NovelToon NovelToon

Tentang Hati

Chapter 1

Rintik hujan mengguyur bumi. Hembusan angin yang cukup kencang pun turut menyertai suasana sendu sore itu. Namun hal tak bersahabat tersebut tak menyurutkan langkah seorang pemuda untuk menuju suatu tempat dengan hati yang berbunga-bunga.

Pemuda itu berhenti di salah satu rumah yang cukup mewah. Setelah sedikit berbenah, dia pun menekan bel pintu.

Ting tong..

Kriet..

"Hhmm.. Kamu telat 2 menit."

"Maaf sayang.. hujannya gak ada kompromi sama sekali."

Dia tersenyum menatap pacarnya. Evan, itulah nama cowok itu. Dengan postur tubuh yang menjulang tinggi dan terlatih, senyum menawan, dan sorot mata tajam namun menenangkan, tak heran jika banyak cewek tergila-gila padanya termasuk sosok yang menjadi pacarnya sekarang.

"Yuk masuk." Ria, itulah nama sang pacar.

Mereka pun duduk di ruang tamu. Ria lalu merapatkan badannya ke Evan sambil sesekali bermanja-manja di bahu sang pacar.

"Ehem.."

Suara dehem tersebut langsung membuat mereka menjaga jarak dan duduk tegak. Tampak seorang laki-laki berumur berjalan mendekati Evan dan Ria.

"Pa-papi.. Kenalin, ini Evan."

Evan mengulurkan tangannya ke ayah Ria, namun laki-laki itu hanya menatapnya datar.

"Ria bilang kamu ingin bertemu dengan saya. Ada perlu apa?"

Evan sedikit salah tingkat tak kala ayah Ria menatapnya dengan tatapan acuh. Namun dia sudah mengumpulkan keberanian untuk bicara dengan ayah Ria hari ini.

"Saya ingin melamar putri om."

"Melamar?"

"Iya pi. Ria dan Evan sudah 2 bulan pacaran. Kami sepakat untuk segera menikah." jawab Ria sumringah.

"Berapa umur kamu?"

"18 tahun om."

"Pekerjaan?"

"Pembalap."

Ayah Ria kini menatap putrinya dengan tajam yang membuat Ria merasa bahwa sang ayah tak menyukai Evan.

"Papi tidak setuju."

"Kenapa pi? Ria cinta sama Evan." protes Ria.

"Apa kamu pikir cinta bisa membuat kamu kenyang?"

"Saya kerja om. Saya yakin bisa membahagiakan Ria."

"Saya yang tidak yakin. Emang berapa penghasilan seorang pembalap? Gaji juga kalau ada event aja kan? Mana cukup buat biaya hidup kalian berdua. Saya tetap tidak setuju!"

"Tapi om.."

"Silahkan."

Ayah Ria berdiri lalu membuka pintu rumahnya dan mengusir cowok itu secara halus.

Ria pun memohon kepada sang ayah untuk merubah keputusannya, namun hal itu sia-sia.

Ayah Ria lalu menahan tubuh putrinya yang akan membuntuti Evan dan membiarkan cowok itu keluar rumah dengan wajah lesu.

Brakk!

Evan hanya menatap pintu yang tertutup itu. Dia bisa mendengar Ria dan ayahnya berdebat di dalam sana tentang dirinya.

"Terjadi lagi." ucap Evan dengan senyum kecut.

Dia lalu melangkah menuju motor hitam yang terparkir di halaman, memacu motor itu menerobos hujan yang turun semakin deras.

Pikiran cowok itu melayang jauh. Tiba-tiba dia mengingat masa-masa ketika masih duduk di bangku sekolah.

Sudah banyak cewek yang dia jadikan pacar hanya untuk bermain-main. Evan ingin memuaskan dahaganya tentang sesuatu yang dia sebut sebagai cinta.

Apalagi dengan wajah rupawan yang dimilikinya itu tentu para cewek langsung menjawab 'iya' saat Evan menyatakan cinta.

"Hoi! Cari mati lo?!"

Ckiitt!

Evan langsung mengerem motor. Roda dua itu berhenti beberapa senti tepat sebelum dia menabrak truk yang tengah parkir di bahu jalan.

Sopir truk yang kebetulan melihat Evan berkendara spontan berteriak saat cowok itu hampir menabrak truknya. Dia lari tergopoh-gopoh menghampiri Evan yang masih terlihat kaget.

"Lo bosen hidup?! Kalau ada apa-apa gue juga yang kena!"

"Sorry bang."

Sopir itupun memperhatikan Evan dengan seksama dan dia tahu pikiran pemuda itu tidak pada kondisi dimana dia bisa mengendarai motor.

"Hah.. Lo bikin gue jantungan aja! Sini ngopi dulu." ucap sopir truk seraya mengajak Evan beristirahat sebentar di warung kopi yang berada tak jauh dari mereka.

Chapter 2

Sudah sebulan berlalu sejak penolakan yang dialami oleh Evan. Selama itu pula dia terus berpikir mengenai apa yang telah terjadi.

Ping..

Pemuda tampan itu menaruh barbel yang dipegangnya dan meraih handphone.

"Evan please bales pesan aku.. Apa kamu gak ingin perjuangin hubungan kita?"

Evan kembali meletakkan handphone di meja setelah membaca pesan singkat dari Ria. Dia lalu merebahkan badan di tempat tidur, memandang berbagai macam medali penghargaan yang terpajang di dalam kamar.

Bukannya Evan tak ingin berjuang, namun dia tahu hal itu tak ada gunanya mengingat ayah Ria yang tak menyukai Evan.

Ditambah lagi pria itu telah menghina profesi kebanggaannya sehingga Evan enggan meneruskan hubungan dengan Ria.

"Apa salahnya jadi pembalap?"

Evan terus mempertanyakan pertanyaan serupa di dalam hati. Dia sudah meraih cita-citanya sebagai pembalap profesional walaupun belum berhasil bersaing di kancah internasional,

Di sisi lain Evan telah hidup sendiri semenjak lulus SMA. Tak ada orang yang bisa diajak berbagi.

Tak ada teman satu pun yang berhasil dia hubungi padahal mereka mengatakan pada Evan bahwa mereka adalah teman selamanya.

Keluarga nya pun acuh padanya saat dia memutuskan untuk menjadi pembalap. Bagi keluarganya, Evan hanya membuang waktu dan mereka memilih pergi menjauh dari pemuda itu entah kemana.

Ditambah lagi kisah cintanya yang selalu berakhir menyedihkan. Semua hal yang dialami Evan telah membuat pemuda itu menjelma menjadi sosok yang kesepian.

Dia lalu bangun dan mengambil buku kecil di meja. Terlihat ada delapan nama yang sudah dicoret dengan tinta merah.

Nama-nama itu adalah deretan mantan Evan yang telah dia datangi untuk meminta maaf dari mereka semua.

Dia berpikir mungkin apa yang dia alami sekarang adalah karma karena telah mempermainkan hati banyak cewek di masa lalu.

Berbagai macam reaksi pun Evan terima. Ada yang dengan mudah memaafkan, ada yang emosi dan menampar Evan, ada juga yang sudah melupakan Evan tanpa beban. Namun dia menerima semua itu dengan lapang dada.

Evan berharap dengan meminta maaf, cerita cinta nya akan berubah manis. Dia lalu memandang satu nama terakhir, Dea.

"Gue harap dia juga mau maafin gue."

**

"Huft.."

Evan menghela napas berat sebelum mengetuk pintu di hadapannya.

Tok tok..

Tak berselang lama pintu itu terbuka. Terlihat seorang pria tegap menyambut kedatangan Evan. Dilihat dari segi manapun pria itu pasti merupakan pengawal keluarga Dea.

"Iya mas? Ada yang bisa saya bantu?"

"Dea nya ada om?"

"Hhmm.. Mas siapa?" tanya pria itu menyelidik.

"Saya Evan, teman sekolahnya."

Tanpa peringatan, pria tegap itu langsung memukul Evan hingga terhuyung. Dia berusaha memukul Evan sekali lagi, namun kali ini Evan berhasil menangkis pukulan nya.

"Tunggu! Salah saya apa om?!"

"Gak ada. Cuman bos bilang kapan pun ada pemuda bernama Evan, saya harus kasih dia pelajaran."

"Bos?"

"Ya, ayah Non Dea."

(Kenapa ayah Dea nyuruh pengawalnya mukulin gue?!)

Pengawal itu terus menghujani Evan dengan pukulan. Sampai pada suatu titik Evan terpojok dan menerima hantaman bogem mentah sekali lagi dengan lebih keras. Darah pun mengucur dari ujung bibirnya.

Saat pengawal itu bermaksud meninju Evan untuk yang kesekian kalinya, terdengar teriakan dari dalam rumah.

"Stop!"

Kepalan tinju sang pengawal berhenti tepat sebelum menyentuh wajah Evan. Mereka berdua menoleh ke arah pintu masuk dan terlihat lah seorang cewek berjalan keluar dibantu dengan kursi roda.

Cewek itu terpaku saat mengetahui tamu yang mencarinya. Evan pun tak kalah kaget melihat cewek itu.

"Dea?"

Chapter 3

"Berhenti om, please.. Kenapa om mukulin dia kayak gitu?! Berhenti sekarang juga!"

"Tapi non, tuan besar bilang.."

Pengawal itu melangkah mundur menjauhi Evan saat Dea mendorong kursi rodanya maju ke arah anak tangga di depan pintu.

Ancaman itu rupanya berhasil menahan sang pengawal untuk tidak melanjutkan memukul Evan.

"Udah lama ya Van.."

Evan hanya terpaku melihat Dea dalam kondisi yang di luar dugaan. Dia mendekati cewek itu lalu berjongkok di sampingnya. Dari jarak sedekat itu Evan baru menyadari bahwa sebelah kaki Dea tidak ada.

"I-ini.. Kenapa?" tunjuk Evan ke bagian tubuh bawah Dea yang tertutup selimut.

"Gak apa-apa.. Aku cuma kurang hati-hati aja."

"Dea!"

Gelegar suara itu memenuhi seisi rumah. Munculah seorang pria paruh baya yang menghampiri Dea dengan terburu-buru.

Napas pria itu terengah-engah, entah apa yang telah dia lakukan di dalam sana hingga bahunya terlihat naik turun saat bernapas.

"Ayah udah bilang jangan keluar rumah! Gimana kalau kamu jatuh?!"

"Ayah selalu kuatir berlebihan."

"Ini siapa?" tanya sang ayah saat menyadari kehadiran Evan di rumahnya.

"Ini Evan yah."

"Evan? Yang teman sekolah kamu dulu?"

"Iya."

Wajah ayah Dea berubah merah padam. Tampak sekali kemarahan kini menguasai dirinya. Pria itu berdiri memandang pengawal yang berdiri diam tak jauh dari mereka.

"Kamu lupa perintah saya?"

"Maaf bos. Tapi Non Dea mengancam menuruni tangga kalau saya gak berhenti."

"Kamu lupa siapa yang bikin kamu kayak gini Dea?!" tanya pria itu ke cewek yang kini tertunduk di kursi roda.

"Ini bukan salah dia yah."

Evan sangat bingung mendengar pembicaraan antara ayah dan anak itu. Apa yang telah di lakukan nya pada Dea?

Dulu saat berpacaran dengan Dea jangankan mencium, memegang tangannya pun hanya sekali karena mereka menjalin hubungan hanya dua minggu.

Evan sungguh tak mengerti sampai ayah Dea kembali bicara. Kali ini apa yang akan dia ungkapkan benar-benar membuat Evan shock.

"Karena putus dengan pemuda ini kan kamu ngebut waktu itu?! Lihat akibatnya! Kamu harus merelakan kaki kanan mu setelah mengalami kecelakaan parah!"

(What?!)

"Tapi itu karena Dea sendiri yang ceroboh yah.."

"Bagi ayah semua ini karena dia! Dia yang buat kamu patah hati sampai gak fokus nyetir! Prapto!"

Teriakan ayah Dea mengundang tiga pengawal lainnya dari berbagai penjuru rumah. Evan sadar hal itu merupakan pertanda buruk baginya dan benar saja, empat pengawal itu segera memburu Evan walaupun Dea berteriak histeris berusaha menghentikan apa yang akan mereka lakukan.

Pemuda itu bertahan dari serangan pengawal ganas keluarga Dea. Sebenarnya Evan menguasai teknik karate, namun pertarungan yang terjadi sebelumnya rupanya menguras energi dan lama kelamaan dia pun terpojok.

Bag! bug!

"Ayah suruh mereka berhenti! Dia bisa masuk rumah sakit kalau dipukulin kayak gitu!"

"Ini bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan apa yang sudah kamu alami." jawab ayah Dea sambil menatap Evan dengan wajah datar.

Entah berapa banyak pukulan yang mendarat di tubuh Evan dan pemuda itu meringkuk di tanah. Dalam keadaan seperti itu, Evan masih sempat melihat ke arah Dea yang menangis dan memohon untuk kebebasannya.

(Maafin gue Dea..)

Setelah melihat Evan yang tak berdaya, ayah Dea menyuruh para pengawalnya mengusir Evan. Dia lalu membawa Dea masuk kembali ke dalam rumah.

Bruk!

Para pengawal itu melempar tubuh Evan begitu saja keluar dari area rumah Dea. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Evan pun berjalan tertatih-tatih menuju motornya yang terparkir tak jauh dari gerbang.

Evan terjatuh berkali-kali karena luka yang memenuhi sekujur tubuh. Pukulan dan tendangan seakan masih bisa dia rasakan, darah serta memar pun ada di mana-mana.

Evan merasa hari ini adalah hari terburuk. Dia masih telungkup di tanah saat hujan mulai turun. Pemuda itu pun tersenyum kecut. Dia pasrah membiarkan air hujan membasahi tubuhnya yang sudah lelah.

(Seperti biasa, semua ini harus gue lalui seorang diri)

"Astaga! Mas? Mas gak apa-apa?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!