- Sekolah -
"Kamu apa-apaan sih Revo? Dia teman aku."
"Tapi dia menggandeng tangan kamu sayang."
"Dia kan cewek juga, lagi pula Dena temanku. Masa iya kamu juga cemburu sama dia."
"Pokoknya tidak boleh. Kamu tidak boleh sembarangan digandeng sama orang. Tak terkecuali temanmu."
"Ih apaan sih?" Protesku padanya.
Revo terus saja melihat tak suka ke arah Dena karena telah menggandeng tanganku yang merupakan pacarnya itu. Lama-lama aku bisa gila punya pacar posesif begini. Huh!
"Tidak apa-apa Zi, salahku yang main gandeng tangan kamu sembarangan." Dena mencoba mencairkan suasana tapi dari nada bicaranya dia seperti mengejekku 'makan tuh pacar posesifmu'.
"Tidak apa-apa bagaimana? Kamu kan temanku."
"Udah daripada ribut, kalian ngobrol saja dulu. Aku ke kantin duluan yah, bye!"
Dena pun berlalu begitu saja, meninggalkan aku dengan Revo pacarku yang super posesif. Apa-apa dilarang, ruang gerakku seperti tak ada lagi. Bahkan untuk berteman pun sekarang harus seizin dia. Gila apa ya!
"Sayang, jangan cemberut gitu dong. Senyum! Aku kan cuma melindungi kamu, aku cuma gak mau ada yang nyentuh kamu sembarangan. Aku gak mau ada yang seenaknya megang-megang bagian dari tubuh kamu."
"Tapi dia cewek loh Yang, masa-- Ah sudahlah capek aku ngejelasin sama kamu. Ujung-ujungnya yang ada kita bertengkar terus."
"Makanya sekarang kamu senyum biar makin manis. Lagi pula, tidak ada yang boleh nyentuh kamu lagi. Aku saja pacarmu kamu, malah kamu tidak izinkan adanya kontak fisik. Maka dari itu aku gak mau ada satu orang pun yang nyentuh kamu. Kamu punya aturan aku juga punya aturan. Selama kamu belum bolehin adanya kontak fisik, maka kamu juga gak boleh ada kontak fisik dengan siapapun. Tahu kenapa?"
"Karena kamu cemburuan." Jawabku ketus.
"Nah itu tahu. Senyum dong Yang."
Akhirnya kupaksakan bibirku untuk senyum juga. Revo memang posesif orangnya tapi dia nurut sama apa yang aku katakan. Dari awal aku terima dia jadi pacar aku, harus ada aturan yang disetujui bersama. Salah satunya adalah peraturan yang disebutin Revo tadi, selama pacaran tidak boleh ada kontak fisik.
Kriinnnngggg!!!
Suara bel masuk menyadarkan aku dan Revo untuk segera masuk kelas. Aku dan Revo beda kelas, dia kelas sebelas B dan aku kelas sebelas A. Sebelum dia masuk kelasnya, dia mengantar aku sampai masuk kelas dulu. Dia memang seperti itu, selalu memastikan aku berada di kelas baru deh dia masuk kelasnya.
Dia sempat-sempatnya dadah-dadah dan tebar pesona sebelum pergi. Membuat teman-teman sekelas ber-ciee ria menggodaku. Membuat pipiku bersemu merah menahan malu.
Hampir semua orang di sekolahan tahu kalau aku dan Revo berpacaran. Katanya aku adalah pasangan terunik yang pernah ada di sekolah itu. Pacaran harus seizin orangtua, tidak boleh ada kontak fisik, terus jalan-jalan harus atas rekomendasi orangtua. Semisal nih malam Minggu, Revo mau ajak jalan tapi kedua orangtuanya harus saling telpon dulu untuk persetujuan apakah tempat mereka jalan ini aman dan termasuk tempat yang ramai. Tidak boleh berdua-duaan.
Aneh, unik bin ajaib kan? Tapi itulah kenyataannya. Aku Zida Ayunda Ramos, usia 16 tahun anak dari pasangan Bapak Ramos dan Rosa. Pacarku bernama Revo Fidel Marcel, anak dari Bapak Marcelino dan Amor. Kedua orangtua kami dulunya bersahabat, mereka adalah satu gank yang saling jatuh cinta pacaran sejak SMA dan memutuskan menikah setelah mereka semuanya sukses di bidang masing-masing.
Itu alasan di balik hubungan aku dan Revo. Namun meski orangtua kami bersahabat, tapi sejujurnya aku juga sayang pada Revo begitu juga sebaliknya. Jadi hubungan kami bukan semata-mata karena perjodohan tapi karena memang kami saling menyukai satu sama lain.
Sebelum aku tahu kedua orsngtua kami bersahabat, Revo dengan beraninya datang ke rumah dan mengatakan niatnya pada orangtuaku untuk berpacaran denganku. Aku shock dan cukup bangga dengan keberanian Revo. Dia memintaku langsung dari orangtuaku. Karena Papa dan Mama langsung takjub dengan keberanian Revo, sebelum menyetujui hubungan kami, Papa dan Mama harus tahu dulu latar belakang keluarga Revo.
Revo kemudian bercerita tentang siapa Papa dan Mamanya. Orangtuaku kaget mendengar Revo menyebutkan nama orang tuanya, Papa sampai meminta Revo untuk menyebutnya dua kali. Mama sampai melirik Papa sambil tersenyum penuh maksud terselubung.
"Kapan aku bisa menemui orang tua kamu?" Tanya Papa.
"Besok juga boleh Om, aku mengundang Om dan Tante makan malam di rumah. Pulang dari sini aku akan sampaikan ke Papa dan Mama tentang kedatangan Om dan Tante."
Papa manggut-manggut saking takjubnya, dia sampai bisik-bisik dengan Mama. Namun suaranya masih dapat kudengar, "Dia mirip sekali dengan Marcelino, caranya bicara, ketegasannya bahkan sikap pemberaninya. Ini sih duplikat Marcel banget."
Kurang lebih begitulah percakapan mereka yang kudengar. Mama lagi-lagi tersenyum penuh arti. Saat itu memang suka pada Revo karena dia termasuk berani menyatakan perasaannya, terlebih dia memintaku langsung di depan orangtuaku.
Saat makan malam di rumah Revo itulah akhirnya aku tahu jika mereka berempat, Kedua orang tua kami adalah sahabat. Mereka bahkan terlibat peluk-pelukan, cipika cipiki, ngobrol ngalor ngidul, sampai melupakan kami berdua bahwa kami ada di sana.
Makan malam itu berlangsung seru sekali bagi para orang tua. Aku dan Revo bergantian melihat mereka dengan tatapan cemberut. Padahal sebenarnya bisa saja momen itu kami gunakan untuk saling ngobrol dan sayang-sayangan, tapi kami justru merasa bahwa momen resmi aku dan Revo pacaran malah mereka ambil alih begitu saja.
Aku dan Revo hanya menghabiskan waktu dengan menonton film sampai mereka selesai berbagi kesenangan karena baru bertemu lagi setelah sekian lama. Kami meninggalkan rumah Revo saat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Benar-benar tamu tidak tahu diri bukan?
Aku protes ke Mama dan Papa tapi mereka malah mengabaikan aku. Kan kesel sendiri, apalagi tadi mereka sungguh lupa kalau mereka makan malam itu karena untuk merayakan peresmian hubungan aku dengan Revo. Huh, semuanya kacau.
Itulah pacaran dengan Revo. Pacar pertamaku.
-------
Bersambung.
Silahkan tinggalkan komen kalian untuk mendukung cerita ini yah. Like dan jangan lupa Vote, biar aku tahu kalau kalian suka baca cerita ini. Maka aku akan semangat untuk menulis kelanjutannya trimakasih sekali lagi ya.
Kriinnnngggg!!!
Bel pulang berbunyi, guru yang tadi mengajar pelajaran terakhir telah meninggalkan kelas. Beberapa teman juga sudah lebih dulu pulang, aku sedang membereskan buku-buku ke dalam tas dan Revo sudah ada di depanku.
"Zi, duluan yah!" Sapa Dena dan teman lainnya saat hendak meninggalkan kelas.
Aku tersenyum seraya melambai pada mereka. Revo masih saja terus memandangiku seperti orang baru pertama kali melihat cewek cantik.
"Tatapan kamu mesum." Ucapku ketus.
"Kok mesum? Ini tatapan mesra penuh cinta Yang. Gimana sudah beres? Ayo aku antar pulang!" Ajaknya saat dia melihatku mengemasi tasku.
"Yuk!"
Kami berjalan menuju parkiran, Revo masih tak lepas menatapku. Anak rambutku yang seringkali terjatuh ke depan, sering membuat dia gemas ingin merapikannya. Sebentar-sebentar berhenti hanya untuk memberi tahu bahwa rambutku agak berantakan.
"Yang, rambut kamu." ucapnya.
Aku sudah mengerti maksudnya, aku pun merapikan rambutku dengan mengaitkannya ke belakang telinga.
"Nah, manis sekali." ucapnya tersenyum.
"Kamu bisa gak sih berhenti ngurusin rambut aku, memangnya apa yang menarik sih? Dari semua yang kupunya di badanku ini, kenapa mesti hanya rambut yang menarik perhatian kamu?"
"Rambutmu terurai begini sering membuatku gemas untuk menyentuhnya. Apalagi saat berantakan begitu karena tertiup angin atau karena kamu sedang merunduk dan rambutnya terurai ke depan. Aku tidak tahan untuk menyentuhnya."
"Ingat, tidak boleh ada kontak fisik."
"Iya ingat."
Dalam hati, sebenarnya aku merasa lucu saja melihat wajah Revo begitu aku mengingatkan soal peraturan yang paling penting saat pacaran. TIDAK BOLEH ADA KONTAK FISIK.
"Naiklah!" ucapnya sembari menyodorkan helm.
Aku pun segera naik ke jok belakang motornya. Sebenarnya aku tidak terlalu suka naik motor, bukan karena motornya tapi lebih karena Revo seringkali ngebut tanpa berpikir ada nyawa yang sedang dia bawa. Mungkin dia berpikir jika dia melajukan motornya maka refleks aku akan memeluk pinggangnya. Oh tidak bisa! Aku masih kuat dalam menempatkan aturan berpacaran yang telah disetujui bersama di depan para orang tua.
"Jangan ngebut-ngebut!" Pesanku pada Revo.
"Iyah sayang! Lagi pula percuma ngebut, kamu gak akan mau peluk pinggangku."
"Kamu suka ngeyel."
"Iyah tahu, ingat peraturan." Jawabnya mendengus agak kesal.
Motor melaju tenang, angin bertiup sepoi-sepoi membuat rambutku bergerak-gerak landai.
Satu-satunya yang kusukai saat naik motor berdua Revo adalah dapat mencium wangi parfumnya lebih lama. Parfum dari Calvin Klein yang legendaris karena sudah ada sejak tahun 1990, yaitu Eternity for Men. Perpaduan aroma lavender, lemon, dan jeruk menghasilkan aroma segar sekaligus maskulin.
Aromanya begitu segar dan bikin ingin dekat terus. Parfum tersebut pertama kali disukainya saat Tante Rosa memberikannya beberapa botol parfum dan disuruh memilih parfum mana yang disukainya. Pilihannya jatuh pada parfum Eternity for Men dari Calvin Klein tersebut.
Usai mengantarku, Revo tidak mampir katanya disuruh pulang cepat oleh Mamanya.
"Besok kujemput seperti biasa ya." Ucapnya sesaat hendak pergi.
"Baiklah. Kamu hati-hati."
"Iya Yang. Masuklah!"
"Kamu duluan!"
"Kamu masuk dulu baru aku akan pulang."
"Oke deh. Percuma juga berdebat kamu pasti selalu menang dari aku."
Dia tersenyum lalu aku masuk ke dalam rumah. Sesaat kemudian kudengar deru mesin motornya menjauh meninggalkan halaman rumah.
"Ma..." Panggilku sesaat masuk ke dalam rumah.
"Sudah pulang sayang. Revo mana?"
"Langsung pulang, katanya ada urusan."
"Oh! Kamu ganti baju dulu, makan habis itu temani Mama keluar sebentar ke Supermarket."
"Yah Mama, Zi baru pulang Ma, capek!"
"Baiklah Mama pergi sendiri. Kamu baik-baik di rumah."
"Maaf ya Ma."
"Tidak apa-apa sayang. Istirahatlah, jangan lupa kerjakan PR kalau ada."
"Baik Ma. Hati-hati ya Ma."
Mama mengecup keningku sebelum pergi. Aku pun masuk ke kamar dan berganti baju. Hari ini aku cukup lelah, sebaiknya aku tidur dulu.
***
Malamnya aku membuka media sosial milikku lewat laptop. Mama belum memberikan izin memakai ponsel, padahal aku sudah SMA. Orangtuaku dan orangtua Revo sepertinya kompak tak memberi izin pemilikan ponsel pada anak-anaknya. Saat kutanya alasannya apa? Mama dan Papa cuma bilang, belum waktunya sayang. Kamu akan dapat izin pemilikan ponsel saat lulus SMA.
Aku buka akun Facebook milikku. Baru dibuka sudah banyak sekali pemberitahuan yang masuk. Kebanyakan notif like pada foto yang kuunggah beberapa hari lalu. Tidak ada yang istimewa. Membosankan.
Baru saja mau menutup akun tersebut, tiba-tiba notif messenger menyala. Aku penasaran dan lekas membukanya. Pesan dari Dena.
"Zi, lagi ngapain?"
"Lagi rebahan. Ada apa Na?"
"Eh Sabtu malam besok jalan yuk! Bosan aku di rumah terus."
"Aku izin Mama dulu ya."
"Iya. Yang penting pacar posesif kamu itu tidak ikut. Bisa panjang urusannya nanti. Ha ha..."
"Gimana bisa? Dia pasti akan terus bertanya dan memaksa jika aku melarangnya ikut."
"Yah, gak seru ah!"
"Mau gimana lagi. Dia memang harus ikut, kalau gak ikut, artinya aku gak boleh pergi."
"Ishh... Ya sudahlah tidak apa-apa, asal dia tidak rese' aja."
"Ha ha, gak janji. Kamu gak senang banget ya dia ikut?"
"Jelaslah! Kita kan jadi tidak bisa melakukan hal-hal yang cewek-cewek sebaya kita lakukan. Misalnya kebebasan dalam berbelanja dan memilih barang. Kebebasan masuk toko satu dan toko lainnya, kebebasan ke salon dan masih banyak lagi. Pacar kamu gila! Kalau aku yang jadi pacarnya mungkin aku sudah dibuat gila saking pusingnya menghadapi tingkah dia yang posesif itu."
"He he... Untung pacarnya aku ya? Ha ha..."
"Iyah."
"Besok aku kabarin ya Na."
"Siap."
Baru saja selesai ngobrol dengan Dena sebuah pesan masuk lagi. Isinya bikin alisku naik sebelah.
"Yang, habis ngobrol sama siapa? Kamu sudah online dari lima belas menit yang lalu."
Jika isinya seperti ini sudah pasti dari Revo. Siapa lagi.
"Aku ngobrol dengan Dena."
"Tentang apa?"
"Dena ngajak jalan besok malam."
"Aku ikut."
"Hanya untuk perempuan Yang."
"Tidak bisa. Aku mesti ikut. Tidak ada kata 'hanya untuk perempuan' pokoknya aku harus ikut."
"Iyah. Kamu ikut."
"Gitu dong Yang. Lagi pula aku tidak mau jatah mengajak kamu jalan diambil orang lain."
"Iyah."
"Yang, kamu sedang apa?"
"Lagi meladeni pacar posesif yang hobinya ikut mulu urusan cewek."
"Kamu jawabnya gitu."
"Iya maaf."
Lagi-lagi aku yang harus minta maaf. Apa di kamus dia tidak ada rasa bersalah dan stok perkataan maaf ya? Susah banget mengucapkan satu kata itu.
"Aku tidur ya Yang, bye!"
Laptop aku matikan dan memilih tidur. Biarkan dia kesal sendiri di sana, aku sedang membayangkan wajahnya yang kesal karena aku tiba-tiba keluar dari akun Facebook dan mengabaikan obrolannya. Dia pasti kesal sekali. Hihi.
Aku menatap langit-langit kamar, kemudian tak lama setelah itu mataku terlelap menuju peraduan mimpi yang kuharap tetap indah.
Bersambung....
-----
Terus dukung novel ini yah biar tambah semangat!
Situasi, Rumah.
"Ma, malam Minggu besok izin ya. Mau jalan-jalan ke Mall sama Dena." Ucapku meminta izin pada Mama.
"Terus Revo?"
"Dia ikut, memangnya dia mau begitu saja membiarkan aku pergi bersama orang lain meskipun itu sahabatku sendiri?" Dengusku sedikit kesal.
"Hahaha, kamu ini lucu."
"Ishh Mama malah ketawa. Lucu bagaimana?"
"Ya lucu, kamu pacaran sama Revo tapi kesel kalau Revo ikut-ikut sama kamu. Dia kan pacar kamu?"
"Mama gak tahu saja seberapa posesifnya dia sama aku."
" O yah?"
"Ya elah gak percaya. Emangnya Mama atau Papanya gak gitu ya Ma? Terus dari mana dia dapat gen seperti itu kalau bukan turunan dari salah satu orangtuanya? Atau jangan-jangan Revo itu anak pungut?"
"Ih kamu ini ngomong sembarangan. Revo anak kandung orang tuanya-lah. Mereka begitu mirip masa kamu masih menuduh pacar kamu itu anak pungut. Kubilang Revo ya."
"Aish Mama orang bercanda..." Ujarku manja.
"Dia posesif itu sama kayak Papanya. Tapi dulu Marcel masih ngasih izinin Mama Revo jalan bareng sama Mama atau memeluk Mamanya Revo tidak seperti Revo yang kamu ceritakan itu ke Mama."
"Ya berarti posesifnya Revo mengalami peningkatan dari Papanya. Ihh ngeri!" balasku bergidik yang direspon ketawa Mama yang lebar dan bersuara keras.
"Ada apa ini kok Mama ketawa sampai keluar air mata begitu?" Ucap Papa yang baru saja tiba di rumah.
"Ini Pa, Zida lucu banget. Masa dia ngatain Revo anak pungutlah, terus bilang kadar posesif Revo dibanding Marcel mengalami peningkatan signifikan karena Revo pacarnya itu kelewat posesif sama dia. Ha ha..."
"Dari pengalaman Papa sih, kamu harus lebih sabar Zi. Lebih sabar dari Mamanya Revo menghadapi Om Marcel. Haha..."
Mereka berdua suami isteri kompak banget ngetawain anaknya. Aku kesal dan kabur ke kamar. Padahal belum mengonfirmasi ulang ke Mama apa aku boleh keluar atau tidak.
Baru saja menghempaskan tubuh ke kasur, notif di laptop bunyi bertubi-tubi. Tadi memang aku tinggalkan dalam keadaan menyala dan aku lupa mematikannya padahal aku sedang online di Facebook.
Sayang.
Sayang.
Sayang.
SAYANG!!!???
Oi
Yang
Sayang
SAYANG!???
Zidaaaaa....
Chat beruntun mampir ke kotak pesanku. Pelakunya tentu kalian sudah tahu. Revo Fidel Marcel.
Dia mengirim begitu banyak pesan, mungkin karena aku lama tidak merespon makanya isi pesannya seperti itu. Lalu jika dia sudah menggunakan CAPSLOCK itu artinya jiwa posesifnya sedang bergejolak.
Aku akhirnya membalas dengan perasaan malas. Bukan karena tidak senang Revo menghubungiku, aku hanya sedikit tak nyaman dengan sikap tak sabarnya itu.
**Ya
Sayang
Aku di sini
Ada
Tadi lagi ngobrol sama Mama**.
.........
Bukannya pesannya dibalas, Revo malah melakukan panggilan video. Berat hati aku harus mengangkat panggilan itu, jika tidak Revo akan semakin menjadi-jadi.
"Hai sayang..." sapaku dengan sedikit tersenyum.
"Kamu ngobrolin apa sama Mama?"
"Minta izin Mama untuk keluar malam Minggu sama Dena dan kamu."
"Apa katanya?"
"Belum dijawab sama Mama karena tadi Papa keburu pulang dari kantor jadi dia harus melayani keperluan Papa dulu."
"Kamu akan melayani aku seperti Mama kamu melayani Papa kamu tidak suatu saat nanti?"
Ya Tuhan, pertanyaan Revo kenapa mesti merembet ke situ sih. Ini baru beberapa bulan pacaran sudah membayangkan hal-hal di luar pemikiran anak remaja. Tuhan, tolong hamba!!!
Aku diam sebentar dan dia malah protes.
"Gimana Yang?"
"Aku akan memperlakukan kamu selalu spesial sayang. Tapi itu kan masih jauuuuhhhhh sekali, kenapa harus dipikirin sekarang?"
"Hehe pengen tahu saja."
"Ya sudah lanjut sebentar ya. Mau mandi dulu." Kilahku untuk terlepas dari berlama-lama Video Call-an dengan Revo.
"Baiklah. Dadah Yang..."
"Dahhh..."
KLIK!
Sambungan terputus. Aku mematikan laptop dan segera berbaring di atas tempat tidur. Sebenarnya mandi hanya alasan untuk menutup panggilan itu. Revo bisa sangat lama ngobrolnya jika tidak segera disiasati. Bisa-bisa aku tidak dapat melakukan hal lain kecuali meladeninya ngobrol.
Dan bukannya mandi, eh aku malah kepikiran pertanyaan Revo tadi. Membayangkan aku nikah sama Revo dan tiap dia pulang kerja aku harus melayani kebutuhan dia, melepaskan jasnya, melepaskan dasinya, menyiapkan air hangat untuk mandi, menyiapkan makanan untuknya. Lucu juga kali ya. Gumamku pada diri sendiri.
Revo memang posesif, tapi dia sangat baik. Dia selalu ingat momen-momen penting kita berdua, memberi hadiah, atau selalu mengingatkan aku untuk tidak lupa istirahat. Dia aslinya adalah pacar yang nyaris perfect tapi karena dia posesif itu menjadi kekurangan tersendiri untuk kategori pacar menurut versi aku. hehe.
Memangnya jodohku itu Revo ya? Tuhan tuh seakan mengatur dengan apik pertemuan kami dan akhirnya menjadi jalan bagi bertemunya dua pasang sahabat yang sudah bertahun-tahun tak ketemu. Siapa lagi kalau bukan kedua orang tua kami. Hehehe....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!