Roda kehidupan terus berputar. Masa dua tahun lalu, teramat jauh berbeda dengan masa sekarang. Adinda Dewi Anjani, yang dua tahun lalu kabur ke kota demi menghindari perjodohan dengan anak kepala desa, kini telah terikat janji suci dengan Mario Dana Putra.
Tepat di semester 6 masa kuliah, Anjani pindah kuliah di Jakarta. Dengan bantuan Mario proses pengurusan perpindahan kuliah begitu cepat dan lancar. Sementara Mario sendiri telah melewati masa skripsi dan lulus lebih awal karena kecerdasan otaknya.
"Besok hari pertamamu kuliah di kampus baru. Mau kuantar lihat-lihat dulu sore ini?" Mario menawari.
"Tidak perlu. Sekalian saja besok. Lagipula sore ini kan kamu harus bertemu tangan kanan ayah demi jabatan barumu di induk perusahaan." Anjani mengingatkan jadwal penting itu.
Anggukan kecil pun meluncur. Mario memang dijadwalkan bertemu tangan kanan John, sang ayah. Mario diberi amanah untuk menjadi wakil direktur di induk perusahaan milik sang ayah. Selama setahun penuh Mario akan menduduki jabatan itu, sebelum akhirnya nanti akan menduduki jabatan direktur utama.
"Apa kamu mengkhawatirkannya?" Anjani meraih tangan Mario dan meletakkan di perut datarnya.
"Iya, Sayang. Tapi aku percaya, bersamamu calon buah hati kita akan selalu terjaga. Jangan terlalu lelah, ya!" nasihat Mario sambil mengusap-usap perut datar Anjani.
"Insya Allah. Sayangku yang semangat ya kerjanya. Aku percaya kamu bisa." Anjani membesarkan hati Mario.
Mario begitu mencintai Anjani. Apalagi, kini ada calon buah hati mereka. Meski usianya baru enam minggu masa kehamilan, tapi sudah menjadi hal yang membahagiakan.
Mario-Anjani tinggal berdua, ditemani oleh dua asisten rumah tangga dan seorang sopir di rumah baru mereka. Sengaja Mario memilih tempat tinggal di area perkampungan biasa, agar Anjani bisa lebih berinteraksi dengan para tetangga. Tidak ada pula security ataupun bodyguard seperti di rumah lama mereka. Meski tinggal di area perkampungan biasa, tapi rumah Mario-Anjani tetaplah paling megah dan besar dibanding rumah-rumah di sekitarnya.
Ayah-ibu mertua Anjani, yakni orangtua Mario tidak ikut tinggal di Jakarta. Orang tua Mario, John dan Mommy Monika memilih tinggal di luar negeri dengan kepemilikan saham baru di salah satu perusahaan besar di Jerman. Untuk induk perusahaan di Jakarta, saham telah sepenuhnya diwariskan kepada Mario.
"Alenna sama Mas Rangga apa jadi mampir ke sini?" Anjani bertanya perihal kedatangan adik Mario beserta suaminya.
"Sepertinya tidak jadi hari ini. Alenna baru saja mengambil alih jabatan di cabang induk perusahaan. Sedangkan Rangga, pasti sedang sibuk di ruko barunya. Biarkan saja mereka berdua seperti itu. Untung ayah punya ide memindahtugaskan Alenna di kantor cabang. Jadi Alenna bisa sering-sering mengunjungi Rangga di rukonya. Alenna benar-benar takut jika Rangga selingkuh," jelas Mario diiringi tawa ringan.
Anjani ikut-ikutan tertawa mengingat kekonyolan kisah asmara Alenna dan Rangga.
"Jarak kantor Alenna dan ruko Mas Rangga berdekatan, ya? Kalau dari kantormu?" Anjani ingin tahu.
"Kantor Alenna dan ruko dekat, kok. Kalau kantorku jauh dari tempat mereka. Rumah kita ini juga lumayan jauh jaraknya. Tapi kalau kamu ingin ketemu mereka, maka aku dengan senang hati akan mengantarmu, Sayang." Mario penuh cinta.
"Kapan-kapan kita ke sana, ya. Sekarang, kamu istirahat dulu saja. Aku mau bantu Mbok Darmi sama Mbak Lastri menyiapkan makan siang dulu."
Baru saja Anjani mau beranjak, Mario lebih dulu mencegahnya.
"Mending kamu juga istirahat. Anak kita minta rebahan, tuh! Ayo!" ajak Mario.
"Eeeem. Mulai modus, deh. Pasti ayahnya nih yang minta dimanja!" Anjani mencubit gemas perut Mario.
Tawa ringan kembali mengiringi. Mario pun membiarkan Anjani membantu dua asisten rumah tangga mereka menyiapkan makan siang. Sementara Mario sendiri memilih menuju teras untuk menemui Pak Gun, sopir di rumah itu.
"Pak Gun, lagi apa nih?" Mario basa-basi. Mengingat baru kemarin dia resmi pindah di rumah itu. Itung-itung mengakrabkan diri.
"Ini habis telepon anak istri. Mereka senang sekali saya dapat pekerjaan di Jakarta. Terima kasih banyak, tuan dan nona sudah memberi saya pekerjaan ini." Pak Gun penuh syukur.
"Sama-sama, Pak. Ikut senang dengarnya." Mario melihat gurat senyum bahagia di wajah Pak Gun.
"Tugas Pak Gun mulai besok mengantar istri saya kemana pun dia pergi. Terutama saat ke kampus. Istri saya sedang hamil muda, Pak." Mario memberi tahu.
"Masya Allah. Bakal ada Tuan Muda kecil nih di rumah ini. Insya Allah, saya siap menjalankan tugas dengan baik."
Perlahan, Mario mulai mengenal orang-orang baru di sekitarnya. Begitu pula dengan Anjani yang akan segera pula mengenal lingkungan kampus barunya.
***
Pagi menjelang. Mendekati pukul setengah tujuh, Anjani membantu Mario bersiap.
"Suamiku tampan betul. Benar-benar mirip pekerja kantoran," puji Anjani sambil melingkarkan dasi di kra kemeja Mario.
"Kamu ini, ya." Mario mencubit gemas hidung Anjani. "Suamimu ini memang pekerja kantoran. Pebisnis. Wakil direktur." Mario mulai membanggakan dirinya agar lebih dipuji oleh sang istri.
"Iya-iya. Nah, selesai. Sayangku jaga hati juga ya di kantor. Pasti karyawan di sana cantik-cantik. Pakaiannya .... Heem, pasti aduhai." Anjani malah membayangkan yang tidak-tidak.
"Terserah mau seperti apa penampilan mereka. Yang jelas, saat ini kamulah istriku. Calon ibu dari anak-anakku. Tetap yang paling cantik untukku."
"Gombal! Udah, ah. Ayo sarapan!" Anjani menggandeng tangan Mario menuju meja makan.
Sarapan pagi dilewati dengan saling memberi semangat. Mario akan mulai bekerja di kantor barunya, sedangkan Anjani akan mulai kuliah di kampus barunya.
Mendekati pukul tujuh, Mario pamit berangkat lebih dulu. Rentetan pesan untuk Anjani tak lupa pula tersuguh.
"Aku akan pulang pukul empat sore. Kamu jaga diri baik-baik, ya. Cari teman baru yang baik seperti Meli sahabatmu. Pilih-pilih teman tidak apa-apa. Pilih yang baik saja, agar pergaulanmu juga ikut baik," nasihat Mario.
"Insya Allah aku akan menemukan yang seperti Meli," sahut Anjani.
"Jangan sampai telat makan siang ya, Sayang. Minum susu ibu hamilnya juga. Sudah aku belikan satu paket. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku. Satu lagi. Kamu ini cantik, jadi jaga hati untukku." Mario mendadak jadi over protektif.
"Iya-iya-iya. Akan kuingat semuanya. Sekarang kamu berangkat, ya. Hari pertama jangan sampai terlambat," saran Anjani.
Mario memeluk Anjani penuh cinta. Satu kecupan di kening pun tak lupa.
"Assalamu'alaikum, istriku."
"Wa'alaikumsalam."
Mario berangkat dengan mengemudikan mobilnya sendiri. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di kantornya.
"Pak Gun, saya siap-siap dulu, ya. Tolong antar saya ke kampus jam setengah delapan," pinta Anjani.
"Siap laksanakan, Non!"
***
Hari pertama yang sungguh di luar dugaan. Rupanya Anjani salah membaca jadwal. Seharusnya ada jadwal mata kuliah pukul tujuh pagi tadi. Sekarang sudah hampir pukul delapan dan Anjani baru sampai di kampusnya.
"Pak, nanti tolong jemput saya pukul sebelas siang, ya. Tapi nanti saya hubungi lagi, takutnya ada perubahan. Stop-stop, Pak. Saya turun di sini saja!" pinta Anjani.
"Loh, Non. Ini masih di pintu gerbang jurusan ekonomi. Sekalian saja saya antar sampai depan gedung. Nanggung, Non," terang Pak Gun.
Sebenarnya Anjani kurang biasa diantar mobil mewah menuju kampus. Di kampusnya yang dulu Anjani malah sering dibonceng Meli sahabatnya, naik motor sendiri atau bahkan naik bentor.
"Tidak apa-apa, Pak. Sekalian saya kenalan sama jalan kampusnya. Sudah ya, Pak. Assalamu'alaikum." Anjani buru-buru turun dari mobil.
"Wa'alaikumsalam. Eh, tasnya, Non!" seru Pak Gun.
"Astaghfirullah. Udah telat, tas pakek acara hampir ketinggalan pula. Makasih, Pak Gun."
Kali ini Anjani memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal lagi. Begitu mobil Pak Gun pergi, Anjani mulai melangkah memasuki area jurusan ekonomi. Anjani sedikit kebingungan juga karena belum mengenal bagian dalamnya.
Terlambat. Tas hampir tertinggal. Bingung karena tidak mengenal area kampus. Lalu, apa lagi setelah ini?
"Aw!" Anjani memekik tertahan. "Astaghfirullah!" imbuhnya.
Satu mobil yang kebetulan lewat, ban mobilnya mencipratkan genangan air kotor. Bagian bawah gamis Anjani jadi korbannya. Mobil itu berhenti. Kaca mobil yang diturunkan langsung memperlihatkan wajah tampan yang terbalut kaca mata hitam.
"Gue nggak akan minta maaf. Salah lu sendiri jalannya terlalu minggir. Trotoar tuh di sana!" seru pengendara, dan langsung tancap gas lagi.
Anjani tak mampu menanggapi. Sebagian ucapan si pemilik mobil benar. Anjani salah.
"Biar sudah. Aku ikut kelas berikutnya saja."
Anjani pasrah. Dia tak lagi mengejar kelas mata kuliah yang pukul tujuh. Toilet menjadi lebih penting kali ini untuk membersihkan gamisnya. Namun, baru saja Anjani mau beranjak pergi, tetiba saja ada yang menyapanya.
"Permisi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang laki-laki, dan di sebelahnya ada seorang wanita berambut sebahu.
Anjani langsung menoleh, tapi tidak langsung menanggapi pertanyaannya.
"Mbak mahasiswi baru? Kok sepertinya bingung gitu?" tebak si lelaki.
"Iya. Saya baru pindah ke kampus ini. Dan ... saya bingung mencari gedung tempat kuliahnya di mana," aku Anjani.
"Mbak ini yang pindahan dari Jember itukah?" Si wanita yang kali ini bertanya.
"Benar. Saya pindahan dari Jember. Kok mbak ini bisa tau?" selidik Anjani.
"Kenalkan. Namaku Isabel. Kita ada di semester yang sama, dan jadwal kuliahnya juga pasti sama. Kebetulan juga aku ada di kepengurusan BEM. Jadi sedikit tau tentang mahasiswi pindahan."
Secercah cahaya seketika menyorotkan titik terang. Anjani senang akhirnya bertemu orang yang bisa diajak berteman.
"Alhamdulillaah. Namaku Anjani. Salam kenal." Anjani menjabat tangan Isabel.
"Syukur deh kalau begitu. Oya, kenalkan juga. Namaku Bastian, kakaknya Isabel. Kalau aku ada di semester akhir."
"Jurusan ekonomi juga?" tanya Anjani.
"Bukan. Aku ambil jurusan hubungan internasional. Kebetulan gedungnya sebelahan sama gedung jurusan ekonomi. Tuh! Bel, berteman yang baik sama Anjani, ya. Anak baru tuh!" nasihat Bastian pada sang adik.
"Iya, bawel. Bakal kujagain. Ntar kau pacarin juga Anjani. Yuk! Kita tinggalin aja kakakku ini." Isabel menarik lengan Anjani pelan agar mengikutinya.
Anjani menurut. Dilihatnya Bastian langsung mengubah arah tujuan begitu ada seseorang yang dikenalnya menyapa.
"Em, kalau jadwal kuliah kita sama, berarti kamu telat datang kuliah juga dong yang jam 7?" tanya Anjani memastikan jadwal yang dilihatnya.
"Hehe. Emang iya. Tadi sulit cari angkot. Mau pesan ojek, eh HP lagi dijahilin sama kakakku yang bawel tadi. Yaudah deh. Telat juga!" Isabel santai-santai saja menjelaskannya.
"Boleh antar aku ke kamar mandi dulu. Mau bersihin gamisku ini," ungkap Anjani.
Isabel dengan senang hati mengantar Anjani. Lagipula ada jeda sekitar empat puluh lima menit sebelum jadwal kuliah lainnya dimulai. Isabel juga berniat mengantar Anjani berkeliling sebentar lihat-lihat area kampus jurusan ekonomi.
"Aku tunggu sini, ya. Toilet wanita yang sebelah kanan," terang Isabel.
Anjani lekas menuju arah yang diberitahukan Isabel. Baru saja Anjani mau memasuki area toilet wanita, tiba-tiba saja dari arah toilet pria keluar lelaki yang tadi mobilnya mencipratkan genangan air hingga mengotori gamisnya.
Bersambung ....
Suka? Likenya buat author, dong. Mohon dukungannya, ya. Terima kasih sudah mampir dan membaca. 💙
Penampilan si pengendara mobil yang mencipratkan genangan air hingga mengotori gamisnya begitu dihafal. Anjani ingat betul warna pakaian, gaya rambut, juga kaca mata hitamnya. Anjani hanya melihatnya sekilas, lantas bergegas masuk ke dalam toilet wanita.
"Cewek yang tadi, tuh!" gumam si lelaki sambil melepas kaca mata hitamnya. "Tungguin dia keluar aja, deh!" putusnya.
Sepuluh menit berlalu. Gamis bagian bawah Anjani tampak belang-belang lantaran bekas air. Sama sekali Anjani tidak masalah dengan itu. Baginya yang terpenting gamisnya sudah tidak mencolok oleh noda campuran air dan tanah.
"Hai cewek!" sapa si lelaki begitu Anjani keluar.
Pikiran Anjani langsung menuduh bahwa lelaki di depannya itu berniat menggodanya. Terbukti dengan sapaan yang dipakai. Bukan salam yang digunakannya.
"Permisi," ucap Anjani sambil berlalu pergi.
"Idih. Dingin banget, sih. Padahal gue mau minta maaf, ya meski gue nggak salah. Sekalian mau ngasih ... tisu." Lelaki itu menatap tisu yang tak sempat dia berikan pada Anjani.
Pandangan Anjani diedarkan. Tengok kiri-kanan mencari sosok Isabel yang baru beberapa menit lalu dia kenal. Ketemu. Isabel sedang berbincang dengan beberapa teman di dekat gazebo.
Langkah Anjani mantap menghampiri. Lagipula Anjani tidak mengenal siapa pun lagi selain Isabel.
"Anjani, duduk sini!" Isabel mengusir beberapa teman lelakinya dan membiarkan Anjani duduk di dekatnya.
"Teman-teman. Kenalin. Namanya Anjani. Mahasiswi baru. Teman sekelas kita." Isabel memperkenalkan pada beberapa teman yang ternyata satu kelas juga dengan Anjani.
Anjani berkenalan dengan beberapa teman wanita, mengetahui satu per satu namanya, lantas menjabat tangan mereka. Sementara kepada teman lelaki, Anjani menjaga sikap dengan hanya mengatupkan kedua tangan di depan dada.
Rupanya penampilan Anjani yang santun dan islami membuat teman-teman yang baru dikenalnya menaruh rasa sungkan. Mereka begitu sopan pada Anjani. Hanya beberapa saja yang masih dikenal Anjani. Namun, Anjani berharap teman-teman sekelas lainnya juga akan bersikap sama padanya.
"Kenalan laginya ntar-ntar aja ya. Aku mau antar Anjani keliling gedung. Biar makin betah di kampus ini." Isabel pamit dan mengajak Anjani berkeliling.
Perasaan nyaman perlahan mulai menghampiri. Anjani senang bisa mengenal Isabel yang begitu ramah dan peduli. Sedari tadi Isabel terus berceloteh tanpa henti sambil mengenalkan ruangan-ruangan yang biasa digunakan untuk kuliah di jurusan ekonomi.
Anjani mengamati mahasiswa-mahasiswi yang sedari tadi banyak berpapasan dengannya. Anjani langsung bisa menyimpulkan bahwa penampilan dirinya tergolong minoritas. Kebanyakan penampilan mereka modis, dengan tren rambut terbaru. Sebagian lagi ada yang berhijab, tapi yang terjulur sampai menutupi bagian dada hanya sebagian kecil saja.
"Mereka modis-modis," ungkap Anjani.
"Begitulah. Kebanyakan mengikuti fashion terkini. Eh tapi kamu jangan minder, ya. Kamu malah lebih cantik dari mereka," puji Isabel.
"Hihi. Cantik itu dari hati, Bel. Oya, kalau sistim perkuliahannya gimana?" Anjani ingin lebih tahu.
"Sama aja kok kayak di kampus lain. Pemrograman sendiri, ikut kelas, tugas, kadang online. Yaa, seperti kampus pada umumnya. Cuma, kadang ada even-even buat mahasiswa. Studi banding lihat-lihat ke kampus lain juga pernah, loh."
"Oh ya? Pernah sampai ke luar Jakarta, nggak? Misal studi bandingnya ke Jogja?" Anjani membuat pemisalan.
Tetiba saja Anjani teringat Meli. Pastilah sabahat baiknya itu sedang menikmati kehidupan barunya bersama sang suami. Kampus Meli juga baru di Jogja sana. Teman-teman Meli juga pastilah banyak yang baru.
"Kalau ke Jogja sih belum pernah. Kenapa nyebut Jogja? Ada orang yang kamu suka ya di sana?" selidik Isabel setengah bercanda.
"Sahabat baikku di Jogja. Namanya Meli. Dia juga baru pindah kampus di sana, sama sepertiku," jelas Anjani.
"Wah, senangnya yang punya sahabat masih terus terjaga komunikasinya. Sahabatku yang baru pindah malah udah nggak bisa dihubungi nomor ponselnya. Huft. Persiapan masuk kelas aja yuk!" ajak Isabel.
Anjani melirik jam yang melingkar di tangan. Benar saja, sebentar lagi kelas berikutnya dimulai. Kali ini Anjani tidak takut terlambat lagi karena sudah mengenal ruangan-ruangannya.
Anjani duduk di paling depan, persis di sebelah Isabel. Begitu sudah duduk tenang, dari arah pintu terlihat lelaki yang tadi berkacamata hitam. Anjani mengabaikannya, lebih memilih untuk mengecek pesan di smartphone-nya.
Berbanding terbalik dengan sikap Anjani, si lelaki justru tersenyum dan mendekatkan langkah hingga ke depan tempat duduk Anjani.
"Kenalin. Nama gue Riko." Riko langsung menjulurkan tangan kanan hendak bersalaman.
Anjani langsung menangkap bahwa lelaki bernama Riko itu teman sekelasnya. Lekas dikatupkannya kedua tangan di depan dada sambil tersenyum sekilas.
"Anjani," ucap Anjani memperkenalkan diri.
Riko kikuk sendiri karena tangannya bersambut angin. Dari arah belakang, terdengar celetukan dari seorang wanita yang penampilannya paling modis dibanding lainnya.
"Cewek alim lu ajak kenalan, Rik. Jual mahal tuh! Mending sini aja lebih kenal sama gue," celetuk si cewek yang dikenal dengan nama Marisa.
Anjani terdiam mendengar celetukan itu. Akan tetapi, tak sampai diambil hati. Saat di Jember dulu, awal-awal masa kuliahnya juga ditemuinya sosok yang seperti Marisa. Seiring berjalannya waktu, semua pun berubah. Anjani percaya bahwa kehidupannya di Jakarta juga akan selalu diselimuti kemudahan.
"Anjani, slow aja, ya. Ambil yang baik-baik aja," bisik Isabel dan langsung ditanggapi anggukan oleh Anjani.
Rupanya lelaki yang bernama Riko itu tak menanggapi ocehan Marisa. Sedari tadi tatapan mata Riko tertuju pada Anjani.
"Maaf. Riko. Dosen datang," kode Anjani.
Seketika Riko menoleh ke arah pintu. Benar saja, pria berpakaian rapi, bersepatu hitam, tengah melangkah mantap menuju depan kelas.
Perkuliahan dimulai. Dosen sempat berkenalan sebentar dengan Anjani sebelum memulai kelas. Anjani begitu nyaman mengikuti mata kuliah di jam itu. Dosennya penuh canda. Mahasiswa pun auto tertawa sambil mencerna mata kuliah.
"Tinggal satu mata kuliah lagi, kan?" tanya Anjani begitu selesai kelas.
"Ini yang terakhir. Kelas berikutnya di-cancel jadwal. Oya, kamu belum kumasukin grup chat angkatan. Bentar, ya. Sekalian sini aku minta nomor ponselmu," pinta Isabel.
Ponsel segera dikeluarkan. Anjani saling bertukar nomor ponsel dengan Isabel. Tanpa disadari Anjani, rupanya Riko yang sedari tadi menguping juga mencatat nomor ponsel Anjani yang didiktekan pada Isabel.
"Kamu cewek pertama yang memikat hatiku, Anjani. Maafin kelakuan ban mobilku yang menodai pakaianmu tadi, ya." Batin Riko seraya menyimpan nomor Anjani dan memberinya nama 'my love' di kontaknya.
Beriringan langkah, Anjani dan Isabel meninggalkan kelas. Jarum jam masih mendekati pukul 10, sedangkan Anjani meminta jemput sopir pukul 11. Sebenarnya tidak masalah, Anjani tinggal menelepon Pak Gun untuk menjemputnya.
"Kamu mau langsung pulang? Ikut aku bentar yuk! Tadi teman-teman organisasi ada yang bawa durian. Ikut nimbrung aja bentar. Biar lebih kenal," ajak Isabel.
Sebenarnya Anjani merasa sedikit lelah karena tadi terlalu banyak berkeliling mengenal ruangan. Demi menghormati ajakan Isabel, Anjani pun memilih ikut. Langkah mereka masih beberapa meter lagi sebelum sampai ke kerumunan beberapa mahasiswa yang sedang asik menyantap durian di pelataran luas bagian taman belakang. Aroma durian sudah tercium harum sekali.
"Huweeeek!" Anjani mual.
"Eh? Anjani, kamu tidak apa-apa?" Isabel panik.
Anjani menggeleng pelan, tapi kemudian ....
"Huweeeek!" Anjani kembali mual.
"Maaf, Bel. Sepertinya aku tidak bisa mencium bau yang terlalu menyengat. Aku ke kantin aja ya. Mau beli teh hangat," ujar Anjani sambil memegangi perutnya.
"Oke-oke. Aku temani. Kamu duduk saja dulu di gazebo. Em, yang sebelah sana saja." Isabel mencari gazebo dekat dengan parkiran. "Duduk sini sebentar, aku belikan teh hangat." Isabel gesit melangkah.
Anjani memijit pelan keningnya. Diusapnya juga perut datarnya.
"Maafin bunda, ya Nak. Bunda sedikit lelah," gumam Anjani tersenyum sendiri sambil mengusap-usap perut datarnya.
"Hei, cantik!"
Riko tiba-tiba muncul. Anjani langsung memperbaiki posisi duduknya. Senyum sekilas dilayangkan pada Riko.
"Eh, kok pucat? Lagi nggak enak badan, ya? Aku belikan minum dulu, ya."
"Tidak perlu. Isabel sudah ke kantin beli teh hangat untukku kok. Terima kasih." Anjani mencegah.
Riko langsung mengambil posisi duduk persis di depan Anjani.
"Kamu tinggal di mana? Aku antar pulang, ya?" Riko berpangku tangan sambil menatap Anjani.
"Tidak perlu juga. Terima kasih. Aku dijemput," ungkap Anjani tanpa basa-basi lagi.
"Baiklah kalau begitu." Riko sedikit kecewa.
Isabel datang dengan teh hangatnya. Dia langsung mengusir Riko.
"Rik, jangan deket-deket Anjani, deh. Kalau Marisa tau pasti gawat," celetuk Isabel.
"Emang Marisa siapanya gue? Gue ini warga negara yang bebas. Bodo amat sama Marisa. Nggak level!" sahut Riko.
Riko adalah salah satu idola di jurusan ekonomi. Berparas tampan, sedikit tengil, tapi penampilannya modis. Banyak yang menaruh hati pada Riko, tapi Riko masa bodo dengan perasaan mereka.
"Terserah aja deh. Sana-sana. Aku mau mijitin lehernya Anjani." Isabel begitu perhatian.
"Gitu amat sih ngusir gue. Yaudah. Bye-bye, Anjani. Sampai ketemu besok!" Riko pamit pulang dulu.
Anjani tidak begitu merespon. Dia terus menyesap teh hangat.
"Sudah lebih baik?" tanya Isabel.
"Alhamdulillaah. Oya, harga tehnya berapa tadi?" Anjani berniat mengganti.
"Yaelah, Anjani. Nggak perlu diganti. Mulai hari ini kita berteman. Semoga aku yang apa adanya ini tidak jauh beda dengan sahabatmu yang namanya Meli itu." Isabel begitu ramah.
"Makasih, Bel. Aamiin. Oya, Riko emang gitu ya sikapnya sama wanita?" selidik Anjani.
"Nggak sama sekali. Biasanya bodo amat. Sepertinya Riko naksir kamu," tebak Isabel.
"Aduh. Jangan sampai itu terjadi!" doa Anjani.
"Loh emang kenapa? Riko tampan loh. Cocok banget sama kamu," ungkap Isabel.
Baru saja Anjani hendak menanggapi, tetiba saja ponselnya berdering. Mario yang menelepon saat itu. Segera saja Anjani menerima panggilan suara itu.
"Assalamu'alaikum," salam Anjani.
Meski tak melihat wajah Anjani, tapi Mario bisa merasakan sesuatu telah terjadi hanya dari mendengar nada suara Anjani.
"Wa'alaikumsalam. Sayang, kamu baik-baik saja?" selidik Mario. "Tidak-tidak. Kamu sudah dapat teman baru kan di kampus? Coba berikan ponselmu padanya," perintah Mario.
Anjani menurut dan memberikan ponselnya pada Isabel. Semula Isabel bingung, tapi Anjani memberi kode untuk menjawab apa saja yang ditanyakan via telepon itu.
"Iya halo?" Isabel menyapa.
"Maaf, saya Mario. Suaminya Anjani. Apa istri saya baik-baik saja?"
"Su-suami?" Isabel terkejut mendengar fakta itu. Anjani yang peka langsung memberi isyarat bahwa nanti akan memberi penjelasan padanya.
"Halo?" Mario mengecek suara Isabel.
"I-iya. Nama saya Isabel. Teman barunya Anjani. Em, tadi Anjani sedikit mual karena mencium aroma durian. Dan .... Aaaa, Anjani. Jangan-jangan kamu sedang hamil muda, ya?" Isabel terkejut dengan dugaannya sendiri. Dia melihat ke arah Anjani yang menampakkan mimik wajah yang sulit diartikan.
"Halo, Isabel. Iya, istriku sedang hamil muda. Tolong bilangkan padanya aku segera menuju kampus untuk menjemputnya," ujar Mario.
Isabel mengiyakan. "Anjani, kamu mau dijemput suamimu," terang Isabel mengulang kata-kata Mario.
"Eh, tidak-tidak." Anjani mengambil alih ponselnya lagi. "Halo, Sayang. Aku sudah tidak apa-apa. Tadi cuma sedikit mual. Sudah jauh lebih baik. Sungguh. Percayalah padaku," terang Anjani.
Terdengar helaan nafas dari Mario. Mario mencoba untuk tidak bersikap over protektif pada sang istri.
"Baiklah. Kamu baik-baik, ya. Minta Pak Gun untuk mengantarmu kemana saja. I love you, Sayang."
"Love you, too."
Anjani lega karena Mario terlihat mengalah. Namun, detik berikutnya keputusan berubah.
"Tidak-tidak. Aku ke kampusmu sekarang. Tunggu aku. Assalamu'alaikum."
"Sayang, aku .... Yah. Wa'alaikumsalam."
Panggilan telah diakhiri Mario. Mau tidak mau Anjani harus menunggu Mario datang menemuinya di kampus. Pandangan Anjani beralih pada Isabel. Tatapan mata Isabel megisyaratkan agar Anjani segera memberi penjelasan atas status dirinya.
Bersambung ....
Suka? LIKE-nya dong buat author. Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Mampir juga ke novel pertama author yang berjudul Cinta Strata 1, ya. Kisah Mario-Anjani bermula dari sana. Kenal juga sahabat baiknya Anjani, Meli. Merapat ke novel Menanti Mentari karya my best partner, Kak Cahyanti. Dukung kami 💙
Pendengaran ditajamkan. Isabel lebih mencondongkan badan ke depan agar lebih mendengar saat Anjani memberi penjelasan tentang status dirinya.
"Bagi cerita, dong. Kepo banget, nih!" pinta Isabel.
"Sebenarnya, aku baru aja menikah. Sekarang, aku juga sedang mengandung. Masih usia enam minggu, kok. Kamu kaget, ya?" tanya Anjani usai penjelasan singkatnya.
"Tadinya iya, tapi sekarang aku lebih kepo sama wajah suamimu. Seperti apa lelaki yang beruntung mendapatkan hatimu itu. Hihi." Isabel memamerkan deretan gigi gingsulnya.
Tawa ringan disuguhkan. Anjani tadinya mengira Isabel akan memberondong dengan pertanyaan lainnya. Ternyata Isabel justru lebih kepo dengan wajah Mario.
"Bentar lagi aku kenalin. Tapi jangan naksir, ya. Suamiku mantan idola kampus," ungkap Anjani dengan nada canda.
"Wuiih! Mantan idola kampus? Kayak Riko, dong! Pasti suamimu bening!" Isabel membayangkan wajah Mario akan sebelas dua belas dengan Riko.
Kembali Anjani tertawa ringan. Keadaan ramah seperti ini sungguh membuatnya nyaman. Isabel benar-benar asyik diajak berteman.
"Eh, tapi kenapa kamu nggak bilang dari awal sih kalau lagi hamil. Tau gitu kan aku nggak ngajak kamu keliling gedung lama-lama. Maaf, ya. Kamu pasti lelah." Isabel merasa bersalah.
"Nggak apa-apa. Sekarang, kita ke dekat gerbang, yuk!" ajak Anjani.
"Loh, ngapain?"
"Nungguin suamiku. Aku nggak enak kalau ketemu di depan gedung," ungkap Anjani.
Di saat banyak yang diantar sang pacar, gebetan, atau teman dekat hingga ke depan gedung, Anjani justru memilih untuk bertemu di depan gerbang saja. Padahal statusnya dengan sang suami sangatlah jelas sebagai pasangan yang sah. Isabel yang belum terlalu mengenal betul watak Anjani pun memilih menuruti kemauannya.
"Eh, itu kakakku. Woi, Kak!" seru Isabel memanggil Bastian.
Bastian yang saat itu sedang beriringan langkah dengan temannya pun berlari kecil mendekat. Posisi mereka saat ini hampir mendekati gerbang utama.
"Udah kelar kuliahnya? Kalian mau kemana?" tanya Bastian.
"Udah, nih. Mau ketemu suaminya Anjani di depan," ungkap Isabel.
"Suami?" Keterkejutan tak dapat ditutup-tutupi. Bastian sungguh terkejut kali ini.
Bastian seketika melihat Anjani dengan tatapan penuh tanya. Sungguh Bastian tidak menyangka bahwa Anjani telah berstatus sebagai seorang istri. Padahal, Bastian memiliki niatan untuk PDKT dengan Anjani. Pupus sudah niatan Bastian.
Auto mundur alon-alon. Gagal sebelum berjuang, nih. Batin Bastian.
"Kak, Bas. Boleh ajak Isabel main ke rumahku, nggak? Nanti pulangnya kuanterin," izin Anjani.
"I-iya bolehlah." Bastian sedikit tergagap. Masih ada sedikit rasa kecewa yang menggelayut dada. "Masa iya aku ngelarang. Aku kan baik hati, tidak sombong, rajin menabung, tapi ... nggak punya kekasih. Hihi. Bel, jangan ngabisin makanan di rumah Anjani loh, ya!" ancam Bastian kemudian.
"Iya, bawel!" sahut Isabel.
"Anjani, sekalian nasihatin adikku ini, ya. Biar mau nutupin rambutnya kayak kamu. Lihat kamu adem. Kalau lihat adikku ... Kaboooor!" ujar Bastian, kemudian nyelonong pergi.
Anjani tersenyum, lantas menanggapi dengan kata insya Allah meski Bastian sudah tidak lagi di hadapannya. Sedangkan Isabel, dia hanya cemberut dan berulang kali meneriaki kata 'awas kau nanti'.
Memang, sang kakak bahkan orangtua Isabel telah gencar menyuruhnya berhijab. Hanya saja hati Isabel yang belum mantap.
Dua wanita beda penampilan telah berdiri di dekat gerbang utama. Menunggu kedatangan Mario yang tengah dalam perjalanan.
Tak begitu lama menunggu, sebuah mobil mewah bercat hitam menepi. Sosok berparas tampan keluar dengan membawa setangkai bunga mawar putih di tangan. Mario telah datang. Langsung didekatinya Anjani, lantas mengecup keningnya tanpa sungkan.
"Ish, di tempat umum kok main cium aja, sih!" protes Anjani. "Nanti aku dikira simpanan om-om!" imbuhnya.
"Om-om? Apa penampilanku setua itu? Baiklah, besok aku mau ganti gaya rambut biar terlihat lebih muda," sahut Mario.
Anjani justru terkekeh melihat ekspresi Mario yang begitu serius menanggapi kata-katanya.
"Tuan putriku baik-baik saja? Kubawakan bunga kesukaanmu." Mario menyerahkan setangkai mawar putih yang dibawanya.
"Hayo, metik di pekarangan siapa ini?" selidik Anjani.
"Di depan kantor ada sedikit tanamannya. Curigaan amat, sih? Aku bukan tipe pengambil milik orang tanpa izin." Mario meladeni candaan Anjani dengan ramah.
And how .... Betapa dunia terasa milik berdua jika sepasang kekasih telah larut dalam madu asmara. Isabel, fix terlupakan.
"Ekheem!" dehem kecil Isabel. "Cieee," imbuhnya.
Anjani refleks menoleh. Sedikit tergopoh karena benar-benar lupa dengan Isabel.
"Maaf-maaf. Em, Kenalin dulu. Ini suamiku, namanya Mario." Anjani memperkenalkan.
Mario tersenyum sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
"I-isabel." Sedikit gugup juga Isabel karena melihat betapa tampannya Mario.
"Isabel kuajak main ke rumah, ya?" izin Anjani.
"Silakan. Aku antar. Pak Gun aku hubungi dulu biar tidak menjemputmu."
Anjani dan Isabel masuk ke dalam mobil lebih dulu. Sementara Mario masih menghubungi Pak Gun.
"Pantes kamu nggak mau dijemput di depan gedung. Teman-teman kalau lihat suami gantengmu pakai mobil semewah ini, pasti pada ngiri. Auto jadi trending topik satu kampus ntar." Isabel berbisik.
Anjani hanya mengangguk singkat sambil tersenyum sebagai tanggapan. Memang itulah salah satu alasannya. Di awal masa kuliahnya di kampus baru, Anjani tidak ingin terlalu mencolok.
Sampailah mobil mewah Mario di rumah. Pak Gun membukakan gerbang lantas menyapa dengan riang.
"Pak Gun, saya mau balik ke kantor. Nanti tolong antarkan teman istri saya pulang," terang Mario.
"Siap Tuan. Laksanakan!"
Tujuan Mario untuk memastikan keadaan Anjani sudah terpenuhi. Lega, meski hanya sebentar saja. Aura pengantin baru memang masih melekat baik pada diri Mario maupun Anjani. Wajar saja jika keduanya terkadang tak dapat menahan keinginan untuk saling bertemu memastikan keadaan pasangan.
"Makan ini bersama temanmu. Tadi ada penyambutan kecil untukku. Kue bolu, suka?" tanya Mario.
"Suka, kok. Aku nggak rewel kalau soal makanan," sahut Anjani sembari menerima kue bolunya.
"Aku kembali dulu. Assalamu'aikum."
"Wa'alaikumsalam. Jangan balik-balik lagi sebelum waktunya pulang!"
Mario hanya tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya pada Anjani. Masuk mobil, putar haluan, mobil pun kembali dilajukan.
"Haaah! Bisa bernafas lega, deh!" celetuk Isabel.
"Eh? Kenapa, Bel? Emang dari tadi kamu nahan nafas?" tanya Anjani.
"Iya! Duh, suamimu bener-bener ganteng. Beruntung banget sih kamu!" Isabel mendadak gemas dengan Anjani. "Eh btw, kamu nggak takut suamimu diganggu wanita cantik di luaran sana? Suamimu tajir juga lho."
"Kadang sempet khawatir juga, sih. Tapi, insya Allah suamiku setia. Aku yakin suamiku tidak akan berani mendua apalagi sampai nikah lagi." Anjani terlihat yakin sekali.
"Wah, aura optimismu terpancar sampai sini, nih. Efek samping punya suami tampan gini pasti, ya?" Isabel membuat canda.
Hanya senyum ringan yang Anjani berikan sebagai tanggapan. Lengan Isabel ditariknya pelan, lantas diajak masuk ke dalam.
Mbak Lastri sigap membuatkan minuman untuk tamu yang datang. Anjani sempat membantu sebentar sambil meletakkan kue bolu di piring untuk segera dihidangkan. Sementara Isabel, di ruang tamu sana sedang asik mengamati album pernikahan Mario-Anjani. Dalam album foto itu terdapat pula foto teman-teman Anjani selama kuliah di Jember.
Tetiba saja ponsel Isabel berdering. Isabel tak pernah melalaikan ponselnya karena dia aktif juga di organisasi. Seringkali ada saja yang menelepon dirinya untuk sekedar melaporkan persiapan suatu even di kampus. Akan tetapi, yang menelepon Isabel bukanlah teman organisasi. Riko yang telepon saat ini.
"Tumben banget nih anak telepon? Pasti ada maunya." Isabel curiga.
"Ya, halo."
"Halo, Bel. Gue ada perlu, nih!" sahut Riko via teleponnya.
"Apaan tuh? Cepetan bilang!"
"Gue dikira nggak punya teman sama nyokap bokap. Nanti sore, ada acara anniversary-nya mereka. Gue disuruh undang teman. Lu bantu gue dong. Lu kan aktivis BEM. Pasti peduli sama rakyat biasa macam gue."
Isabel mengambil jeda karena Anjani datang dengan kue bolu dan minuman.
"Riko telepon, bentar ya." Kode Isabel.
"Lanjutin aja," pinta Anjani.
Isabel mencomot seiris bolu lebih dulu sambil kembali menanggapi Riko.
"Terus aku bisa bantu apaan? Ngumpulin massa buat akting di depan orangtuamu?" jawab Isabel dengan santainya.
"Nggak perlu repot-repot sampai segitunya. Cukup lu sama Anjani aja yang dateng. Kalian kan teman terdekat gue. Oke?" aku Riko.
Seketika Isabel tersedak mendengar pengakuan Riko. Sejak kapan Riko peduli dengan yang namanya teman. Begitulah pikirnya.
"Lagi bahas apa sih kalian? Kok sampai keselek gitu? Ini, Bel. Minum dulu." Anjani menyodorkan segelas air minum yang langsung diteguk oleh Isabel.
Telepon masih berlanjut.
"Cuma aku sama Anjani yang diundang, nih?" Isabel meyakinkan diri. "Sejak kapan kita berteman dekat?" imbuhnya.
"Sejak aku kenalan sama Anjani tadi. Oke, fix ya? Gue tunggu nanti sore. Alamat kukirim sekarang juga. Bye-bye!"
Telepon dimatikan sepihak. Isabel masih terbengong-bengong sambil menatap layar ponselnya.
"Bel, kamu oke? Riko bilang apa?" Anjani menutupi layar ponsel Isabel agar fokus ke arahnya.
"Ada undangan makan-makan dari Riko. Kamu sama aku diundang. Gimana?"
"Aku sih mau-mau aja, tapi aku izin dulu sama suamiku, ya? Insya Allah suamiku pengertian dan bakal ngasih izin," terang Anjani.
Isabel nyengir kuda. Dia tidak menjelaskan bahwa yang diundang hanya dirinya dan Anjani saja. Di satu sisi Isabel kebingungan dengan undangan dadakan yang hanya mengundang dirinya dan Anjani. Namun, di sisi lainnya Isabel kasihan dengan alasan yang Riko berikan. Sungguh miris kisah seseorang jika dianggap tak memiliki teman. Isabel berniat menolong Riko saja.
Berbanding terbalik dengan Anjani yang mengira undangan itu untuk teman sekelas. Makanya, Anjani mau-mau saja, dan tentunya dengan izin suaminya.
"Eh, undangannya kapan?" tanya Anjani.
"Sore ini."
"Waduh! Dadakan juga, sih."
Sempat ada keraguan, tapi Anjani memutuskan untuk tidak mengubah niatan. Anjani seketika menelepon Mario, meminta izin padanya. Rupanya Mario mengizinkan dengan mudah, asalkan perginya bersama Isabel dan diantar Pak Gun. Anjani pun setuju dengan itu.
***
Sore pun tiba. Anjani lebih dulu menjemput Isabel di depan gang rumahnya. Sengaja Isabel menunggu di depan gang karena mobil Anjani tidak akan cukup masuk ke dalam sana.
Anjani tampil dengan gamis casual warna pink soft. Sedangkan Isabel, tampil dengan dress bunga lengan panjang selutut. Rambut sebahunya dibiarkan terurai. Dan ... berangkatlah mereka ke rumah makan tempat Riko mengundang.
"Kok nggak seperti sedang disewa untuk pesta, ya?" Anjani mulai curiga.
"Em, Anjani. Sebenarnya Riko cuma ngundang kita berdua." Isabel jujur pada akhirnya.
"Eh?" Ada keterkejutan sesaat, tapi Anjani lekas memaklumi karena memang merasa salah juga tadi tidak bertanya lebih.
"Yaudah, nggak apa-apa. Sudah terlanjur sampai sini. Mungkin juga, teman Riko yang lainnya banyak yang diundang." Anjani berprasangka baik.
Melangkahlah mereka menuju reservasi meja yang telah diberitahu Riko sebelum ini. Lagi-lagi Anjani dibuat terkejut karena di meja yang dipesan hanya ada Riko, dan kedua orangtuanya.
"Bel, beneran cuma kita aja ini sepertinya," lirih Anjani.
"Hihi. Iya. Kok aku jadi kikuk gini, ya?" balas Isabel dengan lirih juga.
Riko menyadari kehadiran Anjani dan Isabel. Segeralah Riko berdiri dan mempersilakan mereka duduk di dua kursi yang tersisa.
"Ma, Pa. Lihat, kan? Riko di kampus punya teman." Ada kebanggaan di wajah Riko begitu menyebut kata teman.
Anjani mulai bisa mengartikan keadaan. Dari ucapan Riko, jelas orangtuanya mengira bahwa sang putra tidak memiliki teman. Menyadari hal itu membuat Anjani tersenyum simpul. Mulai meninggalkan rasa penyesalan telah datang ke undangan Riko yang dadakan.
"Syukurlah. Mama kira kamu beneran nggak punya teman!" Mama Riko terlihat lega, lantas tersenyum bergantian ke arah Anjani dan Isabel.
"Terus-terus? Yang mana pacarmu?" tanya Papa Riko dengan antusias.
"Yang pakai hijab, Pa. Namanya Anjani," terang Riko.
Deg!
Bersambung ....
Suka? LIKE-nya dong buat author. Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Mampir juga ke novel pertama author yang berjudul Cinta Strata 1, ya. Kisah Mario-Anjani bermula dari sana. Kenal juga sahabat baiknya Anjani, Meli. Merapat ke novel Menanti Mentari karya my best partner, Kak Cahyanti. Dukung kami 💙
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!