SINOPSIS
Tahun 2008, ketika sistem pendidikan di Indonesia masih diwarnai kekerasan, aku seorang anak sederhana dari keluarga sederhana, bermimpi
bahwa sebuah sebuah pendidikan dapat mengubah nasibku. Dengan pendidikan aku dapat menjadi apapun.
Aku ingin lulus Fakultas Kedokteran.
Aku ingin lulus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Aku ingin mewujudkan impian Ayah, karena
Ayah adalah pahlawan separuh nyawaku. Tak ada lagi yang aku inginkan selain mewujudkan impiannya. Senyumnyalah yang pertama kali kulihat karena aku dilahirkan ke dunia. Senyuman harapan kepadaku,
anak ajaib pemetik bintang harapannya. Kepadakulah semua harapan Ayah bertumpu.
Selama sembilanbelas tahun Ayah menunggu akhirnya aku lulus Fakultas Kedokteran, menjadi calon dokter satu- satunya dalam generasi kami. Aku berhasil mewujudkan impian ayah.
Takdir berkata lain, aku divonis buta warna parsial, hijau. Seorang dokter tidak boleh buta warna meskipun parsial. Tapi ayah tidak menyerah. Ayah terus mendorongku untuk maju, berangkat ke Banda Aceh menjemput mimpi di tengah puing- puing tsunami. Menggapai cita- cita sampai ke ujung Negara.
Pergantian senja dan terbit matahari adalah waktu dimana Tuhan terasa begitu menjelma menjadi lebih dekat, bahkan dari nadi kita sendiri. Dan
itu membuat kita merasa begitu kuat kala permasalahan hidup melanda sebesar
apapun. Perubahan warna langit saat senja dan pagi begitu ajaib. Allah begitu mampu mengubah kedua waktu itu, apalagi hanya merubah nasib anak manusia. Oleh karena itu Aku dan Ayah sepakat berjalan ke barat, berangkat ke Banda Aceh
untuk mengalahkan tes buta warna, menaklukkan tes ishihara. Tes terakhir untuk menjadi seorang calon dokter.
Akankah aku mencapai cita- citaku, berhasil memetikkan bintang untuk ayah, pahlawan separuh nyawaku?
ISHIHARA - KISAH NYATA Adalah sebuah novel tentang perjalanan ayah dan anak menjemput cita- cita ke ujung Negara, menggapai mimpi dibingkai puing- puing tsunami. Ishihara sebuah novel tentang harapan ayah, pengorbanan cinta, kekecewaan, ketulusan, pamrih, dan penerimaan pada takdir Tuhan.
Novel ishihara merupakan kumpulan ingatan yang senantiasa tersimpan dalam kurun waktu
10 tahun yang lalu. Dalam penulisan novel ini yang paling sulit adalah menjaga agar kalimat- kalimat dalam novel ini tetap nyata tanpa adanya kesan berlebihan dan menghiba- hiba. Kemudian
menyesuaikan dengan keadaan sekarang dengan keadaan 10 tahun yang lalu, dimana nama SNMPTN dahulu sekarang telah berganti menjadi SBMPTN, sistem pendaftaran perguruan tinggi pada masa lalu yang masih menggunakan sistem manual antri, kemudian belum adanya maskapai penerbangan Pekanbaru- Banda Aceh. Sampai sistem pendidikan yang pada masa itu masih bernuasa kekerasan. Serta
hal- hal lain yang berbeda yang tidak dapat disebutkan.
Terakhir penulis mengharapkan semoga karya yang dihasilkan ini dapat menjadi pelajaran dan motivasi hidup bagi anak- anak muda khususnya. Aminn.
UNTUK
Ayah
Sebagai persembahan atas segala apa yang telah hilang,
Serta untuk tempat yang indah bernama Lamreh dan anak-anak yang sedang belajar disana.
Dari Si Bijih Mata untuk Separuh Nyawa
Ayah
Pahlawan separuh nyawaku
Dalam kerut wajahmu
Kau tersenyum untukku
Kulihat pudar cahaya matamu
Bagaimana bisa kumengganti
Sedang Matahariku layu walau pagi
Seperti senja punah dari bumiku,
Ayah
Ayah
Kini rapuh tulangmu
Putih puncak tubuhmu
Ku yakin tak akan luntur merah darahmu
Ayah temukan persembuyian takdir untukku
Ceritakan kisah anakmu
***
“Dua Belas” Jawab anakku. Kemudian Dokter Spesialis Mata yang berada di depanku terus membalik lembaran Buku Ishihara ke halaman selanjutnya.
“Dua …” Anakku terdiam.
“Ayo angka berapa lagi ?” Tanya Dokter itu kembali.
“Nol “ Jawab Anakku.
“Coba perhatikan lagi”
Ulang Dokter tersebut. Aku yang berada di samping anakku, ingin membisikkanangka 6 yang jelas aku melihatnya.
“Sstt” Dokter itu memberikan isyarat padaku agar diam. Tapi anakku tetap menggeleng ia tak mampu
melihatnya.
“Seperti kismis”
“Coba ikuti warna merah muda ini memakai jari” Perintah Dokter agar anakku meletakkan ujung jari
telunjuknya pada titik merah muda dalam sekumpulan titik titik hijau.
Anakku mengikuti jalannya gugus warna tersebut, sebentar tapi ia berbelok pada warna hijau tua.
Aku terkejut. Dokter tersebut menatapku. Kepalanya menggeleng pertanda kami gagal.
“Buta warna parsial,hijau.”
“Keturunan” lanjut Dokter tersebut.
“Bagaimana mungkin, diamampu melihat hijaunya daun, dinding, dan corak dibajuku !!” Aku protes tidak
terima.
“Iya kan nak …?”
“Iya kan, Kamu bisa kan? “ Aku berusaha menyakinkan agar vonis dokter tersebut salah.
“Bisa Dokter. Bisa “Jawab Anakku.
Dokter itu tersenyum,”Buta warna parsial bukan berarti tidak bisa melihat warna tapi kecerahan warna berkurang, sehingga sulit dalam membedakan beberapa warna.”
“Berisiko dalam pembedahan.”
Anakku, Si Bijih Mataku. Kini, Dia menatapku dengan pandangan kosong. Wajahnya yang mencerminkan
separuh wajahku kini tanpa ekspresi. Ia diam, menunggu gambaran emosi yang akan
aku luapkan. Satu ekspresi kehancuran yang tak mungkin aku tunjukkan, karena anakku selalu mengikuti emosi hatiku, mengikuti apa yang aku pinta, apa yang aku mau untuk dia. Bila aku bahagia maka anakku akan menjadi lebih bahagia, dan
pada saat itu aku melihat cahaya dari dua bola matanya yang tulus. Bila aku bersedih maka ia akan menjadi penawar luka, ia berusaha membuat aku tertawa. Oleh karena itu, sekuat jiwa aku sembunyikan air mata dibalik lensa mataku. Anakku
tidak boleh melihatnya, cukuplah aku yang hancur karena harapanku sendiri. Aku tidak mau bila anakku mengikuti kesedihanku.
“Bagaimana mungkin ini Dokter !”
“Dia anakku…”Bisikku pada dokter spesialis mata.
“Dia anakku, anak lelakiku satu- satunya”
“Si bijih mata, ujung pengharapanku. Tak ada lagi yang aku punya selain dia “ Tambahku berkali-kali.
“Dia anakmu Pak, dia adalah darahmu, namun semuanya terjadi bukan karenamu.” Jelas Dokter didepanku dengan suara yang dalam, sangat serius. Matanya menatap anakku yang menunduk diam. Di ruang yang temaran ini, anakku, lelaki yang begitu belia seperti menanti vonis persidangan oleh kasus yang tidak ia pahami.
“Siapa …?” mulutku terbuka mengeluarkan kata itu, aku siap menerima apapun yang terjadi. Menguak misteri setelah 18 tahun aku menjadi ayahnya, selama kurun waktu itu aku sudah menaruh pengharapan pada Bujangku itu.
“Deuteronophia, tertaut pada kromosom seks”
“…” Aku terdiam tak mengerti.
“Cetakannya yang salah, Ibunya, Istrimu” Dokter itu berpaling, wajahnya berpaling ke kanan menjauhi
wajah Anakku.
“Mengapa ?”
“Karena perkawinan adalah pertemuan kromosom secara acak, seperti satu pancing di dalam kolam
jutaan ikan”
“Maksudnya ?”
“Partial Colour Blindness diturunkan dari sel telur istrimu, buta warna parsial hijau.”
“Bukankah dia masih mampu melihat hijaunya daun, Dokter …”
“Dia akan kesulitan membedakan hijau muda dengan coklat, bagi seorang dokter berisiko dalam
bedah-membedah.” Jelas Dokter itu kembali.
“Tapi dia sudah lulus kedokteran, kedokteran negeri, satu-satunya calon dokter dalam trah kami.”
“Lihatlah dia begitu pintar ! Dialah pengharapanku” Aku menghiba, namun aku tahu bahwa dokter
tersebut bukanlah penentu. Demi masa depan anakku, aku tak boleh menyerah. Seorang ayah tak
boleh menyerah demi anaknya. Kemudian seberkas cahaya menerangi meja konsultasi
dan dokter spesialis mata itu tersenyum, “Dahulu teman saya semasa kuliah ada
juga yang mengalami kasus seperti ini. Sekarang kariernya hanya sebagai dokter umum.”
“Berangkatlah ke Banda
Aceh, mudah-mudahan cita- cita kalian tercapai.” Lanjutnya.
Pada akhirnya, aku dan anakku pulang, kami dua anak-beranak meninggalkan klinik dokter spesialis mata. Dengan mengendarai sepeda motor tua, aku pulang dengan hati yang kaku. Tempat dimana harapan selama ini bertumpu kini terasa beku. Seperti kaca, indah dan kuat, namun kini rasanya
begitu rapuh, dapat pecah kapanpun yang dimau oleh waktu. Sepanjang perjalanan aku diam. Sediam senja saat mata langit tenggelam dalam rawa-rawa di pingiran kota Teluk Kuantan.
Waktu terasa begitu melambat dalam perjalanan kami pulang, entah apa yang akan aku katakan pada
istriku, ibu dari anakku. Cahaya matahari mulai jingga saat ia tenggelam di jjung rawa-rawa di pinggiran kota. Aku memutar gas sepeda motor agar waktu
berlalu lebih cepat, aku ingin semua keraguan ini berakhir, secepatnya. Aku berada di tikungan di jalan ujung rawa. Gerimis mulai datang. Awan hujan
mengubah warna langit jingga menjadi
biru tua. Dan matahari meninggalkan garis pelangi, sekejap sebelum ia tenggelam, benar-benar tenggelam. Pelangi yang sesaat itu juga segera hilang bersama hilangnya cahaya matahari, segera langit menggelap. Begitu cepatnya
Sang Maha Pencipta mengubah warna langit.
Pergantian senja dan terbit matahari adalah waktu dimana Tuhan terasa begitu menjelma menjadi lebih dekat, bahkan dari nadi kita sendiri. Dan itu membuat kita merasa begitu kuat kala permasalahan hidup melanda sebesar apapun. Perubahan warna langit saat senja dan pagi begitu ajaib. Allah begitu mampu mengubah kedua waktu itu, apalagi hanya merubah nasib anak manusia.
“Ayah…”Sebuah suara memecah kesunyian.
“Bagaimana kita Ayah ?” Tanya anakku.
“Nak kita akan berangkat ke Banda Aceh “
“Kita akan menjemput cita-cita sejauh apapun sampai ke Ujung Negara.” Janjiku.
Agustus 2005.
MOS, untung saja saya telah melewatinya. Begitu kata yang kemarin aku dengar dari tetangga, dia kakak tingkat satu tahun di atasku. Kini, aku sedang menginjakkan kaki pada waktu yang dia telah lewati.MOS, aku sedang menjalaninya.
MOS di sebuah SMA di tepi danau, di atas sebuah bukit. Indah bila dilihat dari kejauhan, permai, namun
tidak bisa dirasakan sekarang ini, terutama oleh siswa baru. Aku termasuk dalamkelompok siswa baru yang terbagi tiga. Aku berada dalam kelompok dengan jumlah yang paling besar. Kami para siswa laki-laki dibariskan di sudut lapangan.
“Nungging Dek !” Teriak seorang senior, yang tidak aku tahu dari siapa suara itu berasal. Aku hanya bisa menerka dari siapa komando itu datang
dengan membedakan frekuensi suaranya.
Aku pun ikut nungging, para anak lelaki yang lain
telah dahulu nungging terburu-buru.
Sebenarnya bukan posisi nungging. Tapi lebih dari pada itu. Posisi taubat begitu mereka menyebutnya. Posisi dengan meletakkan kepala bertumpu kepada bumi. Tangan disedekapkan di pinggang
bagian belakang. Kemudian bersiaplah menerima apapun.
“Bruk !..brukk!!”
Tendangan abang-abang senior itu bergiliran memberikan salam pada pantat siswa
baru yang laki- laki. Dan rasanya begitu sakit ditendang dalam posisi bertobat tanpa kalian tahu kalian salah apa. Menerima balasan dari dosa yang telah dilakukan senior mereka dahulu kepada mereka. Aku menceritakan peristiwa ini
sejujur hujan. Peristiwa ini akan selalu
menjadi bagian dalam lembaran perjalanan hidupku. Kemudian di dalam hati, aku menghitung tendangan mereka, satu orang, dua orang, tiga orang,…, dan sakit
saat ujung sepatu mereka menyentuh ujung tulang ekor milikku.
Coxigeal,tulang ekor, apabila gaya membenturnya dengan kecepatan tertentu maka dapat
membuatnya cedera oleh efek impulsive. Gaya yang sama, tapi dengan kecepatan tendangan yang berbeda akan memberikan rasa sakit yang berbeda, semakin cepat tendangan, maka semakin besarlah efek impulsif, efek kerusakan yang ditimbulkan. Coccydynia,
cedera tulang ekor dapat terjadi oleh tendangan di pubis, begitu ilmu biomekanika yang aku baca di buku-buku kedokteran. Siswa baru bisa mengalami efek minimal cedera ringan, Coccydynia oleh sistem pendidikan yang salah. Suatu hari budaya MOS yang bertopeng bullying harus dirubah dengan pendidikan yang penuh kasih sayang.
Danau dekat SMA di atas bukit ... 2020. 16 tahun setelahnya.
MOS, Masa Orientasi Siswa di SMA di Atas Bukit dilaksanakan sampai sore hari, begitu OSIS
merencanakannya. Jauh dari pantauan guru, jauh dari pantauan masyarakat. Apapun dapat terjadi dari budaya dendam berantai itu. Apapun saat kami terbagi menjadi tiga kelompok. Bagian pertama adalah kelompok kecil, jumlahnya tidak lebih dari
sepuluh orang yang melingkari dua orang
anggota OSIS. Mereka bercerita dibawah pohon rindang di sudut lapangan aman dan
nyaman. Menimbulkan kecemburuan yang disengaja, yang konon katanya adalah anak-anak pembesar disekolah ini. Selanjutnya kelompok kedua adalah kelompok anak dengan latar belakang rata-rata, kelompok dengan jumlah paling banyak. Aku
berada dalam kelompok kedua, kami berada di lapangan rumput di atas bukit untuk
mendapatkan layanan kekerasan dari sekolah negeri yang menciplak pelatihan militer dengan asal-asalan. Sedangkan kelompok terakhir adalah kelompok yang
paling ‘menikmati’ sambutan senior. Mereka di-MOS-kan di tepi danau, diantara semak-semak yang rimbun. Aku melihat bayang-bayang mereka, para lelaki di kelompok ketiga. Sedangkan rombongan anak perempuan aku tidak melihat mereka. Para perempuan murid baru berada di tempat lain, bisa jadi di ruangan di dalam kelas. Aku tidak tahu.
Kami anak laki-laki pada kelompok kedua, masih membentuk barisan disepanjang garis sisi lapangan,
membentuk garis lurus, bejongkok untuk melaksanakan tugas selanjutnya, mencabut
bunga rumput. Rumput Gurun begitu
nama umum sejenis rumput yang biasa tumbuh di lapangan bola. Dari sisi lapangan
yang satu ke sisi lapangan yang lainnya, membentuk sapuan lurus, mencabut bunga rumput itu.
Bunga rumput memiliki tangkai yang tegak, biji-bijinya tersusun di bagian ujung bagai bunga. Biji
yang sebentuk bunga itu sering menempel
di sepatu atau celana dan selalu terbawa oleh orang yang bersentuhan dengannya.
Seperti sebuah kenangan pahit yang akan terus terbawa kemana pun kamu berjalan.
Yudi juga berjongkok tak jauh dariku. Bunga-bunga rumput yang ada di genggamannya sudah seperti
rangkaian bunga, banyak.
“Liel …” Katanya lirih.
Dia mengenaliku walaupun kami berasal dari SMP yang berbeda, karena ayah kami
satu kantor. Ayah kami juga berteman.
“Kamu beruntung …,
rumput di lajurmu lebih jarang”
“He he , tapi aku tetap
tidak lebih dahulu, kita sama”
“Kenapa SMA disini?,
bukankah kamu pendaftar dengan nilai tertinggi”
“Oh ya …” Aku senyum bangga.
“Ayah yang menyuruhku
menjemput masa depan disini.” jawabku, “lebih dekat. Kemudian lebih hemat,”
Lanjutku lagi.
“Biaya ?” Tanya Yudi
lagi. Hemat bisa berarti efisien waktu atau biaya.
“Ya begitulah .“ Ayah
menyuruhku melanjutkan masa depan disini. Sebenarnya aku ingin SMA di
Pekanbaru, merantau. Tapi menurut ayah, aku masih terlalu labil untuk menuntut
ilmu dan pengalaman dalam perantauan. Terlalu berbahaya, lebih baik disini.
Atau mungkin ada alasan yang lain yang membuat ayah berpikiran demikian. Bisa jadi biaya, bisa jadi ayah masih ingin aku berada di rumah, menemaninya di rumah kecil kami, sebelum nanti aku kuliah, merantau ke kota.
“ Hei !!” Hardik
senior. Kami terkejut, sebelum menerima hukuman push up atau tendangan di pantat kami yang sudah jadi samsak, kami bergegas.
“Heh .. heh” Aku
terengah-engah, mencabut bunga rumput di depan. Aku dan Yudi telah tertinggal
dari barisan para pencabut rumput.
“Cepat, setelah upacara
penutupan kami ingin bermain bola ! “ Teriak senior menyuruh kami lebih cepat.
Rupanya inilah alasan senior menyuruh kami mencabut rumput.
***
Tugas mencabut rumput
telah selesai, kami anak laki-laki dari kelompok kedua berkumpul dan merapat,
menyusul kedatangan kelompok lainnya. Kemudian samar-samar tampak rombongan
anak laki-laki yang wajahnya putih oleh bedak tepung, memakai rompi dari karung
goni, memakai topi toga dari kertas karton berwarna hitam. Mereka bergabung
dengan kami, anak laki-laki dari kelompok kedua.
Atribut yang aku kenakan sama dengan anak laki-laki dalam rombongan yang datang. Wajahku juga
telah putih oleh bedak tepung, memakai kaos putih polos, memakai rompi dari karung goni, dan di leher kami tersangkut papan nama dan asal kelompok, misalnya Kendil, Copang, Sawang dan sebagainya, nama-nama aneh sebagaipanggilan semasa MOS. Tentu saja kalau ada sesuatu yang kurang dari atribut
yang tidak lazim itu maka akan siap
mendapatkan perpeloncoan lagi. Begitulah, sesuatu yang membedakan aku dari
kelompok kedua dengan kelompok lainnya adalah warna topi toga dari kertas karton. Aku dari kelompok kedua sama-sama memakai topi toga berwarna biru. Warna langit dan laut.
Ketika semua kelompok
laki-laki telah menyatu dalam satu ruangan, tiba-tiba muncul kelompok perempuan. Mereka berlari dengan wajah kegaduhan, berlari ke tengah lapangan
saat hitungan dimulai. Sampai terjadi kegaduhan keributan dari para senior OSIS.
Senior OSIS berkelahi, salah satu dari senior menangis, ia mengamuk. Tentu saja kami sebagai murid baru yang dipelonco menjadi bingung. Aku juga bingung dan cemas. Ini bukan
sandiwara ulang tahun. Ini hanya sebuah MOS, seperti sebuah sandiwara yang telah menjadi rahasia umum. Sandiwara kacangan.
Sandiwara kacangan itu akhirnya diakhiri dengan tepuk tangan. Aku juga tepuk tangan dengan malas.
Kemudian para senior memberikan ucapan permintaan maaf atas sandiwara kekerasan
yang telah mereka lakukan. Dendam berantai mereka telah terbalaskan.
“Kamu mau memaafkan mereka Kendil ?” Tanyaku pada anak lelaki di sebelahku. Dari label namanya, dia dipanggil Kendil.
“Tentu saja, tapi aku akan membalas lebih kejam pada anak baru tahun depan.”
“Dengan menjadi anggota OSIS tentunya, bagian dari mereka.”
“Kamu ?” Tanya Kendil berbalik.
“Aku memaafkan mereka, karena perintah Tuhan demikian, kita wajib memaafkan orang yang telah meminta maaf.”
“Kamu tidak mau membalas, dengan jadi anggota OSIS ?”
“Tidak,…”
“Mengapa ?”
“Karena meminta maafbegitu mudah, maka seharusnya memberikan maaf jauh lebih mudah, aku tidak ingin anak baru selanjutnya merasakan apa yang kita rasakan.” Jawabku. Tuhan memerintahkan
pada hamba untuk memberikan kemaafan adalah sebuah kewajiban. Begitulah, meminta maaf begitu mudah, maka seharusnya memberikan maaf jauh lebih mudah. Tapi yang sulit adalah melepaskan kenangan dari ingatan, seperti melepaskan
rumput-rumput gurun yang menempel di celanamu, sejauh mana kamu berjalan.
MOS telah usai, hari mulai meggelap, topi toga dari kertas karton murid baru dilempar tinggi-tinggi
sebagai sebuah seremoni. Topi toga itu dilempar jauh tinggi ke langit, kemudian jatuh ke tumpukan topi-topi toga karton yang terbakar. Aku juga melempar topi toga kertas karton berwarna biru. Jauh tinggi, seakan toga itu menggapai cita-citaku yang setinggi langit, namun pada akhirnya toga itu terhenti sejenak di titik tertinggi saat kecepatannya menjadi nol, dan jatuh kembali ke bumi. Toga
itu jatuh oleh takdir gaya gravitasi. Topi toga penggapai mimpiku, jatuh ke tumpukan karton yang terbakar. Gejolak api mulai membakar togaku. Aku lihat dari kejauahan. Api itu membayang dalam mataku, menjadi semangat menggapai
cita-cita, tiga tahun setelah senja hari ini.
***
Aku melihat bayangku di permukaan cermin. Pada bayangan itu, aku memakai dasi untuk pertama kali, sudah seperti eksekutif muda, pegawai kantoran. Aku juga memakai celana panjang untuk
kali perdana, karena celana seragam SMP masih celana pendek. Celana panjang
berarti mempunyai tanggung jawab yang lebih. Anak SMA sudah mampu berpikir abstrak dan logis menggunakan pola berpikir kemungkinan, sudah berkarakter, sudah memiliki literasi dalam kehidupan. Seorang anak SMA sudah layak untuk
diajak dalam rapat, paling tidak sedah diajarkan untuk terlibat dalam urusan berbangsa dan bernegara. Aku akan menjadi apa.
Aku sudah berpijak dalam landasan kedewasaan. Dan pada landasan itu aku akan membuat lompatan
menggapai cita-cita, yaitu gambaran diriku sendiri tiga tahun setelah ini. Aku akan menjadi apa.
SMA di Atas Bukit adalah landasan yang aku gunakan untuk menggapai cita-cita. Batu loncatan,
sebuah titian waktu yang akan menghantarkan aku pada masa di ujung waktu.
Diriku beberapa tahun setelah sekarang. Dan untuk itu, aku akan belajar sungguh-sungguh, untuk memberikan yang terbaik, untuk Ayah, untuk Emak.
Aku tersenyum pada cermin bersama simpul terakhir pada dasi seragam putih-abu-abu. Ternyata,
membuat simpul dasi tidak serumit yang aku pikir waktu SMP, di SMP kami tidakpernah memakai dasi. Bagimanapun dasi bagiku adalah lambang sebuah
keprofesionalitasan.
Aku berangkat dengan tas baru, sepatu baru, untuk mengenal lingkungan baru, mendapatkan teman-temanbaru. Aku berpamitan dengan mencium tangan Emak, dan berangkat bersama Ayah.
Perjalanan ke sekolah tidak jauh, sekolah dekat dari rumah. Saat aku sampai di sekolah, dan turun dari sepeda motor. Ayah berpesan padaku.
“Nak, baik-baik di sekolah”
“Pasti yah.” Kemudian ayahku pergi. Aku harus membalas jasa ayah, karena semua atribut baru ke
sekolah pada pagi perdana ini tidak didapatkan ayah dengan mudah. Aku tahu ayah yang membelikannya dengan menyisihkan sebagian dari gajinya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!