Jalanan yang sibuk adalah pemandangan setiap hari yang ditangkap netra Gwen. Pagi, siang, malam, New York kota yang tak pernah tidur. Kerinduan untuk segera rebahan membuat Gwen memacu langkah kaki jenjangnya yang kedinginan.
Demi mengindari genangan air, Gwen melompat kecil. Tak disangka dia tak mampu menyeimbangkan tubuh. Kakinya tergelincir dan dia jatuh terduduk. Sensasi dingin langsung menerjang kulitnya yang menyentuh aspal. Jeritan kecil yang keluar dari bibirnya menarik perhatian seorang wanita yang berjalan di dekatnya.
“Are you Ok, young lady? (Apa kamu baik-baik saja, Nona?)” tanyanya sambil mengulurkan lengan kanan. Sedangkan lengan kirinya sedang menggamit sebuah kantong belanja yang terisi penuh.
“I’m ok, Mrs. Darren, just wet, thank you, (saya baik-baik saya, Nyonya Darren, hanya kebasahan, terima kasih),” ujar Gwen sambil tersenyum. Ia menyambut uluran tangan Mrs. Darren untuk bangkit.
“Melted snow makes the road slippery, be careful ok? (Salju yang mencair membuat jalan licin, berhati-hatilah ok?” Mrs. Darren adalah wanita tua yang sangat baik. Mungkin dia akan mengucapkan kembali kalimat barusan esok hari.
“Thank you, Mrs. Darren,” jawab Gwen sopan.
Setelah mereka berbasa-basi sebentar, Gwen segera berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya yang tinggal beberapa meter. Gwen mengeratkan jaket. Meskipun udara sudah lebih hangat daripada puncak musim dingin, tapi uap napas masih mengepul kala ia berbicara.
“Gweeen!” Sebuah teriakan namanya membuat Gwen berhenti. Senyuman langsung menghiasi wajahnya saat membalikkan badan.
“Assalamualaikum,” sapa gadis yang memanggilnya tadi, ia berjalan mendekat ke arah Gwen.
“Wa’alaikumussalam. Kenapa ga bilang kalau mau ke sini?” Mereka berpelukan dan saling menempelkan pipi.
“Ada schedule dadakan,” jawab gadis itu.
Gwen segera mengajak gadis itu mengikuti langkahnya.
“Gimana kabar Mama?” tanya Gwen sambil membuka pintu.
“Alhamdulillah baik. Seharusnya aku pergi sama Mama andai acara ini tidak terlalu mendadak,” keluh gadis yang mengikuti apa yang Gwen lakukan, melepaskan sepatu.
“Assalamualaikum, I'm hoome!” sapa Gwen kepada penghuni rumah.
“Daddy?” tanya Gwen lagi.
“Baik kurasa.”
“Jawabanmu meragukan,” timpal Gwen sambil terus berjalan.
“Waalaikumussalam!” jawab seseorang dari dapur. “Come here, Girl! (Kemarilah)”
“Look, siapa yang pagi-pagi begini sudah datang?” ujar Gwen saat sampai di pintu. Lalu mendaratkan sebuah kecupan kepada Jane yang sedang memanggang roti. Wanita yang telah merawat Gwen sejak kecil.
“Nafeera, oh girl it's so early. When did you arrive? (Nafeera, ini masih sangat pagi. Kapan kamu sampai?”
“Yeah, it's so sudden, I didn't even have time to ask Mama to come with me, (Ya, ini sangat mendadak. Bahkan aku tidak sempat mengajak Mama untuk ikut,” jawab Nafeera, saudara kandung Gwen tapi berbeda ibu. Kemudian Nafeera menceritakan tentang agensinya yang mendadak meminta ia untuk menggantikan seorang model yang akan roadshow ke NY fashion week.
Ada hal-hal yang membuatnya tidak nyaman. Bukan rahasia lagi jika ada persaingan antara sesama model. Telah beredar kabar bahwa ia merayu bos untuk bisa ikut ke roadshow ini. Padahal Nafeera bukan tipe gadis seperti itu. Meskipun dia berhenti menjadi model, dia tidak akan kekurangan. Karena Papa masih sanggup untuk membiayai hidupnya. Namun, Nafeera bukan hanya wajahnya saja yang mirip Gwen, sifatnya pun sama. Gwen lebih memilih untuk tinggal di NY jauh dari Papa dan berhasil menjadi seorang dokter. Sedangkan Nafeera memilih menjadi model. Memanfaatkan tinggi tubuh dan kecantikannya.
Nafeera mengeluarkan dua lembar undangan agar Jane dan Gwen bisa menghadiri acara tersebut. “Maaf, bukan bangku VIP. Tapi aku benar-benar mengharapkan kehadiran kalian. Itu sangat berarti bagiku.”
“Oh, Dear. It's ok. We'll be there for you, (Oh, Sayang. Tidak mengapa. Kami akan datang untukmu,” jawab Jane sambil tersenyum.
Gwen segera menghubungi partnernya di rumah sakit, meminta penggantian jadwal jaga. Karena seminggu ini jadwalnya jaga malam. Hari itu Nafeera ingin menginap di rumah Jane, karena besok pagi mulai latihan gladi bersih. Gwen ingin sekali mengajak Nafeera jalan-jalan mumpung adiknya itu sedang di New York, tapi kesibukan mereka tak memberikannya kesempatan.
Nafeera tak masalah jika harus seharian berada di kamar Gwen. Baginya itu sudah menjadi liburan. Dia meminta Gwen untuk mendengarkan curahan hatinya.
Nafeera menceritakan tentang keadaan yang tidak terlalu baik di agensinya. Gwen yang perhatian menyarankan Nafeera untuk keluar dan mencari agensi lain. Nafeera sangat cantik, pasti tidak sulit menemukan agensi lain yang cocok.
“Apa aku jadi artis saja, ya?” tanya Nafeera.
“Kalau aku, mending cari profesi lain.”
“Ih, aku kan belum lulus kuliah. Cari kerja ga gampang.”
“Kenapa ga kerja di kantor Daddy? Jadi sekretarisnya, kan bisa?”
“Aku malu.”
Gwen menaikkan alisnya heran. “Kenapa?”
“Untuk masuk ke perusahaan Papa ga gampang. Lulusan terbaik. Aku ga mau ada omongan di belakangku. Mentang-mentang anak bos, enak banget bisa masuk kerja di sini, padahal ga bisa ngapa-ngapain. Aku takut omongan seperti itu.”
Gwen paham betul perasaan Nafeera.
Nafeera ingin melanjutkan ceritanya tentang bos pemilik agensi yang bernama Zachary, alias Mr. Devil. Namun, diurungkannya karena ia melihat Gwen sudah sangat mengantuk. Lagipula Gwen baru pulang jaga malam di rumah sakit, dia pasti kelelahan.
Gwen terbangun saat matahari tergelincir sedikit dari tengah langit. Napas berat dan teratur terdengar di sampingnya. Tadi setelah Gwen tertidur, Nafeera juga ikut terlelap. Gwen meraih ponsel di atas nakas. Netranya membaca beberapa notifikasi.
Terasa gerakan halus dari orang di samping Gwen. “Kamu sudah bangun,” ujar Nafeera dengan suara sedikit serak.
“Baru saja,” jawab Gwen.
“Barusan,” koreksi Nafeera. Akibat sejak kecil tidak pernah tinggal di Indonesia, Gwen tidak terbiasa memakai bahasa tak baku. Nafeera sering mengajaknya chat dan panggilan video memakai bahasa Indonesia, agar Gwen tidak lupa dengan bahasa papanya.
“Iya, barusan,” ujar Gwen sambil tersenyum. Ia lalu membaca pesan balasan yang dikirimkan partner kerjanya, yang mengatakan bahwa Gwen bisa tukar jadwal.
“Apa rencanamu hari ini?” tanya Gwen.
“Aku harus kumpul ke hotel jam lima nanti. Jadi sekarang nyantai dulu.”
“Mau ikut aku belanja?” tawar Gwen.
“Tentu,” jawab Nafeera antusias.
Terdengar suara ketukan di pintu, Gwen berseru, “Masuuk!”
Kepala seorang gadis yang berkuncir dua menyembul, lalu disusul oleh dua orang anak laki-laki seusianya.
“Woa, she's really look a like you. You're like twin sisters, (Waa, dia mirip sekali denganmu. Kalian berdua seperti saudara kembar,)” komentar gadis berkuncir yang bernama Claire. Sedang dua anak laki-laki disampingnya bersikap biasa saja. Wajar, Claire belum ada di rumah ini saat Nafeera datang mengunjungi mereka dua tahun lalu.
“Yea. Did you just come home from school, Guys? (Yaa. Apa kalian baru pulang sekolah?)” tanya Gwen. Lalu obrolan seperti biasa terjadi. Mereka menceritakan berbagai kejadian di sekolah kepada Gwen.
Rumah Jane adalah panti asuhan. Jumlah anaknya tidak banyak, sehingga mereka mendapatkan perhatian yang cukup. Dua orang Nanny (pengasuh) yang juga Gwen anggap ibu sendiri selain Jane ikut merawat mereka. Namun, salah satunya masih ke luar kota, dan satunya lagi tadi pagi masih mengantarkan anak yang lebih kecil ke sekolah. SiangSiang ini mereka sudah berkumpul di ruang keluarga, jadi suasananya sangat ramai.
Nafeera sedikit lega mengetahui kalau Gwen terlihat benar-benar bahagia di antara mereka. Semula ia merasa tak enak hati dengan Gwen. Ia mendapat perhatian dari Papa setiap hari, sedang putri sulung Papa jauh terpisah di belahan bumi yang lain.
Semenjak meninggalnya Mommy, Gwen sudah tinggal bersama Jane, tetangga sekaligus pemilik sebuah panti asuhan di pinggiran kota New York. Sebenarnya Daddy sangat berat meninggalkan Gwen sendiri, tapi ia terpaksa. Melanjutkan hidup di New York dia tak mampu. Gara-gara salah perhitungan dan penghianatan rekan kerjanya, ia bangkrut. Ingin bangkit kembali pun tak bisa. Dia tak punya banyak koneksi di negara orang. Jalan satu-satunya adalah kembali pulang ke Indonesia. Merintis kembali usaha lamanya.
Sebulan sebelumnya, keluarga kecil mereka berencana pergi bersama-sama. Mommy, Gwen, dan Daddy. Namun, kemalangan terjadi. Mobil yang mereka tumpangi tergelincir dan jatuh saat perjalanan menuju bandara.
Mommy Gwen akhirnya meninggal. Sedangkan Gwen, putri kecilnya yang malang mengalami trauma dengan pesawat. Sedikit aneh, dia tak memiliki trauma dengan mobil karena kecelakaan mereka terjadi pada waktu perjalanan dengan mobil. Menurut psikolog, dia trauma dengan pesawat dan bandara. Gwen merasa andai mereka tidak ke bandara, semua ini tak akan terjadi.
Jane yang sangat baik, memberikan solusi kepada Daddy agar Gwen ia rawat sementara sampai kondisi Gwen membaik. Lagipula Daddy bisa bekerja lebih tenang jika ada yang mengasuh Gwen. Jane sudah terbukti orang yang penyayang anak kecil.
Daddy akhirnya berhasil, perusahaan yang didirikannya mulai stabil. Ia ingin mengajak Gwen pulang ke Indonesia, tapi Gwen menolak. Waktu itu umurnya sudah sebelas tahun, dia sudah berpikiran seperti orang dewasa. Mengetahui baik dan buruk sebuah keputusan. Daddy-nya sudah mempunyai keluarga sendiri. Nafeera berumur empat tahun kala itu. Gwen takut jika kehadirannya membuat mereka tak nyaman.
*****
Gwen dan Nafeera mengambil beberapa barang sesuai dengan yang dituliskan di secarik kertas pemberian Jane. Mereka menikmati waktu santai bersama yang jarang mereka dapatkan. Setelah membayar belanjaan, waktu menunjukkan pukul tiga sore. Mereka lalu jalan-jalan menyusuri jalanan di pinggir East River.
“Knok knok! (Tok tok!)” kata Gwen kepada Nafeera.
“Who’s there? (Siapa di sana?)” balas Nafeera.
“Ken,” jawab Gwen.
“Ken, who?”
“Kenapa kamu melamun,” jawaban Gwen adalah pertanyaan untuk adiknya. Sedari tadi seperti ada yang dipikirkan Nafeera. “Ceritalah.”
Mereka kemudian mencari tempat duduk. Seorang pelayan membawa dua cangkir kopi hangat dari untuk mereka.
“Aku sebenarnya sedang bingung. Kondisi perusahaan Papa sedang tidak sehat. Tapi ... aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
Gwen menghela napas, rupanya masalah ini yang sedari tadi membuat Nafeera tak semangat. Biasanya dia banyak bicara, baik di chat ataupun di panggilan video.
“Mama bilang, Papa akan menjual saham perusahaan agar bisa tetap jalan. Resikonya perusahaan itu bukan jadi milik kita lagi. Bagaimana ini?” tanya Nafeera lebih kepada dirinya sendiri.
“Maaf, aku juga tak paham masalah perusahaan,” ujar Gwen tak enak hati. Profesinya adalah dokter. Dan masalah bisnis tak pernah jadi minatnya.
Nafeera menggigit bibir bawahnya. Genangan di pelupuk netranya sudah hampir tumpah. “Ada suatu jalan yang bisa menyelamatkan Papa,” ujarnya lirih sambil melihat ke arah burung yang terbang di atas East River.
“Apa itu?”
“Aku menerima perjodohan yang ditawarkan mitra bisnis Papa.” Jawaban Nafeera membuat Gwen mengerutkan dahi.
“Aku menerima perjodohan yang ditawarkan mitra bisnis Papa.” Jawaban Nafeera membuat Gwen mengerutkan dahi.
“Apa maksudmu perjodohan?”
“Mitra bisnis Papa menawarkan bantuan untuk perusahaan. Dia ingin menikahkan cucunya. Karena dia tahu kalau Papa punya anak perempuan–yaitu aku–jadi dia berniat menjodohkan cucunya denganku,” jelas Nafeera.
“Kalau aku tinggal di Indonesia, mungkin aku yang dijodohkan,” ujar Gwen.
“Mungkin,” tanggap Nafeera.
“Apa kamu oke? Maksudku dengan perjodohan itu?”
“Aku belum tahu orangnya, jadi aku belum paham. Tapi kalau ini untuk membantu Papa, aku harus melakukannya,” jawab Nafeera dengan pandangan nanar, menatap jauh ke depan.
Gwen menghela napas. “Aku tidak paham masalah bisnis, maaf aku tak bisa membantu kalian,” ucap Gwen tulus. “Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa kamu akan melanjutkan karier di dunia model?”
“Entahlah. Aku masih sayang dengan dunia modeling, tapi dengan adanya masalah Papa, aku malah ingin sekali serius kuliah supaya dapat ilmu bisnis yang berguna untuk bantu Papa.”
“Kamu ... masih terlalu muda, tidak adakah jalan lain?” tanya Gwen kembali. Nafeera menggeleng pasrah.
“Mmm, masalah perjodohan ini kita akhiri saja. Bagaimana denganmu, apa menyenangkan menjadi dokter?”
“Yaa begitulah,” jawab Gwen.
“Jawaban apaan itu?” Nafeera tertawa kecil.
“Menyenangkan kalau berhasil membantu pasien, memberi mereka harapan untuk melanjutkan hidup. Tapi, kadang kala juga harus melaporkan kepada pasien dan keluarganya kalau kami tidak bisa berbuat banyak.”
“Pasti sedih rasanya,” ujar Nafeera berempati.
“Sangat. Pernah sekali pasien yang kutangani meninggal sebulan setelah operasi. Operasinya sendiri terbilang berhasil, namun tubuh pasien sepertinya ingin beristirahat.”
Nafeera menepuk bahu Gwen lalu mengulurkan lengannya. Gwen menyambutnya sehingga mereka berpelukan dengan erat.
“Kalau pekerjaanmu, gimana?” tanya Gwen.
“Seru, menyenangkan,” jawab Nafeera sambil memutar sendok ke dalam cangkirnya.
“Tapi ....” sambung Gwen. Ia mendorong Nafeera untuk mengutarakan apa yang mengganjal di dalam hatinya.
“Ada yang bikin suasana di kerjaan jadi ga nyaman. Akhir-akhir ini, ada seseorang yang namanya Mr. Devil. Setiap model yang pernah diundang secara pribadi olehnya bisa mendapatkan job yang lebih banyak. Kebetulan, aku kena kaya abu anget gitu.”
“Maksudnya?”
“Banyak yang ngira kalau aku dapat job runaway ke NY karena aku habis bobo sama Mr. Devil.”
“Oh my God,” ucap Gwen terkejut, “kamu gak ....”
“No way,” sanggah Nafeera cepat, “aku gak pendek akal kaya gitu tahu,” lanjutnya dengan senyum miring.
“Syukurlah. Lalu apa yang jadi masalah? Cuma omongan aja, kan? Mereka gak sampai bully?”
“Untungnya tidak, cuma omongan di belakangku.”
Kemudian Gwen dan Nafeera segera meninggalkan kafe karena mereka harus segera menuju hotel. Baru sepuluh menit mereka keluar dari tempat parkir, mobil Gwen dihalangi oleh seseorang.
Seorang laki-laki yang terlihat panik meminta pertolongan. Gwen sigap menepikan mobilnya. Ia segera turun setelah mematikan mesin. “What happened?”
Pria tadi bilang kalau ban mobilnya tergelincir karena jalanan licin akibat salju yang mencair. Dia panik mencari pertolongan karena sepertinya tuannya yang duduk di kursi penumpang mengalami sesak napas.
Gwen segera membuka pintu mobil belakang, lalu mengajak bicara tuan tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk memeriksa kesadarannya. “Are you OK, Sir?”
Pria tua itu menjawab pertanyaan Gwen dengan lambaian tangan, berarti dia masih sadar, namun kesusahan untuk bicara. “Nafeera, tolong ambilkan tasku di mobil,” pinta Gwen.
Nafeera bergegas mengambilkan tas dokter Gwen.
“Anda orang Indonesia?” tanya si supir.
“Bukan, tapi saya bisa bahasa Indonesia,” jawab Gwen, “apa tuan Anda juga orang Indonesia?” tanya Gwen lagi.
“Iya, benar.”
“Maaf tuan, siapakah nama Anda?” tanya Gwen kepada si tuan. Ia mencoba untuk selalu berkomunikasi dengannya agar dia tetap sadar.
“Ahmad Ilyas,” jawabnya pelan.
Nafeera datang menyerahkan tas berbahan kulit milik Gwen. Sebuah stetoskop Gwen keluarkan. Ia segera melonggarkan pakaian Ahmad setelah meminta ijinnya. Setelah memeriksa dengan stetoskop dia mengeluarkan sebuah pil lalu meletakkannya di bawah lidah Ahmad. “Obatnya dihisap. Lalu coba bernapas pelan-pelan.”
Setelah semenit berlalu, terlihat Ahmad sudah lancar bernapas. Gwen segera meminta si supir, yang bernama Iwan untuk memapah tuannya masuk ke dalam mobil Gwen. Mereka akan menuju ke rumah sakit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!