NovelToon NovelToon

Rianna

Bab 1. Rianna.

Senandung cinta yang begitu sempurna. Namun takkan sempurna jika tiada kesetiaan. Sayangnya ego dan harga diri yang tinggi mampu mengalahkan cinta yang mulai bersemi.

Hidup adalah sebuah perjuangan. Ada kalanya kita harus menapaki jalan yang penuh liku-liku. Terkadang, kita terlalu congkak mendamba banyaknya harta. Padahal, letak bahagia bukan hanya harta dan tahta. Melainkan…kasih sayang dan cinta. Entah itu dari teman, sahabat dan keluarga.

Jika diperbolehkan, maka aku akan mendamba kehangatan sebuah kelurga. Karena, aku tak seberuntung mereka yang mendapat pelukan hangat dari keluarga.

Perkenalkan, namaku Rianna Cintya Dewi. Saat ini aku berumur enam belas tahun. Nama yang cantik bukan?? Namun sayang, jalan hidupku tak secantik namaku dan tak semulus pipiku.

Jangan katakan kami keluarga. Karena yang ada hanya siksa yang mendera. Perempuan paruh baya itu adalah mamaku. Mama yang sangat hebat. Pelita terkahir dihidupku. Satu-satunya tempat untukku pulang. Rosita Anggraini.

Aku hidup tak seperti kalian yang dapat mengenyam pendidikan dengan tenang. Aku juga tak seperti kalian yang dapat hidup berteman ketenangan. Aku hanyalah seorang gadis sampah dikeluargaku. Aku tak mengerti dengan pasti. Yang jelas, Ayahku menikah lagi. Itu artinya mamaku memiliki madu. Dan jangan katakan lagi jika kami sebuah keluarga.

Aku masih terlalu dini untuk mengerti hal yang rumit. Mama mengatakan, jangan pernah memiliki hati yang iri dan dengki. Tapi jujur, aku hanyalah seorang gadis belia yang baru menapak senja. Salahkah jika aku menginginkan sebuah boneka? Salahkan aku, jika aku menginginkan sekolah yang lebih tinggi?

Mama berkata tak punya uang. Lalu bagaimana dengan keluarga Hutomo ini? Bukankah termasuk dalam keluarga konglomerat? Apakah tak bisa menyekolahkan aku? Lalu kenapa ada lebih dari dua puluh pelayan dirumah kami?

Aku berusaha menulikan telingaku. Membutakan mataku dari segala hal yang membuat hatiku sakit.

Jessica Alisha Hutomo...saudara tiriku. Usianya lebih muda dariku. Namun membuatku begitu iri dengannya. Ayah sangat menyayanginya. Menuruti segala keinginannya. Sedangkan aku? Aku dan mama seperti terbuang dirumah ini. Tak ada lagi tempat untuk kami. Kebahagiaan hanya fana dalam hidupku.

Andai aku sudah dewasa. Akan aku bawa mama pergi dari dunia memilukan ini. Ku bahagiakan dia meski aku harus hancur sekalipun. Ayah...aku tak pernah nakal. Aku juga tak pernah membebanimu. Aku rajin membantu mama ditoko kue yang kecil dipinggiran jalan itu.

Tapi kenapa ayah tak pernah melihatku? Sekalipun tidak! Aku seperti terbuang ayah. Bisakah...ayah melihatku walau hanya satu hari saja?

"Nak...kenapa kamu melamun?"

"Ti...tidak ma. Aku tidak melamun," jawabku terbata. Aku segera menundukkan kepalaku. Takut-takut untuk mengangkat kepalaku. Mama melihatku, mencoba menelisik apa yang membuatku terpana. Sebuah pemandangan yang membuat hatiku sakit. Pemandangan yang begitu indah jika dilihat dari sudut pandang orang lain. Tapi tidak denganku. Pemandangan itu begitu menghujam dadaku.

"Ayo kita makan," mama mencoba mengalihkan pandanganku.

"Ma, kenapa kita tidak makan dimeja makan? Kenapa kita harus makan disini ma?" pertanyaanku membuat mama terdiam.

"Mengertilah! Kita makan sekarang. Kalau kamu banyak tanya, mama nggak akan kasih kamu makan!" ucapan mama membuat hatiku teriris. Seakan memang disinilah tempat kami. Bersama para pelayan, di dapur. Kami bahkan makan makanan sisa atau makanan yang telah rusak.

"Iya ma," aku mendudukkan bokongku dilantai. Benar, disinilah tempat kami. Bergelut dengan kesederhanaan. Walaupun kami tinggal diistana yang megah. Tapi kami seperti seonggok sampah yang tidak berharga. Bahkan kami juga setara dengan pelayan. Padahal status ibuku adalah istri pertama dari Ayahku.

"Ma, aku ingin makan ayam seperti Jessica," ujarku tanpa menyentuh piringku.

"Makan," ucapan singkat mama membuatku kesal. Bahkan mama mengucapkannya tanpa menoleh padaku sedikitpun.

"Ma, aku pengen makan ayam goreng! Bukan nasi lauk tempe dan tahu!" teriakku. Aku sudah mulai menangis.

"Rianna! Diamlah atau kau akan dihukum!" mama menaikkan suaranya. Aku ingin lari tapi aku lapar.

Segera kuraih piring didepanku. Hanya ada sedikit nasi berlauk tempe dan tahu. Aku mengunyahnya dengan kesal. Menahan tangis dan sakit hatiku. Miris sekali hidupku ini.

Selesai makan malam, seperti biasa aku akan membantu mama mencuci piring. Ini sudah menjadi kewajiban ku setiap malam. Jika kalian bertanya tentang Jessica, maka gadis itu sudah masuk kedalam mimpi indahnya.

Malam semakin beranjak. Hawa dingin pun mulai menyapa. Pukul 11 malam aku baru masuk kekamarku. Sebuah kamar yang kecil. Dimana aku dan mama melepas penat karena rutinitas kami hari ini. Aku masuk kedalam selimut tipis. Selimut yang menjadi penghangat untukku dan mama. 

Lelah yang tiada terkira. Namun aku telah terbiasa. Aku memandang wajah sendu mama. Seakan beban berat bergelayut erat dipundaknya.

"Maaf mama. Aku hanya membuat mama sedih dan susah. Tapi aku juga ingin seperti Jessica. Aku lelah ma. Apa nggak bisa kita pergi dari sini?" gumamku. Setelah puas memandang wajah mama, aku mulai membenahi posisi tidurku. Mulai memejamkan mata yang mulai berat. Beberapa menit kemudian aku telah memasuki alam mimpiku.

Terdengar sebuah gelas yang pecah. Aku menundukkan kepalaku. Takut sebuah tangan menyapa dengan kasar. Kulihat mama tergopoh-gopoh menghampiriku.

"Kamu bisa kerja gak sih? Kenapa bisa mecahin gelas hah?!" suara cempreng dan menggelegar itu milik Amel. Istri muda dari ayahku, mama Jessica.  Mama hanya menatapku gelisah. Seakan takut aku akan berakhir dengan sebuah hukuman. Padahal hari ini aku harus bersekolah.

"Ma...maafkan aku," tubuhku bergetar hebat. Sekelebat bayangan muncul dan...sebuah tamparan mendarat telak dipipiku.

Tahan. Tahan Rianna. Hanya sebuah gelas. Jadi aku ini lebih murah ketimbang harga dari sebuah gelas. Lelucon ini membuat dadaku sesak.

"Hari ini nggak ada jatah makan untukmu! Sebagai hukumanmu! Hei kau jala**. Bagaimana caramu mendidik anakmu sih? Kerja nggak bener, tapi numpang hidup disini! Mau aku usir ha?" ucapan menohok itu kembali dilontarkan. Kulirik mama menunduk takut. Jangan sampai mama ikut kena hukuman gara-gara aku. Cukup aku saja.

"I...iya nyonya. Ma...maafkan saya,"

"Sana nggak usah sok-sokan sekolah! Dasar anak sial!! Percuma sekolah kalau gobl**nya minta ampun! Sana ambil pakaian kotor dikamar Jessica,"

Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Toh mama juga nggak bisa membantuku untuk keluar dari situasi ini.

Aku bingung kenapa mama bisa bertahan hingga sekarang. Padahal tidak ada tempat untuk kami disinj. Jika mama bertahan demi aku, aku lebih baik hidup tanpa ayah. Bukankah tidak ada bedanya sekarang? Kami sama saja hidup hanya berdua. Tanpa tangan kekar yang menjaga kami.

Aku mengambil pakaian-pakaian kotor dari kamar Jessica. Gadis itu sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Kontras dengan tas mahal dan handphone mahal.

"Kenapa melihatku?" tanya Jessica.

"Ti...tidak," aku kembali mengumpulkan pakaian kotor. Jessica menghampiriku, aku semakin was was.

"Kau tau? Kau hanya anak pembawa sial. Jadi jangan samakan aku dengan dirimu. Aku udah jelas siapa ayah dan ibuku. Berbeda denganmu, anak haram,"

Bagai tersambar petir disiang bolong. Hatiku kembali tercabik. Aku anak haram? Bukankah aku juga memiliki ayah?

Ayah? Haha bukankah ayah tak pernah menganggap ku ada? Aku tersenyum getir. Air mataku mengalir perlahan dari pelupuk mataku. Ya Allah...kehidupan yang pahit ini kapan berakhir?

Semoga ada hari terindah untukku dan mama.

Bab 2. Kepergian Mama.

Dibawah derasnya guyuran hujan aku masih mematung. Menatap miris kosong pusara yang masih merah. Semua orang yang melayatpun telah lama pergi. Meninggalkan aku yang tengah terpuruk karena separuh nafasku telah tiada. Tak ada lagi air mata yang mampu terurai seakan telah mengering. Dari sudut bibirku memanggil lirih nama mama yang telah berpulang. Aku sekarang yatim. Meskipun ada seorang ayah, namun ayah tak pernah menunjukkan cintanya padaku. Hanya Jessicalah satu-satunya putri untuknya. Aku mengeratkan genggamanku pada sebuah kalung liontin bermata batu ruby merah. Kalung satu-satunya peninggalan milik mama yang selalu ia simpan. Dibaliknya bertuliskan dua inisial yang tak kumengerti. Namun, aku yakin satunya adalah inisial milik mamaku. Tetapi aku tak tahu inisial nama yang lain. Jika itu inisial nama ayah, aku yakin 100% bukan. Lalu jika itu bukan inisial ayah, inisial siapa? Sekelumit pertanyaan yang membuat hatiku pelik. Tak akan pernah aku mendapatkan jawabannya. Karena sang juru kunci telah tiada.

Kini aku benar-benar sendiri di dunia ini. Tanpa kasih sayang dan cinta yang akan melindungiku dari buasnya dunia yang kian menggerus kejam. Aku menengadahkan pandanganku keatas langit. Yang seakan ikut suram seperti masa depanku. Aku mulai melangkahkan kakiku menjauh dari pusara mama. Sudah mendekati malam yang akan berganti menyapa dunia, aku harus pulang ke rumah. Meskipun enggan, namun aku tau posisiku. Aku hanyalah anak yang tak dianggap. Jika aku terlalu lama diluar, maka pukulan akan menyambutku.

Aku berjalan menyusuri jalanan yang mulai sepi karena derasnya hujan yang mengguyur bumi. Berjalan kaki dengan pikiran dan hati yang kosong. Aku berfikir, jika saja aku tak dilahirkan didunia ini mungkin aku tak akan menjalani hari-hariku dengan semenyedihkan ini. Aku mendongakkan kepalaku. Kusungging sebuah senyum saat aku mendapati sebuah ide yang mungkin saja gila menurut orang. Kembali aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku. Hanya sedikit dari mereka yang masih berlalu lalang melintasi jalanan. Tiba-tiba kedua ekor mataku menangkap pemandngan sebuah truk yang kian mendekat. Aku bersiap dan setelah truk itu aku yakini dekat dengan diriku aku mulai berlari kearah tengah jalanan beraspal. Mencoba untuk mengakhiri semua kesialan ini dan membuatku terjerembab di pinggir jalanan seberang. Detik demi detik aku menyadari satu hal.

"Kau gila ya bocah? Kenapa kau berlari saat truk itu sudah dekat? Apa kau ingin mati?" teriak seorang lelaki berumur 30 tahunan. Aku menajamkan penglihatanku. Mencoba meresapi apa yang terjadi. Ternyata aku lolos dari maut. Mengapa? Mengapa orang ini menyelamatkanku?

Aku bangkit tanpa merespon lelaki yang memarahiku. Mencoba melangkahkan kakiku meskipun merasakan perih karena luka akibat terjatuh dijalanan. Saat aku mencoba melangkah kembali, lelaki itu menarik tanganku. Aku yang seperti mayat hidup hanya mampu mengikutinya. Membisu dan menulikan telingaku. Aku tak lagi mempunyai sandaran hidup lagi. Lalu untuk apa aku masih hidup?

"Kevin, Dion kemarikan jaket kalian," titahnya pada dua orang lelaki lainnya. Aku tetap membisu tanpa meresponnya sedikitpun. Kini aku tak lagi kehujanan karena lelaki itu menyeret tanganku untuk berteduh di emperan toko.

"Ada apa dengannya?" tanya lelaki yang sedikit lebih muda dari lelaki yang menarik tanganku. Lelaki itu melepaskan jaketnya dan memberikannya kepada orang yang menyeretku tadi.

"Dia mencoba untuk bunuh diri," jawabnya sekilas sembari mencoba mengeringkan rambutku dengan jaket itu.

"Hah? Dimana?" tanya lelaki yang satunya lagi.

"Kau tidak apa-apa? Kenalkan aku Ardan, dia Dion dan Kevin. Katakan siapa namamu?" tanya lelaki yang bernama Ardan itu.

"Rianna." Aku hanya menjawab sepatah kata saja. Tak mencoba untuk berbicara lebih banyak lagi. Nyawaku seakan tercabut dari tubuhku. Tak lagi ada harapan untukku menjalani hidup ini. Pandanganku kosong menatap kedepan.

"Kenapa kau ingin bunuh diri?"

"Tuan ini semua bukan urusanmu. Terima kasih telah menyelamatkn saya." Aku membungkukkan badanku dan aku segera berlari. Namun saat aku hendak berlari, lagi-lagi orang itu menarikku dan menggendongku di bahunya. Segera setelah itu mereka memasukkanku ke dalam mobil mereka. Aku tetap mematung diri. Jika mereka menculikku dan menjual organku, silahkan. Toh aku tak akan mampu lagi untuk bertahan di dunia ini tanpa separuh nyawaku, mama.

"Katakan ... Kenapa kau ingin bunuh diri? Kau masih muda. Umurmu belasan tahun dan kau ingin mebgakhirinya begitu saja?" teriak Ardan.

"Ardan. Udeh lu jangan begono. Anak kecil, mungkin dia lagi putus cinta." Kevinpun ikut berbicara namun aku tetap saja membisukan diri.

"Kalau kau putus cinta, itu berarti kalian berakhir. Kau ini cantik, masih muda jangan membuang harga dirimu untuk lelaki sampah manapun. Hargai dirimu sendiri. Dasar bocah," umpat Ardan.

"Bro lu kalah ma bocah ingusan dong. Dia aja pacaran masa elu jomblo!" Lelaki yang menyetir itu kuketahui bernama Dion.

"Kelakuan bocah jaman sekaramg dikit-dikit meweklah. Dikit-dikit aku bahagialah, aku tanpamu bagaikan butiran debulah. Dasar bocah! Membuat orangtua kecewa dan sedih saja!" seru Ardan yang membuatku marah.

"Kalian tidak tau apa-apa! Persetan dengan pacar! Aku baru saja kehilangan mamaku!" kalimat pertamaku setelah kebisuanku beberapa lamanya. Mereka menoleh dengan kedua matanya yang melebar. Bahkan lelaki yang bernama Dion itu menepikan mobilnya. "Duniaku runtuh saat ini. Aku tak lagi memiliki kehidupan dan harapan. Setitik kebahgiaan nyaris enggan memasuki kehidupanku. Aku sendirian sekarang, bukankah lebih baik kuhabisi saja nyawa kecilku ini?"

"Jika mamamu sudah meninggal, bukankah kau masih memiliki seorang ayah bukan?" tanya Ardan.

"Heh ... Kau pikir jika aku masih memiliki seorang ayah, aku tidak akan sesedih ini? Aku bilang aku sendiri. Aku tak pernah mendapat kasih sayang seorangpun dari sosok yang bernama ayah. Katakan ... Jika aku kini telah kehilangan seluruh duniaku yaitu mama, apa yang harusnya aku lakukan? Aku ... Bukankah harusnya aku mati saja. Bukankah seharusnya aku tak ada di dunia ini? Kelahiranku adalah kesalahan terbesarku di dunia ini." Aku tersenyum miris. Menatap kosong pada jalanan yang masih saja diguyur hujan. Tiba-tiba tanpa permisi, sosok Ardan merengkuhku ke dalam pelukannya membuat kedua mataku melebar.

"Dengar ... Menangislah, jika kau ingin menangis. Tapi ingatlah satu hal. Jangan pernah sesali kehadiranmu di dunia ini. Karena mamamu juga mempertaruhkan nyawanya saat dia membawamu hadir di dunia ini. Kalau begitu, bagaimana jika kau menganggap kami kakakmu. Aku adalah kakak pertamamu, kemudian Dion adalah kakak keduamu, dan Kevin adalah kakak ketigamu. Mulai sekarang hiduplah bersama kami. Jangan pernah kau ungkit lagi tentang ayah biadapmu itu. Bagaimana kau mau kan menjadi adik perempuan kami?"

Aku membeku. Baru kali ini ada yang memberikan sosok hangat yang penuh kasih sayag selain mama. Buliran bening mulai berjatuhan dari kedua sudut mataku yang sudah mengeri itu kini membanjiri. Aku meluapkan tangisanku yang memilukan kepada kakak-kakak asing yang kini memberikanku cinta. Karena terlalu kelelahan, tiba-tiba semua menjadi buram. Akupun terjatuh pingsan.

Bab 3. Keluarga Wijaya.

Aku menatap nanar langit-langit di sebuah kamar yang terlihat mewah. Kuedarkan pandanganku di sekitar. Benar aku berada di sebuah kamar yang mewah. Aku terpaku pada sosok yang tengah sibuk mengompresku. Wanita paruh baya yang begitu anggun dan elegan.

"Nak ... Kau sudah sadar?" tanyanya dengan nada penuh kelembutan.

Aku menganggukkan kepalaku. Mencoba untuk bangun dari posisi tidurku. Wanita itu tersenyum hangat. Aku merasa aman di dekatnya. Tetapi tetap saja pikiranku melayang pada kenanganku bersama mama. Dialah satu-satunya pelita hidupku.

"Kamu kenapa? Panggil aku mami. Mulai sekarang kau akan tinggal disini. Kau butuh sesuatu?"

Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawabanku. Begitu enggan untuk menjawabnya. Aku memang tak pernah bisa dengan mudah menerima orang asing dalam hidupku. Seumur hidup hanya mamaku saja yang berada didekatku.

"Kau tidak nyaman denganku?" tanyanya kemudian.

"Aku ..."

"Tenanglah. Bersihkan dirimu dan itu pakaian tidurmu. Dengarlah Nak. Dirumah ini kamu adalah anak bungsuku mulai detik ini juga. Jadi aku harap kau mau menerimaku sebagai orang yang ada dihatimu. Mami turun dulu ya, kamu mandilah. Nanti turunlah dan kita makan malam bersama." Wanita itu pergi meninggalkanku setelah dia memberikan kecupan hangat di keningku. Kuusap keningku dan setelahnya aku menatap sebuah paperbag yang ada di atas ranjangku.

"Ini bajuku?"

Kuambil paperbag tersebut dan kukeluarkan isinya. Sebuah baju piyama untuk tidur. Lalu kulirik baju yang menempel dibadanku. Baju itu terlihat baru. Sedangkan baju yang biasa aku pakai itu baju yang lusuh. Mereka menggantinya? Aku harus bagaimana sekarang? Apa aku harus mempercayai orang baru ini? Atau aku lebih baik pulang saja? Sekarang aku lebih baik mandi saja.

Aku bergerak menuju kamar mandi. Disana aku banyak merenungi apa yang terjadi hari inj. Lagi-lagi aku menangis di bawah guyuran air shower yang membasahi badanku. Mencoba menangis dalam kebisuanku. Mama ... Mengapa kau meninggalkan aku begitu cepat? Belum juga kita bahagia bersama. Mengapa tuhan begitu tidak adil merenggut nyawamu. Sekelebat bayangan kebersamaan ditengah kemiskinan kian melanda. Aku semakin menarik.rambutku kebelakang. Meluapkan segala emosi dengan tangisanku yang kian terisak. Setelah aku rasa cukup lama berada di kamar mandi, aku mulai mematikan shower itu dan mulai mengeringkan badanku menggunakan sebuah handuk yang ada di gantungan. Kemudian aku memakai baju yang telah disiapkan oleh mami. Entahlah aku bingung bagaimana aku harus memnggilnya.

***

Aku kembali mengamati keadaan di bawah. Aku baru sadar jika ada banyak sekali pelayan dan penjaga di rumah ini. Itu artinya keluarga ini bukan keluarga sembarangan. Kulngkahkan kakiku menuruni tangga. Dengan takut-takut aku bertanya kepada pelayan yang sedang membersihkan lantai. Dia memnggilku nona? Apa tidak salah? Pelayan itu menunjukkan jalan menuju meja makan. Disana terlihat ada 3 orang yang telah duduk di kursi kayu itu.

"Kemarilah Nak. Mari kita makan. Kau pasti lapar bukan?" tanya seorang lelaki paruh baya saat dia pertama kali melihatku. Kuanggukkan kepalaku untuk menjawabnya. Dengan perlahan aku mulai mendudukkan bokongku di kursi kayu disamping mami.

"Jangan takut Nak. Kami hanya ingin membantumu. Ayo kita makan dulu setelahnya kita bicara."

Bicara? Apalagi yng ingin mereka bicarakan denganku? Saat aku sedang berfikir, kedua iris biru milikku menangkap sesuatu yang begitu menggugah selera. Sebuah paha ayam goreng yang selama ini aku inginkan. Sudahlah ... Jika mereka meracuniku aku sudah pasti akan mati bukan? Lebih baik mati dengan perut kenyang. Kuambil sebuah paha ayam yang terlihat lezat dan nasi satu piring penuh. Terserahlah aku benar-benar lapar. Dari pagi sama sekali belum ada sebutir nasipun yang sudah masuk keperut. Mereka semua menatapku heran. Mungkin melihat porsi nasi makan yang aku ambil menggunung. Tapi sekali lagi bodo amatlah. Aku makan dengan tenang.

****

"Baiklah Nak. Kumohon jangan takut. Jadi begini ... Kami ingin mengangkatmu sebagai anak kami berdua. Apa kamu setuju dengan keinginan kami ini? Kami berdua hanya memiliki satu orang anak laki-laki. Setidaknya setelah ada kamu, kami bisa merasakan memiliki anak gadis. Apa kau tidak keberatan memanggilku papi dan kemudian istriku ini mami? Oh dia anak lelakiku. Kau bisa memanggilnya kakak. Jika kamu masih bingung, maka kami berdua akan memberikanmu waktu untuk berfikir. Bagaimana? Kudengar mamamu sudah tiada. Agar ada yang menjagamu, setidaknya setujuilah permintaan kami."

Aku terdiam. Kembali pikiranku melayang saat masih ada mama disampingku. Sosok yang begitu anggun dan sabar meskipun aku sangat nakal. Ini terlalu mendadak. Tetapi aku juga membutuhkan sebuah sandaran untukku hidup di dunia ini. Jika mereka membohongiku, memangnya apa yang aku miliki? Tidak ada sama sekali hal berharga yang ada padaku. Namun lagi-lagi aku kembali egois. Ingatanku kembali pada foto mama yang selalu aku simpan di bawah bantal tidurku. Jika aku disini, apa aku tidak boleh membawa foto mama?

"Apa aku boleh membawa foto mama? Aku ingin melihatnya saat aku sedang sedih."

"Tentu! Asal kau mau tinggal bersama kami itu sudah lebih baik," ucap mami sembari tersenyum lembut padaku. Terakhir, dia memelukku hingga membuat diriku mematung. Hangat, meskipun tak sehangat pelukan mama. Akhirnya sebuah senyuman terbit di bibirku. Aku memejamkan kedua mataku. Sekarang mama bisa tenang. Karena aku akan baik-baik saja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!