NovelToon NovelToon

Tatap Aku, Suamiku

Season 1. Bab 1

Naina Pelangie berusia 17 tahun, begitulah namanya. Gadis remaja yang baru saja melepas seragam putih abu-abu saat dinikahi Pratama Wirayudha berusia 22 tahun. Perkenalan singkat, saat itu Naina yang berprofesi sebagai penyanyi yang tergabung di kelompok seniman jalanan di Yogyakarta. Selain menyalurkan hobinya, Naina menyanyi untuk membantu biaya sekolahnya.

Pratama Wirayudha yang biasa dipanggil Wira, baru saja menamatkan kuliahnya. Ia yang melakukan touring dengan club motornya tengah menikmati malam santai di salah satu ruas jalan di Yogyakarta yang memang terkenal dengan kuliner malam dan hiburan para kelompok seniman jalanan.

Sorot mata pemuda tampan yang terkesima pada gadis manis berkucir kuda, menggenggam erat microphone dengan alunan suara merdunya. Itulah yang membuat Wira memberanikan diri bertanya nomor ponsel dan saling bertukar cerita setelahnya. Dari sekedar bertanya kabar, bertukar kisah hingga muncul getar-getar rasa. Dan mereka pun sepakat Long Distance Relationship. Menjalin asmara yang terbentang jarak antara Jakarta-Yogyakarta.

Setengah tahun dari perkenalan itu, tepat beberapa hari setelah Naina mendapatkan ijazah Sekolah Menengah Atas, Wira yang memang sudah jatuh cinta pada pandangan pertama akhirnya memutuskan membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina pada bibinya. Karena sejak kecil, Naina yang yatim piatu itu tinggal dengan bibinya yang seorang janda tanpa anak.

Tiga hari dari lamaran, mereka pun melangsungkan pernikahan sederhana di tanah kelahiran Naina, Yogyakarta. Tidak ada perhelatan mewah, tidak ada pre-wedding ala anak muda zaman now. Semuanya terjadi begitu cepat. Hanya pengesahan secara agama dan hukum negara, mengundang kerabat dan beberapa orang tetangga kontrakan.

Setelah pernikahan sederhana di Yogyakarta, Wira yang terlahir dari keluarga berada, memboyong istrinya ke Jakarta. Di salah satu hotel bintang lima, di Jakarta inilah keluarga Wira membuat perhelatan mewah untuk resepsi putra semata wayang mereka.

Naina sempat menolak, karena merasa tidak pantas dan berlebihan, tetapi kedua orang tua Wira membujuknya. Mereka benar-benar orang tua yang baik. Mau menerima Naina yang seorang yatim piatu dan hanya terlahir dari keluarga sederhana. Derajatnya diangkat, dianggap seperti putri sendiri.

***

Lima tahun kemudian.

Sejak sore Naina sudah berdandan cantik. Sengaja membawa pulang salah satu koleksi gaun malam terbaik dari butiknya. Ya, selain menjadi istri dari Wira, Naina juga menjadi owner dari Nai’s Boutique. Butik yang menjual pakaian, tas dan berbagai aksesoris wanita yang diimpor dari Thailand, Korea dan Tiongkok. Untuk itu, dalam setahun, Naina harus beberapa kali terbang ke luar negeri demi berbelanja untuk mengisi stok butiknya.

Butik yang baru dua tahun belakangan berdiri, bertempat di sebuah ruko yang tidak terlalu jauh dari kompleks perumahannya. Butik yang memang sengaja dibangun Wira untuk istrinya supaya memiliki kesibukan di sela waktu senggangnya yang hanya menghabiskan seluruh waktunya di rumah.

Wira sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di kantor, tidak jarang harus mengurus bisnis keluar kota, bahkan luar negeri. Sejak menikah lelaki tampan itu mengambil alih tampuk kepemimpinan di perusahaan keluarga. Dan papa Wira memilih pensiun dini dan menyerahkan perusahaan pada putra semata wayangnya.

Ya, rumah tangga keduanya belum dikarunia anak. Sempat beberapa kali Naina hamil, tetapi selalu berakhir dengan keguguran di trimester awal kehamilan. Dan sampai tahun ke lima, rumah tangga mereka masih sepi dari tangis anak kecil.

Beruntung keduanya cukup dewasa dan tidak menjadikan anak sebagai alasan dan pemicu pertengkaran. Setiap hari terasa seperti pacaran.

“Sayang, mungkin karena kita tidak melewati masa pacaran seperti pasangan lain, jadi Tuhan memberi kita kesempatan pacaran setelah menikah. Kita bisa pacaran sampai puas.” Ucapan Wira yang selalu menenangkan hati istrinya, biasa diselingi dengan hujan kecupan di wajah cantik Naina.

Demikian juga kedua orang tua Wira, mereka adalah orang tua yang cukup pengertian dan menyerahkan sepenuhnya keputusan itu pada anak-anaknya.

Naina tersenyum menatap meja makan yang sudah ditata sedemikian rupa. Ia pulang lebih cepat hari ini untuk merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke lima. Masih menyempatkan memasak makan malam dibantu Mbok Sumi, asisten rumah tangganya. Semua yang tersaji di atas meja adalah menu kesukaan Wira.

Jam di dinding berdetak, berjalan melambat.

“Menunggu memang melelahkan. Waktu terasa berjalan lambat,” keluh Naina, menatap jam bulat berbingkai keperakan. Saat ini hampir pukul 21.00 malam. Sudah terlewat dua jam dari janji yang diucapkan Wira di telepon tadi siang. Sudah berulang kali Naina menghubungi Wira, tetapi tidak ada satu pun panggilannya tersambung dengan sang suami.

Makanan yang ditata di atas meja sudah mendingin. Kantuk pun mulai menyerang, saat bunyi ponselnya berdering pelan dan teratur. Senyum Naina terkembang saat mendapati Wira yang menghubunginya.

“Mas, kamu sudah di mana?” tanya Naina, begitu ponsel itu menempel di indra pendengarannya.

“Sayang, Mas minta maaf. Mas masih di jalan. Mungkin sedikit terlambat. Ada meeting mendadak yang tidak bisa Mas tinggal,” sahut Wira, terdengar menghela napas penuh sesal.

“Ya, Mas. Nai menunggu Mas saja.”

“Kalau Nai sudah lapar, makan dulu saja. Tidak perlu menunggu Mas,” ucap Wira.

“Tidak, Mas. Ini 'kan perayaan ulang tahun pernikahan kita yang ke lima. Nai menunggu Mas, kita makan malam sama-sama,” tolak Naina.

“Baiklah. Mas akan usa ....” Wira tidak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba dari arah depan, sebuah mobil terguling dan memaksa Wira berkonsentrasi dengan kemudi kembali. Ponselnya terjatuh saat menginjak pedal rem tiba-tiba.

Decitan mobil terdengar begitu kencang bergabung dengan jeritan suara wanita yang terdengar dari gawai tipis Naina.

“Aahh, Mas!” pekik suara wanita asing yang tertangkap di telinga Naina, menjerit dan terdengar begitu jelas dari ponsel pintarnya. Setelah itu hening, tidak terdengar apa-apa.

Naina yang mendengar dari seberang tidak kalah panik. Berulang kali memanggil nama suaminya. Berbagai pikiran buruk pun melintas di otak. Matanya sudah mengembun saat berulang kali memanggil nama suaminya tetapi tidak mendapat respons.

“Mas!”

“Mas!”

“Mas!”

“Mas Wira!”

“MAS WIRA!!” teriak Naina dengan sekuat tenaga. Berdoa dan berharap tidak terjadi sesuatu pada suaminya. Hampir putus asa. Mata yang tadi mengembun sekarang mulai luruh. Titik-titik air yang menggenang, mulai turun tanpa terbendung, membasahi wajah cantiknya.

“Mas,” isak Naina, sembari memanggil suaminya.

“Jangan menakutiku. Kamu baik-baik saja 'kan, Mas. Tolong jawab aku,” isak Naina. Tubuhnya melorot ke lantai, hilang tenaganya.

“Bu, apa yang terjadi?” tanya Mbok Sumi, asisten rumah tangga yang kebetulan hendak ke dapur untuk mengambil minum.

“Suamiku, Mbok. Aku takut sekali. Tadi kami sedang berbincang di telepon. Tiba-tiba suara Mas Wira menghilang. Hanya terdengar suara benturan yang begitu keras dan jeritan seorang wanita,” jelas Naina gemetar, ketakutan.

Mbok Sumi segera berlari ke dapur mengambil segelas air putih. Tak lama asisten rumah tangga itu sudah kembali lagi dan membantu memapah majikannya duduk di kursi.

“Diminum dulu, Bu,” ucap Mbok Sumi pelan.

***

Tbc

S1. Bab 2

Naina berusaha menenangkan dirinya setelah meneguk habis segelas air putih yang disodorkan Mbok Sumi padanya. Mengusap dadanya sendiri, kemudian mengambil kembali ponsel yang diletakkannya di atas meja. Panggilan itu masih tersambung.

“Mbok Sumi bisa kembali ke kamar sekarang. Aku sudah tidak apa-apa,” pinta Naina. Ia tidak ingin terlihat asisten rumahnya kalau sedang mencurigai suaminya sendiri.

Naina bisa mendengar percakapan suaminya dengan seorang wanita. Otaknya sedang merangkai kata- kata yang tertangkap oleh indra pendengarannya.

“Kamu tidak apa-apa. Maaf." Samar terdengar suara Wira dari gawai rosegold dengan logo apel sisa gigitan.

“Ya, Mas,” sahut sang wanita tidak kalah lembutnya.

“Aku akan mengantarkanmu pulang. Ini sudah terlalu malam, kasihan Nola sendirian di rumah.” Kembali terdengar suara Wira.

“Ya, Mas.” Lagi-lagi Naina bisa mendengar suara lembut seorang wanita. Semakin didengar Naina merasa semakin familier dengan suara wanita itu.

Naina masih konsentrasi, memfokuskan pendengarannya saat panggilan telepon itu terputus. Ia tidak bisa terus menguping pembicaraan suaminya dengan wanita asing itu lagi.

Jantungnya berdegup, hatinya terasa tertusuk sembilu. Menelungkupkan wajahnya di atas meja, kepala Naina berdenyut menahan sakit. Ia yang terlalu berburuk sangka atau memang suaminya menyembunyikan sesuatu di luar sana, di belakangnya.

Selama ini Wira terlihat baik-baik saja. Setiap hari menghabiskan waktu bersamanya, bahkan suaminya itu sangat jarang pulang malam. Hubungan mereka pun tetap akur, tidak memudar sama sekali. Semakin hari, semakin mesra layaknya ABG yang baru merasakan cinta pertamanya. Sikap posesif Wira pun masih tetap sama, sejak awal menikah sampai sekarang. Rasanya aneh kalau suaminya memiliki kesempatan menduakannya di luar sana.

***

Deru mobil memecah keheningan malam. Waktu di dinding sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam kala itu. Tak lama, terdengar suara gemerincing anak kunci yang bertabrakan satu sama lain, berputar di dalam lubang pintu.

Muncul wajah lelah lelaki tampan, menenteng jas kerjanya. Ia harus menutup kembali pintu utama itu perlahan supaya tidak membangunkan seisi rumah. Melempar kasar jas ke atas sofa ruang tamu, langkah kaki mengantar Wira ke dapur untuk mengambil segelas air dingin. Tenggorokannya kering, butuh mendapat guyuran air dingin.

Jantungnya berdetak kencang, kedua kaki membeku di tempatnya berdiri kala mendapati istrinya, Naina sedang tertidur di meja makan. Merebahkan kepalanya di samping beraneka masakan yang ditata indah di atas piring keramik. Lilin putih memendek dan sudah padam menandakan kalau Naina menunggunya sudah terlalu lama.

“Sayang,” bisiknya pelan. Rasa bersalah mendominasi, mencengkeram hatinya.

“Sayang, bangun. Mas pulang,” bisik Wira lagi. Kali ini menghadiahkan kecupan ringan di pipi Naina yang disapu blush on merah muda tipis. Dada Wira bagai dihantam godam saat melihat makanan yang belum tersentuh sama sekali. Itu artinya Naina belum makan sejak sore.

“Sayang, bangun. Ayo kita makan.” Wira sudah berjongkok di sisi Naina, menyejajarkan tingginya dengan sang istri yang terkulai lemas, terlelap.

Wajah tampan itu bisa tersenyum lega, saat kelopak mata indah Naina perlahan membuka. Berkedip layak boneka barbie sampai akhirnya menampilkan mata indah yang membuatnya jatuh cinta dan menggila selama lima tahun ini.

“Happy anniversary, Sayangku, Manisku, Istriku,” ucap Wira, mengecup lembut bibir tipis Naina yang selalu memabukkannya setiap saat. Lelaki itu terlihat merogoh saku celananya, seperti mencari sesuatu yang disimpannya di dalam sana.

“Aneh. Ke mana jatuhnya hadiah untuk Naina? Padahal aku sudah menyiapkannya jauh-jauh hari,” ucapnya dalam hati.

“Mungkin terjatuh di mobil atau ... ah, tidak mungkin di rumahnya,” ucap Wira dalam hati.

“Mas sudah pulang?” tanya Naina, membuyarkan lamunan Wira. Naina langsung mencium punggung tangan suaminya sembari menahan kantuk. Tersenyum setelahnya, seolah lupa dengan kegundahannya akan wanita asing yang menemani malam suaminya.

“Maafkan aku, Sayang,” sahut Wira, mengecup kening istrinya.

“Ayo kita makan,” ajak Wira, menarik kursi dan duduk tepat di sebelah Naina. Lelaki itu dengan lincah menyendokkan nasi putih beserta lauknya ke dalam piring Naina.

“Mas, sudah. Biar Nai saja,” tolak Naina, saat melihat suaminya melayaninya.

“Tidak apa-apa. Mas ingin melayani istri Mas, di hari jadi kita. Semoga setiap tahun kita selalu bersama sampai menua,” lanjut Wira.

“Amin Mas,” sahut Naina, menangkupkan kedua tangannya di dada.

Setelah piringnya terisi makanan, Naina mengambil alih piring sendok nasi dan bermaksud melayani suaminya seperti biasa. Mengisi piring itu dengan nasi dan lauk-lauk kesukaan Wira yang dimasaknya sendiri.

“Sudah, Nai. Cukup,” tahan Wira. Dia sudah makan di luar, perutnya masih kenyang.

Naina mengerutkan dahinya, heran. Tidak biasanya Wira menolak makan banyak, apalagi kalau yang menjadi lauk adalah menu kesukaannya. Malahan lelaki itu akan menambah porsi makannya lebih dari biasanya.

“Mas yakin hanya segini?” tanya Naina.

“Ya, Mas ingin cepat-cepat memelukmu di kamar,” bisik Wira, menarik pinggang istrinya supaya duduk di pangkuan seperti biasa.

“Mas tidak boleh terlalu kenyang, Mas harus menyediakan tempat supaya bisa melahapmu, Nai,” lanjut Wira.

“Mas, lepaskan. Kita mau makan,” ucap Naina, tertawa geli saat Wira menyibak rambut panjangnya mempertontonkan punggung telanjang yang tidak tertutup benang sama sekali.

“Kamu mau menggoda Mas dengan gaun kurang bahan seperti ini?” tanya Wira, mengecup basah punggung mulus istrinya. Naina menggelinjang kegelian. Tubuhnya meremang seketika. Lapar yang sejak tadi ditahannya lenyap entah ke mana seiring perlakuan intim Wira.

“Aku sudah tidak tahan, Nai. Habiskan makananmu secepatnya. Jadi punya tenaga bertarung denganku,” ucap Wira menggoda. Napas beratnya sengaja dihembuskan di telinga yang tergantung anting panjang dengan taburan berlian.

“Ih Mas. Jangan seperti ini,” ucap Naina. Menggenggam tangan Wira yang mengunci perutnya.

“Maafkan aku, Nai. Aku sudah membeli hadiah untukmu dari beberapa hari yang lalu, tetapi sepertinya terjatuh saat aku mengalami kecelakaan kecil tadi,” jelas Wira.

Deg—

Naina seperti diingatkan kembali. Kehadiran Wira begitu membuatnya bahagia, sampai lupa dengan pikiran-pikiran buruk yang sempat beterbangan di otaknya.

“Mas, apa yang terjadi? Mas baik-baik saja?” tanya Naina, mencecar Wira dengan banyak pertanyaan. Tubuh yang masih betah duduk di pangkuan Wira itu berbalik, menatap suaminya untuk memastikan lelaki tampan miliknya itu baik-baik saja.

“Hanya kecelakaan kecil, Sayang. Aku baik-baik saja,” ucap Wira, kembali melabuhkan kecupan di pipi Naina.

“Emmm ... Mas, tadi bersama siapa? Em ... Nai mendengar suara wanita di samping Mas,” tanya Naina ragu. Kepalanya tertunduk dengan tangan saling meremas. Tidak mau terlihat curiga.

Wira tersenyum, mengeratkan belitan tangannya pada pinggang sang istri.

“Mas dengan Stevi, sekretaris Mas,” jawab Wira.

“Mas kan cerita tadi ada meeting di luar, Sayang,” jelas Wira lagi, mencubit ujung hidung mancung Naina.

Seketika Naina menepuk dahinya sendiri. “Ya Tuhan. Maafkan Nai, Mas,” sahut Naina. Ia mengingat kembali, pantas saja suara wanita itu begitu familier. Ternyata itu suara Stevi, sekretaris suaminya sendiri.

Sebuah kecupan permintaan maaf dilabuhkan Naina di pipi suaminya. “Nai mencintaimu, Mas Wira.”

“Hidupku milikmu, Nainaku.”

***

Tbc

S1. Bab 3

Sepasang suami istri itu baru saja mengarungi indahnya puncak asmara. Masih dengan napas tersengal, Wira menghunjami Naina kecupan basah, hampir di seluruh wajah cantik yang kelelahan melayani gairahnya.

“Thanks, Sayang. Love you all the time,” bisik Wira masih belum rela melepas penyatuannya setelah pergulatan panas begitu menggelora. Tersenyum menatap kagum tubuh terkulai tidak berdaya setelah pertempuran yang baru saja mereka lakoni.

Tubuh mungil yang masih berada di bawa kungkungannya, bermandikan peluh dan keringat. Begitu mengkilap kala tersorot kemilau lampu kamar, putih mulus bak porselen. Pemandangan yang membuat Wira tergoda setiap saat. Naina selalu terlihat menggairahkan dengan tubuh polos tanpa sehelai benang, begitu pasrah di bawah kekuasaannya.

“Sayang, kamu lelah?” tanya Wira, mengukir lekuk wajah Naina dengan ujung telunjuk.

“Sayang,” sapa Wira dengan aksen manjanya, melihat Naina tidak membalas pernyataan cintanya. Mata indah itu terpejam dengan napas tersengal, kelelahan setelah memadu cinta.

“Hmm,” gumam Naina, tersenyum begitu cantik.

“Tidurlah,” bisik Wira, mengecup pipi kiri dan kanan Naina. Kemudian melepas penyatuannya dengan perlahan.

Terdengar lenguhan pelan istrinya saat keintiman itu berakhir. Wira tidak tega, istrinya sudah terlampau lelah. Ia hanya bisa menarik selimut untuk menutup tubuh indah Naina dan menyusul tidur di samping wanita cantik yang mengisi ranjangnya selama lima tahun ini.

Senyumnya kembali merekah, kala menatap gundukan kembar yang kenyal dan begitu menggoda, penuh tanda kemerahan hasil karyanya.

***

Naina terbangun saat jam di dinding menunjukkan pukul 05.00 pagi. Mengerjap perlahan, mengumpulkan nyawanya yang mengembara selama tidur. Kedua sudut bibir tertarik ke atas saat mendapati Wira yang tidur sembari memeluknya. Begitu dekat hingga kulit tubuh menempel lekat, bahkan Naina bisa merasakan embusan napas teratur suaminya yang menerpa mengenai kulit tubuhnya.

Perlahan, memindahkan lengan yang membelit dirinya, Naina segera ke kamar mandi, menyalakan air panas untuk membersihkan diri. Tubuhnya masih lengket keringat, bahkan aroma maskulin suaminya bercampur merasuk di kulitnya.

Setelah mandi, Naina langsung berganti dengan setelan kaus biasa dan celana pendek bahan. Ia harus menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum berangkat ke kantor. Di rumah mereka memang ada Mbok Sumi, tetapi untuk pekerjaan memasak, Nainalah yang mengurus semuanya. Suaminya sudah terbisa dengan makanan buatan tangannya. Bahkan, di kala Naina sibuk dengan butiknya sekalipun, tetap harus menyiapkan makanan untuk suaminya.

Keluar kamar dengan rambut dicepol asal, Naina bergegas menuju dapur. Menu pagi ini adalah nasi goreng spesial telur dadar. Seperti biasa, begitu keluar Naina sudah disambut senyum bahagia Mbok Sumi.

“Pagi Mbok, semua bahan sudah siap?” tanya Naina.

“Sudah Bu.” Asisten rumah tangga paruh baya itu menyingkir dari tempatnya berdiri. Memberi ruang untuk majikannya mengambil alih semua bahan yang tadi sudah dipotongnya.

“Bu, masakan yang kemarin masih banyak sisa. Apa mau dipanaskan?” tanya Mbok Sumi. Wanita paruh baya itu memilih mencuci piring, sembari melirik Naina yang mulai memanaskan minyak di penggorengan, bersiap membuat telur dadar.

“Masih bagus?” tanya Naina, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan panas di depannya.

“Masih, Bu.”

“Kalau Mbok Sumi mau, boleh dipanaskan. Aku hari ini mau ke kantor Mas Wira membawakan makan siang, jadi nanti tidak makan siang di rumah.”

“Ibu tidak ke butik?” tanya Mbok Sumi heran. Tidak biasanya majikannya tidak ke butik.

“Pergi sebentar, Bu. Setelah itu mau ke kantor Mas Wira, mungkin pulangnya mau mampir ke rumah Mama bersama Mas Wira,” jelas Naina.

“Jadi kita tidak makan siang dan makan malam di rumah?" lanjut Naina lagi.

Mbok Sumi mengangguk. Kali ini pandangannya tanpa sengaja tertuju pada leher jenjang majikannya yang mulus dengan dipenuhi tanda kemerahan. Melihat itu saja, Mbok Sumi tahu seberapa mesra hubungan kedua majikannya. Tidak jarang, tanpa sengaja melihat keduanya berciuman di salah satu sudut rumah ini, yang akhirnya membuat dirinya malu sendiri.

Mbok Sumi masih senyum-senyum sendiri mengingat kelakuan majikannya, tiba-tiba Wira sang majikan laki-laki sudah berdiri di antara mereka, bergabung di dapur menemani istrinya. Cukup dengan kode lirikan mata dari Wira, Mbok Sumi sudah paham. Menyingkir dan memberi kesempatan keduanya melanjutkan keintiman yang dibawa dari kamar tidur.

“Morning, Nainaku,” sapa Wira, tiba-tiba memeluk istrinya dari belakang. Kecupan demi kecupan sudah menghunjami wajah segar tanpa sapuan make-up itu.

“Ah, Mas Wira! Mengagetkanku saja,” protes Naina. Sodet di tangannya terlepas, mengusap bekas kecupan suaminya yang membasahi hampir seluruh area wajahnya.

“Kenapa tidak membangunkan Mas?” tanya Wira, mengeratkan belitan di perut istrinya. Lelaki tampan itu sudah mengambil alih sodet dari tangan Naina, membantu membolak-balikkan telur di atas wajah.

“Mas sepertinya kelelahan. Nai tidak tega membangunkanmu, Mas,” jelas Naina, mengusap tangan kiri Wira yang masih betah memeluknya.

“Ini sudah, Nai,” ucap Wira, mengangkat telur dan meletakannya di atas piring yang dipegang Naina.

“Ayo, kita lanjutkan. Seperti biasa, aku yang memasak, Nai yang memasukkan semua bahannya,” ucap Wira mengedipkan sebelah matanya, menatap Naina yang berbalik melihatnya.

Naina segera memasukkan sedikit mentega ke dalam penggorengan. “Mas tolong pelukannya jangan terlalu kencang,” protes Naina, saat dia kesulitan bergerak karena ulah tangan Wira yang membelit pinggangnya.

“Ssst, jangan berisik, Nyonya. Ini namanya romantis,” sahut Wira masih memegang sodet di tangan kanannya. Bersiap mengaduk-aduk bahan yang dimasukkan istrinya ke dalam penggorengan.

“Pelan-pelan, Sayang. Ini kebanyakan. Susah mengaduknya,” protes Wira, saat Naina memasukkan sayuran potong.

“Nanti juga layu, Mas.”

“Ya sudah bantu pegang wajannya. Ini susah, Sayang, jadi bergeser. Tangan kiriku tidak mau berpindah, dia sudah nyaman di sarangnya,” perintah Wira lagi. Masih belum rela melepas pelukannya pada sang istri, sebaliknya, tangan itu semakin nakal menyusup masuk ke kaus longgar yang dikenakan Naina dan merayap naik ke atas.

“Sayang, jangan seperti ini,” keluh Naina. Di saat konsentrasi suaminya mulai terbagi. Tangan kanan sibuk mengaduk nasi goreng, tangan kiri Wira mulai nakal, menjelajah area favoritnya.

“Astaga, Nai. Kamu tidak mengenakan bra,” ucap Wira, menangkup salah satu gundukan kembar istrinya.

“Mas, sudah. Nanti nasi gorengnya gosong,” protes Naina, yang hampir menggila karena ulah Wira. Nafasnya mulai memburu, memejamkan matanya saat lelaki tampan yang berdiri di belakangnya mulai mengeksplor bukit kembarnya, yang menjadi salah satu keajaiban dunia, menurut Wira.

Naina masih berusaha merapikan kausnya yang tersingkap, napasnya tersengal. Ia sudah lupa dengan nasi gorengnya. Wiralah yang menyelesaikan memasak nasi goreng itu sampai matang. Naina sudah melayang ke awang-awang hanya dengan ulang tangan Wira yang usil, mata terpejam menikmati sensasi perlakuan suaminya.

Saat bunyi kompor dimatikan, Naina membuka pandangannya.

“Mbok Sumi!” teriak Wira memanggil pembantunya itu dengan suara kencang. Pria itu tahu kalau perempuan tua itu bersembunyi tidak terlalu jauh dari mereka.

“Ya, Pak.” Buru-buru Mbok Sumi mendekat, sembari membungkuk dan mengulum senyuman.

“Tolong rapikan semuanya. Pindahkan nasi gorengnya ke piring. Tata ke meja!” perintah Wira, mengecup pucuk kepala istrinya.

“Naik ke gendongan, Nai!” perintah Wira. Dalam sekejap, Naina sudah meloncat naik, dengan kedua kaki membelit pinggul suaminya dan kedua tangan terkalung di leher Wira.

“Bayi koala imutku,” ucap Wira menggendong istrinya kembali ke kamar, sembari mengecup bibir tipis Naina yang seperti candu baginya.

***

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!