NovelToon NovelToon

Cinta Tak Terungkap

Sakit Hati

Gelap belum juga pergi,rintik hujan belum juga berhenti,meskipun tak sederas hujan tadi malam.Sayup kumandang adzan subuh terdengar,

membangunkan kaum yang rela dan setia,menanggalkan selimut hangat,meninggalkan mimpi lelap.

Aku sudah bangun dari tadi membersihkan diri sebelum menghadap ilahi. Usai sholat aku kedapur untuk membuat teh hangat.

"Bibik udah shubuh?" sapa ku pada bi Siti asisten rumah tangga yang sudah memulai aktifitas nya didapur.

"Sudah non,nona mau minum teh? bibik buatkan ya."

"Nggk usah bik,aku bikin sendiri aja. Mas Faris semalam pulang jam berapa bik?"Tanya ku tentang suami.Aku memang tak pernah menyambutnya,kalo ingin tau tinggal tanya pada bibik.

Yah suami yang hanya ada dalam status,dalam kehidupan bagai orang asing yang hidup satu atap.Tidur dikamar berbeda,tak pernah saling bercerita,hanya bertemu saat sarapan,suamiku pulang saat aku sudah tidur.

Muhammad Faris adalah pemilik perkebunan sawit terluas di Sumatra utara.Bahkan juga memiliki pabrik pengolah sawit itu.Hidup lebih dari kata cukup tentang materi.Dialah suamiku, menikah tanpa rasa cinta ,hanya demi kemauan orang tua.

"Kalo tidak salah jam sebelas malam non.Nampaknya capek banget." Jawab bi Siti sambil memotong sayur untuk menu sarapan.

"Yah.. selalu begitu bik, rumah baginya hanya tempat tidur. Mas tak pernah merasa punya ketenangan dan kebahagiaan di rumah ini. Aku merasa gagal sebagai istri,tak bisa membuat rumah menjadi tempat yang selalu dinanti."Ku tarik nafas sedalam yang ku bisa,mengurangi sesak.

"Yang sabar non." Bik Siti adalah orang yang paling mengerti kisah dalam rumah tanggaku,tempat ku mengadu, tempat ku mengeluh tentang keadaan rumah tangga yang ingin rasanya ku menyerah.Dia adalah pengganti kehadiran ibu yang jauh di desa.

"Iya bik,sebesar apapun usahaku kalo dia tak memberi kesempatan untuk melihatku ,percuma kan??"Bik Siti hanya menanggapiku dengan senyuman,sambil menyiapkan makanan yang sudah masak di meja makan.

"Sarapan udah siap bik???"Suara yang selalu menjadi momok menakutkan dalam hidupku.Aku terpaksa untuk melihatnya,yang sudah berpakaian rapi siap berangkat kerja.

Jangn pernah bertanya tentang pekerjaannya.Aku tak pernah tahu apa yang dilakukan dikebun atau di pabrik,dan mungkin karna aku yang memang tak ingin tahu.

Sebenarnya mas Faris tak pernah membentak,apalagi memukul atau main kekerasan lainnya.Namun sikap dingin dan acuhnya mampu melukai hati sampai ke akar-akarnya.

"Sudah tuan."jawab bibik lembut."Silahkan tuan."

"Mas udah mu berangkat? ini masih pagi Lo."Ku coba membuat percakapan,sambil ku lirik jam dinding ruang makan yang masih menunjukkan pukul 06:45 pagi.

"Hemm." Tanpa ad niat milihatku.Tetap fokus pada sarapan yang sudah diambilkan bik Siti.

Kamu tahu bagaimana rasanya dikacangin? tak dihiraukan? ah ,,itu udah makanan sehari-hariku.

Tapi tetap sakit setiap kali itu terjadi.

"Bik aku kekamar dulu ya." Pamitku ,dan berlalu tanpa menunggu jawaban.

Kututup pintu kamar.Ku hapus air mata yang tetap saja menetes jika ku memikirkan nasib rumah tanggaku.Ku tarik nafas perlahan,mengurangi sesak di dada.

Ku ambil Qur'an yang ada di meja rias.Membaca Qur'an selalu mampu menjadi pelarian.Menenangkan hati.

"Ya Allah, aku yakin aku mampu. Melalui semua yang tak menentu.Kunci bahagiaku ,aku yang pegang.Jangan salahkan siapa pun atas semua yang terjadi. Aku hanya kurang pandai mensyukuri karunia Allah.Dan kurang bersabar dengan apa yang belum aku miliki."

Kulafaskan ayat-ayat Al-Qur'an dengan perlahan,sambil menetralkan nafas yang berat.Menepis bayangan masa depan yang suram.Akankah hidupku sampai tua seperti ini?

Baru membaca satu lembar,ku tutup Al-Qur'an kecil di tanganku. Ku letakkan di nakas. Beralih ku pegang gawai.

Banyak sekali notif dari grup WA alumni MA, yang sampai sekarang masih sering bertukar kabar,meskipun sudah berkeluarga semua,hidup menetap berjauhan.Ada yang menetap di kampung halaman, ad yang lanjut kuliah di pulau sebrang dan bertemu jodoh disana,ada yang pindah ikut suami seperti aku,ada juga yang pindah karna tugas kerja.Namun silaturahmi tetap terjaga.

"Assalamualaikum semua.

Alhamdulillah telah lahir putri kedua kami dengan sehat. Semoga menjadi anak Sholehah,berbakti pada Tuhan dan orangtua,bermanfaat bagi sesama."Chat dari ifah.Dulu dia adalah murid yang sangat pendiam,tak disangka nikah lebih dulu.

"Selamat ya fah,moga menjadi anak Sholehah. Siapa nama Adek cantik?"Ini dari Risa juara kelas waktu MA. Menikah 5 bulan lalu, sekarang kabarnya hamil muda.teler.

"Selamat MBK Ifah, semoga menjadi anak Sholehah dan Hafidzah."Kata Dwi si ibu anak satu. "MBK Risa pa kabar?masih suka mual? teler?"

"Namanya Khoirun Nisa nte."

"Alhamdulillah udah mendingan,udah mau makan dikit-dikit.Tapi masih males ngapa-ngapain,dirumah aja."

"Selamat fah, moga aku cepet nyusul ya." Ini dari sela.Menikah dua tahun yang lalu,sekarang menunggu lahiran anak pertama."Adek Devan kapan punya Adek?" Devan adalah anak Dwi ,baru usia setahun.

Belum selesai ku membaca pesan-pesan dalam grup itu,tak berniat melanjutkan, apalagi menanggapi.Sakit,iri, yang ku rasa saat ini.Bukankah selalu begitu? melihat kebahagiaan orang lain selalu membuat kita iri.Padahal bisa jadi mereka juga punya masalahnya sendiri,yang dia simpan sendiri,tanpa mau memperlihatkan kepada orang lain,bahkan teman dekat sekalipun.

Bahagia itu sederhana, seberapa mampu kita mensyukuri hidup kita,sebahagia itu kita.Kriteria bahagia itu tidak harus punya suami romantis,atau punya anak banyak, atau punya keluarga lengkap,atau punya harta melimpah.

Suami romantis belum tentu setia bukan? Punya anak banyak tapi untuk makan susah? Punya keluarga lengkap tapi saling menyakiti?ah entah lah. Bahagia itu urusan hati.

Tapi aku juga manusia biasa punya rasa,berharap dicinta, dan punya cita-cita.Aku tak minta punya suami kaya,rumah megah bak istana,tapi sepi senyap tanpa suara.Tak berlaku kata pepatah 'rumahku surgaku' mungkin malah sebaliknya.

Ku hanya ingin hidup sederhana, punya suami yang selalu punya waktu untuk keluarga, punya anak-anak yang ceria.Tapi kita hanya bisa berharap dan berencana bukan? Allah yang menentukan.

Dan yakinlah , Allah memberi apa yang kita butuhkan,bukan apa yang kita minta.

Tok tok tok

" Non belum serapan Lo." Suara bibik memperingati.Hanya dia yang selalu peduli.

"Nanti bik. Aku belum lapar." Kataku masih duduk ditempat tidur,tak berniat membukakan pintu.

"Tapi non, ini sudah siang bentar lagi waktu makan siang."Masih gigih membujuk.

Ku lirik hp yang masih kupegang. 11:10,tanda hari memang sudah siang. Entahlah ,sejak aku masuk kerumah ini 10 bulan yang lalu, jadwal makan ku tak teratur,sering sakit perut karna asam lambung. Siapa yang peduli?? cuma bibik yang selalu perhatian.

"Iya nanti bik." Masih enggan beranjak.

"Nanti nona sakit lo,kan bibik juga yang repot." Masih didepan pintu dengan suara lebih pelan, mungkin ngambek,capek selalu ku repotkan. Dan aku tahu, sebelum aku keluar bibik tak akan berhenti membujuk.

"Okey."Dengan malas akhirnya aku beranjak,pergi ke meja makan ,sarapan yang kesiangan.

"Apa lauknya bik?" Saat aku sudah duduk di kursi makan.

"Capcay dan nila goreng,non."Dambil mengambil piring untuk ku.

"Biar aku ambil sendiri bik."

"Iya non. Makan yang banyak biar sehat. Kesehatan kita ,kita yang jaga."Kata bik Siti sambil tersenyum menasehati.

Aku hanya tersenyum menanggapi.

"Bibik lanjut nyetrika dulu ya non, makan yang banyak."Pamitnya

"Okey." Ku lihat bik Siti yang berlalu pergi,menghilang dibalik pintu.

Alhamdulillah meskipun suamiku tak peduli,masih ada bik Siti yang selalu menemani. Mang Joko tukang kebun juga baik dan ramah, begitu juga satpam jaga. Meskipun mungkin baik karna digaji. Tak apa. Yang penting masih ada yang memperlakukan ku dengan ramah.

bersambung ..

2. Jamaah Magrib

Hari ini aku tak berniat keluar rumah.Aku memang tak punya pekerjaan atau kegiatan khusus. Aktivitas ku sesuai mood, aku tak punya aturan harus kemana dan jangan ketempat ini atau kesitu.Aku boleh pergi kemanapun yang aku mau asalkan tidak mempermalukan keluarga besar suamiku.

Keluarga yang aku tak pernah tahu. Hanya orangtuanya dan kakek baik yang pernah aku ketahui, ibunya punya banyak saudara tapi tak ada yang tinggal di kota ini.Ayahnya anak tunggal begitupun suamiku,anak semata wayang. Kakek dari ayahnya tinggal di pinggiran kota,bertani sayur-sayuran dengan banyak anak angkat.

Rumah kakek adalah tempat yang paling senang aku singgahi.Jauh memang, membutuhkan 4 jam perjalanan dengan menggunakan mobil.dan hanya waktu-waktu tertentu aku bisa singgah, karna aku tak bisa mengendarai mobil sendiri.Sedangkan orangtuanya sudah berpulang, Allah lebih menyayangi nya.

Semua keluarga yang pernah aku temui semua baik,semua tulus menerimaku dengan kasih sayang.

"Udah mau adzan magrib non," yah ,aku masih ditanam menikmati senja. Tak ada yang spesial ,tetap sama mau dilihat kapanpun juga, karna disini tak nampak matahari tenggelam, hanya langit jingga yang membedakan.

"Iya bik bentar lagi."

Taman ini selalu bisa membuatku tersenyum.Melihat berbagai macam bunga yang setiap hari selalu ada yang mekar,dan dekat tempat duduk kayu yang aku tempati ada kolam ikan yang berenang kesana kemari.Kolamnya tidak besar,hanya saja selalu senang memperhatikan ikan berenang tanpa beban, berebut makanan,mencipta suara berkecipak.

Waktu magrib jadwalnya aku sholat berjamaah di masjid dekat rumah.Masjid komplek yang kurang lebih cuma berjarak 100m.Aku bersiap untuk berangkat.

Sampai depan masjid adzan magrib berkumandang.

Aku seperti biasa, sholat tahiyatul masjid dan rowatib sebelum sholat jamaah.

Selesai sholat magrib aku tak ingin pulang , mau berdzikir dan tilawah Al-Quran sambil menunggu sholat isya. Mau pulang tak ada yang menarik dirumah.

"Mbk hilya gimana kabarnya?"Sapa tetangga yang duduk di samping kananku.

Belum jadi buka Al-Qur'an untuk tilawah, udah ada yang ngajak cerita.

"Alhamdulillah baik Bu, masih bisa sholat berjamaah dimasjid semoga menjadi tanda sehat badan maupun iman." Ku selalu bisa tersenyum tulus jika diantara ibu-ibu ini.Bahagia ada yang bisa diajak bicara.

"Gimana ngajinya anak saya MBK? kalo dirumah Alhamdulillah setelah ikut ngaji ba'da asar sama MBK sudah tidak melulu hp, sudah bisa dibilangin,mulai nurut."Ceritanya sambil berbinar.Nampak sekali kalo dia bahagia dan bangga dengan perubahan anaknya.

Iya untuk mengisi waktu kosong, membunuh jenuh dan mengusir sepi,setelah sholat asar aku ikut membantu mengajar di MDA yang sudah ada di masjid ini.

Alhamdulillah selalu bisa menjadi alasan untuk aku bersyukur. Berada diantara anak-anak yang tertawa tanpa beban, bermain sesuka hati, bertengkar dan menangis tanpa benci, karna lima menit belum ada sudah bermain bersama lagi, melupakan pertengkaran dan tangisan. Diantara mereka selalu bisa membuat aku melupakan masalah rumah tangga.

"Alhamdulillah sudah mulai ada kemajuan Bu,sudah naik tingkat ngaji iqro' nya ,dan juga sudah mulai tidak nakal dan mau bermain dengan yang lain."

"alAnakku Alhamdulillah juga mulai rajin pakai jilbab kalo keluar, meskipun masih 8 tahun, dan semoga Istiqomah sampai dewasa nanti. Makasih ya mbk." Cerita ibu yang lain.

"Alhamdulillah. Tapi gimanapun juga peran orangtua sangat penting,selalu kasih support."

"Ya Alhamdulillah, aku akan selalu berusaha meluangkan waktu untuk anak-anak disela kesibukan kantor." Kata ibu yang duduk disebelah kiri menimpali.

Selalu betah diantara ibu-ibu ini, meskipun aku paling muda diantara mereka, namun mereka sangat menghargai ku. Mungkin karna aku guru ngaji anak mereka, atau memang mereka ya memang orang-orang baik.

"Kalo mbk gimana? belum ada tanda mau punya momongan?"Sela yang didepanku.

Kami kumpul berkelompok, memutar kaya ibu-ibu arisan.

"Iya Lo MBK, ditunda ya?"

"Kok suaminya nggk pernah diajak kemasjid mbk?"

Pertanyaan yang selalu mampu merubah mood ku.Sebahagia apapun aku kalo pertanyaa serupa muncul selalu membuat percaya diriku hilang.

Suamiku tak pernah mengharapkan ku.

Aku harus jawab apa coba? haruskah aku dengan tidak tahu malunya bercerita tentang keluarga? membuka aibku sendiri?

Bukankah istri itu umpama pakaian untuk suami, dan suami juga pakaian istri, saling menutupi aib dan kekurangan masing-masing?. Semarah dan sesakit apapun hatiku, aku tak boleh melupakan kodrat sebagai istri.

"Eh ibu-ibu mungkin belum rezeki aja kali, banyak juga yang nikah bertahun-tahun belum dapat momongan."Jawab ibu yang duduk di samping kananku, membantu jawab.

Aku hanya tersenyum tak ingin menanggapi.

"Iya usahanya ditambah lagi Bu." Kata ibu yang satunya, sambil tersenyum menggoda.

"Pasti tu." Jawab yang lain menyetujui.

Usaha apa? tidur sekamar aja nggak pernah, aku masuk kamarnya untuk menyiapkan pakaian aja dimarah.

Masih teringat jelas di memory saat masih awal-awal pernikahan,saat aku menyiapkan pakaian kerjanya.

"Jangan pernah lagi masuk ke kamarku,tak perlu kau siapkan keperluanku, aku bisa sendiri." Ucap mas Faris pelan dengan penuh penekanan dan amarah yang jelas kentara.Saat keluar kamar mandi mendapati aku dikamarnya.

"Nggk papa mas aku senang melakukannya, kan aku istrimu." Ucapku dengan penuh senyuman.

Dulu aku begitu optimis kalo aku mau berusaha dan berlaku sebagai istri yang baik, suatu hari pasti dia akan menerimaku.

Dia tak menanggapi ucapan ku . Hanya melihatku dengan tatapan membunuhnya sudah mampu menghentikanku. Dia tak menerima bantahan.

"Kalo ibu Dian katanya hamil lagi ya?"

Cerita ibu-ibu masih berlanjut, hanya aku kurang fokus mendengarkan .Namun tetap tersenyum.

" Alhamdulillah."

Allahuakbar Allahuakbar,,,,

Suara adzan berkumandang menandakan waktu isya tiba.Menyelamatkanku dari pembahasan ibu-ibu yang selalu berusaha kuhindari.

Kamu tahu bukan? pertanyaan sederhana yang kita ucapkan ,bisa jadi tanpa sengaja menyakiti hati orang lain.Jadi kurangilah basa-basi yang mungkin menurut lawan bicaramu sudah benar-benar menjadi basi. Tak layak konsumsi.

"Dengarkan adzan Bu, tak baik berbicara saat adzan berkumandang." Menghentikan ibu-ibu yang masih asik melanjutkan cerita.

Alkhirnya semua beringaut kembali ke shoff masing-masing,ada juga yang ke kamar mandi untuk berwudhu. Memberiku ruang untuk bernafas lega.

Entahlah, dimanapun aku berada pembahasan tentang rumah tangga selalu membuat dada sesak, pernapasan berat.

Usai isya aku berdzikir dan do'a sebentar, setelah itu langsung pulang berjalan kaki. Ternyata sudah sepi ibu-ibu yang lain sudah pada pulang.

*P*erasaan aku nggak lama berdoa,tapi kok tetap ketinggalan.

Sampai dipekarangan rumahku yang tak terlalu besar,dengan halaman yang luas,ditanami banyak pohonan bonsai yang menyejukkan mata dan udara.Sebenarnya rumah ini sangat nyaman, rumah idaman, rumah 2 lantai dengan desain modern.

Ku langkahkan kaki mendekat.Ku lirik mobil mas Faris yang sudah terparkir di tempat.Dan juga ada mobil lain disana, mungkin ada tamu, aku tak hafal mobil siapa.

Tumben jam segini udah pulang.

"Assalamualaikum" Pintu tak tertutup.

"Waalaikum salam warahmatullahi." Jawab mereka serempak.

Ya,, mereka, karna ada tiga kawan suami yang datang, sudah biasa mereka main kerumah,meskipun aku tak pernah ikut nimbrung dalam pembahasan mereka, atau hanya sekedar duduk mendengarkan.Tapi aku cukup paham wajahnya, dan tahu namanya.

Bukan karna tak mau mengenal kawan-kawan suamiku. Yapi aku selalu takut jika melihat sorot mata tajamnya, yang sangat tidak bersahabat.

Apalagi beberapa kali dia memperingati " Jangang ikut campur urusan aku." Berulang kali kata itu terucap memperingatkan. Bukan katanya yang menakutkan, kata-kata nya sih biasa. Yapi dengan intonasi dan tatapan mata mengintimidasi, itu cukup membuatku gentar untuk sedikit aja kepo.

"Eh Hilya baru pulang dari masjid ya? istri Sholeha idaman banyak lelaki nie." Sapa Radit dengan senyum jahilnya.

Ya Allah betapa tak berharganya aku? sahabat dekat suamiku bisa berkata begitu, bahkan didepan suamiku sendiri. Mungkinkah dia tak menganggap aku istri?

Aku hanya membalas dengan senyuman.Namun mataku langsung bisa melihat tatapan tajam mas Faris,yang memaksaku menundukkan kepala.

"Masuk! " Desisnya pelan penuh penekanan .Meskipun terdengar pelan namun cukup membuatku bergetar takut.

bersambung,,,

Terima kasih sudah diterima gabung.

mohon kritik dan sarannya kawan,,

baru belajar ini.

3. Lamaran

Aku masuk kekamar tak peduli dengan keramaian diluar.

Ingin rasanya aku tidur terlelap,melupakan penat hati, pikiran, dan juga badan.Namun rasanya perut belum ingin tidur belum makan malam, lapar.Dari pada sakit perut kambuh aku pergi kedapur untuk makan malam.

Kamarku ada dilantai bawah dekat dengan dapur.Lantai atas semua menjadi ruangan pribadi suami, dari kamar ,perpustakaan pribadi , sampai ruangan dengan banyak alat olahraga ,dan satu ruangan lagi tak tahu pasti bentuknya, karna selalu terkunci, aku tak bisa melihatnya. Kata bik Siti sih ruang kerja.

Aku duduk di ruang makan siap menyuap nasi dan ayam panggang kesukaan. Buatan bik Siti pastinya karna aku tak pandai memasak.

"Ada tamu nggk disiapin minum." Ucapnya berjalan tanpa menatapku.

Sejak kapan aku boleh nyiapin minum untuk dia? biasanya bisa sendiri, kalo lah perlu bantuan selalu dipenuhi sama bibik. Selalu protes tak suka jika aku yang melakukan.

"Maaf.. bibik kemana?" Cari jalan aman, tak ingin memperumit keadaan." Okey aku siapkan minum, mau minum apa?" Ku tinggalkan makan yang belum selesai. Berusaha menjadi istri yang baik.

Tanpa menjawab, dia langsung pergi lagi, meletakan gelas yang sudah diisi gula. Selalu begitu bukan??jangan pernah berharap lebih!.

Akhirnya aku lanjutkan bikin kopi panas dari gelas-gelas yang sudah dia isi gula. Udah siap.

" Silahkan kopinya mas." Ku turunkan kopi dari nampan.Kusuguhkan didepannya masing-masing, dan tak lupa cemilan ringan yang selalu sedia didapur.

"Makasih" ucap Radit dan Ilham ramah.

Jangan tanya suamiku dan asisten setia nya si Joni itu, sama sekali tak berterimakasih. Tapi kalo Joni memang lagi sibuk dengan ponselnya, entah apa yang menarik disana.

Aku putuskan untuk duduk disamping suamiku.Sesekali ikut nimbrung tak berdosa kan? lagian kalo duduk disampingnya gini aku berhadapan dengan Radit dan Ilham yang duduk diseberang meja. Jadi tak melihat matanya yang selalu memaksaku patuh.

Dan tak ada protes, berarti tak marah.

"Besok aku ikut ya. Calon istriku pengen main kesana." Ilham membuka suara.Yah dia calon pengantin, bulan depan rencana akad nikahnya, bertepatan pada bulan Ramadhan.

Kalo Radit masih lajang, karna aku tak pernah tengok dia bawa wanita. Entah bujang atau duda aku tak tahu pasti. Tapi dari setiap pembicaraan mereka yang tak sengja ku dengar aku tau kalo dia single.

Kalo si asisten itu sudah nikah,punya anak satu masih balita.

"Besok kemana? bukankah sudah biasa ikut kekebun atau pabrik." Kataku tak paham ada rencana apa.

Padahal sebenarnya ingin tahu,atau kalo boleh berharap ingin ikut. Siapa tahu mau jalan-jalan atau liburan gitu.

"Besok weekend, rajin amat kekebun."Mas Faris yang menjawab dengan suara juteknya.Meskipun tetap enggan melihatku yang ada disampingnya, melirikpun mungkin tidak.

Tapi Alhamdulillah dia mau menjawab pertanyaan ku. Dan besok weekend?? pantas bi Siti nggk ada. Seminggu sekali dia pulang kerumah,meskipun dirumahpun dia sendiri,karna suaminya sudah ninggal ,kedua anaknya yang sulung sudah berkeluarga yang bungsu masih kuliah di ibukota.

"Trus mau kemana? liburan?" Penasaran banget. Setiap wanita pasti bahagia ya diajak liburan.

Kalau lah liburan emang kamu diajak? berharap ketinggian. Batinku mengingatkan.

"Anggap aja begitu.Mau ikut?" Radit yang menjawab menawarkan.

Ketiga tamu itu tau bagaimana hubungan ku dengan mas Faris, mungkin salah satu atau semuanya menjadi teman ceritanya.

"Emang boleh? " Ucapku memastikan, menjadi momen langka bisa jalan sama suamiku yang dingin dan cuek itu.

"Pasti boleh ,mereka pasti mengharap kau datang."Masih Radit yang menjawab.

"Mereka siapa? kemana sih?" Bingung jadinya kan??

"Menjenguk kakek, beliau sedang tak enak badan minta kita datang." Mas Faris menjelaskan.

Dia melihatku tanpa mata tajamnya, meskipun hanya sesaat dan tanpa senyuman, tapi aku bahagia tak ada mata menakutkan itu. Kalo gitukan ganteng. Mungkin karna dia lagi sedih kakeknya sakit makanya baik.

"Kakek sakit?? kok nggk kabarin aku?"

" Besok kita menjenguknya bersama ."Kali ini tanpa melihatku." Pake mobil sendiri-sendiri." memperingati kedua temannya

Tak mungkinkan aku yang disuruh naik mobil sendiri?

" Sip, nanti aku biar sama Radit, diakan sudah sering kesana hafal jalan." Ilham yang semangat menjawab.

"Joni?"tanya mas Faris. Pertanyaan macam apa itu?

"Aku belum bisa ikut bro.Weekend jadwal untuk keluarga ." Baik banget sih ,perhatian ma keluarga. beda jauh sama bosnya.

Yah cerita masih berlanjut, meskipun sudah beda pembahasan. Pembahasan tentang pekerjaan selalu membuatku diam,tak tertarik dan tak paham tentang perkebunan. Hanya menjadi pendengar setia.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, mata sudah ingin istirahat,dan besok juga mau pergi.

Aku pamit undur diri dari obrolan para lelaki yang juga belum berakhir, banyak sekali yang dibahas.

Aku masuk kamarku dan bersiap untuk istirahat, mencuci muka, gosok gigi, berwudhu, dan tak lupa ganti baju tidur, melepas gamis dan jilbab instan yang kupakai.

Selesai ritual kamar mandi, beralih ke ritual depan cermin. Rata-rata wanita sebelum tidur banyak sekali perawatan yang dilakukan bukan?

Ku lihat bayanganku dalam cermin. Menyisir rambut panjang hitam pekat, mengamati wajah yang sudah aku hafal.

Kenapa suamiku males banget lihat aku?

Aku memang jauh dari kata cantik. Tubuh pendek, cuma sedada mas Faris yang tinggi, badan yang kini terlihat lebih kurus kurang makan, berkulit sawo matang dan terawat. Yah meskipun suamiku acuh dan dingin, tapi jatah uang lebih dari cukup untuk membeli berbagai macam skincare yang ku butuhkan, dan juga kebutuhan lainnya.

Wajah yang bulat, alis tipis, bulumata jauh dari kata lentik, hidung standar tidak mancung juga tidak pesek, pipi chubby meskipun badan tidak gemuk.

Dan jarang sekali tersentuh makeup karna tak pandai, meskipun punya alat makeup lengkap.

Jauh dari kata menarik bukan? tak ada sedikitpun kesan seksi. Pantas saja berbulan-bulan hidup bersama ,mas Faris sama sekali tak tertarik.

Ku hembuskan nafas kasar, ingin mengeluh tapi pada siapa?

Bukankah Allah menciptakan hambanya dengan sempurna?

Aku masih ingat saat ibu Laili mertuaku membawa mas Faris kerumah orang tuaku setahun lalu. Yah aku dulu dekat dengan ibunya belum pernah ketemu anaknya. Pertama melihat saat dia bersama rombongan melamarku pada ayahku.

Dari kesan pertama ku ,dia baik ,sopan dan murah senyum. Meskipun tetap tak banyak bicara, pendiam .Dan setelah hidup bersama tak ada kata baik dan murah senyum, namun tetap irit bicara dan masih sopan.

Aku tak tahu apa alasan dia menerima tawaran ibunda untuk menikahiku, jika nyatanya dia tak pernah mau menerimaku.

" Kami datang kemari berniat melamar putri bapak untuk menjadi istriku, menunaikan separuh agamaku." Dengan senyum terpaksa atau karna grogi dan canggung? aku tak tahu.

Itu kata-kata dia saat melamarku, dia langsung yang meminta pada ayahku, karna ayahnya sudah berpulang lebih dulu.

Seperti ksatria bukan? seakan meyakinkan.

"Kami sebagai orangtua dan juga kakak-kakak hilya menyerahkan keputusan padanya,karna dia yang akan menjalani rumah tangga."

"Gimana dek hilya?" Ibunya yang bertanya.

Sungguh saat itu aku malu dan grogi minta ampun, tak memperhatikan raut muka mas Faris yang tampan. Jika dulu aku memperhatikan wajah acuh dan tak berharapnya, mungkin tak akan aku iyakan.

"Insyaallah aku terima."

Waktu itu yang aku pikirkan ,ibunya super baik anaknya pasti juga baik kan? katanya buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ternyata kata-kata itu tak bisa jadi pedoman.

Dan semua tersenyum bahagia dengan jawabanku kecuali ibuku, mungkin karna akan berpisah dengan anak bungsunya, melepas tanggung jawab nya. Atau mungkin ada kekhawatiran lain yang tak mampu aku baca.

"Terimakasih sayang telah bersedia menjadi menantu ibu." Ucap calon mertua dengan bahagia dan penuh harap.Aku hanya tersenyum.

"Trus kapan akad dan resepsinya?" Lanjutnya antusias.

"Kita cari hari baiknya Bu." Jawab ayah.

Emang hari ada yg nggk baik ya?

"Yah kami sekeluarga juga akan menyiapkan pesta meriah, maklum anak tunggal."

"Acara disini ada Bun. Capek." Ucap mas Faris datar. Mungkin menutupi gugup.

"Kalo kamu nggk langsung gas pol ya nggk capek."Yimpal kakak pertama ku yang lain hanya tertawa .

Aku punya dua kakak, laki-laki semua dan sudah menikah semua.

"Kayak Abang nggk aja." Ini kakak kedua yang bilang.

" Tapikan aku strong, nggk ngeluh capek." Bangga.

Aku hanya tersenyum malu mendengar gurauan kakak-kakak ku.

"Udah calon pengantin malu tu." Ayah menengahi.

Ku lihat mas Faris hanya menunduk bermain ponsel.

Seandainya Abang sekarang disini melihat bagaimana mas Faris memperlakukan aku, mungkin Abang akan menjemputku paksa .Batinku kini.

Dan pernikahan digelar tiga bulan setelah lamaran jauhnya jarak membuat kita tak pernah ketemu. Bertukar informasi pun sama bunda.

Dan resepsi hanya ad didesa ku, ternyata bunda menyetujui mas Faris untuk mengadakan resepsi sekali aja.

bersambung,,,,

...jangan lupa vote like dan komen. thanks...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!