NovelToon NovelToon

Cinta Putih

Lucia Jayanti

...----------------...

#Warning! cerita ini hanya fiksi.

Mohon kebijakan para pembaca, ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk ya.

Terima kasih.

...----------------...

"Mama, asyik banget Ma," seorang anak kecil berteriak riang sambil bermain di perosotan sebuah taman. Dia terus berteriak memanggil Mamanya yang duduk di sebuah bangku taman yang tak jauh dari tempat si anak kecil tadi bermain.

"Hati-hati, sayang," ucap Mamanya sambil tersenyum. Kebahagiaan putri kecilnya seperti menular, membuatnya ikut tersenyum riang.

Wanita itu bernama Lucia Jayanti. Dia seorang ibu tunggal, membesarkan putri kecilnya seorang diri.

Suami? dia bahkan belum menikah.

Saat dia berumur 21 tahun, karena sangat mencintai lelaki yang saat itu hanya berstatus sebagai kekasih, dia melakukan sebuah kesalahan hingga akhirnya mengandung dan melahirkan putri kecilnya yang sangat cantik.

Namanya Vincia, tapi dia sering memanggilnya dengan sebutan vinvin.

Vinvin merupakan nama panggilan kesayangan dari ayah si anak. Lucia sempat merasa bahagia karena saat mengandung dan melahirkan buah hatinya, kekasihnya terus berada di sisinya. Dia bahkan berjanji akan segera menikahi Lucia, setelah mempertemukan Lucia dengan kedua orang tuanya.

Tapi nasib berkata lain, kekasihnya tiba-tiba menghilang dan tak ada kabar beritanya hingga sekarang. Dia pergi begitu saja saat Vinvin baru berusia 2 tahun.

Sekarang Vinvin telah berusia 5 tahun, bahkan beberapa bulan lagi dia sudah menginjak usia 6 tahun. Tiga tahun lebih, di lalui Lucia dengan penuh perjuangan. Dirinya yang hanya lulusan SMP, sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Yang dapat dia lakukan untuk menyambung hidupnya dan anak semata wayangnya adalah dengan bekerja serabutan.

Semua pekerjaan dia ambil, dari menyetrika baju di tempat laundry, mencuci piring di restoran, bahkan menjadi tukang masak sementara di sebuah warung Tegal.

Untungnya, mantan pacar Lucia dulunya adalah seorang koki di sebuah restoran mewah dan hotel. Lucia sempat di ajari memasak olehnya, hingga Lucia menjadi pintar dalam hal mengolah makanan.

Bagaimana dengan orang tua Lucia?

Lucia sendiri pun tidak tahu dimana mereka berada. Lucia di tinggalkan begitu saja saat dia berusia 17 tahun. Dia bahkan tidak bisa melanjutkan sekolahnya yang saat itu masih di bangku SMA, karena tak memiliki biaya.

Lucia telah berjuang bertahan hidup sejak usianya masih remaja.

"Mama," Vinvin menarik ujung baju Lucia, membuatnya tersadar dari lamunan.

"Ada apa, sayang?" Lucia berjongkok agar bisa menatap wajah mungil putrinya.

"Sudah sore, kita pulang yuk," ajaknya sambil tersenyum.

Lucia ikut tersenyum, "sudah puas mainnya?"

Vinvin menganggukkan kepalanya berulang kali, "Mama kan harus setlika baju, ayo kita pulang saja."

Lucia menghela napas sambil tersenyum kecut memperhatikan putri kecilnya. Dia mengelus pucuk kepala Vinvin dan mengecupnya singkat.

"Ayo, kita mampir beli ayam Kentucky, mau?" ajak Lucia sambil memandang anaknya yang berjalan sambil menggandeng tangannya.

"Mau dong!" Teriak Vinvin dengan riang.

Lucia kembali tersenyum, putri kecilnya memang baru berusia 5 tahun, tapi dia sangat pengertian seperti orang dewasa. Dia tak pernah meminta mainan, tak pernah meminta snacks yang selalu di makan anak-anak seumurannya, tak pernah rewel saat Mamanya pergi untuk bekerja dan diam sendirian di dalam kamar kost.

Lucia merasa beruntung sekaligus sedih karena putrinya tidak bisa tumbuh bahagia seperti teman-teman sebayanya.

Vinvin adalah sumber kebahagiaannya, sumber kekuatannya, dan segala-galanya bagi Lucia.

Lucia bisa bertahan sampai sejauh ini, semua karena Vinvin.

Lucia tahu rasanya di tinggalkan, sangat menyedihkan dan menderita. Dan dia berjanji pada dirinya sendiri, apapun yang terjadi, dia tidak akan pernah meninggalkan anaknya, seperti orang tuanya yang telah menelantarkannya saat dia masih remaja.

Walaupun banyak omongan sinis dari orang-orang yang membicarakannya karena memiliki anak walaupun belum menikah, dia tak peduli.

Malu? tentu saja dia merasa malu. Tapi saat ini ada yang lebih penting dari pada sekedar malu, dia harus mencari uang agar dia dan anaknya dapat bertahan hidup tanpa menyusahkan orang lain.

Lagi pula, siapa yang bisa di susahkan? Lucia kan tidak memiliki siapapun di dunia ini kecuali putri kecilnya yang sangat dia cintai.

"Mas, paha ayam satu, nggak usah di geprek, nggak usah pakai nasi," ucap Lucia pada seorang pelayan yang berdiri di belakang etalase kaca yang di penuhi potongan-potongan ayam berbalut tepung.

"Tuju ribu, Bu."

Lucia menyerahkan selembar uang sepuluh ribu dan menerima ayam yang sudah di bungkus kantong plastik. Setelah menerima kembalian dari pelayan tadi, dia kembali berjalan beriringan bersama putrinya.

"Mama cuma beli satu? buat Mama, mana?" Vinvin menatap ayam yang ada di dalam kantong plastik.

"Mama nggak makan ayam, sudah bosan." Lucia tersenyum sambil menatap wajah putri kecilnya yang sangat menggemaskan.

"Pasti uangnya Mama, nggak cukup kan buat beli dua ayam?" Vinvin menyipitkan matanya sambil mengerling nakal, seperti sedang mengejek teman sepermainannya.

Lucia terkekeh melihat tingkah Vinvin.

"Nggak apa-apa, nanti kita bagi dua ayamnya ya, Ma?"

Lucia tak menjawab, dia hanya menarik putrinya semakin dekat dan memeluknya sambil terus berjalan beriringan menuju rumah kost mereka.

Sebelum masuk ke dalam kamar kost, Lucia mampir menemui Ibu kost dan menanyakan baju-baju yang harus di setrika.

Ibu kost mengijinkan Lucia menyetrika di dalam kamar, karena beliau jugalah pemilik tempat laundry ini.

Lucia mengangkat dua kantong besar yang berisi baju-baju yang harus di setrika, dia berjalan menuju kamar kost nya yang berada persisi di sebelah rumah besar milik Ibu kost. Vinvin sudah duduk manis di dalam kamar sambil menatap Mamanya yang mulai sibuk menata kain sebagai alas setrika.

"Mama, makan dulu dong," pinta Vinvin.

"Ya ampun!" Lucia menepuk jidatnya. "Maaf, Mama lupa, sayang." Buru-buru Lucia mengambil piring dan menyendok nasi yang masih berada di dalam magic com mini, miliknya. Setelah itu, dia duduk di sebelah Vinvin dan meletakkan ayam yang tadi di belinya di atas nasi.

"Vinvin, makan sendiri ya?"

"Iya Ma, Mama kan mau setlika." Vinvin mengambil ayam tepung dan menggigitnya, laku mengumpulkan nasi dengan tangan mungilnya dan memasukkan kepalan nasi tadi ke mulutnya yang menganga lebar tak lebih besar dari kepalan tangannya sendiri.

Lucia terkekeh melihat aksi anak kesayangannya yang sangat lucu. Vinvin sebenarnya masih kesulitan untuk makan sendiri, tapi Lucia berusaha meyakinkan dirinya untuk tega membiarkan anaknya mandiri. Lucia harus melatih Vinvin agar bisa melakukan segalanya sendiri, karena mereka tidak dapat mengandalkan orang lain selain diri sendiri.

"Hah! Mama! ini sangat buruk!" teriak Vinvin.

Lucia yang sudah standby di depan baju-baju yang menggunung menunggu di setrika, langsung menoleh ke arah anaknya.

"Apanya yang buruk?" tanyanya, penasaran.

"Lihat ini, Ma!" Vinvin menunjuk nasi yang berceceran di lantai.

"Ini sangat buruk, Ma. Nasinya berantakan!" Vinvin terlihat sangat sedih, karena dia tidak mau membuat Mama-nya kelelahan harus membersihkan sisa makanannya yang berceceran.

Bukannya marah, Lucia malah kembali terkekeh mendengar celotehan Vinvin.

"Nggak apa-apa, sayang. Nanti biar Mana yang beresin." Lucia melanjutkan kegiatannya menyetrika baju sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya, heran. Entah dari mana, anaknya bisa menemukan kosakata yang unik seperti itu.

"Buruk?" Lucia kembali terkekeh.

Anak semata wayangnya benar-benar merupakan hiburan untuknya di saat dia penat dengan segala beban hidup yang begitu berat di pikul pundaknya sendiri.

Vinvin sakit.

...----------------...

#Warning! cerita ini hanya fiksi.

Mohon kebijakan para pembaca, ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk ya.

Terima kasih.

...----------------...

"Ma... Mama..."

Lucia terbangun dari tidurnya saat mendengar rintihan Vinvin. Dengan segera dia menoleh ke arah putri kecilnya yang sedang tertidur di sebelahnya. Keringat bercucuran membasahi dahi mungil putrinya. Lucia langsung menempelkan punggung tangannya di dahi Vinvin dan terkejut, dahinya terasa panas.

Jantung Lucia langsung berdebar hebat, dia selalu ketakutan jika anak semata wayangnya sakit. Lucia sebenarnya memang belum bisa menjadi seorang Ibu yang pintar, dia bahkan tak punya orang tua yang dapat mengajarinya dalam hal mengurus anak. Semuanya dia lakukan hanya dengan mengandalkan instingnya, yang dia sendiri pun masih sangsi.

Hanya Ibu kost nya yang sangat baik yang selalu menjadi tempatnya bertumpu. Tempatnya bertanya bagaimana dan apa yang harus dia lakukan agar bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya.

Lucia bangkit dan mencari handuk kecil, lalu merendamnya sebentar ke dalam air dan memerasnya hingga hampir kering, lalu meletakkannya di dahi Vinvin.

Kemudian dia menyapukan minyak kayu putih ke telapak kaki Vinvin lalu memakaikan kaos kaki.

Lucia terus berjaga sepanjang malam, karena dia tak akan bisa tidur nyenyak jika Vinvin sakit.

...*...

"Ma..."

Lucia tersentak, dia sempat terlelap sekejap. Dengan segera dia mendekat untuk memandang Vinvin.

"Kenapa sayang? pusing? mana yang sakit?" tanyanya khawatir.

Vinvin menggeleng sambil memaksakan senyum.

Lucia menghela napas, anaknya ini selalu tidak mau mengeluh saat sedang sakit, membuatnya semakin merasa nelangsa.

"Vinvin makan bubur dulu ya, nanti Mama mau ke warung Bu Minah sebentar, ambil uang untuk beli obat untuk Vinvin."

"Ma..." Vinvin menarik tangan Mamanya sambil menatap sendu.

"Maafkan Vinvin sudah bikin Mama repot, Mama jangan tinggalin Vinvin ya..." bisik Vinvin sambil terisak.

Lucia berusaha menelan ludahnya dengan susah payah saat mendengar ucapan putri semata wayangnya, lalu dia mendekat dan mengecup dahi Vinvin.

"Mama nggak mungkin meninggalkan Vinvin, Mama sayang banget sama kamu, nak." Bisik Lucia sambil kembali mengecup pipi kanan dan kiri putrinya.

"Mama cuma pergi sebentar, minta uang bayaran Mama. Nanti, Mama langsung beli obat sama buah jeruk kesukaan Vinvin. Tunggu Mama sebentar ya, sayang." Lucia mengusap-usap pucuk kepala Vinvin.

Vinvin tersenyum, lalu matanya kembali terpejam.

Lucia langsung bergegas keluar dari kamar kost nya dan berjalan cepat setengah berlari menuju warung Tegal milik Bu Minah. Dia harus meminta bayarannya Minggu lalu yang belum di berikan kepadanya. Kalau Bu Minah mangkir lagi dan tidak mau membayar, Lucia berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti memasak di warung Tegal itu.

.

"Warung lagi sepi, dapat duit dari mana buat bayar kamu!" Ucap Bu Minah ketus, saat Lucia menemuinya untuk meminta bayaran.

"Bu, tolong beri saya uang! berapapun tidak masalah, saya butuh untuk membeli obat anak saya yang sakit." Pinta Lucia memelas.

"Kalau bilang nggak ada, ya nggak ada!" Bentak Ibu pemilik warung itu dengan keras. Dia emosi karena Lucia terus meminta hak nya yang enggan dia berikan.

"Kalau saya tidak di bayar, saya nggak akan memasak lagi di warung ini!" Ancam Lucia. Dia kesal, apalagi dia melihat kalung emas yang melingkar di leher Ibu pemilik warung.

Minggu lalu dia tidak punya kalung seperti itu! kalau dia mampu membeli perhiasan, seharusnya dia bisa membayar upah Lucia kan?

"Nggak mau masak di sini ya sudah! memangnya siapa yang butuh kamu!"

Lucia menarik napas, frustasi. Akhirnya dia pun beranjak pergi meninggalkan warung nasi yang telah menjadi tempat tumpuannya mencari nafkah selama ini.

"Luci!"

Lucia menoleh ke asal suara seseorang yang memanggilnya. Dia melihat Pak Santoso, suami dari Bu Minah, berlari kecil dan mendekat.

Dia meraih tangan Lucia dan menyelipkan selembar uang seratus ribu di tangannya.

"Maafkan istri Saya ya, ini ada sedikit uang, anggap saja bayaran kamu Minggu lalu."

Lucia memandang selembar uang berwarna merah yang ada di genggaman tangannya. Jika Vinvin tidak sedang sakit dan membutuhkan obat, Lucia pasti tidak akan menerima uang ini.

"Terima kasih Pak, Saya anggap ini adalah bayaran saya selama memasak disini!" Ucapnya cepat, lalu berlari meninggalkan Pak Santoso.

Mengingat statusnya sekarang, Lucia sangat berhati-hati jika berbicara dengan lelaki, apalagi kalau status lelaki itu adalah suami orang. Dia takut di anggap wanita nakal, atau wanita penggoda karena semua orang tahu, dia belum menikah tapi sudah memiliki anak.

Dirinya sudah di cap 'bukan wanita baik-baik'.

Jadi kalau sampai ada yang melihat dia bicara atau tersenyum dengan lelaki apalagi lelaki itu adalah suami orang, bisa-bisa dia di keroyok Ibu-ibu satu komplek.

Lucia harus bisa menjaga diri, dengan cara tidak mau berbicara dengan lelaki manapun.

Lucia berlari menuju apotik untuk membeli obat kemudian mampir sebentar ke toko buah dan membeli beberapa biji buah jeruk kesukaan putrinya. Setelah itu, dia berlari secepat yang dia bisa untuk menemui putrinya.

Vinvin masih terlelap, keringat mulai bercucuran membasahi seluruh tubuh mungilnya. Dengan segera Lucia melepaskan baju anaknya yang sudah setengah basah, dan menggantinya dengan yang baru.

"Vinvin, bangun sayang, minum obat dulu ya."

Vinvin membuka matanya dan mengangguk. Tanpa membantah, dia meminum obat yang di berikan Mamanya. Tidak seperti anak kecil lainya yang selalu rewel saat di beri obat, Vinvin justru sangat patuh. Lucia sangat bersyukur memiliki putri yang sangat pengertian.

"Mau makan buah jeruk?"

Vinvin tersenyum sambil mengangguk.

Sambil menahan air yang sudah menggenang di pelupuk matanya, Lucia mulai mengupas kulit jeruk dan menyuapi anaknya perlahan.

"Enak Ma, manis." Vinvin tersenyum riang.

Lucia menarik napas lega, "cepat sembuh ya sayang, Mama sayang banget sama Vinvin. Mama akan selalu bersama Vinvin selamanya." Bisik Lucia sambil mengecup kening putrinya.

"Kita bersama, sampai Vinvin berumur seratus tahun ya, Ma?" ucap Vinvin. Rona wajahnya sudah berubah cerah, tak sepucat tadi malam.

Lucia mengangguk-angguk kan kepalanya beberapa kali, "iya sayang, sampai seratus tahun."

Vinvin tersenyum, "Vinvin tidur dulu ya Ma, ngantuk."

"Iya sayang." Lucia mengecup kening Vinvin.

Lalu setelah melihat putrinya tertidur lelap, Lucia langsung kembali mendekati baju-baju yang semalam belum selesai di setrika.

Lucia harus segera menyelesaikan pekerjaan ini, agar bisa mengambil baju baru lagi untuk di setrika. Lucia sudah kehilangan satu mata pencahariannya, dia harus berusaha lebih keras lagi sekarang.

Dengan cepat dia menghapus air mata yang tak sengaja lolos dan meluncur turun di pipinya. "Aku tak punya waktu untuk menangis!" bisiknya bermonolog, sambil mengusap ujung hidungnya yang hampir mengeluarkan cairan bening.

Sambil menyetrika baju, Lucia terus berpikir, apa yang harus dia lakukan untuk dapat melanjutkan hidup dengan putri kecilnya. Umur Vinvin sudah hampir 6 tahun, dia harus segera bersekolah.

Lucia tidak mau, anaknya menderita karena tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Vinvin tidak boleh bernasib sama seperti dirinya. Lucia harus mencari cara agar mendapatkan penghasilan yang lebih banyak untuk biaya sekolah Vinvin, tapi bagaimana caranya? untuk membeli obat saja, hari ini dia sampai mengemis-ngemis meminta uang, walaupun sebenarnya itu adalah hak-nya karena sudah bekerja sebelumnya.

Sebenarnya, Lucia sangat marah dengan sikap Bu Minah tadi. Orang-orang seperti dia, yang menahan upah buruh yang sudah susah payah bekerja, sungguh sangat kejam!

Mungkin seratus ribu tidak seberapa baginya, tapi untukku, untuk pekerja serabutan seperti ku, uang yang tidak seberapa itu sangat berharga. Uang itu merupakan penyambung hidup kami -si miskin-.

Lucia menarik napas sambil terus berdoa kepada Tuhan, agar kehidupannya di beri kemudahan.

"Tuhan, kumohon, jangan beri aku cobaan di luar batas kemampuanku, Tuhan. Kumohon..." Bisik Lucia diikuti lolosan air mata yang kembali mengalir menganak sungai di pipi putihnya.

...****************...

Lucia Jayanti.

Aldrich Mahendra.

...----------------...

#Warning! cerita ini hanya fiksi.

Mohon kebijakan para pembaca, ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk ya.

Terima kasih.

...----------------...

Aldrich Mahendra, seorang lelaki berumur 25 tahun yang sudah sangat sukses malang melintang di dunia modelling.

Kaya, tampan dan Playboy. Semua itu lah predikat yang yang melekat pada nya.

Selain menjadi seorang model, Aldrich juga piawai dalam menjalankan bisnisnya. Dia memiliki beberapa distro yang penjualannya sangat laris manis bak kacang goreng.

Tentu saja laris, karena dia sendirilah yang menjadi Brand ambassador dari produk-produk yang di jual di distro miliknya.

Siapa wanita di Negara ini yang tidak mengenal seorang Aldrich Mahendra?

Tatapan matanya begitu tajam, senyumnya begitu mempesona, di tambah wajahnya yang simetris dengan rahang tajam terpahat sempurna dan hidung mancung menjulang menambah ketampanannya makin tak ada bandingnya.

Sekali tersenyum, Aldrich bisa mendapatkan wanita manapun yang dia inginkan. Dia adalah seorang Casanova. Semua wanita rela antri untuk bisa tidur dengannya. Mereka tak keberatan walau hanya melakukan hubungan satu malam dengan Aldrich, karena mereka begitu memuja-muja pria tampan itu.

Bagi Aldrich, wanita hanyalah sebuah hiburan, tak lebih. Dia tak pernah jatuh cinta sebelumnya, dia bahkan tidak mengenal cinta.

Cinta? apa itu cinta?!

Aldrich hanya menikmati kesuksesannya saat ini, enggan di pusingkan dengan urusan wanita atau bahkan terikat dengan satu wanita.

Aldrich menyesap wiski nya hingga tandas, lalu dia menatap bartender dan menggoyangkan gelasnya yang sudah kosong.

Si bartender yang sudah sangat mengenal Aldrich, langsung mendekat.

"Wiski dobel tanpa es?" tanyanya, mengulang pesanan Aldrich barusan, siapa tahu pelanggan setianya ini ingin memesan sesuatu yang lain.

"Yes! gue ingin mabok sampai mati, malam ini!" seloroh Aldrich, lalu dia tertawa gelak-gelak. Tampaknya dia sudah mulai mabuk.

"Jangan mati dulu dong tampan, kita belum bersenang-senang." Seorang wanita berambut pirang dan bergelombang indah serta memakai dress yang sangat minim, merangkul pundak Aldrich. Paha Putihnya terbuka sempurna untuk di nikmati semua lelaki yang berada di bar itu.

Aldrich memandanginya tanpa malu, dia tersenyum sambil membasahi bibirnya yang tiba-tiba terasa kering. Dengan susah payah dia menelan Saliva nya hingga jakun yang menonjol di lehernya bergerak naik turun.

Si wanita berambut pirang itu bergelanyut manja di lengan kekar Aldrich, dia berbisik lirih di telinga lelaki tampan itu, hingga membuat Aldrich tergelitik.

Aldrich menarik pinggang ramping si wanita berambut pirang hingga dada penuh berisi si wanita tadi terbentur manja di dada kekar Aldrich. Aldrich menyeringai, lalu tanpa basa basi, mencium bibir si wanita berambut pirang.

Sudah biasa bagi Aldrich jika ada saja wanita yang mendekatinya, mereka semua mengenal Aldrich, sedang Aldrich sendiri tak ambil pusing untuk menanyakan nama para wanita yang berebut ingin dekat dengannya.

Dia tidak mau tahu, karena dia tak ada keinginan untuk menjalin hubungan lebih dalam dengan wanita-wanita ini.

Ini hanya cinta satu malam.

.

"Aahh..." desahan si wanita berambut pirang, membuat hasrat Aldrich makin memuncak.

Kini mereka berdua sudah berada di sebuah kamar hotel yang di pesan Aldrich secara mendadak karena wanita berambut pirang ini terus menerus menggodanya.

"Teruskan Al.. teruskan..." pinta si wanita yang sudah tak bisa menahan gairahnya lagi.

"Slow down baby," bisik Aldrich. Dia mulai merogoh kantong celananya yang tergeletak begitu saja di sampingnya, mencari-cari sesuatu yang sangat penting baginya saat ini.

"****!" Aldrich mengumpat, dia makin tak sabar lalu mulai merogoh kantong celananya yang ada di sisi lain. Karena tak juga menemukan barang yang di carinya, Aldrich mulai kesal. Dia pun berpindah merogoh kantong kemejanya, "dimana dia!!" geramnya.

"Apa yang kau cari, honey?" Si wanita berambut pirang sampai mengangkat tubuhnya dengan kedua siku yang menyangga di atas ranjang. Dia menatap bingung pada Aldrich yang terlihat kesal sambil mengacak-acak baju dan celana panjangnya.

"Kau bawa kond*m?"

"What? nggak! dan kita nggak butuh itu! ayo cepat teruskan." pinta si rambut pirang.

Aldrich menyisir kasar rambut hitamnya dengan jemarinya, dia mendesah kesal. Hasratnya sudah memuncak, apalagi si rambut pirang sudah berbaring terlentang tanpa sehelai kain pun yang menutup tubuh polosnya, seolah menantang dirinya.

"No! aku nggak akan lanjut tanpa kond*m!" Aldrich memakai kembali boxer nya dan berjalan menuju closet.

"What the..." Si rambut pirang memekik tak percaya. Bagaimana tidak? Aldrich menghentikan begitu saja permainan ranjang mereka, padahal dirinya sedang berada di puncak gairah.

Si rambut pirang mendengus kesal lalu mulai mengambil pakaian dalam dan dress mini nya yang teronggok begitu saja di lantai. Memakainya dengan cepat lalu berjalan keluar kamar sambil membanting pintu dengan keras.

Aldrich tak peduli, dia bisa mendapatkan wanita lain dengan mudah. Pergi satu tak ada pengaruhnya sedikitpun pada hidupnya.

Aldrich tak pernah melakukan hubungan s*x tanpa pelindung. Itu sudah menjadi hal wajib baginya. Dia tidak mengijinkan, hubungan satu malamnya membuahkan hasil yang tidak dia inginkan. Di samping itu, dia juga tak yakin akan kebersihan para wanita yang mendekatinya. Entah sudah berapa lelaki yang memasuki nya, Aldrich bergidik ngeri membayangkan jika dia melanjutkan aktivitas ranjangnya tanpa pelindung.

Setelah selesai menyalurkan hasratnya di kamar mandi, dia memunguti baju dan celananya kemudian memakainya lalu berjalan keluar dari kamar.

Mabuknya sudah hilang, dan dia ingin minum lagi. Dia pun berjalan menuju bar yang ada di lantai satu, yang tadi dia datangi.

Kembali duduk di dekat meja bar untuk memesan lagi minuman beralkohol favorit nya.

"Aldrich, sang Casanova. Mimpi apa gue bisa ketemu elo?" tiba-tiba seorang lelaki mendekat dan menepuk pundak Aldrich.

Aldrich menoleh untuk memandang lelaki yang menyapanya, lalu tersenyum kecut. Lelaki itu adalah Boby, teman nongkrongnya.

"Lo, mau ngajak gue tidur juga?" ucap Aldrich sambil menyesap wiski nya.

"Anjir, najis Lo!" Boby duduk di sebelah Aldrich dan meminum segelas Minol yang di pegangnya dari tadi.

"Habis ngamar, Lo, ya?" tanyanya sambil memandangi kemeja Aldrich yang berantakan. Aldrich hanya memasukkan salah satu ujung kemejanya ke dalam celana, sedangkan ujung yang lain menjuntai begitu saja.

Aldrich berdecih, "gue nggak bawa kond*m! gagal jadinya!" Aldrich menenggak wiski nya hingga tandas.

"Lo, terlalu keras sama diri Lo, bro! toh, wanita-wanita itu nggak keberatan kan?"

"Sorry bro, gue yang keberatan! Kebersihan itu yang utama!" ucap Aldrich sambil menggelengkan kepalanya.

"Kalau mau bersih, nikah aja! ngelakuinnya cuma sama istri, Lo, di jamin bersih!"

"Hahaha, istri? buat apa punya istri? gue nggak ada keinginan untuk berkeluarga!" Aldrich menggenggam erat gelas kaca nya yang sudah kosong, kembali teringat masa kecilnya yang kelam.

Aldrich sama sekali tak pernah merasakan kehangatan sebuah keluarga, sedari kecil dia hidup seorang diri, berpindah-pindah dari satu panti asuhan ke panti asuhan yang lain. Kesuksesannya sekarang pun, adalah hasil dari jerih payahnya sendiri.

Keluarga? apa itu keluarga? Aldrich bahkan merasa asing dengan kalimat itu.

"Gue mau balik ke..." Belum selesai Aldrich berbicara, tiba-tiba tubuhnya roboh dan tersungkur ke lantai bar yang dingin. Boby memekik kaget, dan dengan segera menolongnya.

"Telpon ambulance!" teriaknya pada bartender yang terlihat pucat saat Aldrich tumbang.

"Dia bilang, dia mau minum sampai mati. Jangan-jangan, beneran mati dia?" lirih si bartender cemas, lalu buru-buru dia menelpon ambulance.

...****************...

Aldrich Mahendra.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!