad untuk bisa berjalan. Ia kembali meraih kaki depan Loreng, dan menjadikannya sebagai cagakan.

Dari matahari terbit hingga teriknya sudah sampai di ufuk, Adira akhirnya berhasil menyeimbangkan tubuhnya, meski masih bersangga pada kaki Loreng.

"Hahaha. Loleng!" ucap Adira dengan senang.

"Roar.." Loreng pun ikut mengaum melihat kebahagiaan di wajah bayi kecil di hadapannya.

Pertapa Tua yang baru pulang dari meditasinya, datang melihat Adira sudah bisa berdiri dibantu oleh Loreng

"Hahaha! Bocah pintar, bocah pintar!" ucap Pertapa Tua tertawa.

Pertapa tua kemudian mendekati Adira, menggendongnya, dan melemparkannya tinggi-tinggi ke udara. Merasa diajak bermain, Adira pun kembali tertawa.

"Hahaha, bocah kecil pemberani!" ucap Pertapa Tua kembali memuji Adira.

"Hahaha. Loleng!" ucap Adira kecil.

"Loleng? Wah.. Wah.. Kata pertama yang keluar dari mulutmu adalah nama macan tua itu?" ucap Pertapa Tua menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hahaha. Loleng!" ucap Adira kembali sambil menunjuk Loreng.

"Iya, iya.. itu Loreng," ucap Pertapa Tua tersenyum.

"Loreng, sudah saatnya Adira makan siang, tolong ya," ucap Pertapa Tua sambil menidurkan Adira di atas tikar.

Paham dengan maksud majikannya, Loreng pun kembali menyusui Adira hingga bayi kecil itu tertidur.

###

"Ma.. Maafin Papa.. Papa nggak bisa menjaga Bima.. Mama cepat bangun ya.. Papa rindu," ucapnya sambil membelai halus rambut istrinya itu.

Ditatapnya wajah putih pucat dengan bibir putih yang sudah pecah-pecah itu. Disekanya wajah Rahayu dengan kapas basah, menjaga kulit istrinya agar tetap terhidrasi.

Tok tok tok...

Terdengar suara ketukan dari pintu kamar besar tersebut. Adi pun meletakkan kapas di tangannya, dan meminta suster penjaga untuk membasuh badan istrinya.

"Silakan masuk," ucapnya sambil berjalan ke ambang pintu.

"Tuan Adi, makan siang sudah siap, lebih baik Tuan makan siang sekarang karena sudah jam dua," ucap Ethan, sang asisten.

"Hmm.. Baiklah.." ucapnya saat melihat arloji di pergelangan tangannya.

Sambil menikmati santapannya, Adi memeriksa ponselnya. Dilihatnya pesan dari Rafa:

'Pa, Rafa sudah dapat berkas dari Pak Kumar. Polisi juga sudah berhasil mengangkat bangkai mobil dari dalam jurang. Tetapi polisi tidak menemukan Bima maupun Andini. Bangkai mobilnya kosong, tetapi ditemukan tas berisi botol dan pakaian Adira yang hangus terbakar..'

'Sekarang Pak Kumar dan para polisi masih mencari keberadaan Bima. Semoga mereka semua selamat, Pa.'

Adi menutup ponsel lipatnya itu, lalu dimasukkannya kembali ke dalam saku jasnya.

"Bima, anakku ... Kamu di mana, Nak.."

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...HAI!! Terima kasih buat para pembaca yang sudah mendukung saya agar tetap semangat melanjutkan cerita ini setiap harinya!!...

...Agar saya tetap semangat update, dukung saya terus dengan memberikan LIKE, dan VOTE sebanyak-banyaknya ya!!...

...Jangan lupa tinggalkan bintang lima...

...(⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️)...

...dan klik FAVORIT agar tak ketinggalan episode selanjutnya ya!!...

...Terima kasih.❤...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!