Ria bersama sahabatnya kini sedang menikmati pijatan spa di badannya. Setelah seharian mengelilingi mall, badan mungilnya itu kelelahan dan memerlukan sebuah pijatan.
"Eh tadi gue abis berapa ya, Lel?" tanya Ria kepada temannya, Lely.
"Bukannya dua ratus juta?" tanya balik Lely sambil berusaha mengingat sisa saldo rekening milik Ria.
"Oh, dikit ternyata," ucap Ria tenang.
"Dikit jodoh lo ustad! Banyak ogep!"
"Ck, coba stop omongan jodoh lo itu ntar beneran jodoh gue ustad gimana!" seru Ria tak suka.
"Bagus dong jodoh lo ustad! Biar lo nggak sinting lagi," balas Lely santai.
"Gue doain jodoh lo--"
"Ssst, nggak boleh gitu gue baik banget dah pinjemin lo seratus juta minggu lalu, kapan dibayar?" tanya Lely dengan menempelkan jari telunjuknya di bibir mungil Ria. Yang ditagih hanya menyengir dengan merasa tak enak.
"Besok gue transfer ke rekening lo, hari ini gue minta ke papi gue," jelas Ria.
"Hari ini lo jajan dua ratus juta, bukannya bayar utang dulu malah beli baju-baju kurang bahan," ledek Lely, Ria melirik ke arah Lely.
"Ya ampun, Lel. Waktu itu gue pake baju yang sama ke club semua orang menyadari itu! Malu dong gue, yaudah beli lagi aja sekalian banyak buat nyetok," jelas Ria sambil memainkan ponselnya.
"Nyetok apa, lo kira ayam nyetok!"
"Matok itu Lely Prasmana!" seru Ria kesal.
"Heh! Amit-amit gue sama si Prasmana," sentak Lely.
"Nggak papa atuh, kan tajir dia," ucap Ria santai.
"Tajir apa, hutang ke si Jaxon aja nggak dibayar-bayar," ucap Lely.
"Serius? Yang satu miliar itu?"
"Iya Nyet,"
"Parah si jodoh lo," ucap Ria sambil membayangkan betapa bodohnya orang yang mereka obrolkan itu.
"Sumpah Ya, gue sholat terus doain lo dapet jodoh ustad!"
"Kapan lo sholat?" tanya Ria tak menyangka.
"Subuh nanti balik club gue sholat," jawab Lely dengan yakin.
"Emang bakal dikabul doa lo abis mabok terus sholat?" tanya Ria kembali.
"Weh meragukan tuhan! Lihat nanti kuasanya," ucap Lely membuat Ria sedikit ketakutan namun tetap tak yakin bahwa doa Lely itu akan dikabul.
"Iya dah, serah lo aja," ucap Ria melanjutkan bermain ponselnya.
Mereka pun terdiam dan saling menikmati pijitan yang mereka rasakan.
Di jam sekolah ini, mereka menghabiskan waktunya di luar sekolah, ya lebih tepatnya mereka bolos sekolah.
.
.
"Albitaz Muhammad!"
Yang memiliki namapun menoleh dan mengerutkan alisnya tanda kebingungan.
"Mau ke kantin nggak! Ngapalin mulu, di rumah aja atuh," ucap Yoga.
"Iya Bi. Ini kan bukan pesantren lagi," sambung Aldi.
Albi yang merasa omongan teman-temannya itu benarpun menutup kitab sucinya dan menyimpannya dengan rapi.
Albi masih menyimpan kebiasaan selama sembilan tahunnya itu. Padahal kini dia sudah tidak hidup di pesantren lagi jadi sudah tidak diwajibkan untuk selalu menghafalkan ayat suci.
Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri ketiga temannya itu lalu berjalan bersama menuju kantin sekolah.
"Eh, gue denger nanti bakal ada perfome anak dance buat kepala sekolah baru kita!" seru Yoga yang membuat senyuman Aldi mengembang.
"Masa?" tanya Aldi memastikan.
"Iya woy! Ada Ria sama si Sania!" seru Yoga kembali.
"Ah lo mah sama yang bohay langsung melek," ledek Vian menoyor kepala Aldi.
"Aaa, neng Sania," ucap Aldi sambil berbunga-bunga.
"Kenapa nggak sama si Ria aja, Di?" tanya Yoga. Aldi melirik sinis ke arah Yoga.
"Galak banget cewek itu! Gue waktu itu kan pernah ngajak dia pulang bareng malah dikatain mau nyulik dia, mana sambil teriak lagi, kampret kan," jelas Aldi yang mengundang tawa semua teman-temannya.
"Lo terlalu naif ngedeketinnya, cepet-cepet banget si," ucap Vian.
"Kan biar nggak kepepet sama orang," jawab Aldi.
"Eh tapi gue lupa Ria tuh yang mana, soalnya di club juga gue sering liat yang namanya Ria, tapi masa Ria mantan gebetan lo yang ke club," jelas Vian.
"Ha, masa ngeclub?" tanya Yoga.
"Kan gue juga nanya," balas Vian.
"Ntar dah kalo ketemu gue kasih liat," ucap Aldi, Vian pun mengangguk.
"Bi, kenapa si tiap kita ngomongin cewek lo nggak ikutan nimbrung?" tanya Yoga yang langsung mendapankan pukulan kecil dari Vian dan Aldi.
"Pertanyaan lo nggak berkualitas," ledek Vian.
"Udah tau bapak ustad, masih nanyain juga!" sambung Aldi.
Albi yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya melihat teman-temannya ini sangat jauh berbeda sikapnya dengan dirinya.
Jika teman-temannya ini suka bermain bersama wanita, Albi hanya bermain bersama kaum lelaki.
Bukan karena apa-apa, tapi Albi juga paling anti sekali berdekatan dengan yang bukan muhrinya. Selain tak suka itu juga memunculkan dosa untuknya.
"Eh mau pesen apa? Gue pesenin Vian bayarin," ucap Aldi.
"Yang ada lo yang pesenin lo yang bayarin!" seru Vian.
"Kan lo yang tajir," elak Aldi.
"Bayar sendiri-sendiri ribet amat," tegas Albi membuat semua terdiam.
"Duh, si Albi sekalinya ngomong dah kayak pisau baru beli," sindir Yoga, namun Albi tak menghiraukannya.
"Udah semua samain aja nasi goreng, belum pada sarapan juga kan?" tanya Vian memastikan.
"Gue jus buah aja, udah sarapan di rumah," jawab Albi.
"Yaudah, sana pesen Di," titah Vian, Aldi memutarkan matanya malas. Ia pun pergi untuk memesan makanan teman-temannya.
"Eh Yan, lo sama Anggun masih?" tanya Yoga.
"Masih dong!" seru Vian.
"Udah sering nyakitin juga masih diterima?" tanya Albi.
"Jangan gitu dong Bi, ntar lo punya cewek juga ngerti posisi gue, serba salah tau nggak," keluh Vian.
"Tapi buat ukuran si Anggun tu nggak cocok sama lo Yan," ledek Yoga yang mendapat ancaman dari Vian. Yoga langsung mengangkat kedua jari tangannya sambil tersenyum kekeh.
"Emang si menurut gue juga," sambung Albi, Vian mengusap-usap dadanya.
"Terus gue harus sama yang nakal lagi gitu? Kan kagak. Kalau gue sama cewek yang nggak bener lagi makin nggak bener gue," jelas Vian.
"Lah, sama si Anggun lo nggak ada perubahan tuh, masih sering ngeclub juga," nyinyir Yoga.
"Gue masih ke club cuman ngobrol-ngobrol aja, gue udah nggak minum lagi," jelas Vian yang ditanggapi anggukan oleh Yoga.
Albi yang menangkap pembicaraan Vian tadi sedikit berpikir. Jika Vian mendapat wanita baik dan suci, apa mungkin dia akan?
"Woy!" teriak Aldi yang mengejutkan satu komplek.
"Biasa aja!" sentak Yoga.
"Maaf Bep, nih pesenan udah dateng," ucap Aldi memberikan pesanan setiap temannya.
"Beneran lo nggak mau makan, Bi?" tanya Vian kembali.
"Nggak Yan, gue udah makan," jelas Albi yang dibalas anggukan oleh Vian.
Mereka pun menyantap makanan mereka sambil sesekali bercerita-cerita.
.
.
Malam sudah datang. Dan sudah waktunya bagi Ria dan Lely untuk pergi bersama ke club, melepas semua penat dan masalah yang menghadang.
Ria telah mengganti bajunya dengan baju yang baru saja ia beli tadi siang. Ia juga mengoleskan makeup sesimple mungkin agar dirinya juga tak terlihat menor.
Lely yang juga sudah siap dengan penampilannya mengajak Ria untuk turun dari mobil dan masuk ke club.
Ria mengangguk lalu turun bersama dari mobil.
"Gue nggak menorkan, Lel?" tanya Ria.
"Nggak Ya, lo cantik," jawab Lely. Ria mengangguk dan lebih percaya diri.
Mereka pun masuk kedalam club yang langsung disambut dengan musik yang begitu kencang dan menggelegar.
Tak lupa dengan aroma alkohol yang menyengat membuat mereka langsung menghampirinya.
"Gue goda om-om ah buat bayar minumnya," ucap Lely.
"Ih nggak modal banget minta ke om-om!" ledek Ria.
Yah, walaupun mereka suka ke club dan menggunakan baju seksi, hanya Ria yang tubuhnya tak suka ia pegang oleh orang lain. Karena dari kecil sang ayah selalu berpesan untuk menjaga tubuhnya agar tidak dirusak oleh siapapun kecuali suaminya nanti.
"Abisnya lo nggak bayar hutang," balas Lely.
"Yaudah minum kali ini gue bayarin, sekalian bayar hutang," jelas Ria.
"Bukan bayarin itu duit gue artinya bayar sendiri gue!" seru Lely, Ria menyengir.
"Iyaudah sama aja. Pesen sana," titah Ria, Lely pun memesan minuman kesukaan mereka.
"Kali ini mabuk ah," ucap Ria yang tak terdengar oleh Lely, sengaja.
Mereka meneguk minuman mereka sambil sesekali berbincang ataupun melirik ke arah dance floor melihat banyak pria tampan disana.
Namun tatapan mereka berhenti ketika melihat seseorang yang terasa familiar dipenglihatan mereka.
"Itu Vian bukan sih? Temen si Aldi yang pernah ngedeketin lo?" tanya Lely memastikan.
"Pacarnya si Anggun?" tanya Ria balik.
"Iya!"
"Wah, kok pacar ustazah disini," ucap Ria sambil menutup mulutnya, Lely pun ikut terkekeh.
"Ceweknya so soan dakwah sana sini, eh cowoknya nari-nari disini," ucap Lely yang mengundang tawa Ria.
"Haduh, bukannya urusin cowok sendiri malah urusin hidup orang lain. Dasar cewek so alim," ledek Ria sambil meneguk kembali minumannya sampai habis dan meminta kembali untuk di isi.
"Lo mau mabuk?" tanya Lely yang sendiri tadi memperhatikan wanita itu sudah banyak minum.
"Kenapa?" tanya balik Ria.
"Nggak boleh, Ya! Besok masih sekolah lo harus masuk! Pelajaran bu 'Ia," seru Lely, Ria memutar matanya malas.
"Halah 'Ia doang cetek!" seru Ria sembil menggambarkannya dengan jari seolah-olah dia menyentil orang.
"Hih, gue nggak tanggung jawab ya kalau lo dimarahin nanti," ucap Lely.
"Iyaudah nggak bakal dimarahin juga, Lely," balas Ria.
"Nggak bakal tau lo, kemaren aja lo pernah dimarahin sama dia," jelas Lely.
"Kapan?"
"Ya ampun, udah deh jangan minum lagi makin bego tau lo," tegas Lely mengambil gelas Ria.
"Ck! Sekali doang jarang mabok kan gue," ketus Ria.
"Jarang? Tiap hari woy!"
"Udah lah, sekali ini doang kan besok-besok gue nggak bakal minum banyak lagi," pinta Ria dengan memohon. Lely sedikit tersentuh dengan pintaan temannya itu.
"Plis, besok gue bayarin lo jajan di kantin deh sepuasnya!" seru Ria, mata Lely langsung berbinar.
"Awas lo besok mabok lagi," ancam Lely.
"Iyaaa, nggak bakal,"
Ria pun merebut gelasnya dan meneguk minumannya kembali.
Lely hanya bisa menggelengkan kepalanya tak percaya dengan aksi nekat temannya tersebut. Untung ada dirinya, jadi tidak akan ada yang bisa macam-macam kepada Ria.
"Ria?"
Lely langsung menoleh begitu ada yang memanggil temannya.
"Kamu mabuk?"
Lely membelakkan matanya begitu mengetahui orang tersebut.
"Ria!"
"Apasi, kenapa kak?" tanya Ria dengan enteng karena pengaruh mabuk.
Tanpa babibu, Reo menggendong adiknya ala brandal style dan membawanya keluar dari sana.
Lely yang khawatir langsung mambawa tas Ria yang tertinggal dan mengejar Reo.
"Kak Reo!"
Reo tak mengubis sahutan sahabat dekat Ria itu. Dia tetap berjalan sambil membawa sang adik untuk pergi dari tempat itu.
"Kak Reo, Ria--"
"Pulang kamu! Anak gadis malem-malem bukannya diem di rumah malah keluyuran diclub! Nggak punya harga diri!" sentak Reo yang membuat Lely terdiam.
Reo melanjutkan perjalanannya dan membawa Ria masuk kedalam mobilnya.
.
.
"Ayah!" teriak Reo begitu masuk ke dalam rumah.
"Kenap--Ria?"
Putra--ayah Ria-- terkejut melihat putrinya dibawa pulang dengan keadaan mabuk.
"Kenapa dia Reo?" tanya Putra.
"Ayah tahu sendirikan dia kenapa? Ini hasil dari manjaan ayah selama tujuh belas tahun dia hidup!" seru Reo yang muak dengan sikap ayahnya kepada Ria.
"Gimana kamu bisa nemuin dia?" tanya Putra kembali.
"Aku simpan gips di mobil dia," jawab Reo.
"Serira, bawa Ria ke kamarnya terus kunci," titah Putra.
Serira membawa adik iparnya dengan sedikit kesusahan namun tetap berusaha hingga akhirnya ia berhasil membawa Ria ke kamarnya.
"Ayah harus rubah sikap ayah biar dia nggak makin-makin. Kalau ayah masih manjain dia, tingkah dia bakal lebih parah dari ini," tegas Reo yang langsung meninggalkan ayahnya.
Putra memejamkan matanya. Ia menghembuskan nafasnya dengan gusar.
Ia juga tak mau memanjakan anak perempuannya itu. Namun pinta almarhumah sang ibunya lah yang meminta untuk mengizinkan dan memberi apapun yang Ria mau.
Mungkin Putra juga salah. Dia memanjakan anaknya tanpa memberikan pelajaran mana yang seharusnya Ria hindari ataupun didekati.
Mungkin besok Putra akan menceramahi anaknya itu tentang kelakuan yang telah anaknya lakukan itu.
Ria membuka matanya dengan sangat berat. Cahaya yang masuk ke dalam matanya begitu menusuk. Kepala yang terasa amat berat membuat penglihatan Ria sedikit kabur.
Ia melihat ke sekeliling ruangan dan menyadari bahwa dirinya berada di kamarnya sendiri.
"Loh? Bukannya kemaren aku mabuk? Kok bisa di kamar?" tanya Ria kepada dirinya sendiri.
Ia pun melirik ke pakaiannya yang juga menggunakan pakaian tidur.
"Loh? Mimpi bukan sih?"
Tok tok tok
Ria menoleh ke arah pintu. "Masuk."
Pintu pun terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya yang tersenyum ke arahnya.
"Ayah," sambut Ria dengan senyuman hangat.
Putra masuk kedalam kamar Ria dan tak lupa menutup pintunya kembali.
Ia berjalan mendekati Ria lalu duduk didekat anaknya.
"Ria sudah mendingan?" tanya Putra, Ria mengerutkan dahinya.
"Kamu nggak ingat kemaren kamu mabuk?" tanya Putra kembali membuat badan Ria seketika mengeras.
Putra menghembuskan nafasnya dengan berat dan berusaha tersenyum diatas kekecewaannya.
Ia meraih tangan sang putri lalu mengelus-elusnya.
"Ayah kecewa sama apa yang udah kamu lakuin,"
Jeder.
Seperti ada petir disiang bolong. Hati Ria langsung terasa begitu sakit ketika mendengar sebuah kalimat yang sebelumnya sama sekali tak pernah dilontarkan oleh ayahnya itu.
Justru dulu ayahnya itu selalu berucap bangga pada dirinya, namun kini kalimat yang ia dengar adalah kebalikannya.
"Ayah.."
"Ayah salah mendidik kamu. Ayah melakukan semua ini karena ibu kamu pesan terakhir ibu kamu. Dia minta ayah buat selalu terima apa yang kamu lakuin, tapi ayah juga salah terlalu membebaskan kamu sampai kamu salah melangkah," jelas Putra membuat dada Ria makin terasa sesak.
"Ayahhh,"
"Ayah minta maaf Ria, ayah tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk kamu. Ayah telah gagal menjadi ayah sekaligus ibu buat kamu. Ayah membuat kamu terjerumus kedalam pergaulan bebas,"
"Ayah, Ayah nggak salah!" teriak Ria yang langsung memeluk ayahnya sambil menangis keras.
"Ria yang salah Ayah, Ria bukan Ayah!" teriak Ria kembali menyesal atas semua yang telah ia lakukan.
Ia tak menyadari, ia pikir apa yang dia lakukan itu membuat ayahnya hanya kesal atau menyalahkan dirinya namun ternyata Ria salah. Ayahnya justru menyalahkan dirinya sendiri karena telah salah mendidik padahal sudah jelas bahwa Ria lah yang nakal.
"Ayah, Ria minta maaf udah buat ayah kecewa. Ria minta maaf," rintih Ria sambil menangis terisak-isak.
Putra yang mendengar itu ikut menangis dan mengeluk punggung putrinya dengan lembut.
"Ria udah buat ayah merasa bersalah padahal semua ini salah Ria, Ria minta maaf,"
Putra melepaskan pelukannya lalu memegang wajah sang putri.
"Kamu nggak perlu minta maaf lagi sayang, ayah selalu memaafkan kamu. Tapi sekarang ayah minta kamu buat nggak ngelakuin itu lagi. Ayah minta kamu buat berubah biar ayah nggak kecewa lagi sama kamu," pinta Putra yang langsung mendapat anggukan dari Ria.
"Ria janji Ayah, Ria nggak bakal ngulang kesalahan yang buat Ayah kecewa lagi," jawab Ria yang membuat Putra merasa lega.
"Syukur kamu mau berubah. Ayah yakin kamu bisa merubah sikap dan pergaulan kamu. Mulai sekarang ayah hanya kasih kamu uang dua juta untuk satu bulan," jelas Putra yang langsung mendapat pelototan dari anaknya.
"Ayah bercanda ya? Ayah kan selalu ngasih satu miliar buat Ria!" seru Ria tak terima.
"Itu hukuman buat kamu. Kamu tinggal memilih, uang jajan dua juta sebulan atau diam di pesantren?" tawar Putra yang keduanya sama sekali tidak Ria inginkan.
"Ayah, jangan dua juta, terlalu dikit," tawar Ria.
"Itu sudah banyak kalau kamu lebih pintar mengatur uang. Ayah mau ke kantor ya," pamit Putra yang langsung bangkit dari duduknya.
"Ayah harap kamu terima hukuman kamu dan berubah sebelum ayah kasih hukuman yang benar-benar sulit untuk kamu jalani," tegas Putra yang langsung pergi dari kamar Ria.
Ria mendengus kesal dan langsung mengacak-acak rambutnya frustasi. Bagaimana bisa dia diberi jajan hanya dua juta dalam satu bulan? Sedangkan keperluan dia satu haripun bisa lebih dari dua juta.
"Ck! Kenapa ini semua terjadi sih!"
.
.
"Alhamdulillah, tinggal lancarin aja," ucap Albi begitu dirinya sudah hafal semua ayah al-baqarah.
"Albi, udah selesai hafalannya? Ayo makan," ajak sang bunda dari daun pintu.
"Iya Ma," jawab Albi yang langsung menghampiri ibunya setelah menyimpan kitab sucinya.
"Kamu sudah hafal semuanya, Albi?" tanya Camila--ibu Albi--.
"Udah Ma, tinggal dilancarin aja," jawab Albi.
"Alhamdulillah, pinter anak mama," ucap Camila sambil mengecup kepala sang putra.
"Udah gede Ma, nggak usah dicium lagi dia," ucap Ririn.
"Sirik aja," ledek Albi, Ririn memutar matanya malas.
"Udah mau jadi ibu, masih suka jailin adiknya," seru Camila, Ririn menyengir kuda.
"Ayo pada makan, papa udah laper," ajak Muhtaz yang diikuti oleh semua anggota keluarga.
Semua keluarga menyantap makanannya dengan tenang tanpa bicara.
Mereka tak suka bila sedang makan harus berbincang-bincang, makanya mereka lebih memilih untuk makan terlebih dahulu baru berbincang-bincang.
Setelah beberapa menit berlalu, semua keluarga pun telah selesai melaksanakan makan malam. Albi dengan ayah dan kakak iparnya duduk bersama di ruang tv.
"Albi, di sekolah kamu berteman dengan orang yang baik kan?" tanya Muhtaz, Albi langsung berpikir.
Apakah dia akan bilang bahwa teman-temannya itu baik?
Yang satu adalah seorang kuncen club. Yang dua buaya pemain wanita bohay. Tidak tampak bahwa mereka adalah orang baik.
Namun Albi langsung teringat, walau teman-temannya semua itu nakal, mereka tidak pernah sekalipun mengajak Albi untuk mengikuti kenakalan mereka. Justru mereka yang ikut kepada pergaulan Albi ketika Albi mengajak mereka untuk sholat berjamaah dzuhur dan ashar di sekolah.
"Baik, Pah." Jawab Albi.
"Syukur kalau gitu,"
"Albi nggak punya cewek tu?" tanya Harry.
"Nggak Kak," jawab Albi langsung.
"Beneran?" tanya ayahnya membuat Albi merasa dipojoki.
"Beneran Pa, Kak. Albi nggak deket sama cewek mana pun," tegas Albi.
"Tapi kamu punya seseorang yang namanya selalu kamu sebut dalam doa kan?" tanya Harry mulai menggoda adik iparnya karena pernah tak sengaja menggrebek sewaktu adiknya itu sedang berdoa.
Albi langsung dibuat salah tingkah dan memalingkan pandangannya menuju televisi.
"Kenapa ini, kok pada ketawa?" tanya Camila yang baru saja ikut bergabung setelah membersihkan meja makan dan piring kotor bersama anak perempuannya.
"Harry pernah denger Albi lagi doain seseorang Ma," jelas Harry.
"Wah, siapa itu? Anak mama lagi jatuh cinta ternyata," goda Camila yang ikut senang mendengarnya.
"Ciah! Mukanya merah," sambung Ririn yang membuat Albi kesal dan hendak melemparkan bantal ke arahnya.
"Heh! Jangan dilempar, kakak kamu lagi hamil!" tegas Camila. Ririn pun menjulurkan lidahnya, sedangkan Albi memutar matanya malas.
"Ingat ya Albi, walau kamu sedang jatuh cinta kamu tetap tidak boleh terjerumus kedalam itu. Kamu tidak boleh berpacaran, kalau mau langsung nikah saja," jelas Muhtaz.
"Iya Pa, Albi nggak bakal pacaran," jawab Albi. Semua tersenyum senang.
"Kapan kamu ke Belandanya Rin? Apa mertua kamu yang bakal ke sini?" tanya Camila.
"Iya Ma, jadinya mertua aku yang ke sini. Aku kan mau ngelahirin disamping mama," ucap Ririn.
"Kan bisa mama yang kesana," ucap Muhtaz.
"Nggak boleh, mama nggak boleh kemana-mana," tolak Albi.
"Ih, suami mama aja izinin kamu anaknya doang ngelarang," ketus Ririn.
"Biarin!"
"Aduh, kalian ini udah besar masih aja suka berantem. Albi, sana masuk ke kamar siap-siap berangkat sekolah!" titah Camila yang membuat Albi cemberut.
"Puas di usir!" ledek Ririn memanaskan suasana.
Albi hendak menghampiri kakaknya dan mengacak-acak rambut wanita itu. Namun aksinya tertahan demi sang janin yang tak memiliki dosa.
Albipun pergi meninggalkan keluarganya dan memasuki kamarnya.
.
.
Ria berlari sepanjang jalan trotoar. Dirinya bersumpah dalam hati semoga ojek online yang ia pesan tadi tidak laku seumur hidupnya! Masa iya seorang Ria yang baru saja ingin memulai hidup hemat tanpa lengkapnya fasilitas sang ayah harus diturunkan di seperempat jalan akibat ojeknya itu mendapatkan kabar bahwa istrinya lahiran! Sunggung mengejamkan.
Ria melihat bahwa gerbang sekolahnya telah tertutup rapat. Ia menggoyang-goyangkan pagarnya dengan harap agar dirinya bisa diizinkan masuk.
"Kalau mau masuk izin saja kepada guru piket," jelas satpam yang menjaga gerbang sekolah Ria.
"Gimana saya bilangnya Pak, guru saya kan ada di dalem, kalau saya di luar gimana kasih tahunya!" seru Ria.
"Ada apa disana!" teriak seorang wanita membuat Ria melotot.
Bu 'Ia kenapa engkau datang. Ucap batin Ria.
"Ini Bu, ada siswi yang telat datang dan memaksa untuk masuk," jelas Satpam sekolah.
"Masukan saja dan suruh dia berlari bersama siswa yang telat tadi dua puluh putaran," tegas bu Ia yang langsung pergi dari sana.
"Dua puluh putaran? Bengek saya Bu!" seru Ria.
"Heh, udah turutin saja. Daripada kamu nggak masuk sekolah!" seru satpam itu.
"Mending nggak sekolah aja tau gitu,"
Ria memasuki sekolahnya dan berjalan menuju lapang outdor untuk melakukan hukumannya.
Dilihat ada seorang lelaki yang juga sedang berlari sendiri dibawah teriknya matahari.
Ketika lelaki itu melewati Ria, Ria langsung menghentikannya.
"Woy! Lo udah berapa putara?" tanya Ria.
"Sepuluh," jawab Albi yang hendak melanjutkan hukumannya.
"Eh bentar, bareng dong lo temenin gue sepuluh lagi, plis," pinta Ria yang ditolak mentah-mentah oleh Albi.
"Siapa lo minta-minta," ketus Albi.
"Plis banget ya temenin gue, atau lima aja deh lima," pinta Ria kembali dengan wajah yang membuat Albi kasihan melihatnya.
"Terserah," balas Albi yang langsung berlari kembali.
Ria tersenyun senang mendengar balasan Albi. Ia pun ikut berlari di belakang Albi agar tak terlalu malu jika terlihat oleh siswa yang melewat.
Beberapa menit berlalu, namun Ria baru saja menyelesaikan lima putara. Bajunya sudah dibasahi oleh keringat yang keluar dari dalam tubuhnya. Panas terik matahari membuat dirinya semakin cepat berkeringat.
"Woy istirahat dulu dong," pinta Ria kepada Albi yang masih berlari.
"Lo kira ini lari pelajaran olahraga? Ini hukuman nggak ada istirahatnya!" seru Albi.
Ria yang mendengar jawaban Albi itu sedikit terkejut karena baru kali ini ia mendapati lelaki yang begitu ketus kepada dirinya.
Tak mau memikirkan hal itu dulu, ia melanjutkan hukumannya dengan berberat hati.
Tak terasa begitu cepat, kini Ria telah menyelesaikan lima belas putaran yang ditemani oleh Albi.
Sedangkan Albi yang merasa sudah cukup, em bukan hanya cukup malah lebih, itu beristirahat di bawah pohon besar yang ada dipinggir lapang.
Ria yang kelelahan mendekati Albi namun langsung diberi seruan dari lelaki itu.
"Lo masih ada lima putaran," ucap Albi.
"Bodo amat ah, capek," jawab Ria.
"Gue aduin juga ke bu 'Ia," ancam Albi yang mendapat tatapan tajam dari Ria.
"Apa? Itu hukuman lo, jalanin," nyinyir Albi membuat Ria kesal padanya.
Dengan hati terpaksa, gadis itu melanjutkan hukumannya dengan sempoyongan.
"Haduh kenapa dia harus dihukum bareng gue sih. Kan bisa tuh dia dihukum beresin gudang gitu atau cuci toilet cewek yang bau. Jadinya gue nggak bisa bolos hukuman kalo ada dia," ketus Ria kepada dirinya sendiri.
Ia melirik kepada Albi yang kini sedang memperhatikannya juga.
"Siapa sih dia, minta gue goreng aja,"
Sudah sepuluh menit berlalu, Ria pun selesai dengan hukumannya dan langsung terduduk begitu dirinya telah sampai dibawah pohon.
"Gila kulit gue udah jadi sawo mateng,"
Albi yang mendengar keluhan Ria itu langsung melirik ke arahnya. Namun, pandangan yang tak ingin dia lihat itu terlihat, dengan cepat Albi memalingkan pandangannya.
Ria melirik kesebelahnya dan melihat ada air minum di tangan Albi.
"Minta minum dong!" seru Ria yang sudah tepar.
"Bekas mulut gue," jawab Albi.
"Ya terus kenapa?" tanya Ria membuat Albi membelakkan matanya yang tak terlihat oleh Ria.
"Cepet ih keburu mati gue!" seru Ria yang sudah tak tahan.
Mau tak mau, Albi memberikan botol minumnya kepada Ria tanpa melirik ke arahnya.
Ria yang melihatnya keheranan.
"Kenapa lo nggak mau liat gue? Jelek ya karena kulit gue lagi jadi sawo mateng?" tanya Ria.
"Aneh," jawab Albi.
"Serius ih! Gue jelek banget ya?" tanya Ria yang takut dirinya dibully karena kulitnya tiba-tiba berubah.
"Coba liat baju lo," titah Albi, Ria langsung melirik ke baju seragamnya yang sudah sangat basah dan.
Ria menenggak kembali dan melirik ke arah Albi.
Sebuah ide pun terbesit di dalam otak Ria.
Dia mendekati Albi dengan perlahan yang terasa oleh lelaki itu dengan refleks Albi pun ikut menjauh.
Namun kali ini ketika Ria mendekat, ia langsung memegang tangan Albi yang menyentuh tanah membuat Albi tak bisa bergerak.
Ria pun mendekati leher Albi membuat badan Albi terasa kaku.
Ria mendekatkan bibirnya pada kerah baju Albi dan bernafas disana.
Albi langsung bangkit dari duduknya dan berlari menjauh untuk menjauhi godaan saiton itu.
Sedangkan Ria? Tertawa mepihat reaksi lelaki polos yang sendari tadi meledeknya itu.
Ria datang ke kelasnya dengan menggunakan swater crop yang ia bawa dari rumah untuk latihan dance. Tapi karena bajunya tidak layak pakai ia pun terpaksa menggantinya.
Lely bersama teman-temannya yang lain langsung heboh begitu Ria datamg dengan keadaan yang sulit dijelaskan.
Mereka langsung mempersilahkan Ria duduk dan mulai bertanya alasan dia datang terlambat dan keadaannya yang basah kuyup.
"Gue dihukum sama bokap gue," jelas Ria yang singkat padat.
"Dihukum gimana Ya?" tanya Lely.
Ria melirik ke arah Lely.
"Jajan gue dipotong drastis dan gue sama sekali nggak dikasih pinjem fasilitas lagi sama ayah,"
Lely langsung melebarkan mulutnya terkejut dengan pernyataan yang baru saja terlontarkan dari sahabatnya itu.
"Berarti sekarang lo berangkat dan pulang naik apa?" tanya Rangga yang diangguki temannya yang lain.
"Tadi gue berangkat naik ojek online, eh malah diturunin depan perempatan, jadinya telat gue," keluh Ria dengan lelah.
"Uuuuu sahabat aku kelelahan. Tunggu disini kalau gitu ya, gue sama Rey bakalan balik bawa minum dan makanan buat lo, dijamin nyegerin!" seru Lely yang mendapat anggukan dari Ria.
"Makasi Lel,"
"Cepet!" seru Lely kepada Rey.
"Lo mah, bilang aja mau di jajanin!" ketus Rey, Lely tersenyum malu.
"Dih tau aja,"
Rey memutar matanya malas lalu berjalan terlebih dahulu.
"Eh, tadi gue liat lo larinya sama si Albi ya?" tanya Jaxon.
"Lo kenal?" tanya Ria.
"Iya lah, satu komplek dia sama gue. Tiap pulang sekolah kadang ketemu sama dia terus saling sapa juga," jelas Jaxon yang hanya diangguki oleh Ria.
"Dia orangnya anti banget sama cewek, kok lo deket-deket dia, dianya gak risih?" tanya Rangga.
"Iya ya," sambung Jaxon.
"Emang sefamous itu dia di sekolah?" tanya Ria balik yang mengundang keheranan Rangga dan Jaxon.
"Dia itu di idamkan oleh semua ukhtie. Bukan cuman ukhtie, cabe-cabe juga suka sama dia!" seru Rangga yang disetujui oleh Jaxon.
"Ah nggak juga. Buktinya gue nggak tertarik," balas Ria yang tak mau membenarkan omongan kedua sahabatnya itu.
"Ntar coba lo deketin tu anak, bakalan ada aura kepengen tahuan lo. Gue aja yang cowok penasaran dia orangnya gimana, kok bisa jaga jarak banget sama cewek," jelas Jaxon.
"Pesantren bro, sembilan tahun!" seru Rangga.
"Lo baru satu hari aja dah rengek mau pulang kan Jaxon?" sambung Rangga kembali yang langsung mendapatkan pukulan dari Jaxon.
"Eh daripada ngomong gak penting mending pijitin kaki gue pegel banget sumpah gue lari dua puluh keliling!" seru Ria.
"Baik nyonya Yagsa," ucap Jaxon dan Rangga secara bersama. Mereka pun mulai memijiti kaki Ria.
Sedangkan dilain tempat, Albi sedang dikipasi oleh teman-temannya yang kasihan melihat Albi dengan wajah merah dan tubuh penuh keringat itu.
"Kejam banget bu 'Ia ngasi hukuman kayak ngasih thr, banyak banget!" seru Aldi.
"Udah biasa si Albi mah lari gini ya kan Bi?" tanya Yoga.
"Kok biasa mukanya merah gitu nggak masuk akal ah!" seru Aldi kembali.
"Iya Bi, kenapa muka lo merah dari tadi?" tanya Vian.
Albi bergeleng untuk menjawab pertanyaannya.
"Lo kenapa si, kayaknya dari lo dateng sampe udah sepuluh menit kita kipasin lo diem doang?" tanya Aldi, Albi melirik.
"Kalian pernah dirangsang cewek?" tanya Albi tiba-tiba membuat semua temannya melotot dan melirik kepada Albi.
"Kenapa?" tanya Albi heran.
"Lo kenapa Bi?"
"Ini Albi bukan?"
"Lo abis di--"
"Ck, jawab aja susah banget," tegas Albi.
"Ya kali orang kayak mereka nggak pernah," ucap Vian dengan sedikit sindiran halus.
"Halus banget sindirannya," ucap Yoga.
"Itu gimana ngilanginnya?" tanya Albi meminta bantuan.
"Lo kenapa Bi, cerita-cerita," ucap Aldi mendekati Albi.
"Jijik woy!"
"Gue tanya aja," jawab Albi tak mau memberitahu yang sebenarnya.
"Emang sulit sih, tapi kalau lo gerakin juga udah lepas lagi," jawab Vian. Albi pun mengangguk.
"Temenin gue ke kantin, laper," ajak Albi.
"Lah, tumben lo laper," ucap Aldi.
"Kan udah lari jadi laper gue," jelas Albi.
"Yaudah yuk gue juga laper," balas Yoga yang langsung merangkul Albi untuk berjalan bersama.
Mereka pun pergi bersama menuju kantin.
.
.
"Eh Ya, itu bukannya adik kelas yang pernah numpahin air campuran di baju lo sampe baunya nggak ilang tujuh turunan?" tanya Lely memastikan dengan menunjuk orang yang ia maksud.
Ria yang baru saja datang ke kantin karena jenuh di kelas langsung melirik kearah Lely menunjuk.
"Eh iya njir. Bales yuk," ajak Ria, Lely mengangguk semangat.
"Ambil dulu airnya," ucap Lely.
"Dimana emang?" tanya Ria.
"Sini ikut gue," Lely pun pergi keluar kantin dan pergi menuju suatu tempat.
"Lo beli ini semua Bi? Lo belom makan satu bulan ya?" tanya Yoga.
"Dia belom makan dari TK," jawab Aldi asal.
"Ini semua buat kalian," jawab Albi yang tak dipercaya oleh teman-temannya.
"Lah loh kok lah loh,"
"Lah loh lah loh, makan aja cepet!" seru Albi yang langsung dituruti oleh ketiga temannya itu.
"Eh iya, hari ini pulang telat kuy, liat anak dance latihan dulu," ajak Aldi.
"Mau gue dapet ceramah dari ibu negara gue?" tanya Vian.
"Ciah, so soan bakal nurut aja lo, emang di club ada yang pake gamis sampe lo nggak mau liat lagi?" tanya Yoga meledek. Vian memutar matanya malas.
"Yaudah nggak mau gue berdua aja sama Yoga," ucap Aldi.
"Iya lo berdua aja, gue sama Albi balik," jelas Vian.
"Lo nggak sama cewek lo?" tanya Albi.
"Gue nebeng lah ke lo, motor gue di bengkel sekarang," pinta Vian yang langsung diangguki oleh Albi.
"Bukannya lo bawa mobil?" tanya Yoga dengan polos, Vian langsung menginjak kaki Yoga membuat pria itu meringis.
"Iya kan mobil sama motornya masuk rumah sakit ogep!" seru Aldi bantu menjawab.
Albi yang tak menyadari akting temannya itu hanya diam sambil mengaduk jus buah yang ia pesan.
Vian merongoh sakunya mencoba mencari barang yang dari tadi ia cari namun ternyata benda itu tak ada di dalam sakunya.
"Eh Bi, anter gue ke kelas ngambil hp ketinggalan," ajak Vian, Albi mengangguk lalu bangkit dari duduknya yang di ikuti oleh Vian.
Mereka berjalan dengan penuh kesabaran karena posisi kantin yang benar-benar ramai membuat mereka sedikit susah keluar.
"Misi-misi," ucap Ria kepada orang yang menghalangi jalannya.
"Misi ada air panas!" seru Lely membuat Ria menahan tawa.
"Trobos Bi!" seru Vian mendorong Albi membuat Albi terhuyung dan menabrak seseorang.
"Aaaw,"
"Eh, sorry," ucap Albi.
Ria menegakkan kepalanya.
"Ck, bisa pelan-pelan nggak si kalau jalan. Tau kantin lagi penuh malah nyeruduk aja tiba-tiba. Liat baju gue jadi basah!" seru Ria kepada Albi.
"Nggak sengaja,"
"Nggak sengaja nggak sengaja, tanggung jawab!" seru Ria membuat Albi memutar matanya malas.
Lebih baik ia menjauhi wanita sejenis Ria agar dirinya juga dijauhkan dari wanita seperti Ria.
Albi pergi meninggalkan Ria namun langsung ditahan oleh gadis itu dengan memegang lengannya.
Vian yang melihat aksi itu terkejut melihat Albi yang disentuh oleh wanita yang sama sekali bukan muhrimnya.
"Tanggung jawab!"
Albi menghembuskan nafasnya kasar lalu mencengkram tangan Ria sangat kuat membuat wanita itu meringis.
Albi langsung menarik Ria keluar dari kantin dan membawanya ke depan toilet wanita.
Ia melepas hoodie yang sendari tadi ia pakai itu dan melemparnya ke wajah Ria.
Tanpa babibu, Albi pergi meninggalkan Ria menuju kelasnya.
"Kalau nggak ikhlas nggak usah!" teriak Ria yang mulai kesal.
Ia pun masuk ke dalam toilet dan mengganti bajunya.
.
.
Bel pulang sekolah berbunyi.
Seperti yang dibicarakan di kantin tadi, Aldi bersama Yoga akan pulang lebih lambat untuk melihat anggota eskul dance yang akan latihan untuk acara penyambutan kepala sekolah baru. Dan Albi bersama Vian akan pulang bersama menggunakan mobil Albi.
"Mobil lo kenapa bisa masuk bengkel?" tanya Albi.
"Biasa lah, dipake adek gue nggak bakal ada yang bagus," jawab Vian yang langsung dimengerti oleh Albi.
Dengan secara tiba-tiba, sebuah baju melayang tepat di wajah Albi. Dengan segera Albi mengambil baju itu.
"Cuci baju gue sampe bersih!" seru Ria dan pergi dari hadapan Albi. Albi hanya memutar matanya malas dan menyimpan baju Ria di jok belakang kursinya beserta tas gendongnya.
Albi memasuki mobilnya yang di ikutin oleh Vian.
Mobil Albi pun dilajukan dengan kecepatan rata-rata.
"Kok kalian keliat akrab?" tanya Vian.
"Akrab? Dimana akrabnya?" tanya Albi.
"Ya akrab aja gitu. Sekilas kalian juga mirip," ucap Vian. Albi langsung meliriknya dengan tatapan mengerikan.
"Becanda,"
Albi pun fokus kembali ke perjalanannya dan Vian memilih diam takut hal yang tak diinginkan terjadi.
.
.
"Hayu semuanya ke lapang, kali ini kita latihannya di lapang," ajak Ria kepada anggota yang lain.
"Pemanasan di luar juga Kak?" tanya salah satu adik kelasnya.
"Iya di luar, sambil lari," jawab Sania, patner dance Ria.
Semua anggota menurut lalu pergi keluar lapangan outdor yang tidak terlalu panas karena matahari telah teduh.
Mereka pun memulai pemanasan yang di pimpin oleh Sania dan Ria. Mereka melakukan peregangan dengan tertib dan tentunya dilihat oleh para siswa siswi yang sengaja ingin melihat latihan mereka.
Setelah melakukan berbagai peregangan dan berlari sedikit mereka pun memulai latihan.
Grup pertama yang akan latihan yaitu tim inti, berisi Ria, Sania, Dinda, Kesy dan Muti.
Mereka membawakan tarian dance cover blackpink ice cream.
Semua penonton heboh dengan penampilan mereka yang begitu mencolok.
Bukan hanya karena power dan kelihaian mereka dalam menari, namun parah dan juga body mereka yang sangat mendukung membuat dance yang mereka bawa sangat mirip dengan yang aslinya.
Sorak tepuk tangan riuh terdengar ketika mereka selesai membawakan dance blackpink itu.
Kini selanjutnya grup lain yang akan membawakan tarian tradisional.
"Aduh, cape," ucap Ria.
"Ini Ya, minum," tawar Sania yang membawa lima botol air minum untuk dirinya bersama yang lain.
"Makasih," jawab Ria yang langsung meneguk habis botol minum itu.
"Buset Ya, pelan-pelan kali," ucap Muti.
"Haus Bund,"
"Eh Ya, itu bukannya hoodie si Albi ya?" tanya Sania memastikan karena merasa familiar dengan hoodie yang Ria pakai.
"Kok tahu?" tanya Ria balik.
"Ih, siapa yang nggak tau. Hoodie kesayangan Albi itu," sambung Dinda.
"Heem, kok lo bisa pake?" tanya Sania curiga.
"Nggak ada, gue pinjem karena dia kotorin baju gue," jelas Ria.
"Masa?" tanya Kesy dengan sedikit menggoda.
"Ih emang beneran trus apa lagi?" tanya balik Ria.
"Yakin nggak ada apa-apa sama Albi?" tanya Dinda yang disertai penasaran begitupun teman-temannya.
"Ck, nggak ada lah apaan gue tertarik sama model begituan," ledek Ria acuh.
"Ih ngomongnya, gimana kalau kalian jodoh hayoloh!" seru Muty.
"Nggak! Kalian tu yah," tolak Ria kesal.
"Neng Sania, pulang sama aa Yoga yah!" seru Yoga yang tiba-tiba datang.
"Iya Ga iya, dari tahun monyet udah gue iyain masih aja nanya lo," ketus Sania.
"Iya atuh makasi neng Sania," ucap Yoga.
"Eh Ya, itu kan hoodie Albi," ucap Aldi sedikit panik.
"Emang kenapa?" tanya Ria yang mulai risih dengan semua pertanyaan orang-orang mengenai hoodie Albi.
Aldi menepuk kepala Yoga dan meminta bantuan untuk mengambil hoodie itu dari Ria.
"Ya, itu, pinjem hoodienya boleh nggak, kita tuh--"
"Nggak boleh! Gue nggak ada baju lagi!" seru Ria.
"Nih, gue bawa hoodie kok, lebih wangi dari yang si Albi," tawar Aldi dengan berharap lebih.
"Ck, kenapa si, gue kan udah pw pake ini ribet banget harus tuker-tuker. Udah nggak usah ah, gue mau pulang," ketus Ria yang langsung pergi dari sana karena sudah muak dengan semua pertanyaan orang yang tidak masuk akal.
"Duh Ga! Gimana dong!" seru Aldi.
"Lo sih, bukannya ke seragamnya malah ke hoodienya!" seru Yoga.
"Ya kan nggak tau bakal dipinjemin," bela Aldi.
"Terus gimana,"
"Kenapa sih?" tanya Sania yang penasaran.
Aldi dan Yoga pun saling menatap satu sama lain.
"Itu--kita, simpen--"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!