Sebelum masuk sekolah, Raisa bersama kedua sahabatnya, Nilam dan Maura, menyempatkan berbelanja kebutuhan bahan praktek di minimarket di depan sekolah.
Ketiganya terlihat sumringah melihat barang-barang di minimarket tersebut. Selain bahan-bahan praktek, mereka melihat-lihat barang lain yang dijual di minimarket tersebut. Berbelanja merupakan kebahagiaan kaum perempuan. Walaupun nyatanya barang yang dibeli tidak banyak, melihat barang-barang lainnya dianggap perlu untuk sekedar cuci mata.
Raisa, Maura, dan Nilam tertawa senang setelah melihat barang yang sedang trend di masyarakat.
"Hei, lihat deh! Ini bagus, ya?" ujar Raisa
"Eh, iya... Ini kan yang lagi trend itu! Lagi terkenal banget di kalangan anak muda," ucap Nilam
Gleggaaarr!~
Tiba-tiba saja awan yang mulanya cerah berubah menjadi gelap gulita... Cahaya kilat dan petir menyambar di mana-mana...
DEG!
"Loh, tiba-tiba gelap... Kayak mau hujan, banyak petir juga," kata Maura
"Iya, nih. Padahal lagi asik lihat-lihat. Harus udahan, deh! Bayar dulu, yuk! Habis itu kita buru-buru ke sekolah. Takut keburu hujan," ujar Nilam
Raisa tiba-tiba termenung diam, memegangi dadanya... Sedangkan Maura dan Nilam berjalan menuju kasir, Raisa hanya mematung di tempat.
"Sa... Raisa! Kok diam aja? Ayo, jangan bengong, dong, Say!" seru Maura
Raisa tersadar setelah mendengar seruan namanya.
"Ah, maaf. Tiba-tiba perasaanku ga enak. Badanku juga tiba-tiba aneh rasanya ... " kata Raisa
"Kamu kenapa, baik-baik aja, kan?" tanya Nilam, cemas
"Gak tahu, kenapa .... Tiba-tiba badanku rasanya aneh banget! Kepalaku pusing, dada rasanya berdebar-debar. Mungkin karena kaget denger petir tadi. Aduh .... Rasanya gak karuan banget. Kayaknya aku harus pulang. Hari ini aku lupa, gak bawa obat. Takut keburu kambuh .... Aku izin pulang gak apa, kan? Maaf banget, nih, nanti tolong izinin aku, ya. Aku gak bisa ikut praktek, maaf, ya," jelas Raisa
[Raisa memang memiliki riwayat penyakit yang tidak memperbolehkannya untuk merasa terkejut.]
"Ya udah, gak apa. Nanti kita izinin kok. Tapi, kamu gimana pulangnya? Mau kita anter?" ujar Maura bertanya.
"Gak usah, gapapa. Sebentar lagi bel sekolah. Aku pesen taxi online aja. Nih, aku pesen .... Langsung dapat kok. Kalian duluan aja ke sekolah, gak usah nemenin aku lagi nungguin taxi dateng. Aku gak apa ... " ucap Raisa
Raisa menunjukan ponselnya pada kedua temannya. Di layarnya tertera 'Mobil telah dipesan. Siap menjemput Anda'.
[Sekolah Raisa memang memperbolehkan muridnya membawa ponsel, juga kendaraan*. *Bagi yang sudah mempunyai SIM.]
"Iya, sebentar lagi masuk. Ya udah, aku sama Maura duluan ke sekolah, ya," ujar Nilam
"Kamu hati-hati. Kalo ada apa-apa, kalo udah sampe rumah, langsung kabarin, ya," kata Maura
"Iya, nanti aku kabarin," balas Raisa
Maura dan Nilam pergi membayar ke kasir. Kemudian berpisah dengan Raisa. Keduanya meninggalkan Raisa dan menuju sekolah.
"Aku berdebar-debar, gak biasa .... Perasaanku ga enak setelah langit tiba-tiba berubah gelap. Ini pasti pertanda! Sebelumnya aku sama sekali belum pernah merasa kayak gini. Setelah sebelumnya tanda-tanda itu terus datang .... Takdir itu ternyata udah ga bisa dielakkan," batin Raisa
Raisa pun membatalkan pesanan taxi online-nya. Karena memang itu hanya untuk mengelabuhi Maura dan Nilam. Dan ia pun segera pulang ....
"Maura, Nilam... Maafin aku udah bohong sama kalian," batin Raisa
[Memang selain rasa berdebar-debar yang merupakan pertanda, sebenarnya Raisa tak merasakan apapun lagi.]
Dalam sekejap, sesampainya di rumah, Raisa bergegas nengganti seragamnya dengan pakaian biasa sehari-hari di kamarnya. Ia juga tergesa-gesa menyiapkan beberapa barang yang perlu dibawa di tasnya. Tak lupa, ia menulis surat untuk orangtuanya agar mereka tidak khawatir.
'Bu, Pak, Raisa pamit .... Raisa izin. Ada sesuatu yang Raisa rasakan seolah itu memanggil Raisa. Raisa rasa ini saatnya, takdir harus Raisa jalani. Ini baru awal, Raisa pasti akan pulang. Doakan Raisa ....
Bu, hari ini, sebelum waktu masuk sekolah, pertanda itu datang. Setelah sebelumnya tanda-tanda itu berturut-turut terus datang .... Tadi Raisa sedang bersama teman, lalu mencari alasan supaya bisa pergi. Kalau ada teman Raisa datang, Raisa belum pulang, tolong carikan alasan yang tepat untuk menggantikan kepergian Raisa yang mendadak untuk sementara ini. Juga tentunya untuk kakak dan adik supaya mereka juga ga curiga atau khawatir. Raisa pergi, ya, Bu, Pak.
- Raisa.'
Itulah bunyi pesan yang tertulis di selembar kertas surat yang diselipkan Raisa di bawah lampu belajar di meja belajarnya.
Raisa pun melangkah pergi dengan terburu-buru. Namun, ia berpapasan dengan Sang Ibu.
"Raisa, kok kamu di rumah, Nak? Kok pake baju santai? Bukannya kamu ada pengambilan nilai praktek di sekolah? Kapan kamu pulangnya? Langit kan lagi gelap mau hujan .... Kamu mau pergi, pergi ke mana?" tanya Ibu Vani, Ibu nya Raisa, bertubi-tubi
"Raisa izin, Bu. Raisa harus pergi. Pamit, ya, Bu. Raisa buru-buru ... " jawab Raisa secara singkat
Raisa pun melangkah pergi. Dalam sekejap, ia menghilang dari pandangan.
"Buru-buru banget, tumben. Tadi dia, pake kemampuannya, ya? Duh, kalolau ada yang lihat gimana? Bisa gawat. Tumben anak itu gak hati-hati," gumam Ibu Vani, pelan
"Raisa, kamu mau ke mana sih, Nak? Sampe sepatu ga ditaruh di tempatnya, lemari baju ga dututup... Biasanya buru-buru pun kamu gak kayak gini," heran Ibu Vani
Ibu Vani pun merapikan barang di kamar putrinya. Lalu, matanya tak sengaja menangkap selembar kertas di meja belajar.
'Sampah?!'
Ibu Vani pun meraih kertas tersebut. Setelah melihatnya, itu ternyata sebuah surat.
"Surat, toh, ternyata .... Tunggu, surat? Kemampuan itu! Buru-buru, izin dari sekolah, pergi. Jangan-jangan, Raisa--" batin Ibu Vani menggantung.
Ibu Vani pun membaca surat tersebut.
"Ah, ternyata, Raisa ... pak! Bapak~"
Ibu Vani pun mencari Sang Suami untuk memberitaukan hal ini.
...
"Anak itu menjemput takdirnya. Hidup barunya berawal dan bergantung dengan takdirnya ini. Biarkanlah, setelah dia pergi kita gak bisa berbuat apa-apa. Dia yang memutuskan. Kita cuma bisa mendoakan Raisa seperti yang dimintanya. Ibu tenang aja, Raisa bakal pulang. Kita tunggu aja," ucap Pak Hilman, Bapak nya Raisa
Kemampuan Raisa dan takdirnya ini sangat rahasia. Di antara semua yang mengenalnya, hanya kedua orang tuanya yang mengetahuinya.
•••
Kini, Raisa sedang berada di atap minimarket yang tadi ia kunjungi bersama kedua temannya. Tak ada yang mengetahui dia ada di sana.
[Di sinilah sekarang aku berada... Menunggu takdir datang kepadaku. Aku yang telah menantikan hari ini sejak lama, merasakan hatiku berdebar tak menentu. Aku adalah... Raisa Putri Atmawidjaya! Aku tak mau sombong berkata seperti ini. Tapi, Tuhan memberkahiku menjadi orang yang spesial. Gadis berkemampuan khusus~]
Langit masih berawankan gelap. Petir menyambar di mana-mana, angin bertiup sangat kencang. Raisa merasa, jika ia merasakan pertandanya di sana, pasti sesuatu akan terjadi di sana pula. Benar saja, saat ia sedang nemerhatikan keadaan sekitarnya, tiba-tiba lingkaran misterius muncul di langit. Awalnya lingkaran itu tidak berwarna, kemudian perlahan bercahayakan gelap. Dan dari sana muncul 4 orang asing yang terlihat payah karena terluka dan kemudian mereka terjatuh di atas atap minimarket tempat Raisa berada.
"Kalian!!" pekik Raisa seperti mengenal keempat orang itu sebelumnya
"Siapa kau!?" teriaknya bertanya sangat waspada
Raisa melihat 2 orang yang terlihat terluka lebih parah dari yang lainnya. Ia berusaha mendekat, hendak menolong. Namun, salah seorang lainnya mendekati Raisa. Mencengkram tangan Raisa yang mencoba menyentuh orang yang terluka itu.
"Jangan mencoba menyentuhnya!" kecamnya
"Kamu! Tapi--"
Belum selesai Raisa berbicara, lingkaran hitam misterius itu muncul lagi. Lalu melahap dan membawa mereka berlima pergi~
.
•
Bersambung...
Saat Raisa hendak menolong orang yang terluka, seseorang lainnya mencegahnya. Tiba-tiba lingkaran hitam misterius kembali muncul lalu melahap dan membawa mereka berlima pergi~
Brukk~
Raisa terjatuh, ternyata Raisa terlempar ke tempat asing bersama keempat orang itu. Tempat itu sangat hampa dan benar-benar tak ada orang lain lagi selain mereka berlima. Padang rumput tak bertuan~
"Tempat apa ini? Ini di mana?" gumam Raisa yang merasa sangat asing dengan tempat ia berada sekarang.
"Ah, aku mengerti. Lingkaran tadi adalah portal menuju dimensi lain. Tapi, kenapa di sini gak ada orang lain? Bukannya membuka portal adalah keahliannya? Tempat ini di mana?" batin Raisa
"Gak peduli tempat apa ini. Kalian terluka... Biar aku bantu," ucap Raisa
Raisa kembali berjalan mendekati 2 orang asing yang terluka parah itu. Salah satunya pria dewasa dan yang lainnya adalah seorang gadis yang memapah tubuh pria dewasa itu. Raisa hendak menolong mereka. Namun, lagi-lagi seseorang lainnya di antara mereka tak menerimanya dan berusaha menyerang Raisa.
Mereka terlempar ke tempat itu dalam posisi berjauhan. Dari kejauhan seseorang yang merupakan seorang lelaki berlari ke arah Raisa dengan semacam belati di tangannya, hendak menikam Raisa. Tepat sebelum belati di tangan lelaki itu mengenai Raisa, Raisa terlebih dulu menyadarinya. Ia berbalik dan menahan serangan belati itu dengan sebilah rotan kecil.
"Kamu ini apa-apaan?! Aku mau menolong rekanmu. Kamu malah mau menyerangku!?" pekik Raisa, kesal.
"Kau yang apa-apaan!? Kau orang asing! Mau apa kau mendekatinya. Kami sudah cukup terluka karena orang asing sepertimu. Dan apa-apaan dengan kayu kecil di tanganmu itu?! Mana mungkin itu mengalahkan belatiku? Kekuatan dan rencana apa yang kau sembunyikan?!" cecarnya
"Aku mengerti. Dia seperti ini karena waspada akibat terluka setelah diserang orang. Tapi, aku tak seperti mereka yang berniat buruk. Aku hanya berniat baik mau menolong kalian," batin Raisa
"Aku mengerti kalian kayak gini karena diserang orang. Tapi, tolong jangan salah paham sama orang yang mau berniat baik. Aku cuma mau menolong!" ungkap Raisa
"Bagaimana bisa aku percaya begitu saja!!" kerasnya
Lelaki itu melanjutkan melancarkan serangannya terhadap Raisa. Raisa menyimpan rotan kecilnya kembali secara ajaib.
Haaaaaaa'!~
Lelaki itu mengeluarkan semacam kertas pemanggil. Namun, sebelum lelaki itu memanggil entah itu benda sihir atau makhluk sihir, Raisa terlebih dulu membelah dua kertas itu dengan tangan kosongnya.
[Raisa adalah pengguna sihir yang telah langka di dunianya. Dan sekarang Raisa sedang berhadapan dengan ahli sihir dari dunia lain yang salah paham terhadapnya. Padahal ia ingin membantu, tapi salah dikira ingin menyerang dan melukai mereka.]
"Sihir apa yang kau gunakan itu?!"
"Apa kamu gak bisa berhenti? Aku mau menolong mereka yang terluka parah. Kalau enggak mereka bisa gawat dan gak tertolong!" ucap Raisa
Lelaki itu kembali mengeluarkan kertas lainnya. Raisa mengetahui itu... Itu adalah kertas putih selembut sutra yang berguna untuk menyerang lawan.
Lagi-lagi, sebelum lelaki itu menyerang, Raisa telah menghancurkan kertas itu dengan sihir pengendalian apinya~
Lelaki itu bersiap untuk kembali menyerang. Namun itu dihentikan dengan ucapan rekan gadisnya itu.
"Berhenti!! Biarkan dia menolong seperti apa katanya," ucap si gadis asing.
Mendengar temannya, lelaki itu berhenti menyerang Raisa. Ia mengesampingkan rasa curiganya dan lebih melihat rekannya yang butuh pertolongan, walaupun ia masih menaruh kecurigaannya yang besar pada Raisa.
Raisa menghela nafas lega~
Akhirnya aksi lelaki itu terhenti karena ucapan temannya. Ia pun mendekati kedua orang yang terluka itu, berjongkok di hadapan kedua orang asing yang sudah terkapar di tanah itu.
"Kalian terluka parah!" pekik Raisa
"Keadaan kami seperti ini. Bagaimana kau menolong kami?" tanya si gadis asing
"Aku akan menyembuhkan kalian," jawab Raisa
Perhatian Raisa tertuju pada pria dewasa yang mulanya dipapah oleh si gadis. Raisa meraih lengan pria tersebut yang masih dipegangi si gadis.
"Aku akan menyembuhkan lukanya dulu. Lukanya lebih parah darimu. Walaupun begitu, tunggu dan diamlah. Jangan banyak bergerak," ujar Raisa pada si gadis asing, bermaksud menyembuhkan pria dewasa itu dulu.
Raisa pun mengulurkan tangannya di hadapan luka pria dewasa tersebut. Mentransfer tenaga dalam yang dialiri sihir medis penyembuh padanya.
"Kau juga bisa sihir medis?" tanya si gadis, terperangah.
"Ya, kamu juga bisa sihir ini kan? Tapi, kamu masih mempelajarinya. Walaupun kamu bisa, tapi sekarang gak mungkin menggunakannya karena kamu sedang terluka," ungkap Raisa
"Bagaimana kau tau itu?" tanya si gadis asing merasa heran.
Raisa tersenyum simpul penuh arti.
"Kita lewatkan dulu hal itu. Kamu terluka cukup parah dari pada yang lainnya. Kenapa kamu masih memapah Papamu, Aqila? Kenapa gak biarkan temanmu, si Morgan itu yang memapahnya? Yang bahkan masih punya tenaga untuk menyerangku! Bukannya Papamu itu gurunya?" tanya Raisa
"Bagaimana kau tau semua itu? Semua hal tentang kami... Seolah kau sudah mengenal kami?" Herannya si gadis asing yang Raisa tau bernama Aqila.
"Gimana kalau aku bilang, aku penyelamat kalian jadi tahu tentang kalian. Apa kamu percaya?" ucap Raisa bertanya.
Gadis asing yang bernama Aqila itu terdiam. Tak bisa percaya. Ada orang yang baru ditemuinya tapi sangat mengenalnya dan orang sekitarnya. Patut dicurigai tapi bersikap baik padanya. Membuatnya bingung.
"Om Elvano, lukamu udah sembuh. Tapi, karena parah itu membekas. Harus dibalut," ujar Raisa
"Bahkan dia tau nama Papa. Siapa dia sebenarnya? Mengapa sangat mengenal kami?" batin Aqila
"Biar aku balut sendiri," kata pria dewasa tersebut, Papa Aqila, yang Raisa tau bernama Elvano
"Aku gak bisa biarin pasienku merawat dirinya sendiri. Aku yang balut... Aku tau Om malu karena aku seusia anak Om, jadi aku akan menutup mata saat membalut," kata Raisa bersikeras.
"Aqila tetap dekatku. Kita akan mendirikan tenda, di sini terlalu terbuka," kata Raisa
Raisa menggunakan sihir elemen tanah. Menggerakkan kakinya lalu berdiri tenda berasal dari kekuatan elemen tanahnya. Dan dalam kegelapan di dalam tenda tanah, Raisa menyalakan api unggun kecil dengan sihir pengendali elemen api. Yang sebelumnya, Raisa menumbuhkan tanaman belukar untuk sumbunya menggunakan sihir pengendalian elemen tamaman.
Saat itu, Raisa mengeluarkan perban dari telapak tangannya dengan sihir. Menutup matanya kemudian mulai membalut luka Om Elvano yang terlebih dulu membuka pakaiannya, karena lukanya terdapat di dada. Saat itu, Aqila menutup matanya, tak ingin menyaksikannya.
"Selesai! Om Elvano, istirahat aja dulu," kata Raisa
"Tidak bisa, aku harus kembali ke duniaku untuk melaporkan penyerangan dan keadaan ini," ucap Om Elvano
"Tapi, kondisi Om masih lemah," larang Raisa
"Aku masih bisa menggunakan kekuatanku. Tapi, terakhir kali portal yang kubuka entah kenapa penentuan dimensinya rusak. Mungkin ini karena kekuatan musuh saat itu," ungkap Om Elvano
"Aku mengerti... Itu sebabnya, tadi kalian nyasar ke dimensi asing yang merupakan duniaku," paham Raisa
"Siapa namamu?" tanya Om Elvano
"Aku? Om gak percaya aku?" tanya Raisa balik
"Entahlah... Saat ini, aku terpaksa percaya padamu, tapi tidak sepenuhnya percaya," ujar Om Elvano
"Itu lebih baik untuk saat ini, dibanding muridmu Morgan. Namaku ... Raisa," ungkap Raisa, jujur.
"Raisa, aku titip padamu Aqila dan kedua temannya. Meskipun aku kembali ke duniaku, tapi keadaan di sana pasti sedang tidak aman," ucap Om Elvano
"Aku mengerti," kata Raisa
"Aku akan membuka portal. Tolong jelaskan ini pada Morgan, dia itu anak yang cukup menyulitkan jika tahu aku tiba-tiba menghilang," ungkap Om Elvano
"Hmm .... Kalau Om sampai di sana usahain hindari pertarungan, untuk mencegah adanya luka lain atau terkurasnya energi. Aku mengerti Om tahu apa yang harus dilakuin, tapi aku tetep bilang ini supaya aku lebih tenang dan ga khawatir. Aku akan coba bantu Om buka portalnya," ucap Raisa
Raisa menyentuh tangan Om Elvano untuk mentransfer tenaga dalam dan menentukan dimensi tujuan, mencegah kerusakan penentuan dimensi kembali terjadi.
Portal terbuka!
Penentuan dimensi suskes pada tujuan sesungguhnya~
"Bahkan kekuatannya selevel dengan Papa dan bisa membantu membuka portal! Sekuat apa dia? Raisa!" batin Aqila
"Aku pergi!" kata Om Elvano
"Papa, hati-hati ... " pesan Aqila
"Cepatlah laporkan ini dan kondisi Om sama orang di sana," ujar Raisa
.
•
Bersambung...
Om Elvano pun memasuki portal tersebut menuju dimensi dunianya dan portal kembali menutup~
Om Elvano pun pergi, kembali ke dimensi dunianya.
"Sekarang giliranmu, Aqila ... " kata Raisa
Raisa beralih hendak menyembuhkan Aqila, mendekat padanya.
"Hei, yang di dalam!! Kenapa lama sekali?! Kau apakan mereka!?" teriaknya si lelaki asing bar-bar yang Raisa tau bernama Morgan
"Mohon tenanglah!!!" balas Raisa berteriak dari dalam tenda tanah.
"Aku heran! Kenapa temanmu Si Morgan itu selalu berpikiran negatif sama aku sih? Padahal sama temannya selalu baik, apa cuma karena aku orang yang baru dia temui?" tanya Raisa seraya mengobati luka Aqila dengan sihir penyembuhnya.
"Itu karena hari ini kami diserang orang tak dikenal sampai seperti ini. Dia jadi lebih waspada. Apalagi dia merasa bahasa dan sihirmu sedikit aneh. Dia memang orang seperti itu, tak usah terlalu dipikirkan," jelas Aqila
"Aku mengerti alasannya. Tapi, aku pikir dia orang yang lebih rasional dan melihat niat baikku. Bahasaku aneh ya? Aku pikir kalian juga mengerti dan terima bahasaku yang cuma sedikit berbeda dari kalian. Oke, mulai sekarang aku akan mengubah cara bicaraku. Ah, lukamu juga harus dibalut, Aqila. Jangan malu denganku, ya. Kita, kan, sama-sama perempuan, jadi aku tak perlu menutup mataku lagi seperti tadi," ucap Raisa
[Raisa telah membuka penutup matanya sejak ia selesai mengobati luka Om Elvano yang juga sudah mengenakan pakaiannya lagi.]
Raisa pun membalut luka Aqila yang juga berada di dada seperti papanya (Om) Paman* Elvano.
*menggunakan bahasa yang telah dirubah.
"Padahal kupikir, aku sudah menggunakan bahasa yang santai dan enak diucapkan tadinya, tidak terlalu formal dan tidak terlalu kasar. Aku tidak berpikir sampai sana, bila aku tidak terlalu diterima kehadirannya oleh kalian yang awalnya menganggapku musuh, dan mungkin sampai sekarang pun masih begitu. Aku tidak berpikir sampai bahasaku tadi dianngap aneh dan asing oleh kalian," ungkap Raisa
"Maafkan kami yang seperti ini. Kami memang jarang bahkan mungkin tidak pernah mendengar bahasa yang sepertimu tadi," ucap Aqila
"Tak perlu minta maaf. Kau tidak salah, Aqila. Dan bukankah kau pun masih meragukanku?" ujar Raisa bertanya.
Aqila merasa tak enak terhadap Raisa, tapi memang dugaan itu benar.
"Lukamu sama seperti papamu yang terdapat di dada, tapi lukamu tak sampai menembus tubuh sepertinya. Jadi tak terlalu parah. Ini pasti luka akibat tusukan pedang. Saat itu kau hendak ditusuk pedang, tapi papamu menghalangimu dari pedang tersebut jadi dia yang terluka tusukan. Tapi, tidak disangka pedang itu terlalu masuk sampai juga mengenaimu walau tak sampai tembus. Ya, kan?" tebak Raisa
"Bahkan sampai yang ini pun kau tahu, Raisa. Sebenarnya siapa dirimu, kekuatan apa yang kau miliki?" tanya Aqila, heran.
"Untuk yang kali ini aku hanya menebaknya. Dan untuk yang lainnya, akan kujelaskan perlahan nanti. Kau hanya perlu percaya padaku bahwa aku berada di pihak kalian ... " ucap Raisa
"Lukamu sudah selesai dibalut," kata Raisa
Aqila pun mengenakan kembali pakaiannya dan mereka berdua pun kembali. Raisa menarik kembali sihir elemen tanahnya hingga tenda tanah itu kini hilang dan tak lagi membatasi keberadaan mereka berdua.
"Hei, kau! Kenapa lama sekali di dalam sana!? Apa yang kau lakukan pada mereka?! Sekarang mana Paman Elvano!?" cecarnya, Morgan
"Tenanglah, Morgan. Aku baik-baik saja. Dia yang telah mengobatiku. Papa sudah kembali ke dunia kita di sana, dia pergi saat tadi di dalam dan dialah juga yang membantu membukakan portal Papa yang rusak. Dia di pihak kita," jelas Aqila
"Kau tidak apa-apa? Dia mengobatimu, berada di pihak kita?" cerocos Morgan
Aqila menganggukkan kepalanya dengan pasti...
"Selanjutnya giliran Rumi ... " kata Raisa
"Bagaimana denganku?! Aku juga terluka. Hanya karena tadi aku menyerangmu, kau balas dendam dengan mengabaikanku, begitu!?" kesal Morgan
"Kau ini ribut sekali! Lihatlah dirimu sendiri, lukamu jauh lebih ringan dari pada lainnya juga dari pada Rumi. Aku melihat ini lebih penting, ini darurat, tanganku hanya ada dua. Tunggulah sebentar, aku juga akan mengobatimu nanti. Bahkan tadi Paman Elvano dan Aqila kuobati secara bergantian. Kau sabarlah!" ycap Raisa, geram.
Raisa pun beralih mengobati Rumi. Satu orang lainnya dari mereka, 4 orang asing dari dimensi lain.
"Lukamu tidak separah Paman Elvano dan Aqila, tak perlu mendirikan tenda lagi. Secara terbuka pun tak apa, supaya tak ada lagi yang curiga padaku," ujar Raisa
Seseorang lelaki bernama Rumi itu hanya diam patuh dengan Raisa.
"Apa saja yang kau lakukan dan bicarakan dengannya di dalam tadi? Kenapa dia tau nama Rumi? Kau membocorkan informasi kita padanya, Aqila?" tanya Morgan, berbisik.
"Tidak... Apa kau tidak dengar tadi sebelum aku dan papa berada di dalam tenda tanahnya? Dia mengetahui aku seorang yang masih mendalami sihir medis! Awalnya juga kukira dia musuh yang mengetahui secara detail informasi tentang kita! Tapi, dia begitu baik mengobatiku dan Papa juga membantunya membuka portal. Kupikir dia orang baik dan perkiraanku meramal juga keahliannya. Dia banyak mengetahui tentang kita, lho... Dia tau namaku, namamu, nama Rumi, kekuatan Papaku, tau bahwa Papaku adalah Papaku. Kekuatannya juga hebat! Dia bisa sihir elemen tanah, api, tumbuhan, sihir medis, membuka portal... Kupikir dia bukan orang sembarangan! Dia berkata ada di pihak kita dan berjanji akan menjelaskan semuanya nanti. Kita hanya bisa percaya padanya untuk saat ini. Dia bilang namanya, Raisa," jelas Aqila juga ikut berbisik.
"Lalu kenapa kau biarkan Paman Elvano pergi sendirian? Kenapa tidak beri tahu aku saat Paman hendak pergi, agar kita semua ikut kembali ke dunia kita, tentunya kecuali dengan orang itu ...." Morgan melanjutkan obrolannya dengan Aqila dengan berbisik.
"Untuk saat ini, situasi di sana berbahaya bagi kita. Dengan kita ikut dengan Papa, hanya akan membebaninya, kekuatan kita tidak sebanding dengan Papa dan musuh itu. Untuk sementara kita aman di sini, kita bisa memulihkan kondisi kita," ucap Aqila
"Lalu bagaimana dengan Papamu? Kondisinya mungkin juga belum pulih sepenuhnya, bagaimana jika ia menemukan kesulitan di sana dan tak ada yang membantunya? Dia sendirian!"
"Kau meremehkan Papa!? Bukankah kau mengakui kehebatan Papaku, makanya kau berguru dengannya? Papaku jauh lebih kuat dan berpengalaman! Dia tau apa yang harus dilakukan."
"Tapi, tetap saja! Memangnya kau tidak khawatir dengannya, Aqila? Memangnya kau tidak mau nemastikan Papamu aman dan baik-baik saja di sana? Bukankah memang lebih baik kita selalu bersama-sama? Kalau menilai dari kekuatan, kenapa kita tidak membawa 'Dia' bersama saja? Bukankah katamu dia itu kuat, bukan orang sembarangan!?"
"Lalu dengan begitu kau mengakui dia di pihak kita? Kau percaya padanya? Bukankah kau terus mencoba menyerangnya tadi?"
"Eh, aku... Tentu tidak! Tapi, kukira kau berkata seperti tadi berarti kau percaya padanya."
"Aku pun khawatir dengan Papa... Tapi, saat ini kita masih harus waspada di mana pun dan dengan siapa pun, walau pun dalam hatiku ingin percaya pada Raisa. Saat ini kita tidak boleh egois ...."
Saat Raisa menangani Rumi, tercipta suasana canggung di antara mereka. Keduanya hanya diam. Raisa pun bingung harus memulai perbincangan seperti apa.
"Kau tidak bisa terus melindungi dan berkorban demi seorang Morgan atau pun yang lain, Rumi. Kau ingat sudah berapa kali kau terluka parah karena hal seperti ini? Jika seperti ini terus, tubuhmu tidak akan tahan dengan luka dan penyembuhan dalam jangka yang berdekatan. Untung lukamu kali ini tidak separah kapan hari itu," ucap Raisa
"Kau tau tentang itu?" tanya Rumi, heran.
"Cukup banyak yang kutahu. Makanya, aku menolong kalian," ujar Raisa
"Kau tak mengerti. Morgan sangat penting bagiku," kata Rumi
"Aku tahu itu. Bukankah kubilang, banyak yang kutahu? Morgan adalah teman yang paling berharga bagimu. Tapi, kondisi sendiri pun juga tetap yang terpenting. Aku mengerti perasaan memiliki sesuatu yang berharga itu. Aku pun pasti akan bersikap sama sepertimu. Tapi, bagaimana pun juga pesanku penting berlaku padamu dan pada siapa pun. Mungkin sudah seringkali kau mendengar tentang ini. Tapi, satu hal lagi, jika seseorang sampai tiada, maka yang akan merasa sedih adalah orang-orang yang kau tinggalkan. Kita yang paling tau sampai mana batas kita. Maka, mengenali situasi dan memahami kondisi juga penting. Mundur untuk sesaat pun perlu. Pikirlah cara lain, karena pasti ada cara. Kebenaran pasti akan terungkap, kebaikan pasti menang. Itulah kata pepatah. Karena aku tau kau... Kalian adalah orang baik," ungkap Raisa
"Akan kuingat perkataanmu. Terima kasih karena sudah mengobatiku," ujar Rumi
Raisa telah selesai mengobati Rumi.
"Kau punya kepribadian yang dingin sama seperti Paman Elvano, tapi tak kusangka kau masih meresponku dengan cukup baik, bahkan kau mengucapkan terima kasih. Aku senang mendengarnya. Lukamu tidak terlalu parah, jadi tidak perlu dibalut. Lukamu sudah sembuh," ucap Raisa
"Kau menyembuhkannya!" kata Aqila, terperangah.
"Luka Rumi tidak terlalu parah, jadi bisa langsung disembuhkan. Berbeda denganmu dan Paman Elvano, aku hanya bisa sebatas mengobati kalian. Tapi, pemulihannya akan cepat. Walaupun aku bisa teknik sihir ini, tapi masih jauh dari kata ahli, belum banyak pengalaman. Jadi, mohon maklum," jelas Raisa
"Kau kemarilah. Giliranmu!" kata Raisa pada Morgan
Raisa mendekat ke arah Morgan dan mengobatinya.
.
•
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!