"Van ... cepetan! Waktunya sudah mepet banget ini. Nanti telat gawat kan," ucap Dina menggerutu padaku.
"Iya sebentar ihh, ini juga sudah selesai."
Biasanya pukul 06.30 kami sudah standby di kantor House Keeping, tetapi hari ini kita memang agak telat karena air kos tiba-tiba macet. Jadi memang harus menganteri panjang untuk mandi.
"Alhamdulillah sampai. Ayo, Van cepat jalannya! Tiga menit lagi sudah jam tujuh ini," lagi-lagi Dina berteriak melihat ke arahku.
"Pagi Pak," sapa Dina kepada seorang Security.
Aku yang sedang memasukkan lembaran presensi di mesin otomatis tidak terlalu memperhatikan jika ada satu security yang berdiri tegap di samping meja. Satu lagi menatap tajam dan siap mengomel karena keterlambatan kita. Meskipun sebenarnya waktu masih dua menit lagi, tapi bagi mereka peraturan untuk anak magang harusnya memang datang lebih awal dibanding senior.
"Jam berapa ini? Kalian kan magang, harusnya datang lebih awal, karyawan saja tidak ada yang terlambat seperti kalian!" ucap security bernama Kris sambil berkacak tangan, aku tak sengaja membaca name tag-nya.
"Maaf Mas, eh Pak ... tadi kami ada hal yang mendesak jadi datangnya agak kesiangan," jawabku.
Cukup membingungkan juga ya, mau panggil Pak, tapi masih muda, dipanggil Mas, juga tidak formal. Paling aman memang panggil 'Kak' sajalah.
"Besok jangan diulangi lagi yaa ..." kata security yg berwajah tampan itu. Ia berkulit putih, dan bibirnya merah merona tanpa lipstik, ia mengulas senyum samar yang menawan.
"Iya Kak, terima kasih," ucapku serempak dengan Dina.
"Ya Allah Din, security tadi tampan banget, ya. Aaaa ... rasanya meleleh hatiku melihat wajahnya yang penuh dengan kelembutan itu, tidak seperti yang satunya tadi, galak banget. Diihhh amit amit! Ehh ngomong - ngomong siapa yaa tadi namanya?" pandanganku menerawang keatas sambil mengingat name tag dan wajah security yang super tampan tadi.
"Kamu selalu gitu! Nggak bisa banget lihat cowok ganteng dikit aja! Ingat Ega, nggak kasihan?" Ketus Dina dengan mata sinisnya kepadaku.
Ega, dia adalah kekasihku di sekolah, kami baru berpacaran dua bulan, dia tipe lelaki yang gentle, apapun akan dia lakukan demi orang yg dia sayang selalu bahagia, termasuk aku sebagai pacarnya. Akan tetapi, di sisi lain, dia juga orang yang keras, emosian, dan terkadang apa yang dia inginkan memang harus di kabulkan.
"Ya Tuhan ... Din! Aku hanya bilang tampan saja muka kamu sudah sinis, berlebihan banget deh! Wajarlah mataku kan, masih normal. Hahaha ...."
"Sudah cepat naik! kamu tugas di lantai tiga sama Pak Herman loh." Dina berkacak pinggang sambil mengusirku.
"Ah iyaa. Ya udah, aku naik dulu yaa ... jangan lupa nanti makan siang tunggu aku, awas ditinggal!"
"Iya, sudah sana!"
Pak Herman adalah senior yang paling menakutkan bagiku, bukan karena galaknya, tapi karena dia terkenal sering kurang ajar sama anak magang. Tangannya lancang, bahkan sampai berani menyentuh dada dan yang lainnya, modusnya sih cuma senggol-senggol tak sengaja tapi sambil tangannya bekerja, sungguh menakutkan.
Jadi, kerja dengan dia memang harus ekstra hati-hati dan waspada. Lengah sedikit saja bisa menguntungkannya. Dasar tak tau diri, pdahal sudah beristri.
Vania Alzahreyna, itulah nama yang diberikan oleh orang tuaku kepadaku, usiaku sekarang menginjak angka tujuh belas tahun. Mempunyai tubuh yang ideal berisi, tidak terlalu kurus ataupun gemuk. Rambutku lurus hitam, panjang dan kulitku juga lumayan putih. Bukannya terlalu percaya diri, namun kebanyakan orang jika melihatku selalu bilang kalau aku cantik dan imut karena pipiku yang chubi, hehe...
Saat ini aku sedang menjalankan praktek kerja dari sekolah, kami menyebutnya On The Job Training atau pelatihan kerja di Grand Luxury Hotel, salah satu hotel berbintang lima di Yogyakarta.
Ya, aku memang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Namun rasanya sungguh nyaman dan sangat menikmati kehidupan di sini, meskipun uang pas-pasan untuk biaya kos, makan dan kebutuhan lainnya.
Aku bersama empat orang, dua teman perempuan dan dua lelaki, tetapi hanya Dina dan Widya saja yg dekat denganku. Bahkan aku sering curhat masalah pribadi dengan mereka.
Bagiku hari pertama bukanlah hal yg sulit untuk beradaptasi karena hampir semua senior friendly dan sangat baik, jadi kita sangat mudah untuk menyesuaikan diri di sini.
Pak Adi, beliau adalan salah satu senior yang bagiku sangat baik, humoris, mempunyai perawakan tinggi dan hidung yang mancung.
Beliau sudah beristri dan anak lelakinya berumur enam tahun. Dari hari pertama sampai hari ke tiga magang, aku ditugaskan mendampingi Pak Adi untuk merapikan kamar hotel.
Seiring berjalannya waktu, aku dan Pak Adi bisa mengenal akrab dalam waktu yang singkat. Aku sudah menganggap beliau seperti ayahku sendiri, karena beliau begitu perhatian dan sering memberiku uang tips atau makanan jika aku lapar.
...***...
Jam menunjukkan pukul 12.00, akhirnya jam istirahat tiba. Aku segera turun dan mencari keberadaan Dina. Seperti biasa, kita salat zuhur dulu sebelum makan siang di kantin.
"Din, eh itu! Kenapa ada Mas Security itu lagi sih, Ya Allah dia rajin salat loh, Masyaallah ...." ucapku sambil bengong memperhatikan dia sholat.
"Ayuklah cepetan sholat nggak usah lihat-lihat jantan terus! Nanti jam makan siang keburu habis loh!" tegas Dina terlihat emosi padaku.
Sajadah kugelar dan mukenah selesai kupakai, tetapi lagi-lagi pandanganku mengarah padanya, dan ternyata dia juga melihatku. Mata kami saling bertatap, bibir tak mampu berucap. Iyalah mau ucap apalagi, kenal juga enggak, hahaha ....
Senyumannya pun membuyarkan lamunanku, dia mengangguk sapa sambil bergegas meninggalkan mushola. Ya Allah godaan apa lagi ini, mau sholat masih aja terbayang-bayang wajahnya.
Setelah selesai sholat, aku dan Dina pun turun menuju kantin yang ramai karyawan dan para anak-anak magang lainnya yang sedang menikmati makan siangnya.
Jam satu siang di lantai tiga kamar 301. Kamar Presiden Suite, kamar yang begitu luas dan perlu ketelitian ekstra untuk merapikannya. Aku sedang bertugas dengan Pak Herman, senior yang menyeramkan.
"Vania ... nanti kamu bagian kamar mandi aja ya, saya di kamar. Tapi harus bersih," perintah Pak Herman padaku.
"Pak, saya belum pernah mengerjakan kamar mandi lho, apalagi ini Presiden Suite, saya juga baru pertama kali masuk di kamar ini, takutnya nanti kurang bersih atau ada toileteries (peralatan yang ada di kamar mandi) yang terlupa," jawabku was-was penuh keraguan.
Ya, aku memang belum begitu pengalaman karena masih beberapa hari bekerja dan belum begitu menguasai seluruhnya. Alasan lainnya, aku takut Pak Herman macam-macam, apalagi kamarnya sangat luas, teriak pun tidak akan ada orang yang dengar karena kedap suara.
Ternyata, benar saja ... dia mulai mendekatiku dengan tatapan aneh dan senyum yang menjijikkan.
"Ya sudah kalo begitu Van ... kamu bantu saya di kamar dulu, nanti saya ajarin kamu merapikan kamar mandi. Apa dari kemarin Pak Adi tidak mengajarimu?" tanya Pak Herman.
"Pak Adi mengajariku, Pak. Hanya saja kalau di kamar ini belum pernah," sahutku dengan pelan.
Sebenarnya sangat berat sebagai mengerjakan tugas bersamanya. Tapi bagaimana lagi, di sini aku hanya anak magang yang harus patuh senior.
Kamar pun sudah selesai, air wastafel kunyalakan, tak lama Pak Herman datang dengan senyumannya yang sangat memuakkan bagiku.
Aku yang berdiri di depan wastafel, tiba-tiba dari belakang tangannya langsung melingkar ke perutku, dan hampir saja aku terjebak dalam pelukan paksanya. Sontak saja aku terkejut menghindar, kutepis tangannya dan aku pergi ke luar kamar dengan wajah jijik, nafas tersengal-sengal, dan jantung sudah hampir mau lepas entah ke mana.
Aku memang takut, tapi aku juga bingung apa yang harus kulakukan, apa aku akan lanjut bekerja dengannya? Padahal masih ada dua jam lagi. Waktu yang sangat lama bagiku untuk bersama orang seperti dia.
"Kenapa? Kok ngos-ngosan begiitu ... capek ya?" tanya security yg tadi pagi kulihat di pos security dan mushola. Dan yaa, senyumnya mengalihkan duniaku ...
"Haa! Ehhm ... eng--nggak ada apa-apa kok, Mas," jawabku gugup karena kaget.
Aku terkejut dan tak menyangka dia menghampiriku, akupun juga bingung apa yang harus kukatakan. Tidak mungkin aku bercerita soal perlakuan Pak Herman, yang mungkin hanya sepele bagi segelintir orang. Takutnya malah akan menjadi masalah besar.
"Ya sudah, dilanjut kerjanya. Yg semangat, jangan lemes ya ...." Security itu berucap sambil pergi meninggalkan koridor, karena memang setiap beberapa jam sekali mereka ditugaskan untuk patroli keliling area hotel.
"Mas!" aku berteriak, memberanikan diri memanggilnya.
"Yaa, ada apa?"
"Mas maaf mengganggu waktunya, lagi sibuk, ya? Saya boleh minta tolong?" Kuberanikan diri untuk berbicara dengannya, meskipun hati sudah tak karuan, campur aduk rasanya.
"Mau minta tolong apa? Kalo bisa pasti saya bantu."
"Itu Mas, saya kan lagi mengerjakan kamar 301, sama Pak Herman, kalo misalnya saya minta waktunya beberapa menit untuk Mas ikut masuk bisa? Maksud saya menemani Pak Herman, sekedar mengobrol aja, Mas."
"Loh, kenapa memangnya? kalau ketahuan Supervisor atau Manager bisa ditegur nanti."
"Enggak apa-apa sih Mas, cuma ada sesuatu yang nggak bisa saya ceritakan. Ya sudah kalo begitu, nggak jadi aja Mas, terima kasih."
"Ooo ...." yaa, dia hanya menjawab 'o' saja sambil mengangguk tersenyum, padahal sangat kuharapkan bantuannya.
Dengan berat hati aku memasuki kamar dan bingung apa yang harus kulakukan, akhirnya aku membuka pintu kamar lebar-lebar dan mulai memasuki kamar mandi lagi, dengan wajah sok berani, mataku menatap tajam Pak Herman seolah mengancamnya untuk tidak macam-macam.
Tok ... tok ... tok ....
Seseorang mengetuk pintu kamar yang sedang terbuka lebar.
Bersambung .....
...Hay... Assalammualaikum, salam kenal dari author yaa..😁😁...
...maaf kalau ceritanya jelek, ini karya pertamaku. Semoga kalian suka......
...HAPPY READING❤❤...
...jangan lupa tinggalkan jejaknya ya ...🌷🌷🌷...
Mataku terbelalak dan menahan senyum bahagia melihat dia datang.
Ya Allah dia beneran datang, baik banget sih, perhatian meskipun sama orang yang belum dia kenal, batinku.
"Eh Mas Sony, aman Mas? Udah beres ya?" tanya Pak Herman sedikit acuh sambil membereskan kamar mandi.
"Sudah Pak, kebetulan dari lantai satu dan dua, ini kamar terakhir ya, Pak?"
"Iya nih, terakhir tapi lumayan menguras waktu."
"O iya ... ini anak magang dari mana, Pak?" tanya lelaki itu sambil melihat kearahku.
"Loh, kenalan saja langsung, Mas, kan ada di depannya Mas Sony. Hahaha"
Aku melihat tatapannya sekilas membuatku deg-degan, salah tingkah, pegang tisu saja kupakai buat lap kaca. Ya ampun bodohnya aku. Memalukan sekali.
"Kamu dari kota mana?" tanyanya sambil tersenyum ramah padaku, rasanya aku seperti mau pingsan saja.
"Dari Madiun Mas," jawabku tak berani memandang wajahnya karena terlalu gugup.
"Vania, namanya bagus," tersenyum melihat name tag kecil di dadaku sebelah kiri dan menatapku intens.
"Hmm ... makasih Mas, dan terima kasih juga buat bantuannya ya," ucapku mengangkat wajah dan melirik name tag yang bertuliskan Sony Dirgantara. Nama yang gagah seperti orangnya. gumamku dalam hati.
"Memangnya Mas Sony bantuin kamu apa, Van?" tanya Pak Herman penasaran.
"Enggak kok Pak, tadi ketemu di depan, bantu dorong trolly," ucapku berbohong.
Beberapa menit sudah berlalu dengan obrolan yang tak penting. Selesai rapikan kamar, aku turun melewati lift sambil membawa banyak handuk dan sprei kotor menggunakan trolly.
Aku tidak sendiri, karena ternyata Mas Sony mengikutiku masuk lift.
"Loh Mas, kok naik lift di sini? Kenapa tidak lewat lift utama?"
"Sengaja, pengen ngobrol aja, saya boleh panggil kamu Adek?"
"Boleh kok Mas, silahkan, terserah Mas mau panggil apa saja, hehe ...."
Ya ampun, kenapa dia tidak berhenti menatapku dengan senyum manisnya itu ... sungguh ini benar-benar membuatku seperti terbang keawang-awang.
Jangan GR Van, santai saja, tenang ... jangan gugup ... pikiranku terus menenangkan hatiku yang deg-degan bahkan satu kata pun tak bisa terucap, perasaan apa ini ya Allah, kagum? Suka? Atau bahkan jatuh cinta? Secepat itukah?
Bahkan aku baru tau namanya beberapa menit yang lalu. Kenapa hatiku sangat meresponnya, sedangkan Ega kekasihku pun tak kupikirkan.
"Eh iya, tadi Adek kenapa tiba-tiba minta bantuan Mas?"
Haaahh ... dia membahasakan dirinya dengan sebutan Mas ke aku? Aahhh tak tahu lagi, sepertinya aku ingin tenggelam saja kedasar lautan.
"Sebenarnya pengen cerita sih Mas, tapi Mas Sony janji nggak akan kasih tahu ke siapa pun, ya?"
"Iya Dek, tenang saja, Mas orangnya tidak pernah ingkar janji."
"Tadi itu aku takut Mas, karena aku baru pertama kali bekerja dengan Pak Herman, dan kata teman-temanku dia orangnya agak tidak sopan. Tangannya suka lancang."
"Terus ... dia melakukan apa sama kamu?"
"Ya enggak di apa-apain sih Mas, cuma ... tadi dia sempet melingkarkan tangannya ke pinggangku, aku kaget dan ngeri juga kalo terjadi hal yang lebih parah dari itu. Makannya tadi langsung keluar kamar, ketemu Mas Sony, sebenarnya sungkan juga mau minta tolong, karena belum kenal sama Mas."
"Oh begitu ya, sepertinya hal ini perlu saya laporkan ke atasan Dek, biar dia jera. Takutnya nanti terjadi hal yang lebih parah dari ini."
"Jangan Mas! Yang ada nanti malah aku yang kena kasus. Aku kan baru disini, lagian juga cuma sepele kok. Lagipula tadi Mas Sony kan juga sudah janji tidak menceritakan ke siapa pun," ucapku sambil cemberut dan menggerutu.
"Kamu bilang cuma sepele, Dek? Dia udah berani pegang kamu aja itu sudah kurang ajar loh."
Kenapa dia se emosi itu ... apa dia? Ah lupakan, jangan terlalu banyak berfikir yang tidak masuk akal Van. Batinku terus menyadarkanku yang terus-terusan berkhayal meminta harapan lebih ke Mas Sony.
Padahal bagiku memang hal sepele sih karena cuma pegang perut, bukan yang sampai pegang dada ataupun bagian bawah. Meskipun termasuk lancang, tapi memang nggak parah.
"Iya Mas, tapi aku kan aku tidak di apa-apain. Apalagi Mas Sony tadi nungguin diatas. Makasih ya." aku melempar tatapan dan senyuman.
"Yasudah lain kali lebih hati-hati lagi, Dek. Kalau ada apa-apa tidak usah sungkan panggil Mas, ya."
"Oke Mas terima kasih. Aku duluan yaa ..."
Dia mengangguk tersenyum.
Akupun berjalan menuju laundry untuk mengantar kain kotor. Masih ada satu jam lagi sebelum jam pulang.
Aku ke kantor house keeping, di sana banyak teman-temanku dan para senior lainnya. Perasaan bahagia tak bisa kututupi, senyum kecil tak henti dibibirku. Sepertinya aku sudah gila karna security tampan itu. Kenapa dia begitu mempesona? Ah sepertinya aku memang sudah gila.
"Heh, kenapa sih senyum-senyum sendiri daritadi? Kamu masih waraskan?" tanya Dina menelisik.
"Tentu saja aku masih waras, "kataku melotot pada Dina.
...***...
Kulihat jam ditanganku, sudah saatnya kami pulang. Aku dan Dina mengambil tas di loker lalu bergegas ke halaman depan untuk absen dan pemeriksaan tas seperti biasa di pos Security. Di sana juga terlihat sudah lumayan banyak anak magang lainnya yang sedang mengantri.
"Selamat sore Mas," sapaku kepada dua security Mas Sony dan Mas Kris.
"Sore, sudah mau pulang ya, Dek? Kosnya di mana?" tanya Mas Sony sambil memeriksa isi tasku.
"Kos di ...."
Belum selesai meneruskan kata-kataku, seketika aku teringat akan pembalut yang berada di tasku, karena aku sudah biasa menyimpannya untuk jaga-jaga.
Apalagi memang sudah tanggalnya aku haid. Dia tersenyum mengisyaratkan sesuatu saat menggeledah tasku, padahal baru saja aku mau merebutnya. Bersyukur dia tidak mempermalukanku di depan semua orang.
"Kenapa kalian malah pandang-pandangan? Kamu menemukan apa Son?" kejut Mas Kris menatap curiga.
"Bukan apa-apa." Mas Sony menjawab cepat dan memberikan tasnya padaku. Mas Kris malah mendekat ke arahku.
"Coba sini lihat!" Mas Kris merebut tas yang kupegang. Dia memang orang yang kepo, menyebalkan, dan satu lagi, dia terkenal playboy mata keranjang, meskipun tak setampan Mas Sony tapi dia hebat dalam urusan mempermainkan wanita, begitulah kata temanku yang magang lebih lama di sini.
"Mas, kenapa tasnya direbut sih, bentar aku ambil sesuatu di tasku dulu, baru kamu priksa." Aku merebut tasku tapi tak berhasil, teman-teman lainnya pun hanya menyaksikan dan menertawakanku, ya ... termasuk Dina. Sangat menyebalkan!
"Oalah pembalut to, kirain apa. Nggak usah malu, cewek kan memang harus simpan beginian, hahaha." lelaki itu tertawa puas.
Seketika wajahku merah padam. Ya, mungkin aku terlalu sensitif, tapi bagiku itu memang privasi, tidak seharusnya orang lain tau apalagi itu lelaki, dan seperti sengaja mempermalukanku di depan umum.
"Sudah, kembalikan Kris! jangan keterlaluan. Kasihan, dia malu loh," ucap Mas Sony dengan suara lembutnya.
"Hahaha ... gitu aja ngambek, Van. Bercanda doang."
Kamu bilang bercanda? Hei kamu sudah mempermalukanku di depan umum, apa tidak ada bahan lawakan lain? Dasar lelaki, sama sekali tidak menghargai wanita! Ralat, kecuali Mas Sony.
Heran, kok ada juga perempuan yang mau sama dia. Menghargai wanita saja tidak bisa. Tanpa basa basi kutarik tasnya dan aku pulang dengan raut wajah sinis. Dina menyusulku dan meredakan emosiku. Sepanjang jalan aku bercerita perkenalanku dengan Mas Sony, tak lupa dengan Pak Herman yang mulai berani menyentuhku.
...***...
Kuletakkan ponsel di meja setelah berjam-jam menelpon Ega. Kekasih yang aku sendiri sebenarnya tak tahu, entah karena sayang atau iba aku bisa berpacaran dengannya. Kegigihan dan pengorbanannya untuk mendapatkanku membuat hatiku luluh setelah satu tahun dia tak menyerah mendekatiku, tak hanya sekali dia menyatakan perasannya. Namun selalu ku tolak karena aku memang tak mencintainya. Padahal Ega adalah pria yang baik, pintar dan juga sangat perhatian.
Aku berjalan menuju ruang tengah menyusul Dina dan yang lain menonton televisi, ngemil dan mengobrol.
"Barusan telepon sama siapa Van? Lama banget." tanya Widya.
"Sama Ega-lah Wid, sama siapa lagi! Tahu sendiri, kan, hampir setiap hari dia telepon."
"Ciyee ... yang lagi kasmaran hehe ...." goda Widya yang tampak sangat senang ketika aku berpacaran dengan Ega karena dia sangat mendukung hubungan kami, di sisi lain dia adalah sahabatnya Ega. Dia juga yang selalu membujukku untuk menerima Ega sebagai kekasihku.
"Apasih Wid, biasa aja kali," ucapku datar, bagiku di hubungan ini aku sama sekali tidak merasa bahagia ataupun seperti orang jatuh cinta pada umumnya.
"Van, besok kita bertiga dapet siftnya barengan pagi loh. Kamu kan sift sore, gimana? Kamu berani berangkat sendiri?" tanya Dina.
"Berangkatnya sih berani Din, tapi pulangnya enggak. Bayangin aja, jam sebelas malam loh! Masa cewek pulang sendirian jalan kaki, kalian nggak kasihan apa? Kalo misal ada orang jahat gimana? Tega kalian. Jemput pokoknya!"
"Okelah, besok kita jemput, tungguin di Pos Security ya, biar gampang nanti ketemunya."
Bersambung...
...Hay readers... tolong beri dukungan yaa.....
...pokoknya harus ninggal jejak juga ...😁...
...Like👍Komen📨Gift🌷♥️☕...
...Favorite🌟Vote🔖...
...biar author tambah semangat nulisnya,...
...semoga kalian suka karya pertamaku yaa......
Kumandang adzan maghrib terdengar, aku bergegas turun dari lantai tiga setelah merapikan beberapa kamar dengan salah satu senior. Satu persatu kunaiki tangga sendiri. Memang agak seram kalau dipikir-pikir, karena memang mushola dilantai atas agak sepi dibanding mushola utama yang biasa dipakai tamu-tamu dan karyawan lainnya.
"Assalammualaikum, Dek!"
"Astaghfirullah." Aku mengelus dada, pikiranku yang sedang kacau karena bayangan horor, tiba-tiba malah dikagetkan seseorang dari belakang.
"Kok Astaghfirullah, Waalaikumsalam dong jawabnya ... hehe ..."
"Iya, Waalaikumsalam, ya Allah Mas Sony! Kaget Mas, jadi refleks istighfar! Mas kok tahu kalau aku di sini? Mas shift sore jugakah? Kok tadi di pos nggak ketemu. Mau sholat juga yaa?" tanyaku bertubi-tubi, untuk menghilangkan rasa malu dan gugup.
"Hahaha ... satu-satu Dek kalo tanya, maaf kalo mengagetkan. Tadi aku lihat kamu keluar dari kantor HK (House Keeping) dari kejauhan sudah sangat jelas kalo itu kamu. Mungkin tadi sore Mas lagi di Pos dua, Dek. Kebetulan banget ya, kita sift bareng lagi, kaya sudah diatur sama yang di atas, hehe ..., ya sudah ayo sholat bareng, saya imami yaa.."
'Sudah diatur sama yang diatas,' dia bilang begitu saja rasanya aku sudah bahagia banget. Ditambah dia mengajakku sholat dan di imami olehnya.
Ya Tuhan ... boleh aku pingsan saja? Jantung sudah tak beraturan, detaknya makin kenceng. Rasanya benar-benar ingin lompat jauh ke awan. Mimpi apa semalam bisa diajak sholat bareng sama lelaki seperti dia, ganteng, gagah, baik, perhatiannya luar biasa, kalem, sholatnya juga jangan ditanya, rajin banget. Bagiku dia sempurna untuk menjadi imam keluargaku nantinya. Astaghfirullah ... sudah kelewat batas aku berkhayal tentangnya. Parah sih gilanya. Ha ha ha
Suaranya yang lembut begitu adem ketika dia membaca doa-doa sholat. Selesai sholat aku menunggunya di luar, terlihat ia masih mengadahkan tangannya, berdoa pada yang Maha Kuasa.
“Mas, aku turun duluan, ya,?” ucapku begitu Mas Sony memutar badannya kearahku.
“Barengan saja, Mas juga mau langsung turun kok. Oiya kamu sift malam sendirian ya Dek, maksutku apa tidak ada teman yang lain?”
“Iya nih Mas, adanya teman di departemen lain, padahal lumayan ngeri juga kalo nanti disuruh ceklist minibar room to room. Lewat koridor saja hati sama pikiran sudah kacau, Mas."
“Penakut ya, Dek?” Dia tersenyum tipis.
“Nggak boleh takut Dek, kan ada Allah ... berdoa saja, yang penting kita tidak ganggu mereka.”
Semanis itu dia tersenyum dengan bibirnya yang begitu merah, bibirku saja tak semerah dia, ini sungguh tak adil, padahal aku perempuan kenapa kulit dan bibirku tidak bisa sesempurna dia. Apa Mas Sony sadar dia sudah mengobrak-abrik hatiku?
“Hmmm ... sedikit takut, Mas, aku ke kantor dulu ya?”
“Loh mau ngapain, Dek? Ayo ke kantin sekalian, nggak makan? Apa lagi diet?"
Duuh, seneng sih di ajak makan bareng, tapi nanti nggak enak dilihat senior atau karyawan yang lain.
“Makan sih Mas, Tapi memang enggak masalah kalo kita barengan?”
“Tidak apa-apa Dek, kan cuma makan.”
“Ya sudah kalo begitu Mas.” Aku berjalan di belakang Mas Sony karna aku tidak berani menyandingnya di depan umum, meskipun Mas Sony menyuruhku berjalan berdampingan. Takut nanti jadi fitnah.
...***...
Demi menjaga image yang biasanya selalu makan banyak, kali ini aku harus mengurangi porsiku karena malu juga kan cewek makannya banyak, padahal umumnya cewek suka diet, kalau aku ya ga betah. Laper banget, tapi gengsi dong kalo ambil banyak. Ha ha ha
“O iya nanti kalo kamu mau ceklist ke atas, kamu telepon Mas saja ke pos security, Mas juga kan tiap jam sembilan keliling area hotel, nanti Mas temenin sekalian biar enggak ketakutan.”
“Haa ... serius Mas mau temenin aku? Apa nggak merepotkan?”
“Iya Dek dengan senang hati Mas temenin, sama sekali tidak merepotkan kok.”
Tak hentinya kulirik wajah tampannya, sesekali dia juga melirikku juga. Sama-sama curi-curi pandang.
Terus aja pandang-pandangan sampai sukses, enggak habis-habis deh tuh makanannya. (kata author. wkwkwk)
...***...
Tiga jam aku di kantor HK sendirian memang sangat membosankan. Ya, karena memang pekerjaan malam sangat minim dibanding siang hari. Hanya jaga kantor House Kepping, kalau-kalau ada tamu yang telepon perlu sesuatu, jadi ya harus standby. Seniorku jangan ditanya kenapa dia tidak ada dikantor HK bersamaku, temanku banyak bercerita kalau katanya Pak Heri memang sudah biasa berkeliaran ke sana ke mari jika dapat sift malam. Apalagi kalau kerjaan sudah selesai. Hobinya mengobrol dengan penjaga kolam renang sampai jam kerja habis pun betah.
Ponsel di tasku berbunyi, kuangkat telepon dari Ega yang setiap saat menanyakan kabar dan bertanya kegiatanku seharian, cukup lama aku mengobrol dengannya di telpon. Meskipun sangat membosankan, aku tetap meladeninya seolah-olah aku membutuhkan perhatiannya.
Dulu aku mau menerimanya karena terpaksa, awalnya aku berpikir perlahan seiring berjalannya waktu nanti aku bisa belajar mencintainya. Tapi hingga dua bulan perasaan itu juga tak kunjung ada untuknya, aku tak tahu kenapa sangat sulit mencintainya. Apalagi sekarang aku menemukan sosok pria yang aku idamkan. Entah lah, bagaimana ke depannya nanti hanya Tuhan yang tahu. Aku hanya berharap jika suatu hari nanti ada perpisahan, semoga itu tak menyakiti satu sama lain.
Tok ... tok ... tok ...
“Dek, ayo naik, sudah jam sembilan loh ini, Mas tungguin kok enggak telepon."
“Eh, iya Mas, maaf ya aku lupa.” Aku terkejut melihat Mas Sony sudah di depan pintu, sontak aku melihat ke arah jam dinding, sudah jam sembilan lebih, astaga! Segera kuakhiri telepon dengan Ega, dan tampaknya dia mendengar suara Mas Sony, dia bertanya 'siapa' pun aku tak menjawab, langsung kumatikan panggilannya. Tak peduli apa yang dipikirkan Ega saat ini. Aku bergegas mengambil buku inventory, dan tak lupa kukunci pintu kantor HK.
Sesampainya di lift, dia bertanya, ”Tadi yang telepon cowok kamu ya, Dek?”
“Oh ... ehmm ... bukan kok Mas, cuma teman.” Aku tak tahu kenapa reflek kujawab 'teman' begitu cepat. Tak bisa kubayangkan bagaimana kalo Ega sampai tau. Kasihan, tapi terus terang aku memang ingin dekat dan mendapatkan hati security tampan ini.
“Beneran, enggak bohong? Jujur aja Dek nggak apa-apa kok, kamu udah punya pacar, kan? Nggak mungkin cewek seperti kamu belum punya.” Lagi-lagi dia melontarkan senyumnya yang menggoda.
“Beneranlah Mas, ngapain juga aku bohong.”
“Mas boleh minta nomor kamu nggak?” dia mengeluarkan ponselnya.
“Boleh dong,” ku eja dua belas digit nomorku dan dia mencatatnya di ponselnya.
Satu persatu kamar kumasuki untuk mengecek keperluan yang berkurang atau yang harus ditambahkan, dia bahkan membantuku tanpa ku mintai pertolongan.
Jantungku selalu berdebar ketika dekat dengannya, bahkan dengan Ega pun aku tak pernah merasakan hal seperti ini. Aku tak tahu ini hanya perasaanku saja, atau memang dia juga ada rasa sama sepertiku. Yang jelas tatapan hangatnya sangat dalam menembus bola mataku.
“Dek, nanti kamu pulang sendirian juga? Atau bareng sama teman kamu?”
“Nanti dijemput temanku kok Mas, habisnya takut pulang sendirian. Memangnya kenapa, Mas?” jawabku sembari menata stock handuk di trolly.
“Ya kalo sendiri nanti Mas antar Dek, tidak tega membiarkan kamu jalan sendirian, takut ada apa-apa. Di samping situ kan juga sering ada orang mabuk Dek.”
“Iyakah Mas? Aku malah tidak tahu, karena baru kali ini dapat sift malam.”
“Yang penting kamu sudah save nomor Mas, jadi nanti kalo butuh bantuan, kamu langsung telepon Mas aja.
“Oke Mas, terima kasih yaa..”
Tugas sudah selesai setelah hampir satu jam berkutat mengelilingi koridor dan memeriksa satu per satu kamar. Beruntung aku tak sendiri. Kutekan tombol G dalam lift. Di dalam lift, aku dan Mas di Sony mengobrol banyak tentang pengalaman baruku Hotel ini. Tiba-tiba lift eror, bukan macet, melainkan berpindah-pindah lantai, dari lantai bawah naik ke lantai dua, turun lagi dilantai satu, dan berhenti dilantai empat. Memang sering begitu. Anehnya memang terjadi hanya malam saja, kalau dipikir-pikir seperti dibuat mainan sama makhluk tak terlihat,serem kan ... .
“Astaghfirullah‘aladzim ... Mas, gimana dong? Ini nih yang aku takutkan,” rengekku panik hampir menangis berdiri di sudut lift itu.
“Tenang saja Dek, nanti kalo berhenti juga udah normal lagi kok,” ucapnya santai menenangkanku.
Dia tersenyum manis melihatku. Aku sangat bahagia bisa sedekat ini dengannya, padahal baru beberapa hari aku mengenalnya. Namun di dekatnya aku merasa nyaman. Ya Tuhan ... bisakah aku memilikinya? Aku sangat menyukai pribadinya..
Setelah dipermainkan oleh lift, akhirnya aku dan Mas Sony berhasil keluar dari lift gila itu. Sungguh sesuatu yang menakutkan bagiku, untung saja aku tidak sendiri.
"Mas tunggu!"
Mas Sony lebih dulu keluar lift dan memegang pintu lift agar tidak tertutup, tetapi aku spontan menarik tangannya karena kukira dia keluar dan meninggalkanku dalam lift. Bodoh banget aku bisa berpikir seperti itu, ya nggak mungkinlah Mas Sony tega, ha ha ha.
"Dek, kenapa tanganmu begitu dingin?" tanya Mas Sony.
Deg!
"Ehmm. .. he he ... iya Mas, kalau malam tanganku memang selalu dingin." Apa-apaan kamu Van, apa nggak ada alasan lain yang lebih masuk akal? Bodoh! Aku terus merutuki diriku sendiri.
"Betulkah? apa kamu takut karena lift tadi? Atau karena gerogi? he he ...."
Tolonglah, aku enggak mau jantungku semakin lemah Mas!
"Bukan Mas, sudahlah ayo jalan," jawabku menunduk malu karena kuakui aku memang sangat gerogi ketika berdekatan dengan Mas Sony.
Sedari tadi batin sama pikiran sama sekali tidak bisa bekerja dengan baik, selalu saja membuatku gugup. Dasar aku!
Bersambung...
***
Ada yang gemes sama pesona Mas Sony nggak?!
Mas Sony yang sholeh, rajin sholat. tapi dia tetap manusia biasa yang kadang tak luput dari dosa. dosa apakah yang Mas Sony lakukan??
hehe.. kepo nggak nih? lanjuut..
happy reading ya guys... semoga suka
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!