NovelToon NovelToon

Pengabdian Cinta

Menatap Senja....

Kutatap langit biru yang mulai menghilang, tergantikan jingga yang menyeruak dari ufuk barat. Tanpa terasa pernikahanku dengan imam sholatku sudah hampir menginjak satu tahun. Entah kenapa hatiku terasa kosong? Meski senja muncul menenangkanku.

Bunda selalu mengatakan, senja ibarat dirinya yang akan selalu ada di setiap sedihku. Meski senja hanya sesaat, akan selalu mampu menenangkan hatiku. Bunda selalu menjadi panutanku, kelembutan sikap dan ketulusan hatinya menjadi semangatku berubah menjadi lebih baik.

"Sayang, kamu dimana?" suara barito suamiku.

"Hubby, aku ada di halaman belakang!" sahutku. Terdengar langkah kaki berat, sang imam sholatku dulu.

"Sayang, kenapa kamu ada di sini? Angin sore kurang baik untuk kesehatanmu, lebih baik kita masuk!" ujarnya mesra.

"Hubby, sebentar lagi. Aku ingin melihat senja, aku merindukan bunda!" ujarku lirih.

Kebetulan halaman belakang rumahku, memiliki pemandangan yang indah. Aku dan mas Agam memutuskan untuk pindah ke luar kota. Hampir setengah tahun lebih kami tinggal di sini. Jauh dari keramaian kota, jauh dari keluarga yang aku sayangi.

"Sayang, apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya sesaat setelah memutar tubuhku 180° menghadapnya.

"Aku tidak memikirkan apa-apa? Apa Hubby tidak tertarik melihat senja? Keindahan alam yang tak ternilai, adilkah aku memandangnya dengan sebuah permasalahan!" ujarku lirih.

"Baiklah, aku percaya! Aku akan menemanimu di sini. Kita akan bersama-sama memandang senja. Namun kamu harus tahu, senja hanya mampu memberi ketenangan sesaat tanpa memberikan penyelesaiannya. Ingatlah aku bukan hanya suami yang harus kamu patuhi, tapi aku juga laki-laki yang sangat mencintaimu. Jadi jangan pernah merasa sendiri. Meski tubuhku jauh darimu, tapi hatiku selalu bersamamu!" ujar mas Agam, aku mengangguk pelan.

"Sayang, kenapa kamu selalu menyimpan rapat setiap harapan dan keinginanmu? Kamu selalu berusaha tegar dan dewasa di depanku. Sejujurnya aku rindu Tika yang manja, selalu merengek untuk sesuatu yang sepele. Sayang, aku harap semua tidak bertahan lama. Agar aku bisa melihat senyum manismu!" batin mas Agam.

Kami berdua memandang senja bersama. Guratan tinta emas yang takkan ada tandingannya. Sayub terdengar suara adzan magrib, aku dan mas Agam bergegas masuk. Mas Agam harus segera ke mushola dekat rumah. Dia menjadi imam sholat untuk magrib dan isya.

"Sayang, aku berangkat ke mushola. Jangan lupa kunci pintu." pamitnya.

"Iya Hubby, aku sebentar lagi selesai wudhu!" sahutku.

"Mbak Tika, biarkan aku yang menutupnya!" ujar Bik Asih.

"Baiklah kalau begitu, aku akan langsung sholat di kamar. Terima kasih bik!" ujarku.

Biasanya mas Agam tidak akan pulang saat setelah sholat magrib. Mas Agam berkumpul dengan beberapa warga desa, sekadar untuk saling bertukar pikiran.

Setelah sholat isya, aku langsung menyiapkan makan malam. Mas Agam selalu berusaha untuk makan bersamaku. Kami terbiasa makan bersama, hanya dengan begitu kami bisa tetap berkomunikasi.

Lama aku menunggu, sedangkan mas Agam tidak juga pulang. Akhirnya aku putuskan masuk ke dalam kamar. Kuminta bik Asih membersihkan meja makan. Nanti jika mas Agam pulang, aku sendiri yang akan menatanya kembali.

Sebagai penghibur dan pengisi waktu luang, aku menyibukkan dengan menulis. Sekarang menulis menjadi hobi yang kugemari Mas Agam mengetahui jika aku menulis, tapi dia tidak pernah bertanya atau mengetahui sejauh mana karya yang telah aku hasilkan.

"Sayang!" sapa mas Agam.

"Hubby, sudah pulang!" ujarku santai, mas Agam mengangguk.

"Hubby, aku panaskan dulu makanannya!. Setelah itu baru aku panggil Hubby!" ujarku.

"Sayang, tidak perlu. Aku sudah makan di rumah pak RT. Tadi beliau memaksa aku untuk mampir, sekaligus mengajakku makan malam di rumahnya. Kamu tidak marah bukan!" ujarnya, aku menggeleng lemah.

"Baiklah kalau begitu, Hubby istirahat saja dulu. Aku ke dapur mengisi teko air, agar nanti malam tidak perlu keluar jika haus!" tuturku lirih. Mas Agam menarikku ke dalam pelukkannya.

"Maaf, seharusnya aku menolak ajakan pak RT. Aku tahu kamu juga belum makan. Bagaimana kalau aku temani makan?" ajak mas Agam, aku menggeleng.

"Kata siapa aku belum makan? Aku sudah makan bersama bik Asih. Aku tidak tega, jika bik Asih menunggu Hubby pulang. Jadi aku temani dia makan!" tuturku lirih.

"Sayang, kamu benar sudah makan!" ujarnya lagi, aku mengangguk.

"Syukurlah, aku takut kamu menungguku. Pak RT mengajakku makan di rumahnya, karena putrinya yang baru saja datang dari kota. Dia yang akan membantuku, sebagai pengawas proyek. Pak RT tidak hanya mengundangku. Dia juga mengajak beberapa warga!" terang mas Dimas, aku mengangguk.

"Hubby, bisa aku ke dapur sekarang. Apa Hubby membutuhkan sesuatu? Sekalian saja, biar aku ambilkan!" tawarku.

"Sayang, jika tidak keberatan bisa minta secangkir kopi. Aku harus menyelesaikan laporan ini segera. Aku harus begadang, takutnya besok harus berkeliling dengan pengawas yang baru. Jadi besok tidak ada waktu untuk menyelesaikannya!" ujarnya santai.

"Baiklah Hubby, akan aku buatkan. Hubby tunggu di ruang kerja atau di sini!" tanyaku.

"Di sini saja sayang, aku ingin menemanimu sebagai ganti makan malam yang batal!" ujarnya, aku mengangguk lalu meninggalkannya sendiri di kamar.

"Hubby, ini kopinya!" ujarku sembari menaruh secangkir kopi di meja. Aku melihatnya sedang menghubungi seseorang.

Aku duduk di atas tempat tidur, kulanjutkan menulis sebagai penghibur sekaligus teman dalam sepiku. Aku dan mas Agam sama-sama larut dalam dunia masing-masing. Mas Agam sibuk dengan berkas-berkasnya. Sedangkan aku sibuk dengan tulisanku.

Tok tok tok

"Mbak Tika!" ujar bik Asih lirih.

"Ada apa bik? Tika sedang ada di kamar mandi!" ujar mas Agam sesaat setelah membuka pintu.

"Mas Agam, sudah pulang. Saya pikir belum pulang. Kenapa mbak Tika tidak membangunkan saya?" ujar bik Asih menyesal.

"Kenapa memangnya? , ada urusan apa bik Asih mencari Tika malam-malam begini?" tanya Agam heran.

"Itu mas Agam, makanannya jadi dipanaskan atau tidak!" ujar bik Asih polos.

"Maksud bik Asih apa? , bukankah Tika sudah makan malam bersama bibik!" ujar mas Agam kaget, bik Asih menggeleng lemah.

"Bibik memang sudah makan, tapi mbak Tika belum. Tadi mbak Tika mengatakan, akan menunggu mas Agam." ujar bik Asih lirih.

"Tidak perlu bik, sekarang bibik bisa pulang. Terima kasih untuk hari ini!" ujar mas Agam.

"Baiklah mas Agam, bibik permisi pulang dulu." ujarnya lalu pulang.

Bik Asih memang tidak pernah menginap, karena rumahnya tidak jauh dari rumahku. Setelah mas Agam mengunci pintu, dia melihat aku sudah tertidur. Sedari awal aku terbiasa tidur lebih awal. Agar aku tidak bangun terlalu siang.

Mas Agam mendekat padaku, dia membetulkan selimutku. Mas Agam menatap wajah teduhku saat tidur. Kemudian mengcium lembut keningku.

"Terima kasih sayang, kamu rela menahan lapar agar aku tidak terlalu merasa bersalah. Maafkan aku yang tidak menghargaimu, seharusnya aku yang menepati janji. Maafkan aku sayang, aku janji ini pertama dan terakhir kamu tidur dalam keadaan lapar. Terima kasih!" batin mas Agam.

...☆☆☆☆☆...

Terima kasih, semoga berkenan😙😙😙

Pergi ke Rumah Sakit

Kota tempat aku dan mas Agam tinggal sangat asri. Kota kecil yang jauh dari keramaian dan padatnya jalanan kota. Papa meminta mas Agam mengerjakan proyek pembangunan pabrik di sini. Sehingga aku harus ikut.

Setiap pagi selalu terdengar suara burung yang saling bersahutan. Hawa sejuk pegunungan membuat tubuhku serta pikiranku menjadi tenang. Pernikahanku yang hampir menginjak satu tahun, belum memilik tanda-tanda akan hadirnya momongan.

Mas Agam tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia selalu meyakinkanku, bahwa akan ada hari dimana suara tangis bayi terdengar di rumah kami. Namun sebagai seorang wanita, aku selalu gelisah memikirkan hal itu. Bagaimanapun kesempurnaan seorang wanita? Ada saat dirinya sudah menjadi seorang ibu. Meski mas Agam tidak pernah mempermasalahkannya, tapi kedua orang tuanya pasti menginginkan seorang cucu.

"Hubby, bangun sudah hampir jam 07.00 WIB. Bukankah Hubby harus memeriksa pembangunan proyek!" ujarku membangunkannya. Mungkin mas Agam tidur terlalu larut, sehingga dia tidur kembali setelah sholat subuh.

"Hubby, ayo bangun! Nanti Hubby bisa telat!" ujarku lagi sembari menggoyang-goyangkan badannya pelan.

"Hmmm!" sautnya dengan mata terpejam.

"Hubby, bangun sudah jam 07.00 WIB." ujarku lagi.

"Hmmm!" sautnya.

"Baiklah, kalau Hubby tidak bangun. Aku tidak akan sarapan bersama Hubby. Biarkan saja aku kelaparan!" ujarku kesal. Kurasakan tangannya menahan lenganku.

"Baiklah aku bangun. Jangan marah lagi sayang!" ujarnya, lalu menarikku dalam pelukannya. Alhasil kepalanya bersandar pada perutku yang rata.

"Sayang, maafkan aku. Semalam kamu tidur dalam keadaan lapar. Seharusnya aku menolak permintaan pak RT." ujarnya lirih, lalu mencium lembut perutku.

"Hubby, bukankah dulu pernah mengatakan. Jika tidak ada kata maaf dan terima kasih dalam pernikahan kita. Hubby bisa menerima kelemahanku, kenapa aku tidak bisa menerima kesalahan Hubby?" ujarku santai.

"Hmmm! Aku tahu, tapi tetap aku harus meminta maaf. Istriku yang cantik ini, harus tidur dalam keadaan lapar!" ujarnya sembari memelukku erat. Aku merasa geli, saat kepalanya menyusup dalam hijabku.

"Hubby, jangan seperti ini. Sekarang Hubby bangun, aku akan menyiapkan sarapan!" ujarku, kurasakan kepalanya menggeleng. Kuangkat kepalanya pelan.

"Memangnya Hubby tidak kerja! Bukannya semalam Hubby lembur, karena hari ini akan meninjau proyek!" ujarku sembari menatap kedua bola matanya yang indah. Wajahnya terlihat sangat tampan, meski baru bangun dari tidur.

"Sayang, aku lelah. Aku akan semangat, asalkan kamu memberi aku semangat pagi. Satu saja sudah cukup!" ujarnya nakal.

Cup

"Sudah, sekarang bangun! Cepat mandi, nanti terlambat. Meski Hubby bos, tidak semestinya Hubby terlambat datang. Apalagi ada staf baru, wanita cantik pula. Apa tidak rugi? Kalau sampai terlambat!" godaku, sesaat setelah kecupan pagi yang singkat.

"Sayang, kamu cemburu!" ujarnya datar, aku menggeleng.

"Cemburu untuk orang yang tidak percaya pada dirinya sendiri dan pasangannya. Sampai saat ini, aku masih yakin hanya aku satu-satunya wanita yang Hubby cintai. Aku juga masih percaya, kalau Hubby tidak akan mengkhianatiku!" ujarku final, lalu keluar dari kamar. Aku segera menuju dapur, jika terlalu lama di kamar. Pasti semakin lama mas Agam bersiap, padahal hari sudah sangat tinggi.

Saat aku ke dapur, aku melihat bik Asih sedang memasak. Aku hanya bisa membantu sekadarnya saja. Bik Asih terlihat sedikit gelisah, entah apa yang sedang dia pikirkan? Aku tahu betul, bik Asih orangnya seperti apa?

" Bik Asih, sedang ada masalah? Kenapa dari tadi diam saja? Bik Asih tidak seperti biasanya!" ujarku, menganggetkannya.

"Asthgfirullah mbak Tika, bibik kaget!" ujarnya, sembari memegang dadanya.

"Ada apa bik? Katakan pada Tika. Barangkali Tika bisa membantu. Bibik sudah seperti saudara bagi Tika, jadi anggap Tika seperti putri bibik sendiri!" ujarku lirih.

"Tidak ada apa-apa mbak?" ujarnya menutupi.

"Bik, Tika tahu kapan bibik berbohong? Kapan bibik jujur? Sekarang katakan pada Tika ada apa? Jangan takut Tika akan menjadi pendengar yang baik!" ujarku.

"Suami bibik sakit. Bibik bingung harus bagaimana? Sudah berkali-kali bibik membawanya ke puskesmas, tapi tidak ada hasilnya. Kata mantri yang ada di puskesmas, suami bibik harus dibawa ke rumah sakit besar. Suami bibik harus mendapatkan perawatan lanjutan. Sedangkan bibik tidak ada biaya untuk ke rumah sakit besar!" ujarnya lirih, sembari terisak.

Kupeluk tubuh renta bik Asih, kuberikan dukungan sebagai seorang anak. Meski dia ART di rumahku. Aku dan mas Agam tidak pernah membedakannya.

"Bik, sekarang pulanglah. Aku akan mengantar suami bibik ke rumah sakit, tapi setelah mas Agam berangkat kerja. Bibik tidak perlu memikirkan biaya rumah sakit. Tika yang akan menanggung semua biayanya. Bibik sekarang hanya perlu menjemput suaminya, kita berangkat dari sini bersama." ujarku.

"'Tidak mbak Tika, bibik tidak ingin merepotkan mbak Tika. Selama ini bibik sudah menyusakan mbak Tika dan mas Agam. Biarkan bibik sendiri yang membawanya ke rumah sakit." tolaknya halus, sembari menggeleng lemah. Kupegang kedua bahu yang mulai melemah, kutatap kedua bola mata yang mulai sayu. Sepintas aku teringat akan bunda, ibu yang selalu aku rindukan.

"Bik Asih bukan siapa-siapa bagi kami? Bik Asih sudah seperti ibu bagiku, jadi tidak ada istilah merepotkan atau menyusahkan. Sekarang yang paling penting, suami bik Asih sehat. Apa bik Asih tidak ingin melihat suaminya sehat kembali? Bik Asih jangan lupa! Harta bisa dicari ketika kita sehat, tapi sehat itu tidak akan bisa dicari lagi!" ujarku, bik Asih mengangguk.

Akhirnya bik Asih pulang menjemput suaminya. Tak lama aku dan mas Agam sarapan bersama, mas Agam sempat heran karena tidak melihat bik Asih.

"Hubby, aku bisa pinjam mobilnya. Aku akan mengantar suami bik Asih ke rumah sakit. Jadi nanti Hubby bisa menggunakan mobil sport Hubby!" ujarku, mas Agam mengangguk.

"Memangnya suami bik Asih kenapa?" tanya mas Agam.

"Suami bik Asih sakit sudah sejak lama. Pihak puskesmas tidak sanggup, jadi harus dirujuk ke rumah sakit besar. Selama ini bik Asih diam saja, karena terhalang biaya. Bik Asih merasa tidak enak jika merepotkan kita lagi!" tuturku, mas Agam mengangguk.

"Sayang, nanti hati-hati mengemudinya. Seandainya aku tidak harus melihat pembangunan proyek. Aku sendiri yang akan mengantar. Aku sedikit khawatir, jika kamu mengemudi sendiri. Meski aku tahu kamu bisa mengemudi!" ujar mas Agam khawatir.

"Hubby, selama kamu mengizinkan. Percayalah tidak akan terjadi sesuatu padaku. Jadi Hubby tidak perlu khawatir!" ujarku sembari tersenyum.

Selesai sarapan aku dan mas Agam sama-sama bersiap. Mas Agam akan pergi ke proyek. Sedangkan aku akan pergi mengantar bik Asih ke rumah sakit.

"Assalammualaikum, pak Agam!" sapa pak Adi, RT di wilayahku. Beliau datang bersama seorang wanita cantik berhijab.

"Waalaikumsalam!" jawab aku dan mas Agam hampir bersamaan.

"Ada apa pak Adi datang pagi-pagi?" tanya mas Agam. Aku memanaskan mobil yang akan aku gunakan.

"Maaf sebelumnya pak Agam, saya ingin minta bantuan anda. Saya tidak bisa mengantar Annisa ke proyek, karena pagi ini saya ada rapat mendadak!" ujar pak Adi lirih.

"Maksud bapak, bantuan apa?" sahut mas Agam.

"Saya ingin titip Annisa, agar bisa berangkat bersama bapak. Itupun kalau bapak tidak keberatan. Saya belum sempat membelikan Annisa kendaraan!" ujarnya lagi. Aku hanya diam menyimak, tanpa sedikitpun ingin terlibat.

Aku melihat bik Asih dan suaminya datang. Kubukakan pintu mobil bagian belakang. Aku menghampiri mas Agam untuk berpamitan. Kucium lembut tangan mas Agam, dia membalas mengecup lembut keningku.

"Hubby, aku berangkat sekarang!" ujarku lirih, mas Agam menahan tanganku.

"Sayang, bagaimana menurutmu permintaan pak Adi?" tanyanya.

"Lakukan yang menurut Hubby baik. Aku rasa Hubby mengetahui, jawaban yang paling baik!" sautku, mas Agam menunduk.

"Aku tahu pasti jawaban ini yang kamu berikan! Kenapa kamu tidak langsung melarangku? Agar mudah aku menolaknya!" batinnya.

"Pak Adi, mbak Annisa mari saya berangkat dulu!" pamitku sopan, mereka berdua mengangguk pelan.

"Mas Agam, jika rumah sakit di sini tidak bisa menangani suami bik Asih. Aku akan langsung menghubungi om Bayu!" ujarku, mas Agam mengangguk.

"Aku pergi, assalammualaikum!" ujarku lirih.

"Waalaikumsalam!" saut mereka bersamaan.

...☆☆☆☆☆...

Happy reading😙😙😙

Kalau berkenan jangan lupa like, vote, and, comen. Terima kasih😊😊😊

Hubby Bersamanya

Sekitar hampir satu jam aku sampai di rumah sakit terbesar di kota ini. Dilihat dari bangunannya, aku rasa ini rumah sakit yang baru saja dibangun. Namun untuk masalah fasilitasnya, aku belum tahu. Aku sudah meminta izin pada mas Agam, jika rumah sakit ini tidak bisa menangani suami bik Asih. Maka aku akan menghubungi om Bayu. Itu artinya aku akan meminta suami bik Asih dirawat oleh sahabat-sahabat bunda yang sudah berkompeten.

Aku membawa suami bik Asih langsung menuju IGD rumah sakit. Kondisi pak Karim suami bik Asih, tidak memungkinkan lagi untuk antri di depan poli. Aku mengantar hanya sampai depan IGD, karena hanya satu orang yang diperbolehkan menemani pasien. Namun aku berpesan pada bik Asih, jika ada dokter yang ingin menerangkan kondisi suaminya. Aku memintanya untuk memanggilku.

Aku menunggu bik Asih di luar IGD, sembari menunggu bik Asih aku menulis melalui aplikasi ponselku. Menulis menjadi salah satu penghilang kebosanan. Dimanapun dan kapanpun? Selama ada laptop atau ponsel aku akan menulis. Mungkin aku bukan penulis yang hebat, tapi aku akan berusaha yang terbaik.

"Mbak Tika, dokter memanggil!" ujar bik Asih, aku mendongak kaget.

"Baiklah, aku akan menemuinya." ujarku, lalu berdiri mengikuti bik Asih bertemu dokter yang menangani pak Karim.

Aku berjalan menuju ruangan dokter yang ada di dalam ruang IGD. Aku meminta bik Asih menemani suaminya, aku bisa menemui dokternya sendiri.

Tok tok tok

"Selamat siang dok!" sapaku, sesaat setelah membuka pintu.

" Silahkan masuk, silahkan duduk!" ujarnya opan. Aku melihat papan nama yang melekat di dadanya, ternyata dia dokter spesialis penyakit dalam.

"Terima kasih, saya wali dari bapak Karim. Barusan dokter meminta bertemu dengan saya!" ujarku sopan, dia mengangguk pelan.

"Maaf mbak, saya harus menyampaikan kabar yang sedikit tidak menyenangkan. Kondisi pak Karim tidak terlalu baik. Pak Karim mengalami penyumbatan usus, sehingga beliau sulit untuk mencerna makanan. Ditambah lagi usia lanjut, membuat kami kesulitan melakukan tindakan selanjutnya. Pak Karim juga mengalami, gangguan dalam kantung kemih. Sehingga menyebabakan beliau mengalami, kencing batu!" tuturnya lirih. Aku mendengarkan perkataan tanpa sedikitpun menatap wajahnya.

"Baiklah dokter, apa yang harus kami lakukan demi kesembuhan beliau?" ujarku lirih, aku melihat sekilas dia tersenyum.

"Asthgfirullahaladzim!" ujarku lirih.

"Pak Karim harus rawat inap untuk sementara waktu. Menunggu hasil laboratorium yang belum keluar. Kemungkinan baru besok, saya bisa menjelaskan secara rinci pengobatan lanjutan untuk beliau!" ujarnya lirih, aku mengangguk pelan.

"Baiklah kalau begitu, saya mohon lakukan apa saja yang perlu dilakukan? Saya mohon berikan penanganan yang terbaik. Jika diperlukan operasi, lakukan saja demi kesembuhan beliau!" ujarku lirih.

" Baiklah kalau begitu, mbak bisa mengurus administrasi untuk ruang rawat inap." ujarnya lirih, aku mengangguk sembari tetap menunduk.

Aku keluar dari IGD, menuju ruang administrasi. Aku memilih kamar VVIP untuk suami bik Asih, agar tidak terganggu dengan pasien. Sehingga pak Karim bisa beristirahat. Setelah menyelesaikan pemesanan kamar dan membayaar deposit rumah sakit. Aku menemui bik Asih dan pak Karim, menjelaskan jika untuk sementara waktu beliau harus dirawat.

Awalnya bik Asih menolak, dia tidak ingin membebaniku. Namun aku memaksa demi kesembuhan pak Karim, dengan terpaksa bik Asih menerima bantuanku. Aku juga memberi sedikit uang, sebagai pegangan selama ada di rumah sakit.

Menunggu pak Karim mendapatkan kamar, untuk rawat inap. Aku sengaja pergi ke kantin rumah sakit. Aku membeli beberapa cemilan dan minuman untuk bik Asih. Aku juga memesan makanan untuk bik Asih, karena aku tahu kalau bik Asih belum makan.

"Mbak yang putrinya pak Karim bukan!" sapa seseorang, aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata dokter yang menangani pak Karim.

"Iya saya!" sautku datar, sembari mengangguk.

"Sedang memesan makanan juga! Boleh saya duduk di sini?" pintanya lirih, aku hanya mengangguk.

"Duh, kenapa lama sekali membungkus makanannya?" gerutuku.

"Pak dokter, pesan makanan seperti biasanya!" ujar pegawai kantin, sembari kegenitan. Memang sekilas aku melihat, dokter di depanku ini tampan, pintar, dan, masih muda. Jelas semua wanita pasti jatuh hati, tapi masih lebih tampan mas Agam.

"Iya, saya pesan seperti biasa!" saut dokter ramah.

"Mbak maaf, pesanan sudah siap. Silahkan membayar di kasir!" ujar salah satu pegawai kantin, aku mengangguk lalu berdiri.

"Alhamdulillah!" batinku bersyukur. Aku tidak ingin terlalu lama di sini.

"Maaf dokter, saya permisi dulu." pamitku sopan.

"Tunggu, kenapa buru-buru?" ujarnya lirih.

"Maaf, lain kali saja dokter. Saya harus segera pulang, takut kemalaman!" ujarku lagi, sebelum dokter itu berbicara lagi. Aku bergegas menuju kasir.

Aku berjalan menuju ruangan pak Karim. Kutaruh semua makanan dan minuman dalam lemari pendingin yang sudah disediakan. Aku juga menaruh beberapa botol air mineral di atas meja, di samping ranjang pasien. Bik Asih terdiam, seolah malu ketika aku membawa banyak makanan.

"Bik Asih, jaga diri baik-baik disini. Maaf Tika tidak bisa menemani, besok pagi Tika datang lagi. Mungkin Tika akan mengajak keponakan bik Asih, supaya ada yang menemani." tuturku.

"Terima kasih mbak Tika, terima kasih!" ujarnya lirih, sembari menangkupkan kedua tangannya di dada. Kugenggam erat tangan itu, tangan yang mulai keriput termakan usia.

"Bik Asih, tidak perlu berterima kasih. Aku melakukan yang seharusnya aku lakukan. Bik Asih, tidak perlu memikirkan apapun, bik Asih jaga pak Karim baik-baik. Bik Asih tidak perlu sungkan, Tika sudah seperti putri bik Asih!" tuturku lembut, kutarik tubuh rentanya. Bik Asih menangis dalam pelukanku. Kutepuk pelan punggungnya, agar bik Asih tenang.

"Bik Asih, harus kuat menghadapi cobaan ini. Bik Asih tidak boleh lemah, pak Karim butuh bik Asih. Sekarang Tika harus pulang, hari sudah mulai sore. Sebentar lagi pasti mas Agam pulang. Aku takut dia khawatir, soalnya ponselku mati kehabisan daya. Bik Asih hati-hati di sini. Jika ada apa-apa? Bik Asih ke depan minta bantuan perawat. Jika Tika diperlukan, bik Asih bisa minta perawat menghubungi Tika!" tuturku menjelaskan, bik Asih mengangguk dalam pelukanku. Kulepaskan pelukanku, kuhapus air mata yang jatuh dari kedua mata sayunya.

Aku berjalan keluar dari rumah sakit menuju tempat parkir. Entah kenapa hari ini aku selalu bertemu dengan dokter ini? Tapi beruntungnya kali ini. Dia melihatku setelah aku memasuki mobil, jadi dia tidak sempat mengajakku berbicara.

Kubelah jalanan kota yang sedikit padat. Maklum hari mulai petang, senja menyeruak dari ufuk barat. Sekitar hampir satu jam aku mengendarai mobil mas Agam, akhirnya aku memasuki jalan yang menuju tempat tinggalku. Tak jauh di depan mobilku, aku melihat mobil sport mas Agam. Itu artinya dia juga baru pulang.

"Alhamdulillah, mas Agam tidak sampai menungguku!" batinku.

Mobil kami beriringan, mungkin mas Agam sudah melihat mobil yang aku kendarai dari spion. Jarak mobil kami tidak terlalu jauh, sehingga dengan mudah mas Agam bisa melihat mobilku. Setibanya di depan rumah kami, mobil mas Agam parkir terlebih dahulu menyusul mobilku.

"Assalammualaikum, Hubby baru pulang!" sapaku dengan seutas senyum, mas Agam mengangguk kikuk. Ketika aku mengetahui jika dia pulang bersama dengan Annisa.

"Waalaikumsalam!" sahutnya.

"Selamat sore mbak Tika!" sapa Annisa ramah.

"Selamat sore mbak Nissa, mari mampir! Kita bisa bicara di dalam, sembari minum teh!" ajakku sopan, Annisa menggeleng.

"Terima kasih mbak Tika, saya langsung pulang saja!" tolaknya halus, aku mengangguk.

"Mari pak Agam, terima kasih atas tumpangannya!" ujar Annisa, mas Agam mengangguk.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan mas Agam sendirian.

"Sayang tunggu, kamu jangan salah paham. Aku hanya!" ujarnya langsung ku potong.

"Hubby, hanya sedang mengantar dia pulang. Tenang saja Hubby, aku tidak salah paham. Meski aku tahu Hubby bersamanya seharian!" ujarku santai, lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah.

...☆☆☆☆☆...

Happy reading😙😙😙😙😙

Jika berkenan like, vote, and, comen. Terima kasih***.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!