Namanya Dijah. Nama panjangnya ada, bagus dan sangat indah malah. Tapi sejak kecil ia dipanggil dengan sebutan Dijah saja.
Umurnya baru 23 tahun, tapi statusnya adalah janda beranak satu. Anaknya seorang laki-laki berusia 5 tahun. Dijah menikah di umurnya yang belum genap 17.
Kenapa menikah begitu cepat? Dijah genit atau hamil lebih dulu? Tidak. Ayahnya berhutang banyak untuk pengobatan sakit diabetes ibunya pada seorang agen sabu di daerah mereka. Dijah yang manis dan masih muda, menjadi korban transaksi perdagangan manusia terselubung itu.
Anak orang tua Dijah ada lima orang, dua orang wanita yang sulung menjadi TKI di negeri Jiran. Dan dua orang anak laki-laki lainnya menikah cepat dan juga hidup pas-pasan sebagai pedagang kaki lima di bawah jembatan penyeberangan.
Sebut saja Dijah tinggal di kota X. Kota besar dengan angka pengangguran dan manusia produktif sama tingginya. Manusia-manusia yang hidup harus memiliki rasa egois agar bisa bertahan dalam gulungan ombak persaingan perkotaan.
Dijah hidup di sebuah kos-kosan murah di sebuah gang berliku-liku di belakang perkantoran elit. Dia hanya hidup sendiri di sana. Seminggu sekali Dijah pulang ke rumah untuk memberi belanja pada orang tua dan anak semata wayangnya.
Kenapa Dijah tak tinggal bersama orangtuanya? Itu karena Fredy, mantan suaminya masih sering mengejar-ngejar Dijah untuk memperkosanya di saat mabuk. Biasanya Fredy yang tak bisa tidur karena menenggak air sisa rebusan sabu-sabu di dalam bong tak akan bisa tidur. Pria itu akan berkeliling kampung mencari mantan isterinya untuk melampiaskan hawa nafsu atau sekedar menghajar Dijah hingga babak belur.
Lantas, kenapa Dijah tak membawa anak laki-lakinya untuk hidup bersama? Itu sulit. Pekerjaan Dijah serabutan. Ia tak bisa menunggui anaknya bersekolah seperti ibu-ibu pada umumnya. Meski Dijah terkadang ingin ikut bergosip memamerkan cincin, ponsel atau pakaian baru terhadap orang tua murid lainnya, ia tak bisa. Dijah harus bekerja. Apa saja.
Lagipula, Dijah tak mau anaknya besar di lingkungan kos-kosan yang sangat keras itu. Lingkungan yang dari melek mata hingga menutup kembali selalu diwarnai suara musik keras, teriakan orang berisi caci maki, serta desahan dan erangan tetangga kamarnya yang bercinta hingga subuh.
Lantas apa pekerjaan Dijah?
Apa saja. Dia mengerjakan semua hal yang biasa dikerjakannya. Kecuali melacurkan diri. Dia tak bisa. Bukannya dia tak pernah mencoba, tapi dia gagal di hari pertama kerjanya.
Saat itu, Dijah ditawari oleh tetangga kosnya, seorang pria gemuk lumayan berduit yang ingin mencari teman tidur. Katanya, itu bukan short time. Tapi menemani sampai pagi. Yang artinya, Dijah bisa ditiduri beberapa kali dalam satu malam itu.
Mendengarnya saja Dijah sudah mual. Tapi tetangga kosnya mengatakan untuk melihat lebih dulu. Jadilah Dijah mengikuti tetangga kosnya itu ke sebuah hotel melati yang terletak di tepi kota.
Dijah telah menguatkan hati karena telah menggenggam empat lembar uang ratusan ribu. Tetangga kosnya itu mengatakan bahwa pria itu akan memberikan uang sisanya.
Dengan wajah tenang tapi tegang dan berdebar, Dijah bertemu dengan pria gemuk itu. Saat berduaan di dalam ruangan dan pria itu mulai membuka pakaiannya, Dijah panik. Dijah jijik dan mual melihat seorang pria gemuk berkelamin kecil telanjang di depannya. Dijah lari keluar kamar terbirit-birit.
Dijah menemui tetangganya dan mencampakkan uang 400 ribu untuk menggagalkan transaksi itu. Tetangga Dijah tak senang dan tersinggung. Hasilnya, malam itu kos-kosan mereka diramaikan dengan adegan Dijah dan tetangga wanitanya yang bergumul saling jambak.
Meski babak belur, Dijah berhasil menyeret tetangganya itu keluar kos-kosan dan mengusirnya keluar. Tak ada yang melapor ke polisi. Malam itu, Dijah pemenangnya dan Dijah merasa lebih berhak tinggal di daerah itu.
Soal perceraiannya? Itu sudah lama sekali. Dijah menjadi janda saat anaknya berusia enam bulan. Dia tak mau lagi menjadi isteri Fredy. Alasannya banyak dan segudang. Tapi Dijah hanya menyebutkan satu alasan di pengadilan. Dia tak mau disodo*mi oleh suaminya.
Fredy yang gila setiap kali mabuk sabu selalu berbuat hal aneh tiap pulang ke rumah. Dijah beberapa kali nyaris mati dipukuli dan diinjak-injak tanpa ada seorang pun tetangganya yang berani melerai. Mereka semua takut pada Fredy. Meski bukan bandar besar, tapi Fredy punya kaki tangan preman kelas teri yang kerjanya jadi polisi cepek di simpang jalan.
Kini meski hidup pas-pasan, Dijah tak perlu khawatir tubuhnya dikotori oleh Fredy yang suka memakai jasa pelacur murahan. Bahkan Fredy beberapa kali terlihat membonceng waria berganti-ganti. Itu tak masalah lagi buat Dijah. Dia tak pernah ada perasaan apapun pada Fredy.
Meski harus pontang-panting menghindari mantan suaminya itu, setidaknya Dijah sudah membebaskan dirinya dari tekanan batin.
Jika Fredy sedang waras, laki-laki itu datang ke rumah orang tua Dijah untuk sesekali memberi jajan pada anaknya. Tapi jika Fredy sedang gila, laki-laki itu akan berkeliling kampung mencari Dijah dan mengancam akan membunuh anak mereka.
Dijah kini janda. Suatu stigma yang sangat negatif bagi rakyat negeri ini. Bahkan di kampungnya pun masih banyak laki-laki yang menyapanya, Dijah yang janda.
Awalnya dulu, Dijah sakit hati. Dijah malu. Dijah kasihan pada anaknya yang selalu dicap sebagai anak bibir pelakor. Begitu kata anaknya suatu kali.
Kini Dijah santai. Suatu hari ada seorang penarik ojek di depan gang yang menyapanya.
"Dijah... Udah janda gini kerjaannya ngapain? Nggak pernah digoyang lagi ya?" sapa pengemudi ojek itu.
"Memang lagi nggak ada kerjaan nih, sebentar lagi aku goyang bapakmu aja. Gimana?" jawab Dijah santai melewati pengemudi ojek yang kemudian jadi bahan tertawaan teman-temannya.
Itulah Dijah.
Malam hari ia bekerja sebagai pelayan kafe remang-remang yang sering memanfaatkan laki-laki hidung belang.
Siang hari ia berjibaku dengan kuman karena berubah menjadi pemulung plastik dan kaleng minuman bekas di tempat pembuangan sampah akhir.
Dijah tak pernah punya mimpi dan keinginan. Dia hanya tahu bekerja untuk mencari makan pengisi perut sejengkal. Dijah tak pernah protes akan ketidakadilan yang diterimanya dalam hidup. Baginya pukulan dan tendangan Fredy selama tak mematikan, bukanlah suatu masalah besar.
Sampai akhirnya ia bertemu dengan Bara Wirya. Pria yang memberinya sebuah plester luka di depan sebuah Kantor Polisi.
"Kalau sakit kenapa nggak dilaporin aja Mbak? Mbak bisa buat pengaduan. Ini namanya udah tindakan kekerasan. Mbak kok diem aja sih?"
"Dari tadi aku diem aja karena nggak suka dipanggil Mbak. Mbak...Mbak... Kapan aku kawin sama Mas-mu?"
***
Dari penulis :
Ini adalah novel bergenre romantis 21+ (adult-romance)
Dengan membaca novel ini, pembaca harus memastikan dirinya sudah cukup umur dan memahami bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka. Hanya imajinasi yang bertujuan menghibur. Tidak ada pelajaran di dalam novel ini. Jadi, jangan dicari pelajarannya.
Harap bijak berkomentar. Pastikan Anda memilih bacaan yang tepat sebelum melanjutkan. Ingat, jangan salah memilih genre bacaan. Don't forget, our words is our class.
**********
Sore itu masih panas, meskipun waktu sudah menunjukkan pukul empat lewat. Seperti biasa Dijah menyusuri gang rumahnya untuk menyetor sedikit hasil pendapatannya hari itu.
Hasil memungut barang bekasnya hari itu tidak banyak, ia hanya memperoleh 22.000 rupiah. Beberapa kilo karton bekas dan dua plastik besar kaleng bekas minuman mungkin hanya cukup untuk membeli sekilo beras, seperempat liter minyak goreng dan beberapa butir telur.
Rumah orangtua Dijah berada di pemukiman padat penduduk. Meski sangat reot, tapi hal itu masih lebih baik bila dibandingkan jika anaknya laki-lakinya; Dul ikut tinggal bersamanya di daerah kos-kosan tengah kota yang riuh dan penuh dengan kekacauan setiap harinya.
Wajar saja memang jika kos-kosan itu sangat murah. Kamarnya sangat kecil, sumpek dan kamar mandi bersama yang sering mati air. Namun meski mengeluh dengan fasilitas yang didapat setiap harinya, para penghuni kos seolah tidak jera. Bulan depan mereka tetap membayar biasa sewa demi melanjutkan hidup di sana.
Mencari tempat tinggal yang murah di tengah kota yang dekat dengan tempat mereka mencari nafkah itu hal yang tidak mudah. Dan satu lagi, kos-kosan Dijah boleh menunggak hingga dua minggu. Para penghuninya sudah terbiasa dimaki-maki pemiliknya.
Dijah tiba di depan rumahnya. Ia mendorong pagar kayu yang dipenuhi tambalan beberapa papan yang dipaku asal-asalan setinggi pinggang.
Di depan pintu yang tertutup itu berhamparan sandal rusak. Dijah sedikit kesal melihat hal itu. Berulang kali ia merapikan rumah mereka dengan beralasan rumah sangat sederhana masih bisa terlihat baik jika dirawat.
Rumah orangtua Dijah hanya memiliki satu kamar tidur, sepetak dapur kecil yang bersebelahan dengan kamar mandi serta halaman belakang yang langsung berbatasan dengan dapur tetangga.
Di antara jajaran rumah di gang yang rata-rata kecil, tapi rumah keluarga Dijah memang termasuk yang paling sederhana. Dinding dapur belakangnya masih berupa dinding tepas. Tempat di mana berbagai alat dapur seperti pisau diselipkan pada jalinan bambunya.
“Dul ... Dul,” panggil Dijah.
“Nggak dikunci Bu,” sahut Dul dari dalam.
Dijah mendorong pintu kayu tipis dengan handle berkarat itu. Dul tampak berbaring di depan sebuah televisi kecil beralaskan tilam tipis.
Bocah laki-laki itu mendongak untuk melihat ibunya yang baru masuk. Ruangan itu sangat pengap. Sebuah kipas angin sudah lelah menggeleng ke sana kemari untuk menghasilkan angin yang tak sejuk.
“Mbah mana?” Dijah menanyakan kedua orangtuanya yang tak terlihat di rumah.
“Mbah Wedok (nenek) tidur di kamar, Mbah Lanang (kakek) baru pergi ke warung.” Dul belum mengalihkan pandangannya dari depan televisi.
“Ngapain ke warung?” tanya Dijah yang penasaran. Ia khawatir ayahnya kembali duduk di warung untuk bermain gaple. Karena meski bukan untuk berjudi, Dijah tetap tak menyukai kebiasaan ayahnya itu. Karena setiap kali kembali dari warung, ayahnya akan membawa cerita aneh tentang pekerjaannya di luar sana.
“Katanya tadi beli beras," sahut Dul.
"Kamu sakit ya? Jam segini tumben nggak main di luar?" tanya Dijah pada anaknya
"Badan Dul agak panas Bu. Tapi Dul tadi udah minum obat," jawab Dul dengan pintarnya.
Bocah laki-laki lima tahun itu memang sangat bijak setiap bicara. Masa kecilnya yang banyak dihabiskan tanpa orang tua membuat Dul tak sempat bermanja-manja seperti anak lainnya. Ia harus pintar dan bijak menghadapi lingkungannya.
"Kamu sudah makan? Kalau belum biar ibu masak," tawar Dijah pada anaknya.
"Sudah kok, tadi mbah masak telur ceplok. Aku udah makan." Dul menoleh wajah manis dan sederhana ibunya. "Ibu mau langsung pergi? Nggak mau temani aku nonton TV? Aku nggak ada temen," ujar Dul menarik jemari Dijah yang duduk bersimpuh di dekat kepalanya.
"Nggak langsung pergi kok, ibu bakal temani kamu nonton. Bapakmu ada dateng? Nggak ada, 'kan?" tanya Dijah sedikit khawatir. Ia cemas Fredy datang ke rumah orangtuanya itu saat ia sedang berada di sana.
Dan rasa-rasanya perkataan itu baru saja meluncur keluar dari lidahnya, tiba-tiba suara gedoran di pintu membuat Dijah terlonjak.
"Dul ngapain kamu?" Suara Fredy terdengar dari luar.
Dengan telunjuk di bibirnya yang terarah pada Dul, Dijah beranjak ke pintu untuk memutar anak kunci.
BRAKK!!
Sedetik kemudian, pintu sudah menganga dan sosok Fredy dengan mata merahnya telah berdiri di sana menatap mereka.
“Oh ibunya yang pelacur lagi di sini. Ngapain kamu datang?” hardik Fredy sedikit terhuyung. Masih sore tapi laki-laki itu sudah mabuk.
Sekaya apapun orang tua jika tak mendidik anaknya dengan baik maka semuanya akan sia-sia. Sama halnya seperti Fredy yang berasal dari keluarga lumayan berada dulunya.
Harta yang melenakan tak membuat kedua orang tua Fredy awas terhadap pergaulan dan gaya hidup anak-anaknya. Semuanya tumbuh besar dengan foya-foya dan menghamburkan uang orangtuanya demi kesenangan dan unjuk gigi di pergaulan.
Miris memang, tapi dari empat bersaudara hanya satu orang lah yang bisa dibilang berhasil dalam kehidupan.
Sedangkan tiga lainnya semua terjerat dalam pergaulan buruk dan kehidupan yang berbeda tingkat kesengsaraannya.
“Dasar anjing! Enak aja kamu ngatain aku pelacur di depan anakku. Kayak hidupmu udah bener aja," seru Dijah pada mantan suaminya. Ia langsung menutup telinga Dul yang sedang terperangah melihat kedatangan bapaknya.
Mendengar perkataan Dijah, Fredy mengambil sebuah sandal dan melemparkannya kepada wanita itu. Dijah tak sempat mengelak, kepalanya langsung berdebu terkena kotoran dari tapak sandal.
Dijah buru-buru bangkit mendorong pria itu keluar dari rumah, ia tak ingin ribut di depan anaknya.
Ini bukan kali pertama, tapi ia memang tak ingin membuat masa kecil Dul dipenuhi dengan kenangan buruk kedua orangtua kandungnya.
Dengan sekuat tenaga Dijah mampu mendorong Fredy yang setengah mabuk sampai pria itu terhempas dengan bokong yang pertama mendarat lebih dulu di tanah.
"Dasar wanita anjing, dasar pelacur!" maki Fredy lagi.
Dijah masih melihat sekelilingnya mencari benda yang mungkin bisa dipergunakannya untuk menghantam kepala mantan suaminya.
Tapi rupanya Fredy lebih cepat. Laki-laki itu bangkit dan mengarahkan sebuah tendangan kepada tubuh Dijah sampai ia terhempas menghantam pintu.
Pintu kembali menjeblak terbuka. Dul berdiri menatap kedua orang tuanya dengan tatapan muram.
"Kunci dari dalam Dul! Ibu mau pergi dulu. Hari ini ibu nggak bisa nemenin kamu nonton film. Dikunci ya! Nanti ibu dateng lagi," seru Dijah buru-buru memakai sandalnya karena ingin segera berlari keluar dari pagar.
Dijah meraih pagar kayu secepatnya yang ia bisa. Tapi ternyata Fredy juga tak kalah cepatnya meraih rambut Dijah yang panjang sebahu serta menjenggutnya dengan keras. Dijah jatuh terhempas ke belakang.
PLAKK!!
Fredy menghadiahinya sebuah tamparan keras di pipi dijah.
Tiba-tiba dunia terasa gelap. Kepalanya pusing dan telinganya berdenging panjang. Dijah berusaha berdiri sambil berpegangan dengan dinding rumahnya.
Tak ada yang melerai, tak ada tetangga yang berani mendekati mereka jika tiba-tiba Fredy datang menghajarnya seperti ini.
Meneriaki pria itu maling agar orang-orang datang pun tak ada gunanya. Dijah pernah mencoba, tapi hanya satu dua orang yang datang kemudian kembali pergi.
Dijah meraba-raba tanah mencari sesuatu entah itu batu atau apa saja. Ia ingin membalas laki-laki itu sesegera mungkin.
"Dasar laki-laki anjing! Kamu beraninya sama perempuan aja. Ayo, kita ke kantor polisi biar aku laporkan kamu. Biar kamu busuk di penjara."
"Berani kamu lapor aku? Lapor aja! Keluar dari penjara nantinya, kamu dan Dul bisa mati aku buat. Mending kamu ikut aku." Fredy menyeret lengan Dijah dan membawanya menuju mulut gang. "Aku lagi kebelet. Ketimbang kamu melacur di luar sana jual anumu, mending kamu kelonan sama aku aja. Aku kasih duit juga kok," cerca Fredy sepanjang jalan.
"Matamu! Ketimbang kelonan sama kamu, ya mending aku ngelonte," sergah Dijah yang meronta mencoba melepaskan cengkeraman kuat di lengannya.
"Dasar pelacur!" maki Fredy lagi.
"Suka-suka aku. Anu juga anuku sendiri kok, bukan anu milik negara. Jual diri nggak kena pajak. Suka-sukaku mau ngapain!"
PLAKK!!
Fredy kembali menampar wajah Dijah kemudian terus menyeret perempuan itu keluar dari gang. Sepanjang gang mereka ditontoni oleh beberapa tetangga yang hanya bisa berbisik tapi tak bisa mengakhiri penderitaan Dijah sore itu.
Kantor polisi tak jauh. Hanya beberapa puluh meter dari gang rumah mereka.
Tapi memang Dijah tak pernah berani melaporkan Fredy. Ia takut laki-laki gila itu akan membuktikan ancamannya.
Hukuman dipenjara karena penganiayaan tidak akan membuat Fredy mendekam lama di penjara. Laki-laki itu bisa keluar dari penjara dalam setahun, dua tahun bahkan lima tahun lagi.
Fredy akan keluar dari penjara dengan tubuh yang masih segar bugar, masih bisa melukai Dijah dan anaknya.
"Lepasin aku brengsek! Lepasin tangan kotormu itu dari rambutku! Tanganmu itu udah kayak gembel! Aku aja yang mulung nggak sekotor itu. Cuihh!!" Dijah meludah ke jalan.
BUGG!!
Fredy yang semakin geram kembali memukul dahinya. Dijah sampai memejamkan matanya karena rasa sakit.
"Tolong!! Tolong!!" teriak Dijah.
"Mulutmu!" hardik Fredy yang sepertinya mulai sadar dengan lingkungan sekitar mereka.
Beberapa meter lagi mereka akan tiba di depan kantor polisi yang bertembok kuning.
"Hei! Tangan lo itu!" teriak seorang pria yang baru keluar dari kantor polisi dengan sebuah ransel tersampir di bahunya.
"Apa lo??" tantang Fredy pada pria itu.
Dijah yang merasa mendapat kesempatan, segera menunduk untuk memungut sebuah batu berukuran sekepalan dan menghantam kepala mantan suaminya.
"Aduh!!" pekik Fredy. Cengkeramannya pada rambut Dijah terlepas dan wanita itu segera kabur masuk ke halaman kantor polisi yang luas.
"Ngapain kamu ikut-ikutan? Dia lagi gila!" teriak Dijah menyeret lengan laki-laki yang tadi sempat melerainya. Ia khawatir Fredy akan mengenali dan mulai menandai pria muda yang berlagak jadi pahlawan kesiangan itu.
Nafas Dijah terengah-engah. Dahinya berdenyut dan matanya terasa sedikit berat digunakan untuk membuka. Matanya pasti bengkak, pikirnya.
Dijah melepaskan lengan pria muda itu kemudian berjongkok di halaman kantor polisi yang sejak kecil selalu dijadikannya tempat bermain.
Wajahnya penuh keringat, hidungnya yang tak mancung tapi bersanding manis dengan raut ovalnya sedikit mengeluarkan darah segar. Dijah mengusap darah itu dengan ujung lengan kaosnya.
"Sakit Mbak?" tanya pria muda yang kini ikut jongkok di sebelahnya.
"Enak! Pake nanya lagi!" sergah Dijah.
Bara mengerjapkan mata melihat wanita muda berwajah manis dengan kearifan lokal yang dipikirnya tak tahu berterima kasih itu.
To Be Continued
Dari Penulis :
Dengan membaca novel ini, pembaca dianggap sudah dewasa dan bisa membedakan mana yang sekedar fiksi atau mana kehidupan nyata.
Mohon jangan mengaitkan isi cerita dengan satu agama, suku, ras atau golongan tertentu.
Mari saling menghargai dan bijak dalam memilih bacaan.
Terimakasih sudah mampir ke karya-karya juskelapa.
*************
Bara masih berdiri di dekat wanita muda yang sesaat lalu baru saja menghantam kepala seorang pria dengan sebuah batu.
Mata wanita itu masih menatap pria yang sekarang terlihat sudah enggan mengejarnya. Pandangan mata tidak menyiratkan ketakutan. Bara hanya melihat kemarahan di sana.
"Nama Mbak siapa? Itu tadi siapa?" tanya Bara pada Dijah yang masih mengintip ke arah Fredy.
"Dijah," sahut Dijah tanpa menoleh pada Bara.
"Yang itu tadi siapa?" tanya Bara lagi.
"Mantan suamiku," jawab Dijah singkat. Matanya masih menatap ke arah Fredy yang terlihat menjauhi pagar Kantor Polisi.
"Kok Mbak bisa dipukuli? Apa sebabnya?" tanya Bara penasaran. Naluri wartawannya muncul seketika.
"Itu pasti sakit, 'kan?" Bara masih memberondong Dijah dengan pertanyaan.
"Ini penganiayaan Mbak," ujar Bara. Dijah masih diam melihat ke luar pagar. Tangannya merogoh kantong depan ransel yang dikenakannya dan mengeluarkan sebuah plaster. Bara membuka plaster itu dan menempelkannya di dahi Dijah yang mengeluarkan sedikit darah.
"Kalau sakit kenapa nggak dilaporin aja Mbak? Mbak bisa buat pengaduan. Ini namanya udah tindakan kekerasan. Mbak kok diem aja sih?" Bara yang diabaikan merasa sedikit kesal. Ia ingin meninggalkan wanita itu tapi rasa penasarannya meronta.
Saat Dijah melihat Fredy meninggalkan tempatnya semula sambil mengusap-usap kepala, Dijah menghembuskan nafas lega. Ia bisa segera pergi dari kantor polisi itu.
Kemudian kehadiran seorang pria yang sejak tadi tak berhenti menanyainya seperti membuat kesadarannya kembali.
"Dari tadi aku diem aja karena nggak suka dipanggil Mbak. Mbak ... Mbak ... Kapan aku kawin sama mas-mu?" sengit Dijah kesal kemudian berdiri.
"Kenapa Jah? Kenapa muka kamu begitu?" tanya Pak Santo polisi tua yang sehari-hari bertugas di sana.
Pak Santo baru saja tiba dengan motor bututnya dan berhenti tepat di depan Dijah saat wanita itu berjalan keluar pagar. Dijah telah lama mengenal polisi itu, sedikit banyak pun Pak Santo tahu akan kehidupannya.
"Nggak apa-apa Pak, tadi nggak sengaja nabrak anak-anak naik motor," jawab Dijah asal kemudian pergi melangkahkan kakinya menuju tepi jalan untuk menyetop salah satu trayek angkutan untuk menuju kos-kosannya.
Dijah melangkahkan kakinya menjauhi pagar kantor polisi agar Pak Santo tak kembali menanyainya. Pelipisnya berdenyut dan sekarang ia bisa memastikan bahwa bagian atas matanya sudah pasti membengkak.
Dijah kemudian meraba dahinya. Ada plaster luka. Sejak kapan plaster itu berada di dahinya ia pun tak sadar.
Bara memandang punggung Dijah yang berjalan menjauh. Buru-buru ia berlari ke parkiran di sisi kiri kantor untuk mengambil sepeda motornya.
"Mau ngejer berita?" teriak Pak Santo pada Bara yang menaiki motornya tergesa-gesa.
"Iya! Berita besar," sahut Bara kemudian melakukan motornya meninggalkan Pak Santo yang kemudian berlalu menuju parkiran.
Bara mengendarai motornya perlahan-lahan sampai tiba di sebelah Dijah yang masih berdiri di tepi jalan.
"Mau pulang ke mana Mbak?" tanya Bara pada Dijah yang hanya meliriknya sekilas kemudian kembali menatap layar.
Bara tak menerima sahutan apapun. Sekarang posisi Bara persis seperti seorang laki-laki hidung belang yang sedang merayu perempuan di tepi jalan pada sore hari.
Dijah sedang berpikir-pikir, bagaimana ia bisa masuk kerja malam itu kalau wajahnya babak belur. Dijah berdecak samar nyaris tak terdengar. Tapi Bara yang sempat mendengar suara dari mulut Dijah menatap wajah perempuan itu.
Bara masih duduk di atas motornya. Memperhatikan wajah manis Dijah yang bagian matanya kini membengkak. Kaos oblong putih yang dipakai wanita itu terlihat kotor di bagian depan dengan salah satu lengannya terdapat noda darah yang mulai menggelap.
Kasihan, pikir Bara. Masih muda tapi tampaknya wanita itu sudah sangat terbiasa menerima kekerasan. Pandangan Bara turun sampai ke sandal karet bertali di kaki Dijah. Bara melihat kulit jari kelingking sebelah kanan Dijah mengelupas.
"Ayo Mbak, biar saya anter." Bara sedikit menggeser motornya memberi jarak pada Dijah. Dalam benaknya ia sedikit khawatir Dijah tersinggung dan memungut batu untuk memukul kepalanya.
"Eh, nama kamu siapa?" tanya Dijah tiba-tiba dengan wajah sedikit kesal.
"Bara Wirya." Bara mengeluarkan sebuah tanda pengenal dari sakunya. "Nama kamu Dijah, 'kan? Karena kamu keliatan lebih muda dari aku, kamu bisa panggil aku Mas Bara aja."
"Baik. Begini Bara, aku nggak ada urusan sama situ, mending situ pergi sekarang. Aku mulai risih orang-orang ngeliatin aku terus dari tadi. Pergi sana!" sergah Dijah melangkah sedikit menjauh.
"Niatku baik kok," ujar Bara lagi.
"Namanya niat yang tau ya cuma situ!" balas Dijah.
"Rumah kamu di mana? Aku tulus cuma pengen bantu. Nanti kamu diliatin orang di angkot."
"Udah biasa," sambung Dijah.
"Cepet naik!" ajak Bara memajukan motornya.
"Sana!"
"Dijah! Naik!"
"Apa sih?!! Enggak! Nanti aku teriak. Gendeng!" maki Dijah.
Tiba-tiba,
"Hei Lon*te!" teriak Fredy yang tiba-tiba kembali muncul berlari ke arah Dijah.
"Aduh si anjing!" maki Dijah terkejut kemudian langsung naik ke atas boncengan Bara.
"Cepat jalan! Tadi situ ngotot mau nganter aku pulang! Itu si anjing dateng lagi!" Dijah menepuk pundak Bara berkali-kali.
Bara cepat-cepat menyalakan motornya dan pergi meninggalkan Fredy yang terlihat menunduk seperti sedang mencari batu untuk melempar mereka.
"Cepat! Ngebut!" perintah Dijah pada Bara yang membabi-buta melajukan sepeda motornya membelah jalanan sore.
"Ini ke mana?!!" teriak Bara.
"Ke kost-an aku!" balas Dijah juga dalam teriakan.
"Ya di mana? Aku nggak tau!"
"Oh iya ya .... Jalan terus aja, nanti simpang kita ke kiri!" Balas Dijah seraya berpegangan pada bahu pria asing yang baru ditemuinya tak sampai sejam.
"Lurus aja terus, mall besar itu sebelahnya ada jalan, belok kiri lagi." Dijah menepuk-nepuk bahu Bara untuk memberi tanda.
Saat melihat mulut gang tempat tinggalnya yang selalu ditunggui beberapa ojek setempat, Dijah kembali menepuk bahu Bara untuk memelankan laju motornya.
"Belok situ," pinta Dijah menunjuk gang. Sebenarnya ia bisa turun di depan gang saja, tapi sore itu ia sedang tak ingin meladeni mulut iseng para laki-laki itu mengomentari wajahnya yang penuh luka.
"Siapa Jah?" tanya seorang pengemudi ojek saat Bara memelankan laju motornya untuk masuk ke dalam gang.
"Pelanggan baru!" teriak Dijah dengan wajah biasa saja. Motor Bara terlalu bagus dan penampilan pria itu tak meyakinkan untuk disebutnya seorang tukang ojek. Bahkan parfum Bara pun terasa melekat di telapak tangannya yang sejak tadi bertengger di bahu pria itu.
"Itu ada pintu, masuk aja." Dijah menunjukkan sebuah pintu besi sedang selebar satu mobil.
Saat tiba di halaman lumayan luas, Bara membuka helmnya dan melihat ke sekeliling. Dia tak menyangka bahwa di dalam gang sempit itu ada sebuah bangunan besar bertingkat dengan puluhan kamar kecil.
"Dijah!!" panggil seorang wanita tiba-tiba. Dari lengkingan suaranya, Dijah bisa menebak itu adalah Mak Robin. Seorang ibu rumah tangga asal Medan dengan satu anak yang suaminya bekerja di luar kota.
Mak Robin adalah salah satu penghuni terlama di kos-kosan itu.
"Opo?" sahut Dijah menoleh pada Mak Robin yang berjalan menghampirinya.
"Tagihan airmu," ujar Mak Robin mengangsurkan selembar kertas.
"Nanti aku bayar." Dijah melipat kertas itu kemudian mengantonginya.
"Kenapa muka kau? Dipukol si anjeng itu lagi? Dah kubilang sama kau Dijah, ayok kita pecahkan kepalanya sama-sama." Mak Robin menyibakkan helai rambut pada wajah Dijah untuk melihat lukanya.
"Astaga..." gumam Bara memegang dadanya saat mendengar nada suara tinggi Mak Robin.
"Udah nggak apa-apa. Dikit aja. Besok-besok aja kita pecahkan kepalanya. Aku buru-buru mau kerja," ujar Dijah kembali menaruh rambut di atas lukanya agar tak terlihat.
"Janganlah kau kerja! Tidor aja kau dulu, pasti sakit kepalamu itu," tukas Mak Robin. "Tin! Mau ke mana kau? Ko tengok dulu ini kawan kau udah bengap-bengap mukanya!" teriak Mak Robin memanggil Tini yang sudah sangat cantik sore itu.
Tini yang dipanggil Mak Robin bergegas mendekati Dijah dengan heels 10 senti-nya.
"Ya ampun Jah, kok kayak gini lagi? Nanti pulang kerja aku obati ya. Sekarang nggak sempet aku udah ditunggu," ujar Tini sedikit mengangkat dagu Dijah.
"Kau mau ke mana sore-sore gini?" tanya Mak Robin pada Tini.
"Melonte-lah Mak, 'kan nggak mungkin aku ngantor jam segini," jawab Tini santai.
"Astaga... " gumam Bara lagi.
"Aku pergi dulu, kamu nggak usah kerja Jah!" tambah Tini seraya berjalan menjauh. "Eh Jah! Ini siapa?" tanya Tini menunjuk Bara.
"Siapa--? Ooo .... Ojek! Itu Ojek!" seru Dijah meringis saat menyadari ternyata Bara masih berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Astaga ...." gumam Bara lagi saat Tini berjalan mendekatinya.
To Be Continued.....
Dari Penulis :
Maklumi kata-kata kasarnya ya, jangan diikuti.
Ini hanya sepotong realita yang sedang terjadi di sekeliling kita.
Izinkan Dijah membuat hidupnya lebih indah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!