...[Beri like dan komen]...
Note: Baca Musim 1 Dulu Biar Paham!! Tahap Revisi...
...~Δ ______ Δ~...
Seorang wanita cantik sedang duduk sambil memandang pantulannya di cermin. Dia terlihat murung karena belum bisa mengingat masa lalunya. Dia memijit keningnya dan bersikeras untuk mengingat memori yang hilang enam tahun yang lalu.
Dia bernama Sovia Indriani, nama aslinya adalah Mira Arelia. Dia adalah anak pertama dari pasangan Ellen dan Arya, identitas keluarganya bahkan masih misterius.
Sovia pun mengikat rambut panjang gelombangnya ke samping. Tanpa dia sadari, tiba-tiba perutnya dirangkul oleh seseorang dari belakang.
"Sayang, kau sangat wangi malam ini." Pria bermata biru memeluknya sambil mencium wangi parfum pada leher istrinya itu.
Pria itu adalah Raka Alendra, seorang CEO di perusahaan Welfin. Sekaligus suami yang dulu memiliki sifat dingin kini mulai manja pada istrinya.
"Emh, terima kasih, sayangku."
Sovia berbalik, perlahan merangkul leher Raka dan tersenyum manis di depan pria yang seminggu lalu mengikat dirinya ke dalam pernikahan.
"Sayang, apa perasaanmu baik-baik saja? Kau terlihat murung malam ini." Raka melepaskan rangkulannya lalu menyentuh kedua pipi istrinya. Sovia menunduk di depannya, sebenarnya dia sangat ingin memori yang hilang itu bisa ingat kembali.
"Sayang, kamu kenapa lagi?" Raka mengangkat dagu Sovia agar dia bisa menatap kedua mata coklat istri tercinta. Sovia memalingkan muka tak ingin ditatap.
"Aku masih memikirkan ingatanku,"
"Kemarin, setelah kamu bercerita padaku, aku tetap saja tak dapat ingat sesuatu," ucap Sovia menatap Raka.
"Jadi cuma karena itu saja kamu murung seperti ini?" Raka kembali bertanya. Sovia mengangguk kecil. Raka pun memeluknya dan merenungkan keresahan Sovia.
"Jika aku beritahu padamu yang sebenarnya. Takutnya kamu tak akan menerima kenyataannya. Maaf sayang, aku harus berbohong lagi padamu, mengarang semua cerita palsu tentang kita, semua ini aku lakukan agar kau tak ingat masa lalu yang bisa saja membuatmu gila."
Raka melepaskan pelukannya dan tersenyum pada Sovia. Meski begitu, Sovia tetap saja murung seperti orang asing bagi Raka dan keluarganya sendiri.
"Hei, sayang. Kamu tak usah sedih. Yang jelas, dulu kamu adalah kekasihku. Soal memori itu, lupakan saja." Raka seperti tak ingin membahasnya lagi.
"Tapi, aku ingin mengingat memori yang hilang itu,"
"Aku penasaran dengan wanita yang mirip denganku di dalam mimpi yang kau maksud Luna itu," tutur Sovia melihat Raka serius.
Sovia ternyata sangat penasaran dengan wanita yang ada di dalam mimpinya selama ini. Padahal mimpi itu adalah memori dirinya yang tidak dia sadari dan wanita yang mirip dengannya adalah dirinya yang sebenarnya.
Raka terdiam setelah mendengarnya dan sedikit terkejut dengan ucapan istrinya.
"Jadi selama ini dia selalu memikirkan wanita yang ada di dalam mimpinya?" gumam Raka dalam hati mulai resah.
"Baiklah, besok mungkin kita akan pulang ke kota. Aku akan menyuruh Dokter untuk melakukan terapi lagi untukmu," ucap Raka akhirnya menurut.
"Benarkah? Kita akan pulang besok?" Sovia sangat senang mendengarnya.
"Tapi ...." Raka mulai memikirkan resiko yang akan terjadi pada Sovia nantinya.
"Tapi apa?" Sovia bertanya ingin tau apa yang membuat Raka menghentikan ucapannya.
"Sayang, jika sesuatu yang tidak ingin kau lihat muncul di kepalamu. Kamu jangan syok setelah melihatnya," jawab Raka menepuk kedua bahu Sovia.
"Syok? Memangnya dulu aku pernah berbuat apa hingga aku harus syok?" Sovia terlihat heran dan penasaran.
"Hahaha ... itu," Raka cengengesan tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya.
"Itu apa? Apa dulu terjadi sesuatu yang mengerikan?" tanya Sovia membuat Raka terdiam mematung.
"Bukan itu. Mana ada sesuatu yang mengerikan." Raka melihat ke segala arah, lagi-lagi menyangkal fakta yang sesungguhnya.
"Terus, itu apa? Kamu tadi mau bicara apa?" desak Sovia semakin penasaran.
"Aish ... banyak yang sebenarnya terjadi dulu. Jika aku kasih tahu yang ada kau akan gila."
Raka bergumam dalam hati menatap Sovia dan masih terdiam saja.
"Kamu kenapa diam?" Sovia melambai-lambai ke wajah Raka. Raka langsung merangkulnya lalu membisikkan sesuatu.
"Sayang, apa kau ingat malam pertama kali kita tidur bersama?"
Sovia yang terdiam setelah mendengarnya.
"Tidak sepenuhnya, padahal aku ingin tahu bagaimana aku bisa masuk ke kamarmu," jawab Sovia menyentuh kepalanya mencoba ingat sesuatu, tapi percuma saja. Karena yang dilihat hanya dirinya yang pada saat itu telah berada di dalam kamar dengan Raka.
"Nah yang itu. Aku takut kamu melihat sepenuhnya malam itu dan membuatmu syok. Aku cuma takut setelah kamu ingat, kamu akan membenciku lagi," jelas Raka melepaskan rangkulannya.
"Tunggu dulu," Sovia tiba-tiba ingat sesuatu.
"Ada apa?" tanya Raka langsung was-was.
"Sebelum aku pastikan ini ingatanku. Aku melihat wanita itu lagi, dia menyuruhku membunuhmu juga. Bukan cuma aku yang mau dibunuh, tapi kamu juga," jawab Sovia ketakutan.
Raka terdiam, tentu dia terkejut mendengarnya. Raka tak habis pikir, istrinya dulu ingin membunuhnya.
"Sayang, kamu baik-baik saja?" Sovia kembali berbicara untuk menyadarkan Raka yang lagi melamun.
"Ah itu, aku baik-baik saja kok," jawab Raka mencoba tenang.
"Aku yakin, dia waktu dulu trauma karena aku telah memperkosanya dan mungkin inilah pemicu dia bunuh diri waktu itu."
Raka dengan lembut membelai rambut Sovia dan perlahan mengecup kening istrinya itu membuat Sovia tersipu. Sovia selalu saja menerima sikap kelembutan dari suaminya.
"Sayang, kamu tak usah pikirkan itu. Dan juga, maaf soal waktu dulu aku menyakiti perasaanmu. Aku tak bermaksud merebut kesucianmu. Kamu mau kan maafkan aku?"
Raka melihat kedua mata Sovia. Melihat apakah istrinya itu telah tulus memaafkannya.
Sovia mengangguk sambil tersenyum lalu memeluk Raka dan mendongak melihatnya.
"Itu sudah berlalu dan aku sudah memafkanmu. Lagian aku tak bisa juga menyalahkanmu terus-menerus. Aku malah ingin berterima kasih kau sudah baik padaku. Memberiku rasa aman padaku dan juga untuk si kembar," jelas Sovia memeluk erat Raka.
"Haha ... kau memang istriku yang baik, tak mudah marah." Raka tersenyum kecil mendengarnya. Dia merasa lega, tapi tetap masih merasa gundah dalam hatinya.
"Kalau begitu, kita sebaiknya keluar makan malam bersama. Mama dan Papa serta yang lainnya pasti sudah menunggu kita," ucap Raka tersenyum kecil.
"Baiklah, sayang." Sovia pun melepaskan pelukannya lalu meraih tangan Raka dan kemudian berjalan keluar bersama. Setelah Sovia membuka pintu, ternyata si kembar dan Willy telah berdiri di depan pintu kamar.
Sovia terdiam melihat Willy. Ia seperti ingat sesuatu yang terlintas di kepalanya. Sebuah ucapan yang pernah dilontarkan Willy kepadanya saat Willy mengintrogasi dirinya di dalam mobil.
Willy adalah Asisten sekaligus sekretaris Raka. Dia memang pernah mengintrogasi Sovia saat pertama kali Raka mencurigai Sovia adalah kekasihnya yang bernama Mira Arelia.
Nama sesungguhnya Willy adalah William Finley. Berkat dirinya, dia berhasil membongkar sebagian identitas Sovia yang ternyata adalah Mira yang berhasil di selamatkan oleh Keluarga Pak Candy. Dia juga berhasil membongkar kedok jahat wanita yang bernama Luna Ashela yang telah melakukan operasi pada dirinya dan menyamar jadi Mira untuk mengelabui Raka.
Sovia tak henti-hentinya menatap Willy yang berdiri di depannya. Seperti ada yang ingin dia bicarakan pada pria berkacamata itu.
...______...
"Mami, kau baik-baik saja?" tanya bocah cilik laki-laki, dia anak pertama Sovia yang bernama Devandra memiliki cukup kecerdasan. Deva heran melihat Ibunya yang tiba-tiba diam.
"Mami, kenapa diam saja?" Kini seorang gadis cilik ikut bertanya pada Ibunya, dia bernama Deandra, anak kedua, serta saudara kembar Deva. Umur kedua anak ini telah lima tahun lebih. Keduanya memiliki sifat yang berbeda namun saling menyayangi. Sovia akhirnya tersadar setelah Raka menepuk bahunya.
"Sayang, kenapa diam saja? Anak-anak bertanya padamu, kamu baik-baik saja kan?" tanya Raka menatapnya.
"Ah itu, tadi kepikiran sesuatu hal kecil," jawab Sovia tersenyum lalu membelai rambut kedua anak kembarnya.
"Kalian ke sini pasti disuruh panggil Mami dan Papi turun kan?" tanya Sovia pada dua anak kembarnya.
"Hm iya, Mih," jawab keduanya serempak. Willy yang tadi menemani mereka, cuma bisa tersenyum kecil melihat dua anak kembar itu.
"Baiklah, kalau begitu sini kita turun sekarang." Raka meraih kedua tangan kecil anaknya.
"Tidak, Papi. Kami mau digendong!" pinta Dean berhenti.
"Hm, Deva juga mau dong digendong." Deva ikut memohon.
"Baiklah, sini Papi gendong kalian berdua."
Sovia sedikit terkejut mendengarnya.
"Tidak usah, kamu tak bisa menggendong mereka. Lagian Deva sama Dean kan sudah besar, tidak usah digendong lagi." Sovia mencoba menghentikan kemauan anaknya. Dia kuatir Raka tak sanggup menggendong mereka.
Raka mendekatkan wajahnya pada Sovia.
"Sayang, apa kau meragukanku? Mengangkat mereka seperti aku mengangkat dua ember kecil. Mereka sangat ringan bagiku," ucap Raka menyombongkan dirinya lalu menggendong kedua anaknya dan memperlihatkan pada Sovia tenaganya.
"Hihi ... Papi orang yang kuat. Dean suka," puji Dean. Deva yang digendong cuma mentoel-toel pipi ayahnya.
"Ya sudah, kita turun bersama," ucap Sovia sambil menggelengkan kepala melihat tingkah suami dan kedua anaknya. Raka pun berjalan duluan menuruni tangga. Sementara Sovia berjalan di belakang Raka bersama Willy di sampingnya.
"Willy, ada yang ingin aku bicarakan nanti padamu setelah makan malam." Sovia menoleh ke Willy.
"Willy, bagaimana?"
"Baiklah, Nyonya muda." Willy pun mengagguk paham. Sovia kemudian berjalan cepat menyusul Raka dan dua anak kembarnya. Willy berhenti sebentar, dia melihat Raka yang sudah masuk ke ruang makan bersama anak-anaknya.
"Apa yang ingin dibicarakan Nona padaku?" Willy mulai memikirkannya.
"Ya sudahlah, dari pada dipikirkan, lebih baik aku mencari udara segar." Willy pun berjalan ke arah luar halaman. Dia sepertinya tak ikut makan malam bersama dengan atasannya. Pria berkacamata itu terlihat berdiri di dekat pilar sambil memandangi langit gelap di atasnya.
"Semoga kau tenang di sana, Selly." Willy tengadah, mengingat sosok wanita yang sempat dia sukai. Wanita yang telah dibunuh oleh Luna Ashela.
_____
Setelah makan malam usai, semua orang kembali ke kamar mereka masing-masing. Kini cuma Raka yang berada di kamarnya, dia duduk sambil menunggu Sovia.
"Hm, kenapa dia belum ke sini?"
Raka tidak dapat menunggu lama Sovia yang sedang membereskan meja makan bersama Ibunya. Karena cukup lama menunggu, Raka kemudian membaringkan tubuhnya duluan sambil menyilangkan tangan lalu melihat ke atas.
Ketika dia ingin memejamkan mata, dia dikejutkan oleh pintu kamarnya yang terbuka. Raka segera beranjak duduk melihat istrinya yang sudah datang. Dengan tampang yang seperti ingin mengintrogasi, dia mulai bertanya pada Sovia.
"Kamu dari mana dan kenapa lama sekali?" tanya Raka cemberut. Dia memang tak suka menunggu dan karena itulah dia kesal.
"Pfft ... kamu kenapa?" Sovia berjalan ke arahnya lalu naik ke ranjang kemudian duduk di samping Raka.
"Aku ngambek!" jawab Raka terus terang. Sovia malah tertawa melihatnya seperti itu. Raka begitu lucu kalau lagi ngambek.
Sovia pun memandang-mandangi wajah Raka. Namun Raka tetap saja memalingkan mukanya. Tiba-tiba Sovia mencium pipinya. Dia tahu jika keterlambatannya membuat suaminya itu agak marah padanya.
Raka yang dicium langsung melihat Sovia. Terlihat Sovia tersenyum manis. Seketika mata Sovia membola karena Raka juga tiba-tiba menciumnya. Ciuman itu berbeda dari yang dia berikan. Ciuman itu tepat di bibir lembutnya.
Perlahan Sovia memejamkan mata, membalas ciuman Raka. Raka pun melepaskan ciumannya sebentar lalu melihat wajah istrinya, dan kemudian kembali mencium bibir istrinya.
"Emh, sayang ... sud ... sudah." Sovia mendorong dada Raka. Dia sedikit sesak nafas karena tak henti-hentinya Raka melummat bibirnya.
"Kamu ini. Kalau ngambek nggak usah gini juga," celetuk Sovia cemberut.
"Sayang, kenapa kau lama sekali? Aku dari tadi menunggumu." Raka mengelus rambut Sovia.
"Tadi itu, aku ke kamar si kembar. Mereka minta aku tidur sebentar bersama mereka," jawab Sovia menjelaskan.
"Terus, mereka sudah tidur?" tanya Raka.
"Yap, betul," jawab Sovia tersenyum manis. Meski begitu, dalam hatinya dia sedang sedih. Tentu dia sebenarnya baru saja menemui Willy dan membicarakan sesuatu.
Sovia seketika terkejut ketika Raka tiba-tiba memeluknya dan semakin kaget setelah Raka membisikkan sesuatu.
"Sayang, kamu pasti sudah tahu jika aku tak suka menunggu, kan?" Raka mulai mentoel pipinya.
"Ya, terus?" tanya Sovia was-was.
"Sekarang, aku akan memberimu hukuman," jawab Raka meremas pantat Sovia.
"Aahh ... kamu ini!" jerit Sovia menepis tangan Raka. Raka yang melihat respon Sovia hanya tersenyum picik.
"Sayang, kamu mau dihukum dengan cara apa?" bisik Raka lagi.
"Sudahlah, tadi kan aku sudah minta maaf. Nah sekarang, lebih baik kita tidur saja." Sovia mengabaikan Raka. Dia tahu maksud hukuman itu.
Namun Raka yang sudah berada di atasnya membuat Sovia terkejut dengan tingkahnya itu. Terlihat Raka mulai menggoda Sovia.
"Kamu mau apa lagi?" tanya Sovia mencoba tenang.
"Aku maunya kamu, sayang," jawab Raka memainkan rambut Sovia dengan raut muka memohon.
"Maaf, aku capek. Jadi kamu lebih baik tidur saja. Jangan melihatku seperti itu dan turun dari atasku!" pinta Sovia berpaling muka.
Raka yang mendengarnya pun bermuka cemberut. Dia dengan kesal tidur di dekat Sovia tapi menghadap ke samping membelakangi istrinya itu.
Sovia cuma menahan tawa melihat tingkahnya. Walau begitu dia mulai murung, memikirkan ucapan Willy yang tadi diajak bicara. Tiba-tiba saja, Raka tersentak merasakan Sovia memeluknya dari belakang dan ditambah lagi setelah mendengar bisikan Sovia.
"Baiklah, tapi pelan-pelan ya." Sovia menggigit telinga Raka membuat pria itu tercengang. Dengan cepat, dia berbalik. Terlihat Raka tersenyum kesenangan dan seketika mencium kening Sovia.
"Terima kasih, sayang."
Sovia membalasnya dengan senyuman manis dan saat itu pula Raka langsung menguncinya lalu mencium bibir istrinya dengan lembut dan mereka pun bercinta melampiaskan hasrat gairah satu sama lain. Malam yang indah untuk keduanya.
..._______...
...Halo Readers, jangan lupa, Like, Vote, dan Komen ya hehe ......
...[Beri like dan komen]...
Keesokan harinya di pagi hari setelah semua orang sarapan pagi. Terlihat Sovia sedang sibuk membantu Ibu Ellen dan Mama Dina membereskan meja makan.
Dua anak kembar Raka duduk berhadapan tampak memainkan boneka serta mainan lainnya. Terlihat Dean begitu asik memainkan mainannya, tidak seperti Deva yang terdiam saja melihat Adiknya itu.
"Niuniuniu ... mobil ambulans mau lewat. Jangan halangi jalan." Dean yang lagi menggerakkan mobil mainan ambulans malah menabrakkan mobil itu ke kaki Deva.
Bruk!
"Booom!" ucap Dean membenturkan mobil itu. Deva yang kesal langsung mengambil mobil itu.
"Bisa tidak, mainnya tidak usah tabrak orang," cetus Deva melipat tangannya di depan dada.
"Apa sih! Kan cuma mainan saja. Lagian aku tidak bikin kak Deva mati," balas Dean bermuka cemberut.
"Ya, tapi ini juga sakit tau!" Deva membenturkan mobil itu ke kaki Dean.
"Auw ... sakit!" jerit Dean mengelus kakinya lalu merebut mobil itu dan mengambil semua bonekanya dan menjauhi Deva.
"Iiih nyebelin! Lagi main malah diem begitu, dasar kakak es balok!" cetus Dean dalam hati merasa jengkel dengan sifat dingin dan datar kakaknya itu.
Deva yang dapat mendengarnya sedikit terkejut. Deva pun berdiri lalu mendekati Dean yang lagi membelakanginya, ia pun mencubit kedua pipi Dean.
"Nih rasakan, siapa suruh ejek aku es balok!"
"Aduh ... aduh, sakit ... sakit," ringis Dean manja menepis kedua tangan Deva yang mencubitnya. Terlihat Dean mengelus kedua pipinya.
"Siapa yang ngejek kamu?" Dean berbalik membelakangi Deva. Deva pun berpindah duduk di depan Dean.
"Ya dari sini," Deva menunjuk dadanya.
"Aku ini bisa baca isi hati kamu, jadi aku tahu kalau kamu tadi ngejek aku es balok!" tambah Deva tak terima.
"Iiish!" Dean malah cemberut mendengarnya membuat Deva terheran-heran. Padahal yang seharusnya marah itu Deva tapi malah adiknya yang ngambek.
"Loh, kenapa?" tanya Deva menatap wajah adiknya. Seketika Dean langsung mendekatinya.
"Kak Deva." Dean tiba-tiba cengengesan di depan Deva.
"Hm, kamu kenapa?" Deva mundur sedikit.
"Hehe itu, kak Deva ajarin aku dong cara dengerin suara isi hati orang," bujuk Dean tersenyum manis dengan muka memohon.
"He? Ajarin kamu? Aku saja nggak tau caranya gimana," ucap Deva menjauhi adiknya namun Dean langsung merangkul lengan Deva.
"Ih kok kak Deva tidak tau?"
"Ya aku tidak tau. Lagian kamu mau buat apa?" tanya Deva mencoba melepaskan rangkulan adiknya.
"Aku cuma mau tahu isi hati Papi. Siapa tau ...."
"Siapa tau apa?" tanya Deva memutuskan ucapan adiknya.
"Ya, siapa tau Papi selingkuh dari Mami. Jadi aku kepengen tahu isi hati Papi," jawab Dean kini melepaskan rangkulannya lalu melihat Ayahnya.
"Kamu tak usah kuatir. Papi kan sayang sekali sama Mami." Ucapan Deva membuat Dean cemberut.
"Iih, padahal aku ingin tahu isi hati Papi dan ini bagus buat kerjain Papi, hehe ...." batin Dean tersenyum picik.
Deva yang dapat mendengarnya langsung menjewer telinga adiknya.
"Aduh ... aduh." Dean menepis tangan Deva.
"Kak Deva! Sakit tau!" tambahnya membentak.
"Kamu jangan bicara seperti itu. Itu salah, tidak boleh kerjain Papi." Deva menasehati adiknya.
"Hmp! Ngeselin!" Dean menjauhi Deva, kesal karena Deva dapat mengetahui apa isi hati dan pikirannya. Sedangkan dia cuma bisa menebak-nebak saja.
"Pfft ...." Deva cuma menahan tawa. Dean pun kembali memainkan bonekanya, sedangkan Deva berjalan ke arah Ayahnya dan duduk di dekat Raka.
Sementara Papa Hendra kini duduk juga di sofa di ruang tengah sambil membaca berita terbaru di koran. Raka yang juga duduk di sofa lain tampak sedang berpikir.
"Baiklah, aku harus bicarakan ini pada Papah kalau malam ini aku akan kembali ke kota," gumam Raka dalam hati.
Seketika Deva tersentak setelah mendengar isi hati Ayahnya.
"Papi," Deva memanggil Raka. Raka pun menoleh ke anak pertamanya.
"Ya, kenapa?" tanya Raka sambil mengelus rambut Deva.
"Papi mau pulang?" Deva bertanya balik, Raka pun mengangguk.
"Jadi malam ini kita akan pulang?" tanya Deva memastikan.
"Deva tetap tinggal di sini sama Nenek dan Kakek." Ucapan Raka membuat Deva heran.
"Kok Deva harus tinggal? Kan Deva juga mau ikut pulang," keluh Deva cemberut.
"Haha ... kan Deva harus dirawat dulu sama Dokter Helena. Kalau Deva sudah benar-benar sembuh, baru deh Putraku ini bisa pulang." Raka menghibur Deva dengan mengelus rambut anaknya itu. Deva pun berdiri lalu memperlihatkan kepada Raka bahwa dia sudah sembuh.
"Papi, Deva sudah sembuh. Jadi Deva mau ikut pulang," rengek Deva tersenyum manis dengan raut memohon.
"Haha ... kamu ini. Tetap saja tidak boleh ikut, Deva kan jagoan Papi. Jadi harus dipastikan sehat total," ucap Raka tertawa kecil melihat tingkahnya.
Raka memang tak ingin Deva pulang, dia lebih fokus dalam kondisi Deva yang sekarang. Dia tak ingin pewarisnya kelak memiliki fisik yang lemah. Apalagi dengan kemampuan Deva yang seperti dirinya bisa mudah mengembangkan perusahaannya. Dean yang mendengar obrolan mereka pun segera duduk di dekat Ayahnya.
"Papi!" panggil Dean dengan suara agak tinggi.
"Ya cantik, ada apa?" tanya Raka menoleh kepadanya.
"Papi, tadi bicara soal pulang ya? Dean ikut pulang kan, Pih?" Dean terlihat berkaca-kaca tak sabaran.
"Haha ... tentu tidak. Dean akan di sini sama kakakmu," jawab Raka membuat Dean terdiam. Dean pun langsung merengek tak mau tinggal.
"Aaa ... Papi. Dean mau ikut pulang," rengek Dean mengguncang lengan Ayahnya. Raka sudah tahu jika anaknya yang bawel ini pasti akan merengek ingin ikut pulang. Padahal ini kesempatannya memiliki waktu berduaan dengan Sovia.
"Tapi di sini tak ada yang temani kakakmu," ucap Raka menyisir rambut pendek putrinya itu.
"Kan ada kak Erika, Pih. Suruh kak Erika ke sini saja." ucap Dean masih merengek.
"Ok. Kamu ikut pulang." Raka pun terpaksa menyetujuinya membuat Dean melompat-lompat kegirangan lalu dia mendekati Deva.
"Kak Deva tenang saja. Kalau aku sudah sampai, aku akan hubungi terus kak Deva," ucap Dean tersenyum manis kepada Deva. Deva cuma senyum-senyum saja. Walau sebenarnya ia juga ingin ikut pulang.
Raka yang melihatnya cuma menggelengkan kepala. Dan seketika dia terkejut karena Ayahnya tiba-tiba bicara.
"Raka," panggil Papa Hendra melihat anak dan cucunya.
"Ya, Pah. Kenapa?"
"Papa tadi dengar obrolan kalian, jadi kamu mau pulang malam ini?" Papa Hendra bertanya balik sambil melipat korannya.
"Ya, Pah. Ini sudah lebih dari seminggu aku tak mengurus perusahaan. Takutnya perusahaan malah berantakan di sana," jawab Raka berbicara serius. Sementara si kembar cuma terdiam duduk di dekat Raka. Mereka ingin ikut mendengar obrolan Ayah dan Kakeknya.
"Dan untuk cucuku Deva, dia akan tetap tinggal di sini?" tanya Papa Hendra melihat si kembar.
"Ya, Deva akan tetap di sini. Papa bisakan ngurusin keperluan perawatan Deva?" tanya Raka memastikan.
"Haha ... tentu saja. Lagian dia itu cucuku," ucap Papa Hendra berjalan ke arah Deva lalu mengelus rambut Deva.
"Kalau Dean, apa Kek?" Dean menunjuk dirinya.
"Kamu ini ... cucu manis kakek," jawab Papa Hendra tersenyum kepada dua cucu kembarnya.
"Ya sudah, kakek ke atas dulu. Kalian jangan bikin gaduh ya." lanjut Papa Hendra menasehati si kembar. Deva dan Dean mengangguk bersamaan. Papa Hendra pun pergi menaiki tangga menuju ke kamarnya.
Sementara Raka melirik Istrinya yang keluar bersama Mamanya dan Ibu mertuanya. Tiba-tiba saja dia dan si kembar terkejut setelah Andis tiba-tiba mengagetkan mereka dari belakang. Sontak si kembar langsung turun lalu mengejar Andis. Tentu Andis langsung lari menaiki tangga diikuti si kembar.
Sedangkan Raka masih sibuk melihat istrinya yang terlihat serius berbicara pada Mama Dina dan Bu Ellen. Ia senyum-senyum memikirkan kemarin malam yang berhasil menaklukkan si istri tercinta.
...¤¤¤¤...
...Hallo readers...
...Like...
...Vote...
...Komen...
...Favoritkan...
...Terima Kasih...
...Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!