"Praang!"
Sepertinya itu piring yang terbang keempat kalinya. Tidak ada susulan suara mengaduh.
Hmm, berarti papa masih aman, batin Calista.
"Sudah berulangkali aku bilang... jangan tergoda lagi sama bisnis-bisnis ga jelaaaas! Hutang kita bertambah terus! Capek aku! Capeeekkk!" teriak mama histeris.
Calista segera mengeraskan volume HPnya yang memenuhi telinganya melalui headset. Mama jika sedang murka seperti itu, akan berlangsung sampai sejam ke depan. Tergantung sudah makan atau belum, sih.
Calista sudah hapal dengan keadaan orangtuanya. Lintang, adiknya, sudah berada di kamarnya saat ada tanda-tanda perang dunia pernikahan. Lintang memilih menghadapi perang orangtuanya dengan bersama kakaknya. Sikap positif dan santuy dari Calista membuat pertengkaran itu seperti di sinetron "kumenangis" alias tidak nyata.
Papa dulu adalah seorang CEO di perusahaan besar. Tetapi saat Lintang lahir, mama mengalami koma, sehingga papa tidak terlalu memikirkan perusahaannya yang kemudian secara licik dikuasai oleh pamannya. Selama 7 bulan mama koma, papa kehilangan semuanya dan memulai dari nol.
Calista masih ingat pernah hidup seperti putri dalam dongeng. Tinggal di rumah seperti istana dan dilayani oleh puluhan asisten rumah tangga, sampai usianya 5 tahun. Ya, usianya dengan Lintang terpaut 5 tahun.
Akhirnya dari hasil penjualan perhiasan miliknya, mama membuka usaha butik. Papa membantu mengembangkan usaha mama. Tetapi papa selalu tergoda untuk memulai lagi bisnisnya yang kemudian seringkali membuat mama meradang seperti yang terjadi saat ini.
Calista dan Lintang tidak pernah takut pertengkaran orangtuanya akan berakhir perceraian. Papa dan mamanya menderita bucin akut. Setelah pertengkaran paling hebat sekalipun, mereka akan seperti pasangan pengantin baru kembali.
"Brak!" Bantingan pintu menandakan mama sudah lelah. Calista dan Lintang segera keluar menemui papa. Dilihatnya papa memegang sapu dan pengki untuk membersihkan arena perang dunia bersama istrinya.
"Kembali ke kamar sampai papa selesai membersihkan ruangan ini, " kata papa sambil tersenyum. Lintang kembali ke kamar kakaknya, tapi Calista mengambil sapu lain untuk membantu papanya. Melihat itu, senyum papa melebar dan mengedipkan kedua matanya berterimakasih.
Papa masih berusia 42 tahun. Terlihat sangat tampan dengan dandanan macho dan tubuh atletis. jika berjalan berdua dengan papa, Calista sering disangka pasangan kekasih. Hidung, alis, dan bibir papa menurun pada dirinya dan Lintang. Tetapi hanya Lintang yang mendapatkan postur menjulang dari papa. Oma dari papa, berasal dari Jerman, maka tidak heran jika papa terlahir begitu tampan.
Rambut Calista dan Lintang coklat, sehingga tidak jarang saat sekolah hampir dihukum karena disangka mewarnai rambut mereka.
Setelah selesai membereskan pecahan piring, papa memeluk dan mencium pucuk kepala Calista. Kemudian menyusul mama ke kamar. Mereka tidak keluar lagi sampai waktunya makan malam.
Mama dan Papa sudah kembali bersikap mesra ketika Calista dan Lintang ke dapur untuk sarapan. Hadeuh, bucin tingkat dewa emang, batin Calista tak sadar memanyunkan bibirnya.
"Cal, kemarin ada ayam senyum-senyum besoknya langsung kepanasan," goda papa sambil membantu mama mengoles selai ke roti.
"Kok kepanasan?" tanya Lintang polos.
"Ayamnya ditambain sambal geprek," jawab papa tertawa geli. Tapi tidak ada yang mengikuti papa tertawa.
"Papa jahat, masa' ayam dikasih sambal." Lintang geleng-geleng kepala. Papa tambah terbahak-bahak melihat reaksi Lintang.
"Like Papa like Lintang, ga jelas!" seru Calista ke arah papa dan Lintang.
Mama tertawa melihat interaksi suami dan anak-anak nya.
Seperti biasa, papa mengantar Lintang dulu ke sekolah, kemudian mengantar Calista dan terakhir ke butik mama untuk membantu khusus di pemesanan online. Papa memang mengembangkan bisnis butik mama secara online untuk kalangan terbatas. Desain-desain mama sangat disukai oleh wanita-wanita sosialita.
Mama yang sejak menikahi seorang CEO, memahami selera mereka dalam berbusana. Mereka yang memakai satu pakaian tidak lebih dari dua kali pakai, tentunya menguntungkan bisnis mama.
Calista disambut Reyka, sahabatnya sejak sekolah dasar, saat turun dari mobil.
"Om," sapa Reyka dengan mengangguk pada papa Calista. Papa mengembangkan senyum membalasnya. Lalu melambaikan tangan pamit.
"Cal, dicari tuh sama Alan. Uring-uringan nanyain kamu terus, " sungut Reyka. Calista mencomot bibir Reyka yang dimanyunkan.
"Ih, jelek amat itu bibir kalo manyun!" goda Calista. Reyka menepiskan jari jahil Calista dengan tertawa.
"Kamu tuh, ya! kalau ga suka, bilang dengan tegas. Jangan buat anak orang kelimpungan!"
"Aku sudah dengan jelas-jelas menolaknya. Alan saja yang ga ngerti-ngerti!" tukas Calista kesal.
"Lagian kenapa sih, kamu tolak Alan? Kurang apa coba? Alan tuh ganteng, sopan, lembut, pinter... 99% perfecto, deh." Calista tersenyum misterius. Mata Reyka mendelik kesal melihatnya,
"Senyum-senyum ga jelas sih, nih anak!"
"Kalau memang segitu sempurnanya, kenapa ga kamu aja yang pacaran sama Alan?"
Mendengar itu, Reyka memukul lengan sahabatnya dengan gemas.
"Sekali lagi ngomong ga mutu kaya gitu, ga bakalan mau makan bareng di kantin lagi sama kamu!" ancam Reyka. Calista merangkul sahabatnya dan berhenti menggodanya.
Daripada kehilangan teman makan di kantin, cengo kan... makan sendirian, batin Calista.
...****************...
Reyka menyikut lengan Calista, saat melihat Alan memasuki kelas dan menghampiri mereka. Calista tak bergeming, ia tetap saja menunduk menekuri bacaan novelnya.
"Hai, girls" sapa lelaki tinggi dengan manik mata hazel menghiasi wajah tampannya.
" Haiii Alan. Tuh, gadis yg buat kamu uring-uringan dari pagi," balas Reyka dengan mengarahkan dagunya ke sosok Calista, "Aku ke kantor OSIS dulu ya, okey?" ucap Alan membuat Calista mengangkat wajahnya. Mereka bertemu pandang dan Alan menunjukkan senyum terbaiknya.
Tetapi betapa kecewanya Alan, saat Calista kembali asyik dengan handphone-nya.
" Cal..., "panggil Alan lembut.
" Hemm..., "jawab Calista tak melepas pandangnya dari layar HP.
" Cal, lihat aku dulu," pinta Alan berusaha mendapat perhatian gadis dihadapannya. Ya, Tuhan, kenapa aku harus mencintai gadis yang bersikap hangat pada orang lain tetapi dingin dan kaku padaku, batin Alan pedih. Ia tidak dapat melupakan cintanya pada gadis itu, maka mau tak mau ia harus mati-matian berusaha mendapatkan hati Calista.
"Katakan saja apa maumu, aku tak perlu melihat wajahmu, kan?" Calista benar- benar tidak menganggap Alan ada.
"Kamu tahu yang aku mau! Kapan kau akan mewujudkannya untukku?" tantang Alan nekat.
Calista memandangnya lekat kemudian mendekatkan bibirnya dekat telinga Alan, "Aku tak pernah menjanjikan atau memberikan harapan apapun padamu. Bagiku kamu sama dengan Reyka, sahabatku sejak SD. Jangan mengharapkan lebih dari itu. Jangan membuatku merasa bersalah karena tak dapat memenuhi maumu. Ini terakhir kalinya aku menjelaskan padamu. Jika kamu terus memaksaku, maka sebaiknya kita berhenti bertemu!"
Alan terperangah takjub dengan setiap penekanan kata dari Calista. Tak urung pipinya menghangat karena dekatnya jarak yang Calista ciptakan. Calista tersenyum lalu menepuk bahu Alan dan berlenggang meninggalkannya.
Hampir setiap ada kesempatan, Alan akan selalu mencoba 'nembak' Calista. Entah sudah berapa ratus kali Alan berusaha membuka hati Calista untuknya.
Bayangkan saja, saat menyadari perasaannya pada Calista usianya 12 tahun. Dan bukan Alan namanya jika tidak langsung mengungkapkannya pada sahabatnya itu.
Calista menjauhinya beberapa lama setelah 'penembakan' itu. Tapi Alan selalu berhasil membuat Calista berbicara lagi dengannya. Hal tersebut menjadi siklus dalam persahabatan mereka. Reyka sudah bosan menjadi perantara dan akhirnya tak perduli. Yang penting baginya, Calista tetap bersahabat dengannya.
"Reyka!" panggil Alan pada gadis cantik berlesung pipi yang dilihatnya sedang berjalan menuju parkiran motor saat pulang sekolah. Karena sudah hafal dengan panggilan Alan, ia mengerem langkahnya dan menunggu Alan menghampirinya.
"Kalau kau hanya ingin mengeluhkan Calista, aku tak mau mendengarkannya!" semprotnya pada Alan dengan wajah cemberut.
Alan nyengir kuda dan menggaruk kepalanya yg tidak gatal.
"Oke, aku tidak akan bicara tentang Calista. Aku hanya ingin membicaran tentang perasaanku padanya."
"Cih! itu sama aja, Bro!" seru Reyka gemas dan memukul lengan Alan cukup keras yang membuatnya menjerit hingga mengundang perhatian orang.
"Aku tidak akan menyerah pada Cal. Tapi aku akan dikirim Dad ke Stanford setelah lulus. Aku harus berburu dengan waktu untuk memastikan Cal akan menungguku, atau kalau perlu akan aku ajak dia bersamaku. " Reyka melihat kesungguhan dan tanda-tanda bucin akut diwajah Alan.
"Bucin dan bodoh itu ternyata beda tipis, ya" ejek Reyka menaikkan ujung bibirnya, "cinta itu ga bisa dipaksa, Lan. Semakin kamu paksakan, semakin illfeel Cal sama kamu"
Alan terhenyak, karena begitu tertampar dengan ucapan Reyka, sampai tubuhnya terhuyung ke belakang. Ucapan Reyka sangat mengena dan menampar harga dirinya. Sudah lama Reyka ingin mengungkapkan hal itu, tapi ia tak tega. Sudah saatnya menyadarkan Alan bahwa Calista tidak mencintainya.
"Sadarlah, Lan. Cinta tidak bisa selamanya disamakan dengan analogi batu yang akan berlubang jika ditetesi air terus menerus, seperti yang jadi prinsipmu selama ini," ujar Reyka melembut, "Tapi kamu keliatan bodoh dan tak tahu malu dengan terus mengemis cinta pada Cal yang jelas-jelas sudah menolakmu puluhan kali. Lama-lama kamu akan benar-benar kehilangan dirinya karena ia terlalu muak dengan kelakuan kamu"
Alan kini terduduk dengan menatap Reyka tak percaya. Reyka mengulitinya habis-habisan. Matanya menghangat dan memerah yang menjalar ke keseluruhan wajah dan lehernya.
"Aku sahabat kalian berdua. aku tidak ingin di suruh memilih diantara kalian. Tapi yang aku tahu pasti, Cal tidak ingin melukaimu tapi juga tak mau mengasihanimu. Dan aku yakin, kau juga tak mau dikasihani, kan?" Alan menatap Reyka dengan pandangan linglung, tapi kemudian ia mengangguk-angguk.
Reyka kemudian meninggalkan Alan yang masih terduduk. Ia berharap, Alan akan menjadi dewasa dan mulai menata hidupnya dengan mengakhiri kebucinannya pada Calista, yang membuatnya terlihat bodoh.
Tanpa disadari keduanya, Calista mendengar semua percakapan mereka. Calista kebetulan melihat handphone Reyka tertinggal di kelas. Calista bergegas menuju parkiran motor berharap sahabatnya itu belum pulang. Ternyata Alan mencegat Reyka dan tentunya ia mendengar semua pembicaraan mereka.
Calista sangat berterimakasih pada Reyka, yang mewakili isi hati yang tidak tega ia ungkapkan. Semoga Alan dapat menerima semua kata-kata Reyka dan mereka bisa bersahabat lagi seperti dulu.
Semoga...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!