Malam ini aku dan Tari di sibukkan dengan persiapan perlengkapan yang akan kami bawa untuk rencana mendaki ke sebuah gunung di daerah Jawa Tengah. Sebuah tas ransel yang cukup besar aku isi dengan berbagai keperluan yang akan membantu kami menopang kebutuhan hidup selama beberapa hari di atas sana. Begitu juga dengan Tari. Tak banyak yang kami bawa. Hanya kebutuhan pokok saja untuk beberapa hari dan juga beberapa potong pakaian untuk kami ganti. Lagian kami akan pergi berlima. Segala kebutuhan untuk tenda, alat masak dan lainnya bisa kita bagi berlima supaya tidak terlalu berat saat membawanya.
"Besok kita jalan jam berapa?"tanyaku pada Tari.
"Tadi sih Robby bilang kita jalan abis subuh aja. Biar sampai sana gak kemaleman."jawab Tari yang masih sibuk memasukkan satu persatu barang yang akan dibawa.
Rumah kami berdekatan. Tari memilih membawa barang-barang yang akan ia bawa kerumah dan berniat menginap di rumahku supaya besok pagi-pagi bisa langsung berangkat bersama tanpa janjian.
"Apa ada yang belum dibawa?"teriak Lukman sebelum menutup bagasi mobil setelah memasukkan beberapa tas ransel dan barang bawaan kami.
"Semua udah beres."jawabku sambil celingukan kesana kesini memperhatikan kalau saja ada barang yang masih tertinggal.
"Oke sip, ayo kita berangkat sekarang."ajak Robby pada yang lainnya.
Kami bergegas memasuki mobil dan bersiap untuk melakukan perjalanan yang cukup jauh. Robby yang menyopir untuk pertama kali. Nanti akan digantikan oleh Tomi dan Lukman jika dirasa perlu.
"Eh, kalian udah pada sarapan belum nih?"tanyaku pada yang lainnya.
"Belumlah. Masih pagi banget begini masa iya kita sarapan. Nanti aja kita mampir di rest area."jawab Lukman.
"Aku udah, hehehehe ... "jawab Tomi sambil cengengesan.
"Yeee ... gak heran kalau kamu mah, mbul."jawab kami riuh. Tomi memang paling gembul di antara kami. Jadi wajar saja kalau dia lebih sering makan dan tak bisa menahan lapar. Tomi hanya nyengir mendengar ledekan kami.
Selama perjalanan kami tak hanya diam. Lukman lebih memilih bermain gitar, Tari sebagai penyanyinya. Aku lebih memilih diam sambil membaca berbagai cerpen dan cerbung di sebuah aplikasi menulis. Dan Tomi lebih memilih untuk tidur. Sedangkan Robby lebih fokus menyetir sambil sesekali menyeletuk menimpali lagu yang dinyanyikan oleh Tari.
Sebisa mungkin kita buat suasana perjalanan ini menyenangkan. Selain memakan waktu yang cukup lama, perjalanan kali ini di khawatirkan akan membosankan juga karena sudah cukup lama kami vakum dari dunia pendakian. Maklum, sekarang kami sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Robby memperlambat laju mobil. Perlahan kami memasuki sebuah rumah makan untuk mengisi perut kami yang sudah mulai berontak. Ku lirik jam di pergelangan tanganku. Jam sembilan pagi. Aku bergegas turun dengan menenteng sebuah tas kecil berisi dompet dan juga handphone. Di ikuti yg lainnya di belakangku dan masih terlihat Lukman berusaha membangunkan Tomi yang masih asyik dengan dunia mimpinya.
"Wwwoooiii, mau bangun gak sih nih orang. Dari tadi di bangunin susah banget."terlihat Lukman sudah mulai jengkel. Perutnya sudah meronta ingin disini, namun kali ini malah sibuk membangunkan si gembul Tomy yang tertidur pulas. Aku mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Tomy. Tak lama kemudian Tomy membuka mata dan matanya menatap kesana kemari mencari sesuatu.
"Nyari apaan? tanya Lukman jengkel.
"Mana? mana makanannya?"tanya Tomy tiba-tiba setengah sadar. Bahkan matanya yang sipit karena tertekan oleh pipinya yang chuby masih susah untuk diajak melek. Tetapi kalau sudah mendengar kata makanan seolah-olah langsung sadar dari pingsannya.
Seketika terdengar gelak tawa dari yang lainnya melihat tingkah konyol Tomy dengan mata yang masih terlihat merah mencari makanan. Robby memukul-mukul pipi chuby Tomy supaya sadar dan segera ikut turun dari mobil.
"Sadar woy, kalau mau makan ya ayok turun."ajak Robby.
Tomy pun berjalan sedikit sempoyongan karena nyawanya belum ngumpul sepenuhnya. Tingkahnya yang lucu menimbulkan gelak tawa diantara kita.
"Nasi pake rendang ya, Pak."pesan Lukman pada salah seorang karyawan di rumah makan khas Minang tersebut.
Satu persatu dari kami menyebutkan pesanan masing-masing. Kami pun memilih tempat duduk di ujung supaya lebih enak mengobrol untuk membahas rencana selanjutnya setiba kita di pendakian. Diperkirakan kami akan tiba disana malam hari. Setidaknya kami akan mencari penginapan terlebih dahulu dan menunggu hari agak siang untuk mendaki. Supaya malam harinya kita bisa menginap di atas dan paginya bisa melihat matahari terbit. Sudah tergambar jelas di pelupuk mata indahnya matahari terbit yang dilihat dari ketinggian. Sungguh kami rindu saat-saat seperti itu. Sudah hampir lima tahun kami berempat tak pernah menjamah alat-alat mendaki kami karena kesibukan masing-masing. Sedangkan Lukman, ia belum lama bergabung dengan kami. Aku mengenalnya saat kami kuliah di fakultas dan jurusan yang sama.
Sudah cukup lama kami beristirahat. Kami pun melanjutkan perjalanan supaya cepat sampai dan tidak kemalaman.
"Aku ngantuk nih."ucap Tomy membuat kami semua beralih pandangan ke arahnya.
"Ah kebiasaan sih, Tom. Kalau kenyang aja mata maunya merem terus. Gantiin Robby tuh, kasihan kan dia terus yang nyetir."ucap Tari dengan sedikit meninggi nada suaranya.
"Jangan deh ah. Kita masih pengen hidup kan ya? Bisa berabe kalau sampai Tomy yang bawa mobil, apalagi sambil merem."tolak Lukman di ikuti anggukan kepala yang lainnya. Tomy yang sedang dibicarakan hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala entah gatal beneran atau cuma pura-pura.
Tak banyak bicara kita selama perjalanan kali ini. Kami semua hanya fokus dengan kegiatan masing-masing. Ada yang mencoba mengambil gambar pemandangan melalui kamera yang kami bawa. Ada juga yang memilih untuk memainkan ponsel untuk menghilangkan kejenuhan.
"Kita semua kenapa pada diam sih?"tanyaku memecah kesunyian. Hanya ada lantunan lagu mellow yang disetel oleh Robby untuk mengurangi sepi.
"Bingung mau ngobrolin apaan aku, Jen."jawab Tari.
Tak seperti biasanya kita saling diam seperti ini. Biasanya walaupun kita sering bertemu dan bersama selalu saja ada hal-hal yang menarik untuk kita bahas. Tapi entah kenapa kali ini berbeda. Rasanya ada yang berbeda dengan kita kali ini. Yang lainnya pun juga hanya menoleh dan kembali ke aktifitasnya masing-masing. Aku menghela nafas panjang.
"Perasaanku gak enak."tiba-tiba aku berucap dan membuat mereka kembali menoleh ke arahku.
"Ngomong apaan sih kamu, Jen?" tanya Lukman dan Tari bersamaan.
Aku mengangkat kedua bahu. Aku pun tak tahu mengapa tiba-tiba berkata seperti itu. Hanya saja kata-kata itu terlintas di pikiranku dan perasaan tak nyaman melintas di hati dan pikiranku. Sangat mengganggu.
"Kamu mikirin apa, Jen?" tanya Robby tiba-tiba. Ia yang tadinya hanya fokus menyetir kali ini ikut bersuara.
"Aku gak tahu. Hanya saja ... "aku tak melanjutkan kata-kataku. Aku memilih untuk memejamkan mata.
Yang lainnya juga kembali terdiam. Mungkin mereka memikirkan apa yang aku katakan. Entah malah tak peduli dengan kata-kataku yang memang tak masuk akal. Entahlah, aku juga tak tahu. Aku kembali membuka mata, dan aku mencoba melihat ke arah mereka satu persatu. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba muncul di dalam hati saat melihat ke arah mereka. Entah mengapa rasa sakit muncul dari dalam hati.
Aku mencoba berdamai dengan hati dan pikiranku. Ku tepis semua rasa tak nyaman dan rasa sedih yang tiba-tiba saja muncul untuk mengurangi rasa khawatir. Aku berharap semua akan baik-baik saja.
Cciiiittttt ...
Aku terbangun saat tiba-tiba mobil yang kami kendarai berhenti mendadak.
"Eh, Rob. Kamu nyetir sambil tidur?"tiba-tiba Tomy bersuara dan memukul pelan tubuh Robby dan sedang kebingungan.
"Ada kucing."jawab Robby singkat sambil menggelengkan kepala. Ia memilih menepikan mobil dan keluar untuk mencari kucing yang tadi berlari tepat di depan mobil yang kami kendarai.
Begitu juga denganku dan yang lainnya. Selain kami keluar untuk membantu Robby mencari kucing yang sepertinya tadi susah tertabrak, ini kesempatan juga untuk kami merenggangkan otot-otot tubuh yang kaku karena terlalu lama duduk.
"Udah lari kali, Rob."ucap Lukman yang tak berhasil menemukan bangkai kucing yang tadi Robby ceritakan. Robby menggeleng, kemudian mengangkat kedua bahu.
"Tapi tadi aku yakin tuh kucing ada tepat di depan mobil."ucap Robby kebingungan.
"Yasudah, sekarang gantian aja aku yang bawa mobil. Kamu istirahat aja."ucap Lukman pada Robby. Robby mengangguk setuju. Kamipun kembali masuk ke dalam mobil. Robby dan Lukman bertukar posisi.
"Sekarang kamu istirahat dulu, lumayan kan setengah perjalanan."ucapku pada Robby. Ku lihat dia pun memejamkan mata.
Jujur saja, semenjak kejadian kucing yang hampir tertabrak tadi membuat perasaanku semakin tak karuan. Muncul berbagai macam pikiran buruk yang akan terjadi pada kami semua setiba disana atau bahkan selama perjalanan. Namun aku harus menepis semua rasa itu. Aku tak ingin hanya karena prasangka buruk ku dan juga pikiran-pikiran tak karuan yang berkecamuk di dalam dada akan membuat rencana liburan kami kali ini yang sudah direncanakan jauh-jauh hari akan gagal dan membuat mereka memilih untuk putar balik hanya karena prasangka ku yang belum tentu akan terjadi.
Hari sudah senja. Matahari sudah mulai tak nampak dan cahaya lampu sudah mulai menerangi sepanjang perjalanan. Itu artinya sebentar lagi kami akan tiba di tempat yang akan kami tuju. Seketika aku terkesima melihat iring-iringan rombongan perempuan bergaun cantik sedang berjalan beriringan di sepanjang jalan. Dari yang aku lihat sepertinya mereka warga setempat yang akan mengadakan pergelaran seni tari di sekitar sini. Dari gaun yang mereka gunakan memang seperti penari tradisional ditambah ikatan selendang berwarna merah di pinggang mereka masing-masing. Dan juga beberapa rombongan pria memikul aneka macam gamelan kuno sebagai alat musik untuk mengiringi tarian. Ku amati mereka semua, nampak cantik dengan busana tradisional dan make up yang cukup tebal.
Tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri saat aku fokus menatap mereka seketika itu mereka semua berhenti dan kembali membalas tatapan mataku dengan sorot mata tajam dan seolah-olah melotot ke arahku. Aku terkejut dengan tatapan mata mereka yang ku rasa menjadi menyeramkan. Entah memang efek riasan, entah karena pantulan cahaya remang-remang dari lampu jalanan yang membuat wajah mereka terlihat berubah sangat menyeramkan. Aku memilih untuk memalingkan wajah ke arah samping dimana Tari yang duduk di sebelahku juga sibuk mengamati pemandangan luar sekitar.
"Tar, kamu lihat gak tadi rombongan penari hang barusan kita lewati?"tanyaku pada Tari. Nampak ia mengernyitkan dahi dan menoleh ke belakang.
"Dimana, Jen?"tanya Tari bingung.
"Barusan, disebelah kiri mobil ini."jawabku sambil menoleh kebelakang. Rombongan itu sudah tak terlihat. Mungkin sudah terlewat jauh atau bisa jadi sudah menyeberang atau berbelok.
"Udah kelewat jauh kali, Tar."ucapku pelan.
Tari yang penasaran masih berkali-kali menoleh kebelakang. Suasana jalanan memang cukup sepi. Tak banyak kendaraan berlalu lalang di sekitar sini. Mungkin karena kami sudah memasuki kawasan pedesaan. Untuk mengalihkan perasaan tak enak, aku memilih untuk menyandarkan kepala dan membuka aplikasi biru di handphone. Tapi tetap saja perasaan tak enak menyergap memenuhi dada.
"Ya Tuhan ... semoga semua baik-baik saja."batinku sambil menyeka keringat yang muncul.
"Jen, kamu sakit?"tiba-tiba Tari berbicara sambil memegang pundakku.
"Hah? Eng ... enggak kok."jawabku terbata.
"Tapi kamu pucat lho."ucap Tari sambil memegang keningku yang berkeringat.
Eh iya lho, kamu pucat banget."ucap Tomy menimpali.
"Aku gak apa-apa. Beneran deh."aku menepis tangan Tari dan menyeka keringat yang keluar di sekujur tubuh. Lukman dan Robby serempak juga menoleh ke arahku.
"Kamu yakin baik-baik aja, Jen?" tanya Robby memastikan keadaanku.
"Iya, aku gak apa-apa. Udah lanjut aja gak usah berhenti. Berapa lama lagi kira-kira kita sampai?"tanyaku pada Robby.
"Sejam lagi kita sampai penginapan."jawab Lukman dan Robby serempak. Aku mengangguk dan meneguk air mineral yang diberikan Tari padaku. Ada sedikit perasaan lega setelah mengetahui akan segera tiba di tempat penginapan. Tak sabar rasanya ingin merebahkan badan yang sudah kaku karena seharian perjalanan.
Akhirnya sampai juga kami disebuah penginapan yang sudah kami pesan sebelumnya via online. Tempatnya tidak terlalu besar, namun nyaman. Suasana pedesaan juga terlihat asri dengan ciri khas udara di kaki Gunung Slamet yang dingin dan berkabut. Kami menyewa sebuah rumah dengan dua kamar yang akan kami tempati. Dan juga sudah tersedia dua orang yang akan melayani segala keperluan kami selama kami menginap di tempat itu.
"Monggo, Mas, Mbak. Silahkan masuk."sapa seorang Bapak-bapak dengan taksiran usia sudah lima puluh tahun menyambut kedatangan kami berlima. Di belakangnya terlihat seorang ibu-ibu dengan perkiraan usia tak jauh berbeda dengan Bapak-bapak tadi.
"Oh iya, Pak. Terimakasih."jawab Lukman sambil menjinjing tas ransel yang ia bawa dan membantu kami perempuan membawa barang bawaan kami.
"Ini kamar untuk kalian yang laki-laki."tunjuk Bapak itu sambil memberikan sebuah kunci kamar pada Lukman. Sedangkan kami yang perempuan masih mengekor di belakangnya.
"Nah yang ini kamar untuk yang wanita."ucap lelaki setengah abad itu sambil menyerahkan kunci kamar padaku.
"Oh iya. Terimakasih banyak, Pak?"ucapanku terhenti karena belum mengetahui nama mereka berdua.
"Saya Kromo, dan ini Bu Sumi."jawab Pak Kromo ramah sambil menunjuk ke arah Bu Sumi yang berdiri dan kemudian membungkukkan badan sebagai tanda perkenalan.
"Saya Jenna, Pak. Dan ini Tari teman saya. Itu mereka bertiga Robby, Lukman dan satu lagi yang gembul itu Tomy."ucapku memperkenalkan diri dan disambut dengan anggukan kepala dari Pak Kromo dan Bu Sumi.
"Yasudah kalau begitu nanti kalau kalian sudah bersih-bersih langsung saja kesana untuk makan malam. Bu Sumi sudah mempersiapkan semuanya."pinta Pak Kromo yang kami balas dengan anggukan kepala sopan dan senyuman.
"Aaaahhhh ... capek banget aku."ucapku pada Tari yang bersiap-siap untuk mandi.
"Mandi dulu, Jen. Biar nanti enak pas tidur."ucap Tari yang ku jawab dengan anggukan kepala.
Aku mencoba memejamkan mata sambil menunggu giliran mandi setelah Tari. Untung saja di kamar kami sudah tersedia kamar mandi sendiri. Entah semua kamar sudah tersedia, atau mungkin karena kami wanita jadi kamar mandinya khusus di dalam kamar saja.
Sayup-sayup aku mendengar sebuah gamelan di tabuh. Suaranya menenangkan dan membuat mata semakin berat untuk di buka. Perlahan juga aku mendengar suara perempuan bernyanyi. Mungkin sinden yang sedang bernyanyi di iringi oleh musik gamelan. Sedangkan Tari, tak sedikitpun aku mendengar suara air gemericik dari kamar mandi. Seketika mataku terbuka mendapati keanehan yang terjadi. Aku beranjak dari tempat tidur dan mendekat ke arah kamar mandi.
Tok ... tok ... tok ... ku coba untuk mengetuk pintu kamar mandi untuk mencari tahu apa yang dilakukan Tari di dalam. Sunyi, tak ada jawaban apapun dari dalam sana.
"Tar, Tari."panggilku lirih.
Namun Tari tak sedikitpun menjawab panggilanku. Sedangkan suara gamelan sudah tidak terdengar lagi.
Tok ... tok ... tok ... aku menoleh saat mendengar pintu kamarku di ketuk dari luar. Aku berjalan perlahan menuju pintu dan berniat untuk membukanya.
"Si ... siapa?"tanyaku terbata.
"Saya, Mbak. Bu Sumi."jawabnya dari luar. Perlahan aku membuka pintu dan mendapati Bu Sumi sudah berdiri di depan pintu.
"Ada apa, Bu?"tanyaku.
"Ini, Mbak. Tasnya ketinggalan."jawabnya sambil menyerahkan sebuah tas kecil yang kutahu itu milik Tari.
"Oh iya, terimakasih banyak, Bu."ucapku sambil menerima tas kecil berwarna cokelat dan kembali menutup pintu kamar untuk melihat keadaan Tari di kamar mandi.
"Kenapa, Jen?"tanya Tari yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangku. Sontak saja aku terkejut melihat Tari yang tiba-tiba saja sudah berada tepat di belakangku.
"I ... ini. Tas mu ketinggalan."ucapku pada Tari. Tari menerima tas kecilnya, sedikit ada raut wajah bingung tersirat disana.
"Masa sih? Perasaan tadi aku udah bawa masuk. Udah aku taruh disana malah."ucap Tari sambil menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk. Jari telunjuknya menunjuk ke arah sebuah kursi kayu yang tertata rapi di ujung dekat jendela. Ia berjalan menuju bangku kayu tersebut.
"Kamu lupa kali. Ya masa udah kamu bawa masuk masa masih ketinggalan diluar begitu. Bu Sumi yang ngantar pula."jawabku untuk menepis keanehan yang Tari alami.
"Bisa jadi."jawab Tari sambil mengangkat kedua bahu dan kembali meletakkan tas kecilnya di tempat tidur.
"Ya sudah. Gantian aku mandi dulu. Tungguin ya, jangan ditinggal kemana-mana."ucapku pada Tari yang ia jawab dengan acungan jempol.
Aku mengambil baju ganti dan juga peralatan mandi yang sudah ku bawa dari rumah. Ku lihat di dalam kamar mandi. Hanya ada bak mandi, gayung dan juga kakus. Aku jadi teringat tadi saat Tari mandi. Kalau disini tidak ada shower dan hanya ada gayung, seharusnya tadi bersuara cukup keras saat Tari mengguyur badannya dengan gayung ini. Tapi perasaan tadi tak terdengar ada guyuran air dari dalam kamar mandi. Malah yang ada suara musik gamelan yang justru terdengar berasal dari tempat yang cukup jauh.
"Ah sudahlah."aku menepis semua rasa takut dan curiga. Aku kembali fokus untuk rencana mandi saat ini. Ku lepas semua pakaian yang ku kenakan selama perjalanan. Perlahan aku mengguyur badan. Suhu air disini sangat dingin. Namun terasa nyaman saat sudah menyentuh kulit. Saat sedang menggosok tubuh dengan sabun, kembali samar-samar terdengar suara musik gamelan di tabuh. Kali ini suaranya cukup jelas dan dekat. Aku merapatkan telinga ke pintu kamar mandi. Terdengar Tari bersenandung di luar sana. Wajar, memang Tari suka bernyanyi. Yang tak wajar, Tari bernyanyi lagu jawa dengan iringan gamelan tersebut. Aku mengintip melalui celah lubang kunci. Nampak Tari sedang duduk di tepi tempat tidur sambil menyisir rambut panjangnya menghadap ke arah jendela membelakangi kamar mandi. Aku merinding di buatnya. Segera ku percepat ritual mandi ku dan ingin segera keluar untuk melihat apa yang sebenarnya Tari lakukan disana.
Sejenak aku menghentikan guyuran air di kepala dan membuka kedua mataku. Aku baru ingat, sejak kapan rambut Tari jadi panjang sepinggang. Setahu aku Taru tak pernah memanjangkan rambutnya hingga sepinggang. Bahkan tadi saat kami berangkat saja rambut Tari masih di atas bahu. Aku buru-buru mengeringkan tubuhku dengan handuk dan memakai baju yang sudah aku persiapkan tadi. Perlahan aku membuka pintu dan terlihat Tari sedang rebahan di tempat tidur dan memainkan gawainya.
"Udah mandinya?"tanya Tari sambil melirik ke arahku. Aku mengangguk. Benar saja, rambut Tari cuma sebahu. Lalu tadi siapa perempuan berambut panjang yang duduk di tepi ranjang sambil menyisir rambut. Aku jadi semakin penasaran dengan segala sesuatu yang tampak tak wajar di mataku.
"Tar, tadi ada yang masuk kesini gak?"tanyaku perlahan sambil menyisir rambut.
"Gak ada. Kenapa?"jawab Tari dengan mata tak lepas dari handphone nya.
"Enggak kok. Tadi aku dengar ada yang nyanyi disini. Kirain bukan kamu."jawabku.
"Aku emang gak nyanyi. Dari tadi aku rebahan bales chat mama ku."jawab Tari bingung dan mulai beranjak duduk bersandar di tepi tempat tidur.
"Mungkin aku salah denger, Tar. Bisa jadi tetangga sebelah atau orang lain yang kebetulan lewat."jawabku. Tari mengangguk.
"Eh, Jen. Masa mama ku bilang kita gak usah lanjutin rencana kita untuk mendaki."ucap Taru tiba-tiba.
"Kenapa memangnya?"tanyaku penasaran.
"Kata mama, dia punya firasat gak enak kalau sampai kita mendaki kesana."jawab Tari.
Deg ... benar saja. Aku pun juga memiliki firasat tak enak untuk perjalanan kami kali ini. Hanya saja aku berusaha menepis semua rasa yang menurutku tak masuk akal.
"Jen, kamu gak apa-apa kan ?"tanya Tari menyentuh tanganku. Aku menggeleng.
"Apa kamu setuju dengan ucapan mamaku juga?"tanya Tari tiba-tiba.
"Heh?"aku tak menjawab. Aku tak tahu harus jawab apa untuk pertanyaan Taru kali ini.
"Tadi kamu sempat bilang kalau perasaanmu tak enak saat kita masih di perjalanan."ucap Tari. Aku hanya mengangguk.
"Terus kita harus bagaimana?"tanyaku lada Tari.
"Yah mau gimana lagi. Kita sudah terlanjur sampai sini. Masa iya kita batalin."ucap Tari cemberut.
"Ya sudah. Kita lanjutin saja rencana kita. Hanya saja kita harus waspada dan jaga etika kita selama mendaki. Jangan sampai karena kita lalai terus kita semua bisa celaka."ucapku yang di ikuti dengan anggukan kepala Tari.
"Nanti kita omongin ini semua sama yang lainnya."pintaku.
Kami pun keluar menuju tempat makan setelah Robby mengetuk pintu kamar kami untuk mengajak kami makan malam. Jujur saja perutku juga terasa sangat lapar karena kami tadi hanya sarapan dan tidak istirahat untuk makan siang.
Kami pun menyantap makan malah dengan bersenda gurau. Sejenak aku melupakan kejadian aneh yang aku alami sejak tadi. Begitu juga dengan Tari, sepertinya dia sudah mulai melupakan pesan dari mamanya untuk kembali saja dan tak usah meneruskan perjalanan. Saat kami sedang asyik makan, aku sekilas melihat seorang perempuan muda berambut panjang berjalan melewati pintu ruang tamu yang saat itu masih terbuka. Ku lihat perempuan itu juga melihat ke arah kami yang sedang makan bersama.
"Sepertinya aku pernah melihatnya."gumamku dalam hati. Aku berniat menanyakan pada Pak Kromo dan Bu Sumi nanti.
"Pak." sapa ku pada Pak Kromo yang sedang duduk di teras sambil di temani secangkir kopi hitam dan sebuah batang rokok terselip di jemarinya.
"Ada apa, Mbak?"tanya Pak Kromo buru-buru mematikan rokok dan membuang puntung rokoknya ke depan.
"Bapak kenal dengan perempuan berambut panjang yang tadi lewat di depan sini?"tanyaku sambil duduk di bangku sebelah Pak Kromo.
"Siapa ya, Mbak? Kok saya tadi malah gak lihat ada yang lewat."jawab Pak Kromo.
"Mungkin tadi pas Bapak belum duduk disini."ucapku kemudian.
"Saya disini dari tadi kok, Mbak. Dari sebelum kalian makan malam."jawab Pak Kromo sambil menyesap kopi hitamnya. Kali ini aku yang dibikin bingung. Pak Kromo tak melihat satu orang pun lewat depan penginapan kami. Sedangkan beliau sudah duduk lama disini.
"Anaknya seumuran saya, Pak. Kulitnya bersih, rambutnya sepinggang. Cantik. Dan dia berjalan ke arah sana."ucapku kembali menjelaskan pada Pak Kromo. Berharap Pak Kromo mengenalnya. Bukan apa-apa, aku hanya takut kalau ternyata yang ku lihat tadi bukan manusia. Terlihat Pak Kromo mengernyitkan dahi seperti kebingungan.
"Disini perempuan yang berambut panjang sepinggang tidak ada, Mbak. Rata-rata disini rambutnya pendek-pendek. Pengen ngikutin gaya anak kota katanya, dandan minimalis gitu."jawab Pak Kromo.
"Jangan-jangan yang Mbak lihat bukan manusia lagi."ucap Pak Kromo tiba-tiba membuat jantungku berdetak cepat.
"Ah bapak jangan begitu dong. Saya kan jadi takut."ucapku sedikit kesal.
"Tapi memang seperti itu kebanyakan, Mbak."jawab Pak Kromo.
"Maksud, bapak?"tanyaku penasaran.
"Ya itu tadi. Mbak Jenna melihat perempuan berambut panjang lewat sini sedangkan saya yang jelas-jelas duduk disini dari tadi tak melihat siapapun lewat sini."jawab Pak Kromo membuatku semakin ketakutan.
"Bapak mah, bikin saya makin takut saja. Yasudah kalau begitu saya permisi mau masuk, Pak."jawabku sedikit kesal dan lebih memilih masuk kamar.
"Tidak apa-apa, Mbak. Selama kita tidak macam-macam, semua akan baik-baik saja. Mereka hanya berkenalan." ucap Pak Kromo terkekeh. Mungkin bagi beliau semua ini adalah hal wajar, bagiku yang sudah sering mendaki gunung pun juga kadang menemukan hal tak wajar seperti ini. Hanya saja, sejak awal keberangkatan kami kemari, perasaanku sudah tak enak. Berharap kejadian ini tak ada menjadi pertanda akan terjadinya hal buruk pada kelompok kami.
Aku lihat Tari sudah tertidur dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga ke pundak. Cuaca disini memang dingin. Aku pun segera menyusul Tari untuk tidur. Masih terdengar suara para lelaki di kamar sebelah sedang berbincang-bincang dan sesekali terdengar gelak tawa mereka serempak. Aku tak mempedulikan mereka. Segera ku ambil selimut dan berbaring tepat di sebelah Tari yang sudah pulas.
Tanganku mencoba menggapai selimut yang tadinya menutupi tubuhku kini berpindah entah mengapa. Dengan mata yang masih terpejam tanganku meraba-raba sekitar berusaha untuk menemukan selimut yang tadi telah ku kenakan. Aku enggan membuka mata, karena sudah menjadi kebiasaan kalau mata sudah terbuka pasti akan sulit lagi untuk di pejamkan.
"Nah ini dia."gumamku dalam hati setelah menarik selimut di sampingku.
"Tunggu, kemana Tari?"pikirku karena aku tak mendapati tubuh Tari di sebelahku saat aku meraba mencari selimut. Seketika kubuka kedua mata dan ku edarkan pandangan ke sekitar. Tak ada tanda-tanda Tari berada di dalam kamar.
Tok ... tok ... tok ...
"Tari, apa kamu di dalam?"tanyaku perlahan sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada jawaban. Perlahan ku tekan engsel pintu untuk membuka pintu kamar mandi. Kosong. Tak ada siapapun di dalam.
Samar aku mendengar suara tak lazim di luar ruangan. Benar saja, pintu kamar yang sebelumnya ku kunci kini sudah tak terkunci lagi. Ku lihat slot kunci telah bergeser. Perlahan aku membuka pintu kamar. Lampu ruang tengah dimana yang letaknya persis di depan kamar dimatikan. Hanya ada cahaya temaram yang berasal dari teras. Terdengar suara rintihan pelan yang seperti sengaja sedang ditahan. Jantungku berdetak cepat. Samar-samar aku melihat bayangan dua orang sedang bercumbu di sela-sela meja dan bangku panjang yang terdapat di ruang tengah. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan seolah tak percaya. Aku mengenal sekali siapa orang yang tengah asyik memadu kasih itu hanya dari bayangan tubuhnya. Lukman dan Tari. Mereka sedang asyik melakukan perbuatan keji layaknya suami istri. Suara nafas yang memburu dari keduanya ditambah rintihan Tari yang sengaja ditahan samar terdengar olehku yang berdiri tepat di belakang pintu kamar. Terkejut? Tentu saja.
Aku memilih untuk kembali ketempat tidur dan berpura-pura tak melihat apapun. Tak ku sangka Tari dan Lukman melakukan hal yang seharusnya belum boleh mereka lakukan, apalagi mereka melakukan hal tidak baik saat ditempat asing seperti ini. Ditambah kenyataan kalau sebenarnya Tari mengetahui kalau aku sudah menyukai Lukman sejak lama. Sejak kami masih sama-sama di bangku kuliah. Tapi aku tak menyangka kalau ternyata mereka tega melakukan hal seperti itu di belakangku. Pantas saja akhir-akhir ini Tari sering menasehati ku untuk mencari laki-laki lain karena tak ingin persahabatan kami rusak hanya gara-gara perasaan. Sudah sejak kapan mereka melakukan hal terlarang seperti itu? Apakah yang lain tahu? Bermacam-macam pikiran berkecamuk di dalam dada. Rasa kantuk menghilang. Hanya ada gemuruh dalam dada yang merasa tak ikhlas telah di khianati oleh sahabat sendiri.
Pintu kamar terbuka. Secepat kilat aku berpura-pura memejamkan mata supaya Tari tak curiga kalau aku telah memergoki kegiatan gila mereka berdua. Sedikit aku membuka mata untuk melihat apa yang Tari lakukan. Dengan rambut yang masih berantakan dan juga baju yang belum sempat
di rapikan, ia berjalan menuju kamar mandi.
"Loh, Jen. Kok kamu bangun?"tanya Tari terkejut saat melihatku duduk di tepi ranjang sesaat setelah keluar dari kamar mandi.
"Iya, pengen ke kamar mandi. Tapi ternyata udah keduluan kamu."ucapku sambil pura-pura mengucek mata.
"Oh, yasudah sana. Aku udah selesai."jawab Tari dengan sikap biasa saja. Aku mengangguk dan segera beranjak ke kamar mandi.
"Eh, Jen. Kamu udh kebangun dari tadi?"tanya Tari padaku.
Aku menggeleng dan pura-pura menguap seolah-olah aku baru saja terbangun.
"Kenapa emangnya?"tanyaku berpura-pura tak tahu maksud pertanyaan Tari.
"Hehehe ... gak apa-apa."jawabnya kemudian menarik selimut kembali untuk menutupi tubuhnya.
Aku menghela nafas panjang. Sakit sebenarnya perasaanku melihat sendiri apa yang telah mereka lakukan di belakangku. Ku seka air mata yang terlanjur menetes dan membasuh wajahku dengan air kran. Aku kembali ke kamar dan ku lihat Tari sudah mendengkur. Mungkin karena kecapean karena harus sembunyi-sembunyi melakukan hal bejat dibelakang kami. Aku pun kembali merebahkan badan dan kali ini memunggungi tubuh sahabatku itu. Entahlah, apa masih pantas ia ku sebut sahabat. Kenapa ia tak berterus terang saja kalau dia juga menyukai Lukman? Aku akan ikhlas, toh ku lihat sepertinya Lukman juga sangat menyukainya.
Aku berjalan-jalan di sekitar penginapan. Udara pagi di sekitar kaki gunung memang terasa segar. Apalagi tetesan embun yang tampak berkilau diterpa cahaya matahari pagi membuat sedikit perasaan sakit berubah menjadi rasa nyaman. Ya, aku memutuskan untuk mengikhlaskan Lukman demi Tari. Tapi tidak dengan cara seperti itu mereka menjalani kasih asmara. Aku khawatir mereka akan mendapat balasan atas perbuatan terlarang mereka selama ini. Apalagi saat ini mereka berani melakukan hal-hal senonoh di tempat asing. Tempat yang seharusnya kita jaga dan kita hormati.
"Kok sendirian, Mbak?"tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
"Eh iya, Bu Sumi."jawabku sambil tersenyum.
"Ibu mau kemana?"tanyaku balik pada beliau.
"Mau ke pasar, Mbak."jawabnya sambil tersenyum.
"Boleh saya ikut, Bu?"tanyaku.
"Boleh, ayok."ajaknya ramah.
Kami pun berjalan beriringan menuju pasar daerah setempat. Bu Sumi bercerita banyak hal tentang desa ini.
"Mbak Jenna harus hati-hati. Jangan sembarangan disini. Jadi kalian akan selamat kalau bisa menghormati adat istiadat disini."ucap Bu Sumi membuat jantungku terasa mendadak berhenti. Aku menelan ludah, keringat dingin mengucur.
"Mbak Jenna tidak apa-apa?"tanya Bu Sumi khawatir.
"Oohh ... tidak apa-apa, Bu." jawabku tersenyum.
Aku teringat dengan perbuatan Tari dan Lukman semalam. Apa benar kami akan celaka kalau mereka telah berbuat sembarangan. Jujur saja aku takut kalau kami semua bakal terkena imbas dari perbuatan mereka berdua.
"Tidak usah takut, Mba. Selama kalian menjaga tatakrama disini semua akan aman." ucap Bu Sumi yang ku jawab dengan anggukan.
"Dari mana, Jen?" tanya Robby yang sedang olah raga pagi di depan penginapan.
"Ikut Bu Sumi ke pasar."jawabku sambil menunjukan tentengan yang ku bawa.
"Apa itu?" tanya Tomy menyambar plastik yang ku bawa.
"Tambahan buat bekal kita nanti sore."jawabku singkat.
"Waaahhh ... enak nih. Makin banyak bekal kita."ucap Tomy sambil membawa bungkusan ke dalam.
"Lukman sama Tari kemana?"tanyaku pada keduanya.
"Ada di dalam."jawab Robby.
Aku lebih memilih duduk di teras melihat Robby dan Tomy yang bercanda ria. Tingkah mereka berdua yang konyol bisa menghiburku sedikit dan melupakan cerita Bu Sumi tadi di perjalanan.
Gancet. Istilah jawa kalau sampai ada pasangan yang tidak halal berani berbuat macam-macam di daerah sini. Mereka akan menempel satu sama lain dan tak akan bisa lepas. Bahkan ada sampai yang meninggal dalam keadaan laknat dan terhina. Untung saja semalam Tari dan Lukman bisa terlepas. Kalau tidak, betapa malunya mereka kepergok yang lainnya telah berbuat macam-macam ditempat seperti ini.
"Haaaiii gaaaiiissss ... ayok pada sarapan."tiba-tiba Tari keluar dari rumah dengan rambut basah.
Aku memilih diam saja sambil tetap melihat ke arah Tomy yang sedang mengejar Robby karena sudah di ganggu aktifitasnya. Mereka berdua memang sering jahil satu sama lain. Lumayan menghibur menurutku.
"Eh, Jen. Sarapan yuk. Laper nih."ajak Tari sambil menarik lengan tanganku.
"Duluan aja, Tar. Aku nunggu mereka aja."jawabku sambil menunjuk ke arah dua pemuda yang asyik berlarian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!