Malam sudah larut dan hanya terdengar bunyi jam. Tak ... tak ... tak ... seperti ritme jantung gadis kecil yang kian memacu. Rambut kucirnya berantakan. Besok adalah jadwal ulangan bab taksonomi dan dia belum menghapal satu kamus.
Guru itu gila! Pria botak yang menyuruh muridnya menghapal nama latin hewan serta tumbuhan benar-benar gila. 3000 nama latin? Aster tidak berminat menjadi ahli biologi. Ia hanya ingin menjadi ahli gizi.
Drttt ... ponselnya bergetar di dalam laci. Aster mengambilnya, ternyata itu dari teman sekelas bernama Vanesa.
"Halo, Nes. Apaan?" tanya Aster tanpa basa-basi. Sekarang ia sedang sibuk mengamati deretan huruf yang miring-miring, bahkan otaknya ikutan miring.
Vanesa berteriak seperti di tengah hutan, otomatis Aster menjauhkan ponselnya. "Beruntung banget lo belum tidur, Astericeae!"
"Ceileh, gaya-gaya manggil pake nama latin. Eh, udah hapal sampai mana?"
"Gue? Emm ... baru sampai abjad P. Kalau lo?"
"Bah! Gue sih ogah ya hapalin urut dari depan. Gue daritadi cuma bolak-balik lampiran buat lihat mana yang bakalan keluar soal."
"Emang lo tau yang mana?"
"Nggak. Makanya ini gue ngira-ngira."
"Dari minggu kemaren lo cuma bolak-balikin lampiran?"
"Gue belajar baru hari ini."
"Sukses besok ya!"
"Lo nggak mau bantuin gue?" tanya Aster tak percaya.
"Gue bantu doa. Bye bye ...!"
"Lah, terus lo ngapain nelpon gue?"
"Tadinya mau curhat sih, pas tau lo sibuk banget ya gue mau tutup telponnya."
"Jangan ih. Gue juga mau curhat. Pak Steven itu kayaknya kena gangguan deh, Nes."
"Hush! Kualat lo ntar, ilmu lo nggak berkah Sayang. Gibahin guru dosa, Sayangku!"
"Iya, gue tau. Tapi, ini gimana ceritanya, masa gue harus hapalin tiga ribu nama latin hewan dan tumbuhan dalam semalem?"
"Emang siapa yang nyuruh lo ngapalin kurun waktu semalem? Kan, Pak Steven suruh dari awal bulan?"
"Huh, pokoknya gue sebel! Mending nugas Fisika kalo kek gini."
"Udah ah, malah lo yang curcol. Gue mau bobok cantik. Bye bye, Astericeae! Have a nice dream ...."
Panggilan terputus. Aster menatap layar mati di tangannya dengan mata memicing. Ia menirukan gaya bicara Vanesa sambil mulut sengaja dimanyun-manyunkan. "Have a nice dream ... nye nye nye."
"Hish!" Aster membanting hapenya kembali ke laci bawah dan menutupnya lagi dengan sekali tendangan.
Aster mengurut pangkal hidung. Ia menata lampu belajar agar lebih fokus ke buku, lalu mulai serius untuk menghapal. Bibirnya bergerak cepat.
"Hoam ...!" Aster menutup mulut. Ia menengok jam dinding. Sekarang pukul dua dini hari. Sesungguhnya dia sangat mengantuk, berkali-kali matanya terpejam sendiri kemudian terjengkit karena kepalanya terantuk. Aster mencoba berdiri, menggeliatkan badan, lalu menggeser kursi belajar agar lebih nyaman.
Setelah itu dia duduk. Namun beberapa menit kemudian, Aster merasa tidak tahan menahan kantuk. Ini bukan kemauan sendiri untuk pergi ke pulau kapuk, pikirannya terbang ke alam bawah sadar.
"Aku akan tidur lima menit, setelah itu lanjut belajar."
Tiba-tiba, Aster merasa wajahnya terciprat sesuatu. Hal itu mengusik tidur lelapnya. Aster menggeleng dan spontan membuka mata.
"Akhirnya Tuan Putri bangun! Hari ini adalah hari pertama mengikuti kelas, kalau Tuan Putri tidak bangun sekarang entah bagaimana nasib saya."
Aster hanya bisa menatap aneh ke arah perempuan yang mungkin seumuran, tapi lebih tua sedikit. Mungkin selisih dua tahun.
"Lo siapa? Terus ... ini gue di mana?" Aster melihat posisinya saat ini. Dia sedang berada di ranjang ukuran sedang yang berlapis seprai ungu. Di atasnya terpasang kelambu merah muda. Di sekelilingnya berupa tembok bermotif bunga. Ini seperti kamar tidur yang Aster impi-impikan.
"Tuan Putri ... saya tidak paham dengan bahasa Anda." Perempuan tersebut balik menatap aneh ke arah Aster.
"Sama gue nggak usah formal gitu, heh! Ini di mana? Lo juga belum jawab semua pertanyaan gue yang barusan!"
Meski agak kelimbungan mencari arti setiap kata yang Aster lontarkan, tetapi dia sedikit paham beberapa kata. "Saya adalah pelayan Tuan Putri. Anda memilih saya ketika diangkat menjadi anggota kerajaan dua hari yang lalu. Apa Tuan Putri sudah lupa?"
Aster menaikkan sebelah alis. Bisa dibilang dirinya mengerti status perempuan ini ialah pelayan. Aster mengangkat kedua telapak tangan, mengamati bahwa mungkin saja ia masuk ke tubuh orang lain. "Ambilkan aku cermin."
"Baik, Tuan Putri!" Pelayan itu menunduk hormat sebelum pergi hanya beberapa detik menuju meja kecil di sudut kamar. "Ini, Tuan Putri."
"Ck! Nggak usah manggil Tuan Putri!"
Lawan bicara hanya terdiam karena memang tidak paham.
Aster berseru melihat wajahnya sendiri. "Wahhh! Aku manis banget!" Ini memang wajahnya, tapi tidak menyangka akan berubah semanis ini. Maksud Aster adalah ... tidak pernah wajahnya terlihat semanis ini.
"Tuan Putri, sebaiknya Anda segera bersiap atau Anda akan ditertawakan oleh anggota kerajaan yang lain."
"Ck, kan udah kubilang jangan panggil Tuan Putri! Memangnya, hari ini ada apa? Oh iya, kamu bisa nggak jelasin lima menit tentang duniaku?" pinta Aster diikuti senyum simpul.
Perempuannya di depannya begitu canggung. "Tuan Putri, Anda adalah perwakilan jiwa Aster dan sudah dilantik satu hari yang lalu. Hanya itu yang saya ketahui dari Tuan Putri. Kita baru berkomunikasi selama dua hari."
Aster mengangguk paham, meski belum puas dengan jawaban sesingkat itu. Ia teringat pelayan ini menyebutkan bahwa dirinya baru diangkat menjadi anggota kerajaan dua hari lalu, langsung dilantik satu hari setelahnya. Bisa dikatakan Aster adalah anak angkat raja dan ratu.
"Apa kau tahu kenapa Raja mengangkatku?" tanya Aster menirukan gaya bahasa si pelayan.
"Karena Anda adalah perwakilan jiwa Aster."
"Ah, itu dia! Perwakilan jiwa itu apa? Aku tidak mengerti sama sekali. Sebenarnya ini di mana dan tempat apa?"
"Tuan Putri, apakah perlu saya panggilkan Anda seseorang dari Negeri Tabib?"
Kerutan di dahi Aster semakin berkelit. "Negeri Tabib? Ya ampun, pasti gue lagi ngimpi main drama deh," gumam Aster sambil menepuk kening.
"Apa Tuan Putri mengatakan sesuatu?" kepala peyalan merendah untuk melihat raut Aster yang sedang menunduk.
Aster menggeleng. "Hm tidak. Nama kamu siapa?"
"Tuan Putri bisa memanggil saya Sari."
"Oke, Sari. Jangan panggil saya Tuan Putri. Panggil aja Aster. Lalu seseorang dari Negeri Tabib, apa kau bisa memanggilnya ke sini?"
"Ini akan sulit, tapi saya usahakan."
"Baiklah, sana pergi," usirnya. Sari masih bergeming. "Kenapa tidak pergi?"
"Anu, Tuan Putri, untuk kelas hari ini ... apakah Anda ingin saya meminta izin? Tapi, saya bingung harus mengatakan alasan apa kepada kakak Anda."
Aster melebarkan mata. Ternyata di sini ia mempunyai seorang kakak. Apakah dia jahat? Pasti jahat mendengar dirinya saja hanya anak angkat. Anggota tiri itu jahat. "Bilang saja kalau aku lelah, semalaman belajar sampai ketiduran dan ingin istirahat." Aster menarik selimut hingga menutup seluruh tubuh. Posisinya memunggungi Sari yang sedang berdiri di dekat ranjang.
"Baik, Tuan Putri."
Setelah dirasa bayangan Sari sudah pergi, Aster menyibak selimut. Melengok ke belakang tidak mendapati siapa pun. Aster memilih memejamkan mata. Mungkin saja bangun-bangun ia sudah kembali ke kamarnya.
"Aster! Bangunnn ih!"
Mata lentik itu terbuka. Sosok Vanesa berkucir dua menyambut. Sontak Aster berdiri lantas memeluknya sangat erat seakan takut sahabatnya menghilang. "Vanesa huaaa! Kok lo bisa masuk ke kamar gue?"
Sahabatnya itu berusaha mendorong tubuh Aster sekuat tenaga. "Sesak ini sesak!" Tangannya menahan kedua bahu Aster agar tak lagi memeluknya, tapi perempuan satu ini begitu keras kepala dan berhasil merangkul Vanesa. "Kamar pala lo kotak. Ngelindur ya?"
Aster merenggangkan jarak keduanya, menatap Vanesa dengan mata lebar. "Masa nih ya! Tadi itu gue ngimpi aneh! Gue jadi putri di Istana terus ada pelayan namanya Sari."
"Idih, ngimpi gitu doang. Udah, lepasin gue! Gue masih normal nggak mau disangka kelainan. Mending lo belajar lagi deh."
Aster melepas rangkulan di pinggul Vanesa sebab merasakan adanya ikat pinggang. Ia melirik pakaian yang melekat di tubuh sahabatnya dengan lamat-lamat dari atas sampai bawah. Atasan putih berjas identitas dengan bawahan rok pendek kotak-kotak.
"Eh, kok ..."
Aster kembali bercermin melihat diri sendiri. Ia mengangkat kedua tangan dan pakaian yang sama juga ia kenakan. Terakhir kali bukankah Aster mengenakan baju tidur? "... Kok kita bisa pakai seragam sekolah hari Senin sih, Nes?
"Iyalah, kan ini hari Senin. Gimana sih lo? Eh, gimana tuh belajar sistem kebut semalem udah kelar?"
Perempuan di depannya masih dilanda kebingunagan. Itu artinya apakah Aster bermimpi sambil jalan? Dalam istilah medis disebut sleepwalking.
"Ditanya malah bengong! Pasti belum, kan? Malah keenakan tidur di jam kosong Bu Imel."
"Duh, iya-iya gue belajar. Udah sana lo balik ke bangku." Aster membalikkan tubuh Vanesa, mendorong punggungnya agar menjauh.
Usiran halusnya kali ini mendapat tatapan kesal. Aster sedang tidak ingin diganggu. Ternyata benar-benar mimpi, aneh sekali kalau sungguhan terjadi.
Dilihatnya jam tangan yang selalu melingkar di pergelangan. Sekarang pukul delapan tepat, mapel Biologi sepuluh menit lagi. Aster harus cepat-cepat. Pertama dia merogoh buku tebal di dalam tas, sungguh tidak mengira akan benar-benar membawanya ke sekolah. Aster menjadi penasaran dengan apa saja yang tubuhnya lakukan saat bermimpi.
Selanjutnya, Aster mencoba fokus membaca nama ilmiah tumbuhan.
"Bawang Putih ... Allium sativum, Bawang Merah ... Allium cepa."
Kegiatan ini belum lima menit ia lakukan, tetapi rasa kantuk kembali mendera tatkala membalik halaman kedua.
***
Sayup-sayup seseorang memanggil namanya. Namun kedua kelopak seolah dibalur lem karet super lengket. Aster tidak menghiraukan panggilan itu.
"Aster ...."
"Aster ...."
Sampai telapak tangan dingin menepuk pipinya berkali-kali. Memang dingin, tetapi lama-kelamaan berubah hangat. Membuat Aster ingin melihat siapa yang berbuat demikian.
Mata Aster melebar ketika jakun di atas naik turun seperti ombak pasifik. Garis rahang tegas diselingi hidung mancung. Mulutnya sedikit terbuka menikmati pesona makhluk yang kini menggendongnya seperti aksi-aksi penyelamatan Putri Kerajaan. Laki-laki itu melirik. "Belum puas melihatku, Putri Tumbal?"
Aster menunduk gelagapan. Dapat ia rasakan area pipinya memanas. Ketahuan mencuri pandang sangat memalukan. Detik berikutnya dia memberontak, memukul dada bidang di dekatnya. "Turunkan aku sekarang!"
Permintaan itu langsung dituruti, membuat pemilik rambut sepinggang menggaruk belakang leher. Semudah itu? Tunggu sebentar ... ini di mana lagi?! Aster membatin frustrasi sambil menjambak rambutnya kasar. Tubuhnya berputar-putar menangkap lingkungan asing untuk kedua kalinya. Bisa-bisanya dia kembali ke mimpi!
"Ini, aku di mana?" tanya Aster. Lirih.
"Istana Apung," jawabnya singkat.
"Kenapa aku dibawa ke sini, Kak? Dan kau ini siapaku?" Aster bertanya lagi. Usia laki-laki ini mirip siswa sepantaran SMA, wajar kalau Aster memanggilnya dengan sebutan 'kak'.
"Aku bukan kakakmu, ke depannya jangan memanggilku 'Kakak'. Mulai sekarang panggil aku Pangeran Ketujuh." Usai menjelaskan hal itu, dia langsung memasuki gerbang besar yang terbuka lebar dengan sendirinya, seolah menyambut orang penting. Tentu saja. Dia pangeran!
Aster terpaksa mengikuti pemuda itu karena dirinya sangat asing akan tempat ini. Gerbang yang Aster tebak adalah gerbang masuk ke Istana menutup perlahan, tetapi menimbulkan suara debuman yang keras. Ternyata berdiri seorang pria kekar di baliknya. Pengawal mengunci pintu masuk dengan kayu raksasa seolah Aster akan terkunci di sini selamanya.
Pangeran Ketujuh menoleh ke arah Aster yang sedang menoleh ke belakang menatap gerbang masuk. Pangeran Ketujuh menggandeng tangan Aster untuk mengajaknya masuk lebih dalam. "Lambat."
Aster terdiam membiarkan pipinya merona. Rasanya ingin langsung tidur ke kamar supaya bisa kembali ke dunia nyata. Mimpi ini terlalu indah. Tangan Pangeran hangat dan nyaman.
"Pangeran Ketujuh, bolehkah saya tau kita mau ke mana?"
"Hm?" Pangeran Ketujuh memberi lirikan misterius, membuat jantung Aster berhenti memompa satu detik.
"Makan siang. Berjalan dari perbatasan sampai ke sini sangat melelahkan. Bukankah begitu?" tanya Pangeran Ketujuh bermaksud menyindir bahwa Aster tiada rasa lelah karena ke sini menumpang gendong.
"Iya ...." Detik berikutnya, Aster termenung memikirkan alasan dirinya dikirim ke Istana Apung. Lalu, Istana sebelumnya bernama apa dia sendiri tidak tahu. Hanya Sari yang ia ketahui.
"Kenapa kau tidak makan? Apa perutmu sudah kenyang?" tanya Pangeran Ketujuh ketika para pelayan selesai menata menu.
Meja bundar melonjong ini penuh makanan yang menggiurkan. Aster tertegun. Dia tak pernah melihat makanan selengkap ini, seperti perjamuan keluarga menengah ke atas yang mana tiada waktu barang sekedar membayangkan. Sayangnya, di kursi sebanyak ini hanya diduduki dua orang.
Aster sedikit canggung. "Karena Pangeran Ketujuh belum menyentuh satu pun makanan. Selain itu, saya merasa kenyang," jawabnya jujur disertai senyum simpul. Mungkin di dunia nyata, Aster sarapan sangat banyak sehingga kenyang pun dibawa mimpi.
Laki-laki berambut pirang tertawa keras, membuat dahi Aster berkerut. "Memang ada yang lucu, ya?" Tanpa sadar logatnya keluar.
"Kau Putri Tumbal yang unik," ucap si pirang sambil bangkit memutari meja. Dia menarik kursi di samping Aster sebelum menempatinya.
"Apa maksudmu Putri Tumbal?"
"Aku takkan menjelaskan dua kali. Saat ini aku sangat lapar." Pangeran Ketujuh mengusap puncak kepala Aster, semakin turun gerakan tangannya berhenti pada tengkuk leher.
Aster tersentak ketika dirinya dipeluk tiba-tiba. "Saya ... saya memang tidak tahu."
Pangeran Ketujuh berbisik. "Darah ... aku butuh darahmu." Wajahnya pucat pasi dan warna merah menjalar pada mata pangeran, tetapi Aster tidak menyadari empat taring di mulutnya tumbuh lebih panjang. Hanya saja, ia merasakan bulu kuduk meremang di area tengkuk.
"Aku sungguh tidak tahu apa pun!" Aster mendorong dada di depannya sekuat tenaga. Mata mereka bersitatap. "Maksudku ... aku bukan Aster yang asli! Mungkin saja roh kami bertukar saat aku terbangun," ungkapnya seraya meremas kerah baju, menandakan bahwa dirinya sungguh tak habis pikir kejadian aneh ini.
"Penciumanku tajam. Wangi darah jarak ribuan kilometer masih bisa kulacak. Berhentilah membual!"
"Membual apa maksudmu?" Aster mencoba berdiri menghindari gigitan Pangeran Ketujuh. Namun, kekuatan laki-laki cukup besar untuk menarik lengannya supaya kembali terduduk. Sebenarnya ia ketakutan, bahkan suaranya bergetar. "Kau ini makhluk apa, Kak?"
"Makhluk pecinta darah manis," bisiknya tepat di daun telinga. Mata Aster melebar. Apakah ...? Vampir!
Inikah yang dimaksud Putri Tumbal? Mengapa ... mengapa Raja tega menumbalkan putri angkatnya? Seingat Aster dia baru dua hari diangkat menjadi Putri Kerajaan. Kenapa secepat ini Raja membuangnya?
Pangeran Ketujuh menjilat bawah telinga Aster. "Akh!" Aster merasakan sensasi dingin.
"Ssst ... ini takkan sakit kalau kau tak banyak gerak," ingatnya yang diangguki oleh Aster.
Pangeran Ketujuh menancapkan taring ke leher perempuan dalam dekapnya, tepat di bawah telinga. Cairan manis mengalir dari mulut membasahi kerongkongan. Sangat segar dan manis, semanis madu. Tidak salah ia membawa perwakilan jiwa aster.
Selang satu menit, Pangeran Ketujuh menjauhkan wajahnya. Ia tersenyum sambil mengusap jejak merah di sudut bibir. "Apakah sakit?"
Aster menggeleng heran. Tangannya pun meraba leher. Sedikit perih, bisa ia bayangkan lubang bekas gigitan terpampang mengerikan.
"Jangan disentuh. Itu bisa menyebabkan infeksi luka. Sebaiknya pakai ini ke mana pun kau pergi." Pangeran Ketujuh melepas syal hitam miliknya, lalu mengalungkannya di leher Aster agar bekas gigitan tertutup sempurna.
"Terima kasih. Boleh saya minta sesuatu?" tanya Aster dengan logat sopan santun. Kalimatnya masih saja kaku. Ia tidak biasa bicara formal, bahkan dengan guru sekali pun.
"Tidak!"
"Bagaimanapun saya adalah seorang putri bangsawan! Setidaknya kabulkan permintaan saya kali ini sebagai bentuk penghargaan."
"Baru kali ini aku mendengar seseorang dengan bangganya menjadi bangsawan. Baiklah, sebutkan permintaanmu." Raut muka pangeran tidak senang. Aster berpikir dalam kegemingan. Menjadi bangsawan bisa mempunyai banyak hal. Istana megah, makanan mewah, lantas apa yang dipermasalahkan?
"Saya ingin Sari dikirim ke sini."
"Ada banyak 'sari' dari tempatmu berasal. Katakan sari mana yang kau inginkan?"
"Ada banyak? Bukannya Sari adalah nama pelayan yang menemani saya selama ini?" Astaga, jadi sari adalah sebutan pelayan di tempatnya tinggal.
"Kita baru bertemu dua jam yang lalu dan kau datang sendirian di pertemuan antar bangsawan tadi pagi."
"Saya ... saya tidak tahu tentang pertemuan."
"Baiklah, nanti malam pelayan pribadimu akan datang ke sini."
Aster mendongak. "Benarkah? Terima kasih, Pangeran!" Aster reflek memeluk lengan Pangeran Ketujuh, meski sekilas. Karena setelahnya, perempuan bermata bulat tersebut memakan menu dengan sangat lahap. Tiba-tiba merasa lapar, tentu saja. Darahnya habis dihisap.
Matahari berganti bulan. Sesuai perkataan Pangeran Ketujuh, Sari datang menghampiri Aster yang tengah berdiri memandang langit.
"Salam, Tuan Putri!" Sari mengangkat gaun lusuh dan agak menunduk.
Aster berlari memeluknya. "Akhirnya kau datang! Aku butuh penjelasan, kemari." Di luar angin berembus sangat dingin, jadi Aster membawanya masuk ke kamar.
"Penjelasan apa, Tuan Putri?" tanya Sari bingung.
"Jelaskan, kenapa aku bisa ada di sini?"
"Itu ... saat pemilihan Putri Tumbal, semua kakak dan adik Anda menolak. Lalu, saat tiba giliran nama Tuan Putri disebutkan ... Anda diam saja, sehingga Pangeran Ketujuh setuju membawa Anda kemari."
"Aku tidak mungkin diam saja! Tidak mungkin aku mengajukan diri bukan?"
"Ah! Saat itu Tuan Putri tertidur sambil mendengkur halus, menurut Sari ... Anda tidak punya kesempatan untuk menolak. Pangeran langsung membopong Tuan Putri karena takut mengganggu tidur Anda yang sangat nyenyak."
"Berani-beraninya dia membawaku saat tidur! Ini namanya penculikan terang-terangan. Kalau aku bangun dari awal, sudah pasti akan kutolak panggilan itu."
"Apa yang akan Anda lakukan sekarang, Tuan Putri?"
"Tidak ada. Aku hanya penasaran kenapa Pangeran Ketujuh menghisap darahku. Apakah dia vampir?"
Sari menautkan kedua alis. "Tuan Putri, saya tidak mengerti apa yang Anda katakan. Pangeran Ketujuh adalah perwakilan dari Aedes Aygepti."
Mata Aster melebar. "Nyamuk demam berdarah? Maksudmu ... aku akan terkena penyakit mematikan itu?" tanya Aster sambil menguncang bahu Sari.
Pemilik sanggulan rambut meringis kesakitan. "Tuan Putri, mohon lepaskan saya."
Aster menghentikan aksinya, beralih menggigit ujung kuku. Matilah ia kali ini karena membiarkan makhluk penghisap darah menyesap lehernya.
"Anda tenang saja, Tuan Putri. Perwakilan kali ini mengangkat seorang laki-laki."
Aster menoleh. "Memangnya kenapa kalau laki-laki? Tetap saja dia itu serangga penyebar virus! Aku bisa mati kalau di sini terus-menerus. Aku harus pergi."
Sari mencekal tangan Aster, membuat langkah gadis bermata bulat terhenti. "Jangan menyentuhku!"
Sari menunduk dan melepas tangannya. "Maaf, Tuan Putri. Mohon Anda jangan gegabah. Ini sudah menjadi takdir Kerajaan Plantae, yaitu menyediakan makanan bagi Kerajaan Animalia meskipun harus dengan menumbalkan semua perwakilan jiwa," jelasnya panjang lebar.
"Dari awal kau selalu mengatakan perwakilan jiwa, perwakilan jiwa. Kau pikir aku paham apa yang kau bicarakan? Tidak!" Aster meninggikan suara.
Pintu kamar berderit memunculkan kepala cantik berusaha mengintip apa yang terjadi. "Siapa di sana?" tanya Aster akibat cahaya lilin yang temaram.
Langkah sepatu menggema di ruangan yang lumayan besar ini. Sari melihat sosok wanita berambut hitam sebahu mendekat, ia segera mengambil jalan di depan Aster.
"Kenapa kau menghalangi pandanganku?" Itu benar. Sari lebih tinggi dari tubuhnya.
"Tuan Putri, ini adalah orang yang harus Anda hindari. Saya akan melindungi Anda." Sari merentangkan tangan, Aster yang berada di belakang punggungnya hanya dapat merasa bingung.
"Hehe, Putri Tumbal ini pecundang," ujar perempuan itu sambil menutup mulutnya dengan ketiga jari ramping. Dia bersandar pada tembok dekat pintu yang kini menutup.
Dada Aster naik turun mendengar dirinya disebut pecundang. Aster paling benci akan kata itu. Bahkan ia tak sudi untuk mengucapnya dalam hati. Ia pun menunjukkan batang hidung menghadapi perempuan sok angkuh tersebut. Sekarang jarak mereka tak lebih dari setengah meter. Dengan tinggi tak seberapa, membuat Aster mendongak tak lupa mengeluarkan tatapan tajam.
Kedua tangan memegang pinggang. "Apa lo bilang! Lo itu cewek yang kagak tau sopan santun! Maksud lo apa main nyelonong ke kamar gue tanpa ketuk?"
"Hehe, ternyata Putri Tumbal ini memang unik seperti yang Pangeran Aedes katakan." Ia menggenggam ujung jari Aster yang tadi menusuk-nusuk dadanya. "Dengar, aku adalah Putri Ketujuh dari Istana Apung. Siapa yang butuh izin dari siapa."
Putri Aedes atau Putri Ketujuh menyeringai lebar. Mata Aster terbelalak. Perempuan ini mempunyai taring yang sama dengan Pangeran Ketujuh. Semakin terlihat runcing tatkala memberikan senyum miring. "Kau ...?"
"Aku ingin makan malam." Putri Ketujuh menjulurkan lidah, ingin menjilat punggung tangan Aster. Namun, hal itu dicegah oleh Sari dengan menubrukkan tubuhnya ke tubuh Aster dari samping.
Pinggul Aster membentur sisi ranjang, membuatnya terkapar di lantai, meringis ngilu sambil meremat perut kiri bagian bawah. "Sssh, Kenapa gue yang dirojokkin? Bambank banget sih, lo!" protesnya kesal. Aster susah payah bangkit.
Rautnya menjadi khawatir. Sari berada di kurungan kedua lengan Putri Ketujuh. "Ternyata pelayan rendahan yang sangat berani." Sari menunduk takut merasakan jari berkuku tajam mengelus dagunya. "Hehe, tetapi sama pecundangnya dengan si Tuan Putri."
Bibir Aster mengerucut, menatap tak suka ke arah punggung Putri Ketujuh. "Terima kasih atas pujianmu, Putri Aedes. Bisa lepaskan dia sekarang? Status Anda terlalu tinggi untuk bermain-main bersama pelayan bukan?"
Putri Ketujuh menoleh sebatas menampakkan pipi dan lirikan maut melalui ekor matanya. "Hehe, aku lebih suka bermain-main dengan Putri Tumbal. Berani sekali kau menyebut namaku secara langsung!" Matanya berubah merah.
Aster melipat tangan di depan dada seolah tak gentar, tapi bertahan singkat. Tak lama, perempuan bermata sipit berjalan santai ke arahnya disertai tatapan mirip predator, membuat nyali mangsanya menciut.
Sari di belakang Putri Ketujuh juga tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa memandang tuan putrinya dengan mimik muka cemas, bahkan pelipisnya berkeringat.
"Tuan Putri, tolong hati-hati! Gigitan Putri Ketujuh membawa virus yang baru saja Anda katakan."
Demam berdarah yang itu, pasti DBD!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!