"Abang," panggil Syifa sambil mengetuk pintu kamar kakak angkatnya.
Tidak berapa lama terdengar suara pintu dibuka memperlihatkan seorang lelaki tampan berusia dua puluh lima tahun.
"Ya, Dek," sahut Bima.
"Ummi minta aku untuk ajak Abang sarapan."
"Baiklah. Abang segera turun. Terima kasih, Dek." Mengulum senyuman indah.
"Sama-sama. Kalau begitu, aku ke bawah duluan, ya, Bang." Membalikkan badan, melangkah menuju tangga.
Bima mengangguk. Memperhatikan seksama gadis manis yang delapan belas tahun lalu datang ke rumahnya.
Syifa, anak kecil yang dibawa Ummi dan Abi-nya bagai sebuah obat ditengah rasa sedihnya, karena menginginkan saudari perempuan.
Ibu Halimah, Ummi dari Bima di vonis tidak bisa memiliki keturunan lagi. Dikarenakan, ada tumor di dalam tubuhnya sehingga mengharuskannya melakukan pengangkatan rahim.
Bima segera menarik diri dari lamunan. Ia masuk kembali ke dalam, untuk mengambil tas dan kunci mobil. Setelah siap, ia segera menyusul jejak Syifa ke lantai bawah.
Di lantai bawah terdengar Zaki, anak kedua dari pasangan Ibu Halimah dan Pak Imam sedang asyik menggoda Syifa.
"Tuh, kan, Ummi bener kata Zaki. Di kampus, Syifa itu banyak penggemarnya," ungkap Zaki.
"Kakak, Syifa 'kan bukan seorang publick pigur. Jadi, tidak ada namanya penggemar," sela Syifa.
"Memang benar, Sayang apa yang dikatakan Kakakmu itu?" tanya Pak Imam.
"Engga, Abah. Jangan dengerin, Kak Zaki suka ngelantur," bantah Syifa.
"Tapi, kemarin Kakak lihat ada lelaki nyamperin kamu. Hayoh, ngaku!" ledek Zaki kembali.
"Sudah, sudah. Seperti yang sudah Abah katakan, tidak ada yang boleh menjalin hubungan asmara dengan lawan jenis sebelum menikah. Paham!" tegur Pak Imam lembut.
Zaki dan Syifa mengangguk pelan. Mereka selalu mengingat pesan Abah-nya dalam hati. Pak Imam adalah contoh kepala keluarga yang tegas, tetapi penyayang.
Ia selalu memberikan kebebasan untuk anak-anaknya, selama itu tidak melenceng dari jalur keyakinannya.
Bima sampai di meja makan. Menyapa sebentar Ummi dan Abah-nya, lalu duduk di samping Zaki.
Keluarga mereka bukanlah keluarga kaya. Pak Imam dulunya hanya seorang guru di salah satu sekolah negri. Ia bekerja keras, demi mencukupi anak dan istrinya.
Setelah Bima lulus kuliah, dan mulai menjalankan Cafe juga bengkel. Pak Imam berhenti mengajar atas permintaan putra sulungnya. Kini hari-harinya ia dedikasikan dengan sesekali mengajar anak-anak kurang beruntung disekitar komplek rumahnya.
Keadaan menjadi hening. Mereka pokus menyantap sarapan nasi goreng buatan Bu Halimah yang menjadi favorit keluarga ini.
Sarapan selesai. Masing-masing akan menjalankan tugasnya. Bima pamit pergi ke cafe, Zaki dan Syifa izin untuk berangkat ke kampus. Sedangkan, Bu Halimah sehari-hari membuat kue pesanan teman-temannya.
Seperti yang sudah diputuskan Abahnya. Syifa tidak pernah berangkat berduaan baik dengan Zaki, ataupun Bima. Karena pada dasarnya, kedua lelaki itu tetaplah bukan mahram baginya.
Bima sudah melesat terlebih dahulu dengan mobil yang ia beli dari hasil kerja kerasnya. Sedangkan, Zaki dan Syifa berangkat menggunakan transportasi umum. Setidaknya mereka tidak berduaan.
Perjalanan yang cukup memakan waktu lima belas menit itu akhirnya selesai. Syifa dan Zaki tiba di salah satu kampus terbaik di kota Jakarta, tempat mereka tinggal.
"Dek, Kakak ke perpustakan dulu, ya. Kamu mau langsung ke kelas, atau menunggu Arumi di sini?" tanya Zaki.
"Syifa nunggu Arumi dulu di taman aja, Kak. Tadi dia udah chat Syifa."
"Ok! Jangan kangen sama Kakak, ya. Berat, biar Dilan aja. Kakak juga engga kuat." Tersenyum manis.
Syifa menggelengkan kepalanya. Zaki memang berbeda dari Bima. Lelaki yang hanya terpaut satu tahun dengannya ini sedikit humoris. Sedangkan Bima hanya sesekali saja bercanda dengannya.
Mungkin karena Bima terlalu sering menyendiri sejak bekerja. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar, untuk beristirahat. Meski begitu, ia pun tetap hangat pada semuanya.
Zaki melambaikan tangan tanda perpisahan. Meninggalkan Syifa yang berjalan menuju taman kampus.
Syifa bukanlah gadis yang memiliki banyak teman. Ia memilih menutup diri, bukan karena tidak ingin bergaul. Namun, ia tidak terlalu suka berkumpul banyak orang selain keluarganya.
Syifa dididik baik oleh Bu Halimah. Ia tumbuh menjadi wanita lembut dan cantik. Tentu, ditunjang oleh ilmu agama dan dunia yang dibekali Pak Imam dan Bu Halimah.
Syifa duduk di salah satu bangku. Membuka ponsel, berselancar di dunia maya. Mengusik kebosanannya menunggu Arumi yang tidak kunjung datang.
Tidak berapa lama suara lelaki mengagetkannya. Syifa menoleh ke arah asal suara. Terlihat seorang lelaki muda yang sepertinya tidak jauh berbeda usinya dengan Syifa. Ada kalung salib menggantung di lehernya.
Lelaki itu mengurai senyum. "Maaf, aku menganggumu. Apa kamu tahu ruangan Rektor? aku baru di sini."
"Ruangannya ada di dekat Falkultas ekonomi."
"Terima kasih, sekali lagi aku minta maaf."
"Engga apa-apa, Kak."
Lelaki itu sekilas memperhatikan Syifa yang terlihat imut dengan hijab pashmina berwarna biru muda, kemudian berlalu menuju tempat yang ia cari.
Tidak berapa lama Arumi datang mengagetkan Syifa, untuk kedua kali-nya. Gadis itu tersenyum manis melihat ekspresi kesal Syifa dengan wajah merah padam.
"Hei, ada apa dengan wajahmu, Fa?"
"Ini karena kamu. Lagian kenapa lama sekali!"
"Maaf, kamu tahu 'kan ibuku selalu rempong di pagi hari. Beliau bahkan menyiapkan bekal makan siang untukku."
"Beruntung, kamu punya ibu yang baik."
"Kamu yang lebih beruntung. Di adopsi Ummi dan Abah, di sayangi dua lelaki tampan. Masya Allah, aku iri sama kamu."
Syifa tersenyum manis. Ia bukan hanya beruntung, akan tetapi ia sangat bersyukur akan hal itu.
Andai dulu Ummi dan Abah-nya tidak menyelematkannya saat kecelakaan yang menewaskan orang tua kandungnya. Mungkin saat ini, ia tumbuh di lingkungan yang berbeda.
"Terima kasih, Ummi dan Abah," gumam Syifa pelan.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Syifa dan Arumi bergegas masuk ke dalam ruangan kampus. Ia tidak ingin terlambat menghadiri dosen yang terkenal galak.
"Kalau sampai telat, kita bisa dijadiin perkedel sama Bu sela," ujar Arumi.
Sampailah mereka di ruangan khusus fakultas Akutansi. Tidak seperti biasanya ruangan ini dipadati para mahasiswa dan mahasiswi.
"Mungkin mereka teh sudah bosen bolos," bisik Arumi.
Untuk kesekian kalinya Syifa hanya tersenyum. Temannya satu ini memang berbeda dari yang lain. Gadis yang masih ada keturunan Sunda ini memang sering membuat Syifa tertawa, karena nada bicaranya yang lucu.
Syifa dan Arumi duduk di barisan bangku tiga terdepan. Tanpa sengaja mata Syifa bertemu sosok lelaki yang tadi bertanya padanya di taman.
Lelaki itu berada tepat satu barisan dengannya. Namun, ia duduk paling pojok. Ia melambaikan tangan sambil berkata, "Hai, kita ketemu lagi. Mungkinkah ini jodoh."
...****************...
BERSAMBUNG~~~~
ASSALAMUALAIKUM ...
Selamat datang di karyaku yang baru. Aku meminta dukungan kalian, agar aku bisa selalu semangat berkarya.
Jangan lupa like, coment dan vote🤗
~Aku mulai nyaman saat di dekatmu. Ada kehangatan tersendiri yang kau tawarkan untukku. Berharap ini bukanlah sebuah mimipi belaka~
🌹🌹🌹🌹Syifa🌹🌹🌹🌹
Suara kencang milik Bu Sela menggema di seluruh ruangan. Semua orang terdiam menyimak materi hari ini. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani membuka suaranya.
Satu jam berlalu, Pelajaran pun berakhir. Dosen berbadan montok itu mengakhiri materinya, kemudian berlalu meninggalkan kelas.
Setiap orang mulai lega. Mereka menghirup udara sebanyak-banyaknya. Entah, setiap kali pelajaran dosen itu. Semua mahasiswa dan mahasiswi bagai sedang menjalani sidang skripsi.
Arumi berbisik pada Syifa. "Nanti sore, kita mampir ke cafe Abangmu, yuk? Aku kangen menu andalan mereka."
Syifa mengangguk. Sudah lama juga ia tidak mampir ke sana. Mungkin sudah dua minggu, Syifa belum pernah datang ke Cafe milik Bima.
Tiba-tiba Zaki datang mengagetkan kedua gadis itu. Arumi yang kesal seketika memukul punggung Zaki dengan tumpukan buku di tangannya. Hal itu membuat si empu-nya kesakitan.
"Dasar cewek galak!" sungut Zaki kesal
Zaki dan Arumi memiliki usia yang sama. Namun, Arumi menunda kuliahnya satu tahun yang menyebabkan ia kini menjadi junior Zaki.
"Dek, kamu udah makan belum?" tanya Zaki pada Syifa.
"Belum, Kak. Ini baru mau ke kantin," jawab Syifa sambil memasukkan buku ke dalam tas. " Ayo, ke kita makan, Kak!"
Syifa beranjak dari tempat duduknya, disusul Zaki dan Arumi , Sedangkan Gabrie --lelaki-- yang tadi sempat bertanya pada Syifa di taman hanya memperhatikan ketiganya dari pojok.
Ada magnet kuat yang mendorong rasa penasarannya pada sosok Syifa. Gadis cantik yang baru ia kenal hari ini.
"Dia lucu," gumam Gabriel.
🏵🏵🏵🏵🏵🏵
Sementara itu di waktu yang sama. Namun, beda tempat. Bima baru saja sampai di cafe. Ia disambut baik oleh chef, sekaligus sahabatnya.
"As'salamulaikum, Pak Haji," sambut Amar sambil tertawa.
Bima berdecak kesal. Lelaki ini tiada hentinya memanggil dirinya Pak Haji.
"Wa'alaikumsalam," balas Bima. "Gimana, sudah siap bertempur di dapur?"
"Jangan tanya itu mah. Ksatria bercelemek siap menyulap wortel mentah menjadi sup yang lezat."
"Apa hari ini obat pereda gilamu udah habis, Mar?"
"Astagfirullah, Pak Haji sungguh kejam dirimu. Kau menuduhku gila, padahal aku ini tidak seperti itu. Aku hanya sedikit miring ke kanan."
Bima tersenyum. Ia rasa tidak akan ada habisnya, jika melayani Amar. Lelaki ini selalu bisa menjawab dengan caranya sendiri.
Setelah melewati proses salam penyambutan yang panjang. akhirnya Bima dan Amar pergi ke ruangannya masing-masing.
Cafe milik Bima tidaklah mewah. Bangunan berlantai dua yang awalnya ia sewa, saat ini sudah menjadi hak permanen miliknya.
Dulu, bangunan ini tidak seindah sekarang. Bima berkerja keras menabung demi merenovasi cafe agar terlihat menarik dan bagus.
Amar sendiri adalah seorang chef yang sebenarnya bekerja di hotel bintang lima. Namun, ia mengundurkan diri.
Dengan tekad yang kuat, Bima mengajak Amar bergabung di cafe miliknya. Tentu, dengan senang hati Amar menerimanya.
Mereka bahu membahu membangun kepercayaan pelanggan. Bima tidak pernah lelah mempromosikan cafenya di media sosial, ataupun di grup Alumni sekolah.
Sama halnya dengan Bima. Sebagai Chef yang dipercaya. Amar berusaha keras menciptakan menu makanan yang berbeda, dan menjadi ciri khas cafe ini. Beberapa kali gagal dalam memasak, membuat Amar semakin tertantang.
Siang ini, Bima tengah mengecek laporan keuangan bulanan cafe juga bengkelnya. Hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga membiayai sekolah kedua adiknya.
Bima teringat akan Syifa. Gadis kecil itu sudah tumbuh dewasa. Dulu, Bima sangat senang saat Syifa datang. Ia bahkan tidak pernah absen mengajak main Adik angkatnya tersebut. Namun, sekarang berbeda.
Bima dan Syifa memiliki kesibukan tersendiri. Bima pokus pada pekerjaannya. Sedangkan, Syifa semakin gencar mengejar ilmu.
"Dia sudah dewasa sekarang. Rasanya baru kemarin aku menggendongnya." Bima memandangi foto Syifa yang ia ambil saat liburan keluarga empat bulan yang lalu.
Bagi Bima, Syifa dan Zaki adalah saudara yang berharga. Mereka tumbuh dalam lingkung keluarga yang sama, dengan didikan yang sama pula. Jadi, sudah sewajarnya Bima memiliki tanggung jawab menjaga kedua adiknya.
Waktu berlalu begitu cepat. Suara Adzan Ashar berkumandang di masjid terdekat. Bima segera mengakhiri kegiatannya.
Ada yang berbeda di cafe milik Bima. Di sini semua karyawan wajib berjamaah di mushola yang sudah disiapkan, dan selama itu cafe pun di tutup sampai waktu salat selesai.
Menurut pepatah "Time is money", tetapi bagi Bima berbeda. Uang bukanlah segalanya. Jadi, tidak seharusnya kita mengejar waktu demi uang. Meski begitu, uang tetaplah di perlukan. Namun, tidak harus bermati-matian mencarinya, hingga melalaikan kewajiban kita sebagai muslim.
Allah itu sebaik-baik tempat kita mengadu. Bukankah yang memberikan kebahagian itu Allah? yang menjamin rezeki kita itu Allah? kenapa masih saja kita lalai dalam menyambut panggilan indahnya.
Bima dan seluruh karyawan telah berkumpul di mushola belakang cafe. Seperti biasa Bima bertindak sebagai imam. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi pemimpin yang baik dan ramah.
Suara lantunan ayat suci al-quran terucap dari bibir tipisnya. Bima dengan khusyu memimpin sholat Ashar hari ini. Para kayawan yang menjadi makmum pun ikut khusyu mengikuti gerakan sang imam.
Waktu Salat selesai. Semua karyawan berhamburan, untuk kembali bersemangat menyambut para pelanggan. Hati mereka tentram, karena memiliki pemimpian seperti Bima.
Dalam mushola tinggallah Amar dan Bima. Mereka masih enggan beranjak menikmati waktu menghadap sang Ilahi Rabbi.
Amar selesai. Ia melirik sekilas pada Bima, lalu berkata, "Bim, kamu engga mau menikah?"
Bima membuka mata. Ia tengah menikmati alunan dzikir dari mulutnya sendiri. "Insya Allah, kalau udah ketemu jodohnya. Aku pasti menikah, Mar."
"Ya, aku tau itu. Apa kamu udah punya calon?"
Bima menggelengkan kepala. Selama ini ia tidak pernah berdekatan dengan wanita. Terlebih Abahnya selalu mengingatkan, untuk tidak berpacaran.
"Carilah calon istri. Kalau kamu engga mau pacaran, cari wanita yang mau taaruf denganmu."
"Belum ada yang cocok. Aku menunggu Allah mengirimkan seorang bidadari untukku."
"Masya Allah, Pak Haji. Kita itu wajib berikhtiar. Kalau kamu diam saja, bisa-bisa jadi bujang lapuk."
"Kamu sendiri gimana, Mar. Apa udah ada calon juga?"
Amar tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Belum 'sih, Bim."
"Nah, kamu sendiri aja belum. Aku pikir, kamu bahas soal menikah, kamu udah punya calon!"
Amar berdiri diikuti Bima. Mereka berjalan santai masuk ke dalam cafe kembali. Amar dan Bima hanya terpaut usia empat bulan. Amar lebih tua dibanding Bima. Meski begitu, mereka menempuh pendidikan bersama, sampai sekarang bekerja pun bersama.
"Mungkin calon jodoh kita baru keluar dari persembunyiannya," celetuk Amar begitu saja.
...****************...
BERSAMBUNG~~~
JANGAN LUPA LIKE, COMENT DAN VOTE🤗
~Tuhan seakan sengaja mempertemukan aku denganmu. Aku menggagumi sejak pertama pandangan kita bertemu. Berharap bisa sedikit memiliki jabatan di kerajaan hatimu.~
🌴🌴🌴 GABRIEL🌴🌴🌴
Jalanan sore semakin ramai. Setiap transpostasi umum pun berdesak-desakan. Seperti yang sudah direncanakan. Sore ini Zaki, Arumi juga Syifa pergi mengunjungi cafe milik Bima.
Selama di perjalanan. Zaki begitu cekatan menjaga Syifa. Contohnya, saat menumpangi transpostasi umum tadi. Semakin kendaraan berjalan, semakin padat penumpang berdatangan.
Zaki membiarkan Syifa dan Arumi berdiri di pojokan, lalu dengan badannya ia membuat tameng agar Syifa tidak risih bersentuhan dengan kaum adam.
"Terima kasih, Kak," cicit Syifa.
Zaki mengulum senyum. Setiap anggota di keluarganya memiliki tanggung jawab menjaga anggota yang termuda. Meski, Zaki hanya berbeda satu tahun dengan Syifa Namun, ia tetap menjaganya dengan baik.
"Sebentar lagi sampai," ujar Zaki..
Perjalanan semakin jauh meninggalkan kampus. Penumpang berangsur turun satu per satu di tempat tujuannya. Selang lima belas menit, tibalah mereka di cafe bernama "Panah Doa".
"Alhamdulillah," ucap ketiganya.
Zaki memimpin di depan. Sedangkan, Syifa dan Arumi mengekor di belakang. Perlahan Zaki mendorong pintu cafe dengan mengucapkan salam yang diiringi kedua wanita di belakangnya.
Sontak semua karyawan dan pengunjung berucap "Wa'alaikumsalam."
Semua pengunjung tersenyum saat melihat siapa saja yang masuk. Hampir semua yang datang sudah mengenal betul silsilah keluarga Pak Imam. Termasuk, soal Syifa yang hanya anak adopsi.
Pak Imam dan Bu Halimah tidak pernah menutupi identitas Syifa. Meski begitu, kasih sayang mereka tidak pernah beda untuk ketiga anaknya.
Dari arah dapur Amar datang menyambut kedatangan mereka. Lelaki itu berjalan sambil berkata, "Wah, lihat siapa yang datang. Aku merasa terhormat, karena bersedia mengunjungiku."
Zaki tertawa pelan. "Hallo Chef Amar. Udah lama nih kita engga main ke sini, Kak. Kangen juga sama masakan ksatrian bercelemek terganteng."
"Aku terhura, Ki," cicit Amar.
"Terharu, Abang," sela Syifa.
"Iya, nih. Eh, Abang Amar makin cakep aja keliatannya," puji Arumi.
Perkataan Arumi membuat Amar tersipu malu. "Kamu memang paling tau, gimana bikin Abangmu ini melayang ke udara."
"Awas, Bang ketemu burung di langit. Abang bisa didemo, suruh turun," sela Zaki.
Semua tertawa, termasuk para karyawan yang mendengarnya. Tidak berapa lama, Bima terlihat menuruni tangga. Berjalan mendekati mereka yang asyik tertawa.
"Masya Allah, bahas apa ini? Sampai kedengeran ke lantai atas?" tanya Bima.
"Biasa, Pak Haji. Adikmu ini emang paling jago bikin orang ketawa," jawab Amar.
"Kalian udah makan?" Bima mengarahkan pandangannya pada Zaki, Syifa dan Arumi.
"Belum, Bang," jawab Zaki cepat.
"Duduklah, biar Amar buatkan kalian makan!" perintah Bima.
Amar seolah mengerti. Ia berjalan ke dapur, bertemu kembali dengan penggorengan dan cutil. Amar berkata, "Kalian adalah belahan jiwaku saat ini. Oh ... cutik, mengapa kau terlihat mempesona seperti seorang gadis remaja."
Cuitan konyol Amar. Tentu, mengundang tawa rekan kerjanya di dapur. Mereka sudah tidak heran lagi dengan kelakuan chef satu ini. Meski begitu, dia bisa menempatkan posisinya. Jika sedang serius, Amar akan berubah menjadi seseorang yang bijak.
Sementara itu di meja paling pojok. Syifa, Bima, Zaki dan Arumi sibuk mengobrol. Zaki adalah lelaki humoris yang bisa menyulap suasana menjadi lebih bernyawa. Dengan ucapan konyol, juga ledekannya. Zaki mendapatkan gelar lelaki paling menyenangkan sekampus.
Bima tersenyum senang melihat kedua adiknya bahagia. Terlebih Zaki sangat bisa diandalkan dalam menjaga adik angkatnya.
"Hari ini Abang pulang malam lagi, ya?" Zaki menatap Bima.
Syifa dan Arumi yang tengah tertawa seketika menyimak sambil terdiam. Bima menyimpan ponsel di meja.
"Iya, Dek. Habis maghrib, Abang ada acara reunian. Cuman Abang engga tau, ikut apa engga," ungkap Bima bercerita.
"Abang kalau lelah bilang Zaki aja. Nanti Zaki bisa 'kok sesekali gantiin Abang ngontrol bengkel," usul Zaki.
"Kamu kuliah aja yang rajin. Jangan khawatirin Abang. Doakan saja, Abangmu ini sehat terus. Biar Abang bisa biayain kuliah kamu sama Syifa," cakap Bima.
"Abang jangan terlalu maksain diri, kalau Abang lelah. Syifa juga bisa bantu 'kok," sela Syifa.
Bima mengurai senyum."Terima kasih, Dek, tapi untuk sekarang Abang masih bisa handle sendiri 'kok.
"Ah, so sweetnya kalian. Abi teh jadi hoyong gaduh dulur oge," ucap Arumi dengan bahasa sunda.
"Hei, kalau ngomong jangan pake bahasa planet. Aku nangis, engga ngerti!" tegur Zaki pada Arumi.
"Yeh, ari si Aa. Kieu-kieu ge Iteng teh masih mahluk bumi," bantah Arumi sambil memonyongkan bibirnya.
"Ya Allah, andai di dunia ini cuman ada wanita dia doang. Aku mohon, janganlah persatukan aku. Bisa gila aku dibuatnya setiap hari." Zaki menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas seperti orang berdoa.
Arumi yang kesal segera memukul untuk kedua kalinya punggung Zaki hari ini, lalu berkata, "Hei, situ saha emang sampai berdoa kayak gitu. Iteng juga kalau cuman kamu doang, cowok di dunia ini. Kagak mau dijodohin. Dasar Kabayan borokokok!"
Bima dan Syifa hanya tersenyum menyimak pembicaraan mereka. Entah, apa yang membuat Zaki dan Arumi sering bertengkar. Yang jelas, di mana ada mereka. Maka, suasana tidak akan pernah canggung.
Tidak berapa lama, aroma masakan menyeruak hidung mereka. Membangunkan cacing dalam perut. Dari arah dapur terlihat Amar membawa tiga piring nasi briyani, masakan khas timur tengah yang menjadi andalan di cafe ini.
"Harumnya ... cacingku langsung bangun," cicit Zaki begitu makanan tersaji di atas meja. "Sayang, masuklah ke perut Papamu."
Amar tertawa. Ia duduk di samping Bima yang baru saja mengambil ponsel dari atas meja, lalu mengecek pesan masuk.
"Terima kasih, Bang," ucap Syifa, Zaki dan Arumi serentak.
"Sama-sama, Adik-adikku tersayang. Jangan lupa, setelah makan langsung cuci piring di dapur," canda Amar.
"Baik, Pak guru!" ejek ketiganya kembali diiringi gelak tawa Amar yang senang mendengarnya.
Suasana menjadi hening. Mereka pokus pada makanan. Sedangkan Bima dan Amar sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Makan selesai. Zaki dan Arumi pamit ke toilet berbarengan. Sehingga timbul pertanyaan jail dari Amar pada Bima.
"Zaki suka sama Arumi, ya, Bim?" tanyanya.
Syifa diam menyimak. setahu-nya, Zaki tidak pernah dekat dengan wanita selain dia dan Arumi. Namun, ia tidak menyangka, jika seandainya Kakaknya itu menyukai Arumi.
Bima mengangkat kedua bahu pertanda tidak tahu. Ia tidak pernah mencampuri urusan pribadi sang Adik, kecuali adiknya sudah menjurus ke hal-hal yang negatif.
"Syifa, kamu pasti tahu. Zaki 'kan dekat denganmu!" tebak Amar.
Bima sekilas melirik pada Syifa. Perkataan Amar ada benarnya juga. Selama ini, Zaki lah yang paling dekat dengan Syifa.
Ada rasa bersalah, karena ia merasa tidak bisa menjadi Abang yang baik. Padahal saat kecil, Bima lah yang paling senang atas kehadiran Syifa. Namun, sejak bekerja ia malah sedikit menjaga jarak dengan gadis itu.
Syifa menggelengkan kepala. Ia mengatakan, bahwa ia sama sekali tidak tahu menahu soal perasaan Zaki pada Arumi. Selama ini Zaki tidak pernah membicarakan apa pun soal masalah pribadinya.
Bima menatap Syifa lembut. "Dek, maafin Abang."
...****************...
BERSAMBUNG~~~
Jangan lupa like, coment dan vote🤗🤗🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!