NovelToon NovelToon

UNLUCKY

Ch.1 - Felix

Saat lahir aku sudah tidak diinginkan...

Dan sesuatu yang tidak diinginkan tentu saja harus dibuang.

Bahkan aku lebih buruk daripada permen karet. Orangtua ku seharusnya sebelum membuang ku, harusnya memanfaatkan ku terlebih dahulu, setidaknya...

Tapi orang di Panti Asuhan selalu menanamkan hal ini kepada kami, "Kalian itu tidak ditinggalkan oleh orangtua kalian, tapi hanya dititipkan. Mereka pasti punya alasan tersendiri kenapa harus melakukan itu."

Telingaku terasa berdenging mendengar hal omong kosong yang sudah ku hafal itu, "Orang dewasa adalah mereka yang tahu mana yang baik dan mana yang buruk, saat berbicara ataupun bertindak mereka dapat kontrol sebaik mungkin."

"Omong kosong!" kataku pelan.

"Felix, jangan berkata seperti itu," Kata Bu Panti kepadaku, tentu dengan suara lembut dan tak lupa ekspresi wajahnya yang tersenyum.

"Jika saja bukan roti yang ku pegang akan ku lemparkan kewajahnya tapi aku pun lapar dan jika bertindak semauku pasti akan kena hukuman dan tidak dapat sarapan pagi," kataku dalam hati.

"Anak-anak yang ada disini adalah anak yang sial dan tidak beruntung," setidaknya... aku tidak tahan hanya diam saja.

Kurasakan tatapan mata sembap semua yang ada diruangan ini yang merasakan hal sama denganku.

"Jika kalian itu sial, pasti kalian tidak akan lahir ke dunia ini dan tahu apa kalau kamu tidak beruntung sedangkan belum menjalani hidup dengan benar. Kamu baru umur 10 tahun Felix, untuk mengatakan dirimu tidak beruntung masih terlalu cepat. Besok, lusa, bisa saja nanti siang kata-kata itu akan kau tertawakan."

***

Mendengar namaku saja dipanggil sudah membuatku kesal, Felix yang artinya beruntung.

Jangan katakan kalau aku ini nakal apalagi mengatakan kalau aku ini kekanak-kanakan, usia bukanlah ukuran seseorang sudah dewasa dan aku yang sudah hidup 10 tahun ini bisa saja lebih banyak tahu dibanding yang sudah berumur 20 tahun.

Aku tidaklah sombong, jika itu pemikiran kalian. Hah, sombong... lagipula apa yang bisa ku sombong kan.

"Inilah aku, Felix... anak laki-laki umur 10 tahun tinggal di Panti Asuhan Helianthus... TIDAK BERUNTUNG!"

Begitulah caraku memperkenalkan diri.

***

Ibu Panti menyarankan agar aku tidak disekolahkan di sekolah umum karena sikapku yang buruk, "Tahu apa mereka," kataku, "Apa mereka psikiater yang bisa mendiagnosis mental ku seperti menentukan makan siang."

"Sudah ku bilang aku hanyalah tidak beruntung, itu saja. Kenapa mereka susah payah berfikir mencarikan solusi agar aku ini berperilaku baik."

"Hai Felix"

"...."

"Kamu ingat aku kan? aku..."

"Dasar bodoh, tentu saja ingat... Kamu Dea dari kelas 2-6 kita pernah satu kelas waktu kelas 1. Caramu memperkenalkan diri terlalu basa-basi, membosankan dan buang-buang waktu."

"Maaf... aku hanya takut kamu lupa."

"Lupa? setiap kali bertemu, kamu selalu mengatakan hal yang sama... ibarat buku aku sudah baca tamat 10x."

"Setidaknya kamu ingat aku menyapamu sebanyak 10x."

"Kenapa kamu tersenyum?!"

"Apa ada orang tersenyum karena sedih?"

"Tentu saja ada, hahh... sudahlah aku malas menjelaskan. Mau kamu apa?"

"Apa harus ada alasan menyapa teman?"

"Tentu saja harus! Dan sejak kapan kamu adalah temanku?!"

"Apa untuk berteman denganmu aku harus meminta izin terlebih dahulu?"

"Tidak perlu..."

"Kan, tidak perlu... Hahaha"

"Iya tidak perlu. Mengapa harus meminta sesuatu yang tidak akan diberikan."

Felix pergi meninggalkan Dea.

***

Seandainya kita bisa memilih untuk bisa tidak dilahirkan tapi hak memilih pun ditiadakan untuk kami.

Kami baru bisa memilih setelah lahir, karena hak memilih hanya ada bagi mereka yang hidup. Kehidupan setiap detiknya adalah pilihan.

Andaikan aku bisa memilih untuk lahir sebagai Dea, putri pemilik sekolah. Aku pun akan menyapa aku yang menyebalkan dengan ceria. Tapi aku terlahir sebagai aku yang disapa oleh mereka yang beruntung jadi jangan salahkan aku jika aku balik menyapa dengan kasar, karena aku terlahir sebagai aku jadi mau bagaimana lagi...

Jangan mengharapkan aku meminta maaf, setidaknya itu adalah hak karena menjadi diriku. Hak ku untuk berterimakasih sudah dirampas dan dikuasai oleh para Ibu Panti yang memaksa kami berterima kasih kepada para pemberi sumbangan.

"Anak ini tampan sekali," kata seorang donatur.

"Namanya Felix... Bu," jawab Bu Panti.

"Bahkan untuk menjawab saja apa aku harus diwakilkan. Perkenalkan nama saya Felix," kataku datar

Ibu Panti menatapku kaget, "Dia kurang pandai bersosialisasi Bu."

Mulai lagi menceritakan kisah ku, tahu apa dia tentang ku... aku saja tidak mengenal diriku sendiri.

***

Malam yang dingin, bahkan dengan selimut dan kami yang tidur saling berhimpitan tidak menimbulkan rasa hangat.

"Kak Felix, aku dingin."

"Aku tidak peduli!"

"Apa aku bisa memelukmu?"

Aku langsung bangun dan tak lupa mengambil selimut dan bantal ku keluar. Aku mulai berbaring di atas kursi yang ada ditaman.

Ternyata dingin bisa menghilangkan harga diriku, tak kuat rasanya... aku berjalan hendak masuk kedalam ruangan lagi tapi sebuah serpihan kayu gosong terlempar dihadapan ku saat aku berjalan sambil menunduk.

Saat kuangkat kepalaku rasa dinginku pun hilang dengan panas yang begitu hebat terasa sampai membakar selimut yang ku kenakan dan tak lama kemudian kesadaranku pun hilang. Ingatan terakhirku adalah saat sebuah pecahan dinding gedung akan mendarat di wajahku dan ku hadang dengan tanganku. Kulihat tanganku berdarah, "Kenapa darahku berwarna hitam?" untung saja kesadaranku hilang sebelum aku merasakan sakitnya.

"Panti Asuhan Helianthus terbakar menewaskan puluhan anak dan Petugas Panti, yang berhasil selamat hanya 1 anak dan 2 orang Petugas Dapur sekarang dirawat di Rumah Sakit terdekat sedangkan yang lainnya meninggal dunia saat mereka sedang tertidur lelap."

Suara tv yang terdengar nyaring membangunkanku, inginku lempari agar diam tapi rasa sakit menghentikan ku.

"Dia sudah bangun!" kata seorang paman berseragam.

Mereka menghampiri dan mengelilingi tempat tidurku. Untungnya ada perawat yang menghentikan mereka dan menyuruh mereka keluar ruangan, "Menyebalkan sekali melihat mereka berdiri mengelilingi ku seperti tadi."

"Halo, nama kamu siapa?"

"Felix!"

"Halo Felix, nama saya Suster Luna. Bagaimana lukamu, apa terasa sakit?"

"Hahh!" aku bangun dan mulai mengingat segala yang terjadi, ku pandangi tanganku yang penuh balutan dan ku raba dahiku yang terasa sangat sakit. Tenggorokanku terasa sempit, sulit untuk bernafas dan keringatku bercucuran. Tubuhku terasa dipenuhi es, dingin sekali dan aku kehilangan kesadaran lagi.

Saat aku terbangun paman berseragam bertambah jumlahnya mengelilingiku, "Benar-benar menyebalkan," kataku dalam hati.

"Halo nak, bagiamana keadaanmu?"

Entah kenapa aku tidak bisa menggerakkan mulutku. Inginku menjawab dengan jengkel, "Tentu saja tidak baik!" tapi mulutku tak bisa kubuka.

Aku ingin berteriak tapi tak bisa, tanpa sadar aku mengeluarkan air mata.

"Jangan menangis, nak!"

Siapa yang menangis? yang benar saja... aku hanya mengeluarkan air mata tapi tetap saja aku tidak bisa mengeluarkan kata sedikitpun.

***

1 bulan berlalu dan aku masih saja tidak bisa berbicara. Ada-ada saja menurutku, "Sekarang aku malah cacat sekarang?!"

Kebakaran Panti Asuhan menjadi berita yang tidak ada habisnya jadi perbincangan. Terkadang aku iri melihat betapa cepat mereka berbicara. Cara mereka berbicara yang tidak ada titik komanya melaju begitu cepat. Seperti kereta api, secepat itulah gosip beredar.

Kini aku tinggal di panti asuhan Arbor dan menjalani tes psikologi tiap minggu dan konseling tiap 2 minggu sekali.

Dokter Mari, walau suaranya terdengar menyebalkan tapi dia satu-satunya yang tidak memandangku dengan tatapan aneh.

Selama sebulan ini ada yang menatapku dengan kasihan adapula yang menatapku takut dan menghindari ku.

Banyak rumor yang beredar bahwa pelaku yang membakar panti asuhan bisa saja adalah aku.

Padahal sudah kukatakan sejak dulu aku bukanlah anak nakal.

Walau ibu panti dan anak-anak yang lain begitu menyebalkan tapi ibu panti tetaplah mereka yang merawat ku sejak kecil dan anak-anak panti walau selalu menggangguku mereka selalu menyimpan lauk untukku jika aku terlambat datang untuk makan.

Mereka menyebalkan tapi tidak menyebalkan sampai aku harus membakar panti juga apalagi melukai.

Dokter Mari, tak seperti orang lain pada umumnya yang menyebalkan dengan bertanya dan berbicara basa-basi.

Bahkan dia tidak memerhatikanku dan hanya memandang keluar jendela dengan menyeruput teh nya yang masih beruap.

Saat aku mulai menulis di kertas. Ia mulai memerhatikanku,

"Apa aku tidak akan bisa berbicara lagi?" tulis ku.

"Pertanyaan itu hanya kamu yang bisa jawab!"

"Jadi aku bisa berbicara normal lagi?"

"Tentu saja."

"Tapi kenapa aku tidak bisa melakukannya? sekuat apapun aku tidak bisa melakukannya..."

"Jangan salahkan mulut karena tidak bisa berbicara tapi tanyakan hati kamu apa sudah siap berbicara?"

Menulis untuk berbicara seharusnya menyebalkan tapi anehnya aku nyaman-nyaman saja.

Panti asuhan Arbor adalah Panti Asuhan yang sangat besar berbeda dengan Panti Asuhan Helianthus dulu yang kecil. Disini Felix memiliki kamar sendiri. Walau Dokter Mari menyarankan agar dia berbagi kamar dengan anak lain untuk bisa menstimulus supaya mau berbicara tapi Felix tidak mau teman sekamar.

***

Tok...tok

Felix bangun membukakan pintu kamarnya.

"Aku membawakanmu makanan, karena aku tidak melihatmu diruang makan tadi."

Sejauh ini yang paling mengganggu Felix adalah Luna. Benar, dia suster yang menangani waktu Felix di Rumah Sakit.

Dia dulu adalah anak panti asuhan disini tapi saat akhir pekan dia selalu datang membantu pekerjaan di panti.

Felix meraba tali yang menggantung buku dilehernya untuk menulis tapi ternyata ia lepas di meja.

"Kan, susah kalau mau bicara harus tulis dulu."

"Kakak ini benar-benar tahu cara membuat orang jengkel," kata Felix dalam hati.

Saat Felix ingin meraih nampan makanannya, Luna meninggikannya.

"Bagaimana kalau makannya ditaman sambil lihat teman-teman kamu main bola pasti bikin makanan lebih enak..."

Felix menginjak sepatu kets Luna yang hampir menumpahkan makanan dan akhirnya menutup pintu kamarnya.

"Memangnya kau ini Putri Rapunzel," teriak Luna dari luar.

Felix kemudian membuka pintu dan memukul nampan hingga makanan jatuh dan kembali menutup pintu.

"Terus saja begitu sampai rambutmu panjang dan jadi iklan shampo," belum selesai kalimat Luna, Felix membuka pintu dengan membawa gantungan baju ditangannya.

Melihat itu Luna tertawa kecil, "Aku hanya bercanda, mau aku ambilkan makanan lagi?"

***

2 bulan berlalu sejak insiden kebakaran itu dan Felix masih belum mau berbicara.

Menurut 2 Petugas Dapur panti yang berhasil selamat, mereka dari pasar membeli makanan untuk sarapan pagi dan saat sampai didepan panti hendak membuka pintu mobil sebuah ledakan besar langsung mengenai mobil dan membuat mobil terlempar.

Hasil penyelidikan polisi menyatakan bahwa kebakaran dipicu oleh seseorang. Telah ditemukan bahan bakar minyak di segala penjuru gedung yang kebanyakan bahan dasarnya adalah bahan kayu dan sebuah korek api mahal berwarna biru dengan tulisan 'Dewi'. Tapi pemilik dari korek api itu tidak bisa ditemukan walaupun ditemukan itu tidak bisa membuktikan bahwa ia adalah pelakunya.

Petugas dapur, Adney dan Alvina menderita luka bakar yang banyak. Bahkan sebuah keajaiban mereka bisa selamat.

Felix juga meninggalkan bekas luka bakar dipergelangan tangannya dan di dahi dekat rambutnya.

"Untung saja kau tampan, kalau tidak kau akan terlihat seperti preman dengan bekas luka itu," ejek Luna.

Felix hanya menghembuskan napas keras... "Sudah kuduga kenapa hari ini ada yang aneh," ternyata karena Luna belum menjahilinya hari ini.

Selama ini Felix tidak pernah mengadu karena takut dianggap seperti anak kecil tapi ia menulis dengan huruf besar diperlihatkannya kepada Dokter Mari, "TOLONG JAUHKAN SAYA DARI LUNA YANG MENYEBALKAN!"

Dokter Mari tidak memerdulikannya dan mulai berjalan ke taman. Felix berlari mengejarnya dan memperlihatkan tulisannya lagi tapi diacuhkan lagi, Dokter Mari hanya menghembuskan napas kasar dan membuka permen untuk dimakan dan berjalan lagi.

Felix bingung, ia berlari sekuat tenaga tapi kenapa tidak bisa menyamai langkah Dokter Mari yang punya kaki yang panjang. Hingga akhirnya Felix membuka lembaran lagi untuk menulis tapi malah menabrak Dokter Mari, "Aw..."

"Hemmm... lucu sekali, kau yang menabrak kau yang kesakitan. Jangan cosplay jadi korban ya!"

Saat Felix hendak menulis, Dokter Mari melempar pulpen Felix ke dalam lapangan yang ada anak-anak sedang bermain bola didalamnya.

Felix geram dan menatap Dokter Mari penuh kebencian tapi Dokter Mari dengan santainya hanya duduk sambil mengisap permennya.

Felix ingin pergi meninggalkan Dokter Mari tapi kemudian ia terhenti saat,

"Aku sudah bilang kepada semua orang di panti untuk tidak memberikanmu alat tulis dan untuk panti asuhan yang berada ditengah hutan seperti ini tidak akan yang akan menjual pulpen atau apapun itu padamu."

Untuk pertama kalinya Felix tersenyum. Bukan tersenyum karena bahagia tapi karena tidak habis pikir, seperti seluruh dunia bergabung ingin mengerjainya.

Hingga tak ada jalan lain selain pergi ke lapangan dan mengambil penanya.

Saat berada ditengah lapangan dan memungut penanya, ia merasa diperhatikan oleh semua orang.

"Bisa oper bolanya?"

Ternyata bola ada disampingnya, Felix pun menendang bola itu kepada anak yang bertanya tadi dan mengopernya ke yang lain dan kemudian menghampiri Felix.

"Wah tendangan mu bagus juga, mau ikutan main? kamu bisa masuk di tim ku!"

Felix pun mengangguk.

"Namaku Cain," ia pun menepuk punggung Felix dan mulai berlari lagi mengejar bola.

"Pada akhirnya dia juga hanya seorang anak kecil," kata Dokter Mari sambil tersenyum dan menghembuskan napas kesal ketika merogoh sakunya dan permennya sudah habis.

***

Sejak saat itu Cain dan Felix sering bermain bola bersama walau Felix masih saja tidak mau berbicara terkadang membuat Cain sebal harus menunggu jawaban dari pertanyaan nya yang jika ditulis, Felix pun jawabannya hanya satu kata dan butuh waktu lama.

"Sepertinya sudah waktunya kamu untuk bicara lagi," kata Cain sambil menghembuskan napas.

Tak lama kemudian ada asap yang keluar dari jendela bangunan. Felix yang melihat itu langsung gemetaran dan duduk sambil menutupi wajahnya.

Cain yang bingung pun bertanya,

"Felix, kau kenapa?"

"CEPAT LARI DARI SINI!!!" teriak Felix lantang.

Akhirnya setelah 3 bulan lamanya Felix berbicara lagi.

...-BERSAMBUNG-...

Ch.2 - Pertemuan

Cain bingung harus bereaksi seperti apa setelah mendengar suara Felix untuk pertama kalinya. Ia berusaha menenangkan Felix tapi kaget saat menyentuh tangan Felix yang begitu dingin seperti es. Ia panik meminta tolong dan saat berteriak akhirnya sadar asap yang keluar dari jendela ada dilantai dua. Setelah menyadari hal itu Cain mengambil batu dan melemparnya kelantai dua.

"Hey, siapa itu?" 3 orang anak laki-laki mengeluarkan kepalanya ke luar jendela mencari asal dari batu itu. Tapi saat hendak marah mereka kaget melihat Felix sudah jatuh pingsan di atas rumput.

Cain yang ingin marah-marah juga malah memanggil 3 anak lelaki itu untuk membantunya.

Dokter Mari yang baru saja dari kota bergegas menuju panti asuhan untuk mengecek keadaan Felix.

"Sudah kuduga, kita seharusnya mempekerjakan seseorang berdasarkan keahlian," kata Bu Corliss penuh sinis ke Dokter Mari.

"Felix itu anak yang kuat, trauma ini hanya akan bersifat sementara untuknya," Dokter Mari sambil berpangku tangan.

"Sudah kuduga pasti saat ujian masuk universitas dia hanya beruntung saja asal jawab," Daisy dengan nada mengejek nya.

"Kalau kalian seperti ini aku akan berhenti dari sini! Dimana kalian mau mencari psikiater yang gratis dan selalu memberikan sumbangan tiap bulannya," kata Dokter Mari sombong.

"Kamu dengar sesuatu, Liss?"

"Kalau kita berbuat baik harusnya tidak perlu diumbar, Sissy..." Bu Corliss menerima candaan Daisy

Corliss dan Daisy mencoba menggoda Mari.

Tan, Teo, Tom dan Cain menunggu diluar disapa oleh Luna yang ingin masuk ruangan tapi berhenti ketika mendengar Dokter Mari, bu Corliss dan Daisy bertengkar.

"Jangan masuk kak, nanti saja... terjadi perang saudara didalam," kata Tom diakhiri dengan tawa.

"Kalau mereka bertiga bertemu, Dokter Mari yang berpendidikan pun akan lupa kalau dia adalah dokter," kata Teo.

"Sebenarnya kalian sedang apa disana tadi? tidak mungkin merokok juga. Jadi asap apa itu tadi?" Tanya Cain.

"Kami sedang memasak mie instan, dan tahu tidak apa yang telah kamu lakukan?" Teo dengan tatapan tajamnya ke Cain.

"Memangnya apa?"

"Batu yang kau lempar itu langsung masuk ke panci, tau"

Teo dan Tom memukul belakang kepala Cain tetapi Cain membalas lebih keras lagi.

"Kalian ini tidak tahu malu ya, gara-gara kalian Felix jadi begitu..."

"Tapi karena itu juga Felix bisa bicara kan..."

Luna tertawa sekaligus iri melihat mereka.

Dokter Mari yang bisa lulus masuk universitas terbaik dan menjadi psikiater, Bu Corliss yang akan jadi kepala panti asuhan Arbor nantinya, Daisy yang kini bekerja sebagai penyiar berita di stasiun tv nasional. Mereka bertiga adalah sahabat saat tinggal di panti ini.

Saat tinggal di panti dan kemudian mendapatkan pekerjaan masing-masing tapi tetap menjalin persahabatan membuat Luna iri karena teman yang seumuran dengannya setelah keluar dari panti semuanya memutus kontak dan hanya dia sendiri yang sering datang ke panti.

Tan, Teo, Tom si kembar tiga yang ditinggal oleh orang tuanya karena tidak mampu menafkahi tiga anak sekaligus tetapi masih tetap dikirimkan hadiah tiap tahunnya oleh orangtua kandungnya.

"Pasti mereka tidak akan kesepian saat keluar dari panti nanti," kata Luna dalam hati.

***

Felix yang sudah bangun kemudian berjalan menuju kamarnya bersama Cain yang kini mereka berdua merupakan teman sekamar.

Cain tidak menceritakan apa yang sebenarnya dia lihat tadi karena dia tahu Felix punya harga diri yang tinggi. Mengatakan hal itu akan membuatnya malu.

Felix tidak mau berbicara lagi saat ditanya oleh Dokter Mari, akhirnya hanya menyuruh mereka untuk kembali ke kamar untuk beristirahat.

Jam tengah malam berbunyi dan mereka berdua berjalan di lorong yang sudah dimatikan lampunya.

"Kamu tidak takut, Felix?"

Felix hanya menoleh kearah Cain dan Menggeleng kepalanya.

"Tadi pertama kalinya aku dengar suara kamu tapi karena panik aku jadi lupa bagaimana suara kamu tadi..." Cain memulai triknya.

Saat Felix menarik napas dalam, ia pikir Felix akan mulai berbicara tapi tidak, akhirnya dia kesal sendiri dan ikut menghembuskan napasnya kasar.

Waktu menaiki tangga... Teo, Tom menakuti mereka berdua dengan kain sprei putih. Cain hampir jatuh karena kaget tapi Felix hanya melanjutkan menaiki tangga dengan santai dan melewati si kembar.

"Kalian ini tidak tahu malu yah!"

"Katanya jangan minta maaf supaya Felix tidak tahu apa yang terjadi," Tom menjadikan sprei tadi seperti handuk.

"Kami merasa bersalah tapi dilarang minta maaf jadi setidaknya mau menghibur Felix," Teo memasang sprei seperti syal dilehernya.

Hanya Teo dan Tom saja yang seperti itu, walau kembar tiga tapi Tan punya kepribadian yang berbeda dengan mereka berdua.

***

Keesokan paginya Felix bangun jam 5 subuh, mendengar suara pintu dibuka. Cain pun ikut bangun juga.

"Kau mau kemana?" tanya Cain.

"Aku mau lari pagi, kau mau ikut?" jawab Felix.

"Sepagi ini mau lari pagi..." Cain tercekat saat akan melanjutkan kalimatnya, "Kau baru saja berbicara?"

Felix hanya berbalik membelakangi Cain dan tersenyum meninggalkan kamar. Cain masih dengan wajah bengong nya bahkan belum sepenuhnya membuka mata langsung lompat turun dari tempat tidur susun yang berada di atas.

"Felix!" Cain meneriaki dari atas tangga.

"Kalau mau ikutan cepat," dengan suara menggema dari bawah tangga.

Cain yang sangat senang mau berteriak tapi ditahannya dan hanya lompat kegirangan tanpa suara.

Mereka berdua pun lari mengelilingi lapangan dan Cain begitu asyik bertanya karena ingin terus mendengar suara Felix hingga ia tidak sadar sudah mengelilingi lapangan lebih dari 30x tanpa merasa lelah sedikitpun.

Felix kemudian bertemu dengan Dokter Mari, "Apa kabar Felix?"

"Tidak buruk."

Dokter Mari tersenyum mendengar suara Felix, "Aku tidak tahu kau punya suara yang mempesona begini."

Felix yang menundukkan kepala tidak menjawab dan hanya langsung mendongakkan kepalanya menatap Dokter Mari.

"Kalau boleh tahu apa alasannya sudah mau berbicara lagi?"

"Kenapa dokter tiba-tiba berbicara sopan sekali?"

"Iyya juga yah, setelah mendengar suara Felix... Rasanya seperti bertemu orang baru."

"Saat melihat asap saja saya ketakutan sekali jadi saya rasa harus mulai memberanikan diri... setidaknya... apa nanti saya akan selalu seperti ini?"

Dokter Mari merasakan ada perubahan pada Felix, baru saja ia mengenal anak yang menyebalkan kemarin tapi sekarang dihadapannya kini adalah Felix yang dewasa, "Keinginan untuk berbicara memang adalah sepenuhnya pilihan kamu tapi untuk mengatasi trauma kamu perlu bantuan dari orang lain. Sekarang kamu tidak bisa lagi hanya ingin hidup sendiri tanpa mau berteman seperti dulu karena kamu butuh seseorang untuk menarik kamu keluar dari ruangan trauma, yang sebenarnya kamu yang buat ruangan itu sendiri."

Felix hanya terdiam.

Dokter Mari hanya mengamati. Untuk anak seumuran Felix dengan trauma seperti itu sebenarnya sangat rentan saat dewasa akan melahirkan kepribadian buruk nantinya.

"Bagaimana saya bisa mengatasinya dokter?"

"Saat kamu sudah siap menceritakan apa yang terjadi malam itu..."

Tak ada kata lagi yang keluar, Felix kemudian meninggalkan ruangan.

***

Panti saat ini sangat ramai karena ada acara ulang tahun.

"Sebenarnya mengadakan acara ulang tahun di panti asuhan tidak baik untuk mental para anak yang ada di panti," kata Dokter Mari jutek.

"Kamu diam saja!" Daisy menyenggolnya.

"Mau gimana lagi, dengan begini kan anak-anak juga dapat makanan gratis dan kalau beruntung bisa dapat donasi juga," bu Corliss berbicara dengan gigi yang terkatup.

Aula tempat makan dipenuhi oleh anak-anak yang mulai menyanyikan lagu ulang tahun.

Sang ayah kemudian membagikan amplop berisi uang kepada anak-anak dan sang ibu mulai memotong kue ulang tahun yang besar itu untuk dibagikan.

"Kenapa kamu tidak ke aula, Felix?" tanya Luna.

"Sedang tidak ingin saja."

"Senang mendengar suaramu."

Felix menoleh dan memandang ke arah Luna dan melihatnya tersenyum membuat Felix merasa aneh akhirnya pergi meninggalkannya.

Luna ingin mengejar Felix tapi terhenti ketika ada seorang anak perempuan yang berteriak memanggil nama Felix.

"Hai Felix!" sapa anak perempuan itu.

"Kamu yang ulang tahun?"

"Iyya," jawab Dea malu-malu.

"Karena sekarang Helianthus tidak ada jadi sekarang kamu pindah kesini untuk merayakan ulang tahun."

"Aku dengar kamu ngalamin trauma tapi ternyata kamu masih saja seperti biasa..."

"Aku penasaran, apa orang tua kamu yang mau kamu untuk merayakan ulang tahun di panti asuhan?"

"Tidak, aku yang mau..."

"Kamu kan punya banyak teman, kenapa bukan dengan mereka saja?"

"Aku juga ngerayain ulang tahun di rumah kok dengan teman sekolah."

"Kamu ini benar-benar..."

"Kenapa?"

"Kamu bertanya karena benar tidak tahu?"

"Emmm... kenapa?"

"Kamu itu menyebalkan!"

"Menyebalkan?"

"Ngadain pesta ulang tahun di panti asuhan itu membuat kami yang anak yatim piatu terlihat sangat menyedihkan tahu!"

"Menyedihkan? maksud kamu apa?"

"Mulai lagi pertanyaan sok polosnya," kata Felix dalam hati.

***

Felix mulai kembali ikut bersekolah tapi bukan di sekolah yang lamanya. Ia pindah ke sekolah yang sama dengan Cain, Tan, Teo dan Tom.

Jarak sekolahnya cukup jauh, mereka berlima harus bangun pagi dan berjalan sekitar 30 menit untuk sampai ke halte bus. Dan perjalanan bus ke sekolah butuh 25 menit. Jadi untuk tidak terlambat mereka harus bangun pagi untuk bersiap-siap.

Mereka berlima yang berkeringat dengan matahari yang masih belum terbit karena harus berlari ke halte bus.

Kursi belakang bus ditempati oleh mereka berlima.

Saat sampai di sekolah mereka tidak langsung masuk ke sekolah tapi ke tempat toserba untuk membeli sarapan pagi. Karena terburu-buru mereka melewatkan sarapan pagi.

"Kita makan bekal saja daripada harus membelanjakan uang," kata Felix.

"Kalau makan bekal sekarang, saat makan siang nanti kita akan malu kalau sisa bekal tinggal sedikit," Tan menepuk bahu Felix.

"Lagipula disini ada roti beli 1 gratis 1 kok," Tom dengan nada riang.

***

Felix masuk di ruang guru setelah diantar oleh Cain.

"Dia anak yang dari panti asuhan Helianthus itu kan," terdengar ada guru yang berbisik.

"Dia akan pindah bersekolah disini?"

Felix pura-pura tidak dengar dan menuju ke meja guru yang ditunjukkan oleh Cain tadi dari luar jendela ruangan.

Cain dengan wajah polosnya gembira saat melihat Felix masuk kedalam kelasnya.

"Perkenalkan, ini teman baru kalian... Ayo perkenalkan diri kamu," Pak Egan wali kelas 3-7.

"Nama saya Felix."

Teman sekelas hanya terdiam, hanya Cain yang merespon dengan bertepuk tangan.

Cain menaikkan jarinya, "Pak, Felix bisa duduk di samping saya."

"Baiklah untuk jam pertama kalian belajar sendiri dahulu karena Bu Farrin sedang cuti."

Barulah seisi kelas berteriak senang, Felix yang mendengarnya merasa kesal.

***

Walau hari pertama Felix di sekolah baru terasa menyebalkan ia tetap harus berjalan lagi di malam hari untuk pulang. Jalan menuju panti dari halte bus kebanyakan hanya hutan, jauh dari pemukiman warga. Karena itulah harga tanah di sana murah jadi bisa dibangun panti asuhan yang besar.

Cain yang menyadari suasana hati Felix pun mengeluarkan bola dari dalam tasnya dan mulai menendang bola diikuti oleh Teo dan Tom yang ikut bermain. Akhirnya mereka berlima bermain bola sampai didepan gerbang panti.

Setelah membersihkan diri, mereka akhirnya ke ruang makan. Hanya mereka berlima saja di sana karena waktu makan malam sudah lewat.

Felix yang mulai mengantuk tapi juga lapar karena masih belum terbiasa. Sedangkan Cain, Tan, Teo dan Tom masih segar sambil menyantap makanannya.

"Kau terlihat lelah, Felix?"

"Apa kak Luna dipecat dari rumah sakit?"

"Kau ini... bertanya baik-baik malah..."

"Dulu cuma tiap akhir pekan datang, sekarang hampir tiap hari."

Luna hanya tersenyum kecut, "Bukan urusan kamu tahu, mau akhir pekan, mau tiap hari..."

Setelah mereka selesai makan, Luna memberikan susu coklat, "Wah, terimakasih kak," Cain, Tan, Teo, Tom bersamaan.

Cain kemudian menyenggol Felix tapi ia hanya berjalan pergi, "Hahaha... dia hanya capek kak. Maafin yah, susu coklat Felix biar saya yang bawain."

"Kamu menyesal kan ngambek, jadi malu ngambil susu coklat ini," teriak Luna.

Felix hanya berjalan lurus dan akhirnya menghilang dari pintu.

***

Keesokan paginya aktivitas kembali seperti semula. Felix yang masih belum terbiasa terlihat sangat lelah.

Pelajaran olahraga, anak laki-laki bermain sepak bola dan anak perempuan kebanyakan hanya berteduh dibawah pohon karena kepanasan.

Walau sebenarnya Felix merasa sangat mengantuk tadinya, sekarang ia bersemangat karena bermain bola.

Setelah pelajaran olahraga selesai, Felix dan Cain kembali ke kelas setelah mengganti bajunya.

Sesampainya dikelas terlihat ada anak perempuan yang duduk dilantai dikelilingi oleh 5 orang anak perempuan.

Felix dan Cain yang melihat itu tidak jadi masuk kedalam kelas. Bukannya mereka tidak mau menolong tapi sebagian besar sumbangan berasal dari orangtua anak yang membully itu.

Mereka berdua tidak berbicara apapun, mereka hanya sama-sama diam dan berjalan menuju tempat lain.

Saat akan kelapangan ada si kembar tiga yang memanggilnya dari atap sekolah. Mereka berlima akhirnya makan bekal masing-masing di sana.

"Wah kalau ada kak Luna pasti makanannya enak-enak," Teo dengan suapan besar.

"Terutama sosis ini!" Tom mengambil sosis dari kotak makan siang Tan.

Tan hanya diam seakan itu adalah hal yang wajar.

Menyadari Felix dan Cain yang hanya diam, Tan pun mulai bertanya, "Apa ada masalah?"

"Kalian bertengkar?" tambah Tom.

"Kalau bertengkar masa mereka bisa jalan berdua tadi," Teo memukulnya dengan sendok, Tom yang sadar telah dipukul menatap tajam Teo. Teo yang menyadari hal itu langsung berlari menyelamatkan dirinya.

"Ada apa?" Tan bertanya lagi.

...-BERSAMBUNG-...

Ch.3 - Hantu Merah Muda

"Mau yang membully atau di bully sama-sama salah menurutku, yang membully adalah pengecut yang percaya diri sedangkan yang di bully adalah pengecut yang sebenarnya," Felix yang serius berbicara tak sadar kalau sedang ditatap dengan wajah datar oleh mereka berempat, "Kenapa kalian memandangiku seperti itu?"

"Jujur deh, Felix... kamu itu umurnya berapa?" tanya Cain.

"Apa jangan-jangan kamu alien ya?" Teo dan Tom saling sambung kalimat.

Felix hanya menghembuskan napas keras.

***

Saat hendak keluar dari bangunan sekolah, Felix merasa ada yang mengenai kepalanya.

Cain, Teo dan Tom langsung berteriak histeris saat Felix memungut kertas yang mengenai kepalanya tadi.

"Kenapa kalian?" tanya Felix bingung.

"Iiii...iiii....iittt..tttuuuu kertas merah muda!!!"

"Memangnya kalian pikir aku buta warna, aku juga tahu..."

Tan yang menyadari kebingungan Felix akhirnya menjelaskan, "Itu adalah kertas peringatan dari hantu merah muda."

"Hantu apa? tunggu... peringatan?"

"Beberapa murid di sekolah ini mendapat kertas merah muda seperti itu, tandanya hantu merah muda sudah menentukan targetnya."

"Ada-ada saja, ini namanya kejahatan. Mau hantu atau manusia membuang sampah sembarangan adalah kejahatan!" Felix kemudian berlari kembali masuk kedalam gedung sekolah.

Walau begitu, mereka berempat tetap mengikuti Felix.

"Kan, tidak ada orang!" Teo memeluk Tom yang gemetaran.

"Apa kalian pernah dapat yang seperti ini juga?"

"Cain pernah dapat surat peringatan," jawab Tan.

"Jadi apa yang terjadi? setelah mendapat surat, bagaimana?"

Bukannya menjawab, Cain malah lari pergi diikuti Teo dan Tom yang berteriak kencang.

"Setelah itu katanya Cain diganggu selama hampir sebulan kemudian hantu merah muda kembali mencari target baru," akhirnya Tan yang menjawab pertanyaan Felix.

Felix hanya memasang wajah datarnya dan kemudian memutar bola matanya kesal.

***

Saat perjalanan pulang di bus, Felix jadi tidak berhenti bertanya kepada Cain apa yang terjadi.

"Sejak kapan kamu jadi cerewet begini?" Tan tertawa kecil.

Cain hanya terus berteriak dan mengoceh tidak karuan bersama Teo dan Tom yang saling berpelukan.

Saat berjalan di tengah hutan ada yang melempari Felix dengan batu kecil, "Aw!"

Teo dan Tom langsung berpelukan lagi sedangkan Felix mencari asal lemparan itu dan dengan berani masuk kedalam hutan yang gelap itu.

Tak hentinya ia dipanggil untuk kembali, tapi Felix tidak mendengarnya dan hanya terus berlari kecil.

Beberapa saat kemudian Tan ingin menyusulnya tapi Felix sudah datang.

"Siapa kamu?" Teo dan Tom berteriak.

Felix menjawab dengan melemparkan batu kecil kearah mereka.

"Waaaaa... Sepertinya Felix telah dirasuki!" Teo dan Tom langsung berlari pergi.

Felix hanya tersenyum miring dan Tan tertawa keras sementara Cain marah-marah karena ditinggal lari.

Teo dan Tom yang sampai terlebih dahulu karena tak hentinya berlari. Baju mereka basah oleh keringat dingin.

***

Cain menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, keluar dari kamar mandi langsung berteriak dan melempar handuk ke wajah Felix ketika melihat Felix ada tepat didepan pintu.

"Jadi?" menyingkirkan handuk yang tepat mengenai wajahnya.

"Jadi apa?"

"Katanya kau juga pernah dapat surat peringatan dan diganggu hampir sebulan?"

"Persiapkan hati dan mental mu sobat," Cain menepuk pundak Felix.

"Haha yang benar saja, tadi di hutan aku melihat ada bekas sepatu."

"Memangnya hantu tidak boleh punya sepatu?!" Cain yang hanya memakai handuk langsung lari naik ke atas tempat tidurnya dan masuk kedalam selimut.

"Kau ini jangan pura-pura yah!"

Cain menjawab dengan ocehan tidak jelas.

Sebelum tidur, Felix melihat kembali kertas merah muda itu, "Tunggu aku, kamu orang selanjutnya yang..."

Felix yang sudah membolak-balik kertasnya tetap tidak dapat petunjuk apapun.

***

"Jujur saja kau merasa agak takut kan?" tanya Tan.

"Takut? yang benar saja... Tapi ngomong-ngomong Cain, Teo dan Tom dimana? Saat bangun aku sudah tidak melihat Cain ditempat tidurnya."

"Ah, itu... mereka pergi duluan, katanya untuk saat ini tidak mau dekat-dekat denganmu."

"Dasar!"

"Tidak baik jika mengawali pagi dengan wajah seperti itu," Luna ikut bergabung di meja makan Felix dan Tan.

"Selamat pagi kak," sapa Tan.

Luna menatap Felix, "Kau tidak menyapa kakak?"

Felix berdiri dan membawa nampan makanannya.

"Dasar, tidak sopan," Luna dengan mengayunkan tangannya hendak memukul Felix, tapi dia berbalik, "Ayo, kita berangkat!" ajak Felix kepada Tan.

"Mau salaman?" Felix dengan wajah datarnya saat melihat tangan Luna yang membeku di depan wajahnya.

Luna kemudian hanya memaksa tersenyum dan mengusap kepala Felix.

"Apaan sih!" Felix merapikan rambutnya dan pergi.

***

Saat sampai disekolah Felix langsung ramai dikerumuni oleh anak lainnya. Cain yang tertidur di bangkunya, saat terbangun langsung kaget.

"Kami dengar kamu dapat surat merah muda?"

"Iya..."

Mereka semua merespon dengan berteriak, "Apa yang tertulis di sana?"

Felix menunjukkan kertasnya, "Sama saja dengan yang lain."

"Kamu harus mulai hati-hati."

"Bagaimana kalau kamu tidak usah ke sekolah dulu selama sebulan?"

"Apa kalian bercanda? Kenapa aku harus begitu?"

"Sekarang kamu adalah target Hantu Merah Muda."

"Terus kenapa?"

"Setelah 3 bulan dia muncul lagi..."

"Jadi apa aku harus menyesuaikan jadwal kedatangannya begitu?" Felix tertawa ringan.

Mereka semua terdiam dan mulai meninggalkan meja Felix satu per satu, "Kami sudah memperingatkan mu, yah..."

Akhirnya Felix bisa bernapas lega, "Bagaimana mereka bisa tahu?"

"Sesuatu yang diketahui Teo dan Tom akan diketahui oleh semua orang," Cain tertawa terbahak-bahak.

"Dasar mereka berdua."

Guru Wali Kelas, Pak Egan masuk kedalam kelas, "Hari ini..." Belum selesai kalimat Pak Egan, "Pak, si anak pindahan dapat surat merah muda."

Suasana kelas langsung rusuh seketika.

"Sudah... Sudah, emmm... Felix jangan dipikirkan ya."

Felix hanya menjawab seadanya saja. Tapi dalam hati, Felix sudah sangat penasaran dan bertekad akan mengungkap siapa pelaku dibalik ini semua.

***

Sudah hampir satu minggu tapi tidak ada tanda-tanda dari hantu merah muda. Anak-anak lain ada yang tertarik melihat apa yang akan terjadi pada Felix sehingga akhir-akhir ini mereka mengikuti aktivitas Felix. Ada juga yang menjauh karena takut, "Sepertinya hantu pun takut pada Felix," Teo menjadikan tangan nya sebagai kipas angin manual.

"qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm," Tom berbicara tidak jelas karena sambil memakan es krim nya.

"Bagaimana menurutmu Felix?" tanya Tan sambil berbaring di lapangan.

"Apanya yang bagaimana?"

"Katanya kamu mau mengungkap siapa itu hantu merah muda?"

"Mau mulai dari mana, sekarang cuma dikasi gembok tanpa kunci."

"Gembok tanpa kunci?" Teo penasaran dan bangun membersihkan rumput yang menempel.

"Kertas peringatan itu adalah gemboknya, setelah itu jika dia menggangguku barulah aku bisa mencari kuncinya."

"Apa sih maksudnya?" Teo kembali berbaring.

Walaupun mereka takut tapi akhirnya mulai tidak pernah membiarkan Felix sendiri bahkan Teo dan Tom yang penakut selalu ke kelas Felix dan Cain jika jam istirahat untuk melihat keadaan Felix.

Tanggal 1 September, akhirnya ada tanda dari si Hantu Merah Muda. Felix mendapati tas yang disimpannya di dalam kelas penuh dengan cairan berwarna merah muda seperti darah yang menetes dari dalam tas Felix dan dinding kelas yang bertuliskan, "Hai Felix!" dengan cat berwarna merah muda.

Anak-anak yang baru saja dari aula sekolah karena pengumuman pengadaan Perkemahan Sekolah. Saat kembali ke kelas langsung saja banyak teriakan histeris dari teman sekelas Felix.

Beda dengan Felix yang tersenyum bahagia melihat itu, "Lama-lama kau menakutkan juga. Kau tidak takut sama sekali?" Cain menatap Felix yang tidak berhenti tersenyum.

***

Felix yang tadinya bahagia kini tidak berhenti mengomel saat membersihkan tas nya, "Dasar hantu kurang ajar, apa dia buta warna? sudah lihat kalau tas ku warna putih, sekarang... haaahhh"

"Nanti aku temani minta ke Bu Corliss tas baru," Cain memegangi selang air untuk Felix.

"Tunggu saja sampai aku menangkapnya, akan kumintai ganti rugi."

"Hai Felix," suara yang dibuat-buat oleh Teo dan Tom.

"Tulisannya jelas jika itu tulisan perempuan."

"Iya tentu saja dia perempuan," jawab Teo.

"Kau yang laki-laki suka merah muda juga," balas Felix.

Teo kemudian merebut selang air dari tangan Cain dan menyemprot Felix. Suasana di halaman panti jadi berisik karena ulah mereka yang saling semprot air.

"Hari libur kalian mau menghabiskan jatah air kalian yah? Kalau begitu mulai besok kalian tidak boleh mandi dan minum air!" Bu Corliss dengan memegang pinggangnya.

Mereka semua langsung berhenti.

Tak lama kemudian Bu Corliss mengambil selang air itu dan menyemprotkan air kepada mereka.

"Ibu!!!" Teriak mereka yang dapat serangan tak terduga.

Bu Corliss hanya tertawa dan tidak berhenti menyiramkan air malah menambah volume air dengan memutar kran air.

Dokter Mari dan Daisy yang baru saja datang dengan membuka pintu mobil masing-masing langsung mengambil selang air yang lain dan mulai menyerang Bu Corliss.

Mereka semua basah kuyup jika bukan karena Luna yang menghentikan aliran air, mereka pasti tidak akan berhenti.

Luna menyiapkan susu coklat untuk mereka semua di ruang makan setelah semua selesai mengganti baju.

Hujan turun membuat mereka yang habis bermain air kini kedinginan. Terlihat dari luar anak-anak berlari mengambil pakaian yang dijemur, "Kalian sudah seperti jemuran yang kebasahan diluar itu," kata Luna.

"Kau menyindir kami?" kata Dokter Mari, Bu Corliss dan Daisy menatap Luna.

"Haha, maksud saya mereka berlima dok."

Dokter Mari kembali menyeruput minuman hangat nya.

"Tapi harusnya...(Bu Corliss kembali menatap) takutnya kalau mereka kena flu," Luna tidak jadi melanjutkan kalimat pertamanya.

"Kau sedang memarahi kami?" Bu Corliss dengan menyipitkan matanya.

"Haha mana mungkin saya berani bu," Luna mengeles.

"Tapi itu tadi tas kamu kenapa Felix?"

"Kena cat di sekolah."

"Bagaimana bisa?" pertanyaan Bu Corliss membuat mereka berempat menatap Felix, penasaran apa yang akan Felix katakan.

"Sekolah sedang direnovasi dan pekerja di sana tidak sengaja menumpahkan cat,"

jawaban Felix membuat Cain, Tan, Teo dan Tom menatapnya dengan senyum miring dan bersamaan menyeruput coklat hangatnya.

Melihat tingkah mereka betempat Dokter Mari tertawa lepas, "Nanti aku beliin tas baru untuk kalian berlima," kata Dokter Mari yang masih belum berhenti tertawa.

Mendengar itu 4 dari mereka langsung berwajah sumringah.

"Tidak... tidak perlu dok," Felix dengan mantap.

Felix kemudian diinjak oleh 4 kaki dibawah meja, "Aw... apa-apaan kalian ini?"

***

Diluar terlihat gelap, jika tidak melihat jam pasti kita mengira sudah malam. Hujan lebat disertai petir dan guntur membuat banyak anak-anak berlarian ikut ke ruang makan untuk berkumpul karena ketakutan.

"Tidak ada masalah di sekolah kan?" Dokter Mari menanyakan hal itu ke Felix saat hendak kembali ke kamar.

"Sekarang aku mulai berpikir psikolog itu apa bisa membaca pikiran?"

Felix yang hendak menaiki tangga menghentikan langkah, "Kapan kamu mau konseling lagi Felix?"

"Belum waktunya," Felix melanjutkan langkahnya kembali.

Dikamar Felix dan Cain, "Padahal Dokter Mari sudah bilang mau membelikan kita tas baru."

"Aku sudah membayangkan besok memakai tas baru ke sekolah."

"Tapi ini semua karena," Teo dan Tom saling menyambung kalimat dan menatap Felix penuh kebencian.

Walau begitu mereka berlima tidur bersama dikamar Felix dan Cain malam itu. Hujan tidak mau juga reda sampai tengah malam membuat Dokter Mari dan Daisy juga harus menginap di panti tapi berkat itu mereka bisa diantar ke sekolah menggunakan mobil Dokter Mari.

Saat semuanya kecuali Felix turun dari mobil, "Terimakasih."

Dokter Mari kaget mendengar kata barusan keluar dari mulut Felix.

"Apa? Teri apa? ikan teri?" Dokter Mari mulai bercanda.

Felix menutup pintu mobil tanpa menjawab. Jika boleh jujur Felix pasti merasa sangat kelelahan karena perjalanan pulang-pergi sekolah. Mungkin itu adalah kata terimakasih pertama yang tulus dari Felix.

***

Tiada hari bagi Felix tanpa menunggu untuk dikerjai oleh Hantu Merah Muda. Dia masih belum mendapatkan petunjuk sama sekali.

Bahkan pernah baginya memaksa agar bisa pulang-pergi sendirian tapi tidak ada gangguan sama sekali, "Lama-lama cinta pertama mu si Hantu Merah Muda," ejek Cain.

"Aku tidak akan seperti ini jika kau memberi tahu aku saat kamu dulu..." Cain menghentikan Felix berbicara mengisyaratkan bus sudah datang.

"Sudah ku bilang aku akan pulang sendirian!"

"Kau pikir Hantu Merah Muda itu tidak mengganggumu karena malu dengan kami?"

Felix menatap Cain tajam. Cain akhirnya langsung berpura-pura tidur untuk menghindari pertanyaan.

Saat sampai di halte bus sudah ada Daisy yang menunggu dengan lampu mobilnya yang berkedip-kedip, "Tadi ibu dari panti tapi kata Tan kamu masih dijalan pulang."

Bukannya senang, Felix malah kesal karena dijemput oleh Bu Daisy.

"Tadi pagi aku nonton berita, ibu keren sekali," goda Cain.

"Menurut ibu apa Hantu itu memang benar ada?" tambah Cain setelah basa-basi.

"Karena si Hantu Merah Muda?"

"Ibu tahu?"

"Ibu ini Jurnalis, berita kecil sampai besar harus jadi dasar pengetahuan."

"Mau yang bohong atau fakta?" Felix akhirnya bersuara.

"Haha, jurnalis adalah raja dari segala berita maupun rumor."

"Jadi menurut ibu si Hantu Merah Muda itu?"

"Yang ibu tahu sih cuma rumor. Rumor cukup salah telinga karena mendengar, tugas mulut kini harus diam, iya kan Felix?"

"Hemmm... Ibu dan Felix sama-sama menyebalkan."

Saat Felix hendak mengatakan sesuatu, Cain langsung menutup mulutnya, "Iya...iya...Tom adalah kucing dan Jerry adalah tikus," Cain sedang malas mendengar penjelasan Felix dan segera setelah mereka sampai Cain langsung turun dari mobil.

Felix yang dibungkam mulutnya tadi akhirnya membalas dendam saat Cain akan tidur dengan membaca buku menggunakan suara yang keras.

Cain yang sebal akhirnya berbicara,

"Tom dan Jerry adalah musuh alamiah tapi tanpa mereka sadari mereka itu saling menyayangi, jadi..."

"Emmm... jadi?"

"Jadi aku minta maaf..."

"...," Felix kembali membaca bukunya keras-keras dan Cain pun mengalah dengan menutup telinganya dengan kapas dan akhirnya ia bisa tidur.

Mendengar Cain sudah mendengkur di ranjang atas, Felix mengambil kertas merah muda itu lagi. Lama Felix memandanginya hingga ia terlelap.

...-BERSAMBUNG-...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!