...** Cerita ini fiktif dan khayalan belaka jika ada kesamaan nama tokoh atau kejadian itu merupakan ketidaksengajaan semata.***...
Namanya Tyara Ariela. Gadis yang biasa dipanggil dengan nama 'Ara' itu, lahir dari keluarga kaya raya. Awalnya dia hidup bahagia bersama kedua orang tuanya, hingga suatu hari orang tuanya mengalami kecelakaan mobil dan merenggut nyawa ibunya.
Ara seketika menjadi anak piatu yang menyedihkan, kesepian, dan sangat malang. Setelah selang satu bulan ibunya meninggal, sang ayah menikahi seorang wanita berstatus janda beranak satu sebagai pengganti ibunya yang meninggal dunia.
Seperti kata rintihan anak tiri dalam acara sinetron televisi channel ikan terbang. Jika ibu tiri hanya mencintai suaminya saja, dan tidak akan peduli dengan anak tirinya.
Hingga pada suatu malam, Ara bermimpi melihat sang ayah sedang berjalan menjauh bersama ibu kandungnya sembari berpegangan erat. Ara mencoba untuk mengejar ayah dan ibunya, tetapi ia seakan tidak punya kekuatan untuk itu. Sampai tiba-tiba, cuitan nyaring yang menyelusup celah ventilasi mampu mengembalikan raganya yang sempat nyasar entah kemana.
Ara menceritakan mimpi itu pada sang ayah, tetapi ayahnya hanya menganggapnya sebagai bunga tidur saja.
"Mimpi itu hanya bunga tidur. Kamu jangan terlalu memikirkannya!" Begitulah kata sang ayah, tetapi entah kenapa hati Ara tidak mau menerima.
Saat keberangkatan ayahnya keluar kota, Ara mengantarkan ayahnya ke depan pintu sambil terus menggandeng tangan ayahnya, kemudian dia memeluk ayahnya erat sekali. Sampai ayahnya heran dengan tingkah anaknya ini.
"Papa akan baik-baik saja, Nak. Jaga dirimu, ya! Harus nurut sama mama Diana."
Ara tidak pernah menyangka, jika itu adalah pesan terakhir dari ayahnya. Ya, selang beberapa jam dari kepergian sang ayah. Tiba-tiba saja ada sebuah panggilan masuk pada ponselnya, yang mengabarkan jika ayahnya mengalami kecelakaan mobil.
Bagaikan disambar petir, hati Ara pun hancur berkeping-keping. Kecelakaan itu juga merenggut satu-satunya orang yang paling berharga dalam hidup Ara. Habislah sudah! Penderitaan Ara pun bertambah. Dia menjadi seorang yatim piatu dalam sekejap mata.
Begitulah nasib Ara sekarang. Hidup terlunta-lunta karena diusir oleh ibu tirinya. Akan tetapi, ini bukan kisah tentang dongeng 'Bawang Merah dan Bawang Putih' yang menceritakan tentang kekejaman seorang ibu tiri, melainkan kisah cinta dan kehidupan seorang Ara yang tiba-tiba menjadi seorang gadis yang sederhana, dari hidupnya yang semula kaya raya.
Sampai di suatu malam, Ara sedang duduk melamun sendirian di sebuah bangku taman, dia bingung harus tidur dimana, karena hari sudah gelap. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan Ara dengan menepuk pundak Ara.
"Kamu lagi ngapain sendirian di sini? Udah malam, loh! Di sini juga sepi, sering ada preman juga kalau makin malam."
Seketika bulu kuduk Ara merinding disco, tentu saja dia takut mendengar penuturan ibu tersebut. "Aku ... aku diusir dari rumah, Bu. Nggak tahu mesti tidur di mana?" ungkap Ara dengan nada sedih.
Ibu itu mengernyitkan keningnya, memperlihatkan guratan keriput yang semakin jelas di sana. "Kenapa? Apa kamu membuat masalah besar, sampai-sampai diusir dari rumah?" tanyanya, "oh, iya ... nama saya Iren. Kamu bisa panggil saya Bibi Iren!" imbuh Iren memperkenalkan diri.
Setelah berkenalan, Ara pun akhirnya menceritakan tentang kehidupannya kepada Iren. Entah kenapa ia merasa sangat dekat dan nyaman bersama ibu tersebut, walaupun baru saja bertemu.
Iren merasa kasihan dengan Ara, lalu menawarkan Ara untuk tinggal bersamanya. Karena kebetulan dia tinggal seorang diri. Suami dan anaknya telah meninggal setahun yang lalu, dia juga sebatang kara sehingga dia merasa mereka memiliki nasib yang sama.
***
Kehidupan baru Ara pun dimulai. Kini ia bekerja sebagai seorang pelayan di sebuah restoran. Ara ingin melupakan masa lalunya yang kelam. Bersama Iren, ia seperti menemukan kembali kasih sayang ibunya yang sudah meninggal.
Kini fokus Ara hanyalah bekerja dan bekerja. Tidak ingin tetap hanyut dalam masa lalunya yang kalut, karena kehidupan akan terus berlanjut.
Kesederhanaan yang diajarkan Iren membuat Ara mengubah pola pikirnya. Selama dia hidup bersama ayahnya, dia tak pernah menghargai yang namanya uang. Bagaimana uang itu didapat oleh orang tuanya dengan susah payah, dia tak mau tahu, yang dia tahu hanyalah cara menghabiskannya saja.
Ara pun tak ingin mengenal cinta. Pengalaman pahit ditinggalkan oleh kekasihnya karena alasan Ara sudah tidak lagi kaya, membuatnya sedikit trauma. Walau banyak pria yang memintanya untuk menjadi kekasih, Ara tak pernah menanggapinya dengan serius, selalu ada alasan untuk menolak perasaan cinta mereka. Ara menjadi seorang gadis yang menutup diri dari orang lain terutama kaum laki-laki.
***
Waktu pun berlalu dengan sangat cepat, hari-hari Ara lalui dengan penuh semangat. Hingga dua tahun berlalu, Ara sudah terbiasa dengan kesederhanaannya bersama Iren, hanya wanita itulah yang selalu membuatnya bersemangat setiap hari. Kasih sayangnya yang tulus membuat Ara merasa tak sendiri dalam menghadapi ujian kehidupannya saat ini.
Tuhan pasti memberikan hikmah di balik cobaan yang diberikan pada setiap hamba-Nya. Bagaimana mereka menyikapi setiap cobaan dengan sabar, niscaya berbuah keindahan.
Hingga saat seorang laki-laki aneh datang dalam kehidupan Ara. Membuat hari-harinya lebih berwarna, dan penuh tawa. Ia merasa dihargai dan dibutuhkan. Seperti mendapatkan kehidupan baru yang penuh dengan tantangan dan keceriaan, sosok laki-laki itu yang mampu membuat Ara menjadi lebih ceria dari biasanya. Ada kasih sayang yang tidak biasa, ada perasaan aneh yang selalu membuatnya nyaman bersama laki-laki itu. Mungkin awalnya bukan cinta, tetapi entah seperti apa setelah lama mereka bersama.
****
Siapakah laki-laki itu, yuk kita ikuti kelanjutannya ... jangan lupa like, comment dan votenya ya...
happy reading 😊😊
Langit di pagi itu tampak lebih gelap dari biasanya, langkah kaki seorang gadis terdengar berisik. Sambil berlari pelan dia hentakan sepatu pentopel ke jalanan yang sudah dilapisi oleh aspal. Suasana pagi hari yang masih sepi membuat suara itu lebih menderu.
"Sepertinya mau hujan, aku lupa membawa payung," ucap gadis itu. Dialah Tyara Ariela.
"Aku harus segera ke halte bis, sebelum hujannya turun," imbuhnya lagi lalu mempercepat langkahnya
Tiba - tiba seseorang memanggil nya dari belakang. "Ara ... Ara ...."
Ara menoleh ke arah suara. "Bibi Iren," sahutnya, lalu berbalik dan berjalan menghampirinya. "Kenapa Bibi mengejarku?" tanya Ara saat sudah dekat dengan Iren.
Iren mengulurkan sebuah payung di tangannya, "Kamu lupa membawa payungmu, Nak. Lihatlah, langit begitu gelap! Sebentar lagi mungkin hujan," ucap Iren seraya mengatur napasnya.
Ara menerima payung itu, "Seharusnya bibi tidak usah kesini, aku bisa lari ke halte saat hujan turun. Lihatlah! Bibi bahkan tidak memakai sweater, nanti Bibi sakit gimana? Akhir-akhir ini kesehatanmu sangat buruk, 'kan?" ujar Ara sambil memegang tangan Iren. Sorot kekhawatiran terpancar dari kedua netra pekatnya yang terlihat sendu.
Iren tersenyum. "Bibi tak apa-apa, pergilah! Nanti kamu kehilangan busmu," perintah Iren.
"Ah ... iya." Ara menepuk keningnya sendiri, "aku berangkat ya, Bi! Jaga dirimu, dan jangan lupa minum obatmu!" seru Ara sambil berlari kecil menjauh dari Iren.
Iren hanya tersenyum seraya memandang punggung Ara yang semakin menjauh. Lalu pergi dari sana untuk kembali ke rumah.
***
"Ara kamu dipanggil si Bos," ucap Amel, sahabat sekaligus teman kerja Ara.
Ara yang sedang membereskan meja bekas pelanggannya makan, menoleh ke arah Amel. "Mau ngapain?" tanya Ara heran
Amel mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu, "Mana kutahu, udah sana! Biar aku yang beresin ini," seru Amel seraya mengambil alih pekerjaan Ara.
Ara menyimpan piring yang sempat dipegangnya tadi, lalu bergegas pergi menuju ruangan bos nya. "Aku pergi, ya! Makasih," pamitnya pada Amel, dan hanya dibalas anggukan kepala oleh gadis itu.
***
"Permisi ...." Ara berkata setelah mengetuk pintu.
"Masuk!" sahut bosnya dari dalam ruangan.
Ara membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan itu. "Bos panggil aku?" tanyanya kemudian.
Daniel, dia adalah pemilik restoran tempat Ara bekerja. Laki-laki yang selalu berusaha untuk mendapatkan hati Ara, tetapi sayangnya, Ara tidak pernah menanggapinya. Laki-laki itu tidak pernah menyerah, membuat Ara menjadi jengah.
Daniel menutup laptopnya dan menyimpan kedua tangannya didagu. "Hai, Ra ... pulang kerja kamu kemana? Aku boleh mengajakmu jalan-jalan setelah kerjamu selesai?" ajak Daniel tanpa basa-basi.
Ara berdecak pelan, "Selalu saja seperti ini," gumamnya pelan, tetapi masih terdengar samar oleh Daniel.
"Gimana? Kamu ngomong apa?" tanya Daniel menajamkan pendengarannya.
Ara terhenyak, dia sedikit gugup. "Ah, nggak, kok ... aku nggak ngomong apa-apa, Bos," sanggah Ara.
"Jadi?" Daniel menaikkan kedua alisnya menunggu jawaban.
Ara mengernyitkan dahi, dia bingung mau menjawab apalagi. Gadis itu sudah bosan menolak ajakan bosnya itu. Entah apalagi alasan yang harus dia buat untuk menolak ajakan Daniel.
"Pasti kamu nggak bisa lagi. Ya, udah ... aku nggak akan maksa kalau kamu nggak mau," imbuh Daniel dengan wajah yang kecewa.
Ara menghela napas dengan kasar, mungkin tidak salahnya untuk kali ini dia menerima tawaran bosnya. "Oke ... aku mau, tapi mungkin nggak bisa lama-lama, ya. Nanti bi Iren khawatir." Terdiam sejenak seraya menatap wajah Daniel yang tiba-tiba terlihat sumringah, "bapak mau mengajak saya kemana?" tanya Ara lagi.
Daniel yang merasa senang, menunjukkan sorot mata yang berbinar-binar menunjukkan rasa bahagianya. Akhirnya, setelah sekian purnama gadis pujaannya itu menerima ajakannya juga.
"Aku akan mengajakmu nonton, apa kamu mau?" tanyanya dengan semangat.
Ara mengangguk, "Boleh, tapi aku mau Bapak tunggu aku di halte depan saja. Kita ketemu di sana. Aku nggak mau karyawan lain berpikiran macam-macam tentang hubungan kita," pinta Ara.
"Memangnya kenapa? Aku nggak keberatan mereka berpikiran kita ada hubungan," celetuk Daniel.
"Aku yang keberatan." Ara berkata dengan tegas, membuat wajah Daniel sontak memelas. Apa tidak bisa gadis ini berpura-pura manis, dan tidak mengeluarkan kata-kata sadis. Sehingga membuat hati Daniel semakin meringis. Tidak, Ara bukan gadis pengumbar harapan hampa. Jika memang dia tidak suka, maka dia akan katakan sejujurnya.
"Baiklah, sesuai keinginanmu." Walaupun kecewa, tetapi Daniel harus menerima. Ia menarik kedua sudut bibirnya dan membentuk sebuah senyuman tulus di sana.
"Kalau gitu aku permisi kerja lagi," pamit Ara sambil membungkukkan sedikit badannya tanda memberi hormat.
"Iya, pergilah!" sahut Danil, "aku akan hubungi kamu nanti," imbuhnya lagi.
Ara pun keluar dari ruangan bosnya dengan wajah yang masam, lalu menghampiri Amel yang sedang mencuci piring bekas pelanggannya makan. Gadis itu berdiri di samping Amel seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Kenapa dengan wajahmu, kenapa ditekuk kayak itu? Udah kayak kertas yang diremas-remas, kusut banget!" ledek Amel sambil terkekeh.
Ara menoleh pada Amel dengan tatapan sinis, "Mulutmu habis makan sambel, ya? Pedas banget!" seru Ara sambil mengerucutkan bibirnya.
Amel terkekeh, dia menyimpan piring yang terakhir dia cuci pada tempatnya. "Canda, doang." Amel terkekeh sembari mengelapkan tangannya ke wajah Ara.
"Iiih ... jorok banget, sih, Mel! Itu bekas cucian piring, 'kan?" sungut Ara sembari mengusap pipinya yang basah. Amel tergelak melihatnya.
"Apa dia ngajak kamu kencan lagi?" tanya Amel setelah tawanya reda, karena memang Ara selalu bercerita tentang masalah pribadinya pada Amel.
"Hmm ...." Ara mengangguk pelan, bibirnya maju beberapa senti.
"Kamu nolak lagi?"
Ara menggeleng. "Aku malah menerimanya," ucapnya sambil menundukkan kepala.
"Ah ... akhirnya," ucap Amel merasa lega, sambil merapatkan kedua tangannya dan menyimpannya di depan dada.
Ara mendongak, menatap Amel yang begitu senang mendengar keputusannya itu. "Kamu ini sebenarnya teman siapa? Seneng banget, lihat aku galau kayak ini?" geram Ara.
Amel menurunkan tangannya. "Eh ... aku ini temanmu, lah." Amel bersikap serius, "tapi aku nggak kayak kamu yang nggak punya hati, yang nolak terus ajakan orang yang punya niat baik," ujar Amel. Namun, Ara hanya menanggapinya dengan wajah cemberut. Seolah merajuk.
"Ayolah! Kemana dia mengajakmu?" Amel berkata lagi sambil merangkul leher temannya itu.
"Bioskop," jawab Ara singkat.
"Wah ... aku juga mau banget, tuh, diajakin orang nonton film romantis," ucap Amel sambil memegang dagunya dengan sebelah tangan.
"Ya udah, kamu ikut aja! Biar aku ada teman," pinta Ara dengan semangat.
Amel mengetuk kening Ara pelan. "Enak saja, aku nggak mau jadi obat nyamuk kalian," seru Amel lalu melangkah mengambil kain lap untuk mengeringkan piring, "dan aku nggak mau dipecat sama si bos gara-gara ide konyol kamu itu," Amel terus menggerutu sambil mengelap piring.
Ara merengut. "Jahat banget, sih!" sungut Ara.
Amel hanya tersenyum mendengar ucapan temannya. Sebenarnya gadis itu hanya ingin memberikan kesempatan untuk Ara, agar bisa merasakan sedikit kebahagiaan dan mengenal cinta. Walaupun Ara masih menutup dirinya untuk itu.
Saat mereka sedang asyik berbincang, seorang chef memanggil Ara untuk mengantarkan pesanan kepada pelanggan.
"Ra, ini sudah selesai, tolong antarkan, ya! Ini catatan pesanannya berikut nomor mejanya, sekalian kamu kasih ke kasir. Makasih, cantik," perintah chef laki-laki yang selalu bersikap genit pada Ara.
Ara hanya tersenyum kecut mendengar kalimat terakhir chef tersebut. Dia menerima nampan yang berisi makanan yang dipesan, lalu bergegas menyajikannya di meja pelanggan.
"Ara ...." panggil Amel tiba-tiba, saat Ara baru saja melangkahkan kakinya keluar dari pantry.
Ara menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Apa?" tanyanya, tetapi Amel malah tersenyum lalu berjalan pelan mendekati Ara.
"Ih, cepetan, dong, mau ngapain? Ini berat tahu!" ketus Ara saat Amel sengaja memperlambat langkahnya sembari senyum-senyum. Lalu mendekatkan kepalanya pada telinga Ara.
"Kalau si bos kamu gak mau, chef tadi juga lumayan oke loh, boleh tuh buat cadangan," bisik Amel kemudian. Ara sontak menarik mundur kepalanya, menatap tajam ke arah Amel.
Amel mengerti sahabatnya sedang berada pada tensi tinggi, sambil tersenyum pelik dia menarik mundur tubuhnya menjauhi Ara. Amel takut jika tiba-tiba piring yang dibawa Ara melayang ke wajahnya.
"Slow ... slow ... aku cuma bercanda, oke!" Amel tersenyum cengengesan, menunjukkan deretan giginya yang putih rapih. "Udah, sana bawa makanannya, kasian pelanggan dah kelaperan," imbuh Amel lagi, mencoba menenangkan emosi Ara.
Ara mendengus sebal, lalu berbalik meninggalkan sahabatnya tanpa kata. Amel memang tidak pernah bosan untuk menjodohkan Ara dengan setiap laki-laki yang menyukai gadis itu. Padahal Ara tidak pernah tertarik sedikitpun. Rasa sakit hati dan kecewa pada laki-laki masa lalunya, membuatnya enggan untuk mengenal kata cinta lagi.
***
Bersambung, ya ...
Kasih like dan vote-nya dong ...
Akhirnya jam kerja di restoran itupun selesai, terlihat beberapa karyawan sedang membereskan meja dan kursi. Adapula yang sedang menganti baju seragam di ruang ganti karyawan, mereka bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.
Begitupun dengan Ara, ia sedang sibuk mengikat rambutnya di depan cermin besar yang ada di ruangan ganti itu, setelah selesai mengganti baju.
Tiba-tiba saja Amel menghampiri Ara lalu menarik ikat rambut Ara hingga rambutnya tergerai kembali.
"Hey ... apa-apaan, sih? balikin, nggak?" Amel sontak berbalik badan, tangan kanannya menadah meminta ikat rambutnya dikembalikan. Suaranya yang sedikit berteriak, membuat karyawan lain ikut menoleh ke arahnya dan Amel, tetapi hanya sejenak sebelum kemudian mereka pun sibuk dengan urusan masing-masing.
Amel hanya tersenyum, lalu menyimpan ikat rambut itu di sakunya. "Biarin kayak gitu! Kamu lebih cantik dengan rambutmu yang terurai. Lihat, deh!" seru Amel sambil membalikkan tubuh Ara menghadap cermin lagi. "Tuh ... cantik, 'kan?" imbuhnya lagi.
Ara menatap pantulan wajahnya di cermin, pipinya mendadak merona, lalu menyentuh rambutnya sampai akhirnya dia tersadar kembali. "Eh ... aku nggak suka rambutku digerai, nanti gampang berantakan," seru Ara menepis rasa percaya dirinya.
"Nggak akan. Percaya, deh! Bentar lagi 'kan, kamu mau nonton sama—"
Ara membungkam mulut Amel dengan tangannya sebelum dia menyelesaikan omongannya. "Bisa nggak, sih, kamu jaga bicaramu! Di sini masih banyak karyawan lain," bisik Ara di telinga Amel, lalu melepaskan bekapannya. Kedua bola matanya melotot penuh peringatan.
"Ah ... iya, aku lupa. Sorry, sorry." Amel melebarkan senyumnya sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Dering suara ponsel milik Ara begitu nyaring terdengar. Ada satu panggilan masuk di sana, Ara pun merogoh saku celananya, untuk mengambil benda pipih yang berbunyi tanpa henti. Terlihat panggilan itu berasal dari bosnya—Daniel. Ara pun menyentuh tombol angkat, lalu mendekatkan ponselnya di telinga.
"Hallo ...." ucap Ara.
"Ara, aku sudah menunggumu di depan halte, kamu nggak lupa 'kan, kalau aku mengajakmu nonton malam ini?" terdengar suara Danil di seberang telepon.
"Iya aku nggak lupa, aku akan segera ke sana." Setelah berkata seperti itu Ara mengakhiri panggilan telepon mereka.
"Aku pergi dulu, ya!" pamitnya pada Amel. Amel mengangguk sembari tersenyum.
Ara menarik napas dalam lalu mengeluarkannya perlahan, seolah memberikan kekuatan kepadanya. Sejenak Ara menatap pantulan wajahnya di cermin, sebelum kemudian ia melangkah pergi tanpa mempermasalahkan lagi rambutnya yang tergerai. Kali ini Amel tidak berkomentar, ia pun mengikuti langkah Ara dari belakang.
"Ara, semangat!" seru Amel ketika mereka sudah keluar dari restoran.
Ara menoleh ke arah Amel yang berada di belakangnya, lalu melemparkan senyum manisnya. Ia melambaikan tangannya seraya pergi dari tempat itu untuk menemui Daniel yang sudah menunggunya di halte bus.
***
Tak lama sampailah Ara di halte bus, terlihat mobil Daniel sudah terparkir tak jauh dari sana. Ara menghampiri mobil itu, lalu mengetuk pintu mobil Daniel sambil membungkukkan sedikit badannya, Daniel menurunkan kaca mobilnya dan menyuruh Ara untuk masuk.
Ara duduk di samping Daniel. Mobil pun melaju perlahan membelah jalanan. Suasana di dalam mobil hening seketika, Danil sesekali mencuri pandang ke arah Ara dan itu membuat Ara menjadi sedikit risih.
"Kenapa Bapak lihatin aku kayak gitu?" tanya Ara memecah keheningan.
Danil terhenyak, ia merasa gugup. "Kamu terlihat beda banget dengan rambutmu yang tergerai kayak gitu," ucap Daniel sambil menatap ke depan jalan, tetapi sesekali melirik pada Ara.
Ara terdiam, dia langsung menoleh ke arah kaca spion yang berada di sisi mobil dekat dirinya, tentu untuk melihat pantulan wajahnya di sana. "Apa aku terlihat aneh?" tanya Ara sambil memegang rambutnya.
"Tentu aja nggak, kamu terlihat sangat cantik ..." Daniel tersenyum, "selama ini kamu selalu mengikat rambutmu, aku baru lihat kamu kayak gini," puji Daniel.
Semburat merah tercetak indah di kedua pipi Ara. Dia tersipu, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela mobil. Melihat pemandangan jalan yang dilintasinya, agak si bos tidak bisa melihat wajahnya yang merah seperti tomat. "Bapak terlalu memuji, tadi ikat rambutku hilang jadi aku terpaksa menggeraikan rambutku." Ara mencari alasan.
"Tolong jangan panggil aku Bapak terus! Aku jadi sangat tua dengan panggilan itu, lagi pula ini bukan di restoran," pinta Daniel. "Panggil saja Kakak!" tambahnya kemudian.
Ara menoleh ke arah Danil lalu tersenyum kikuk. "Hmm ... baiklah Kak ... Daniel." Ara merasa canggung.
"Terdengar lebih baik, 'kan?" seloroh Daniel lalu membalas senyum Ara.
***
"Kamu suka filmnya, Ra?" tanya Daniel ketika mereka sedang berjalan di sekitar taman kota setelah selesai menonton film.
"Hmm ...." Ara hanya bergumam seraya menganggukkan kepala untuk menanggapinya.
"Maaf aku mengajakmu kesini dulu sebelum mengantarmu pulang, ada yang ingin kukatakan sama kamu," ujar Daniel. Lelaki itu tahu Ara keberatan ketika dia mengajaknya mampir di taman kota, tetapi Ara sudah terlanjur menerima ajakan Daniel untuk jalan-jalan, setidaknya untuk kali ini saja Ara menuruti Daniel.
Ara berhenti berjalan, lalu menoleh ke arah Daniel "Mengatakan apa?" tanyanya.
Tiba-tiba saja Daniel berjalan ke depan lalu menghadap ke arah Ara, kemudian berjongkok di depannya. Ia mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin di dalamnya.
"Ara, aku ingin mengatakannya lagi, kalau aku menyukaimu, lebih tepatnya mencintaimu, apa ... kamu mau jadi kekasihku? Eh, bukan kekasih, melainkan istri." Untuk kesekian kalinya lelaki itu mengungkapkan perasaannya pada Ara. Dan kali ini sepertinya lebih serius dari sebelumnya. Daniel bahkan berani melamar Ara.
Ara terkesiap, ia membelalakkan matanya lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya, "Kak Daniel melamar aku?" tanyanya kemudian.
"Ya," jawab Daniel dengan yakin, masih dengan posisi jongkoknya.
Ara sejenak membisu, kebingungan melanda pikiran gadis itu. Ia pun menghela napas kasar sebelum kemudian memberikan jawaban.
"Maaf kak Daniel, aku nggak bisa nerima kamu, aku belum bisa membuka hatiku untuk laki-laki lain." Jawaban Ara masih sama seperti sebelumnya.
Lagi, Daniel harus menelan kecewa. Embusan napasnya terdengar pasrah, seolah dirinya begitu sangat lelah. Ingin rasanya memaksa Ara untuk menerima cintanya. Jika memang alasannya seperti itu, apa salahnya jika mereka mencoba untuk bersama. Mungkin saja mereka akan bahagia. Lelaki itu lantas berdiri lalu memegang pundak Ara. "Sampai kapan Ara? Sampai kapan kamu bisa melupakan laki-laki itu? Dia telah meninggalkanmu, dia tidak pantas untukmu. Lupakan dia! moveon-lah!" seru Danil dengan sedikit memaksa.
Daniel sudah jatuh hati pada Ara sejak pertama kali gadis itu menginjakkan kakinya di restoran Daniel. Daniel menyebutnya sebagai cinta pada pandangan pertama. Kata orang, cinta pertama itu haruslah diperjuangkan, dan lelaki itu pun melakukannya.
"Aku ... aku nggak tahu, Kak," lirih Ara.
Daniel sedikit kecewa mendengar jawaban Ara. "Aku bisa mengerti, ayo pulang!" ajak Daniel dengan nada melemah, tangannya pun sudah lepas dari bahu Ara. Laki-laki itu tidak mau kalau sampai Ara jadi membenci dirinya, jikalau dia memaksakan perasaannya.
Ara merasa bersalah sekali, tetapi dia tidak mau membohongi perasaannya pada Daniel, mulutnya bisa berbohong, tetapi hatinya tetaplah kosong.
Daniel menggiring Ara masuk ke dalam mobil, Ara yang sudah duduk di samping Daniel tampak gugup. "Kak Daniel, aku terus nolak kamu. Apa ... aku akan dipecat?" tanya Ara dengan berhati-hati.
Daniel sontak menoleh pada Ara, lalu dia tertawa "Tentu saja nggak, kenapa mikir kayak gitu?" terang Daniel disela tawanya. "Eh, tapi ada syaratnya. Aku nggak akan pecat kamu asalkan kamu nggak bersikap segan dan dingin lagi sama aku walaupun itu di restoran," pinta Daniel memberitahu syarat.
"Mana bisa? Kak Daniel atasanku," sergah Ara tidak enak hati.
"Aku tidak peduli, kecuali jika kamu ingin kupecat," ancam Daniel.
Ara menelan ludahnya dengan berat, bosnya itu memang keras kepala. Dia tidak boleh kehilangan pekerjaannya. Tidaklah mudah untuk mencari pekerjaan lain di kota besar. "Baiklah Kak, aku setuju," tegas Ara, " tapi Kak Daniel juga harus janji, jangan pernah menunjukkan sikap, kalau Kak Daniel suka sama aku. Aku nggak mau mereka salah paham."
Danil tersenyum tipis. "Oke, setuju ... satu lagi, tetaplah panggil aku dengan sebutan 'kakak'! Aku suka mendengarnya."
Ara berdecak pelan, banyak sekali syaratnya. Namun, gadis itu hanya bisa menganggukkan kepalanya pelan tanda setuju. Daniel tersenyum senang, walaupun sudah ditolak lagi, ia merasa sudah menang. Lantas menghidupkan mesin mobilnya, lalu melajukan mobil itu membelah jalanan kota.
****
to be continue...
tinggalkan jejak ya readersku...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!