Selamat datang di PT. HBS (Hidup Bahagia
Sejahtera). Anak perusahaan HSS (Happiness Support System Co.,Ltd) di Indonesia.
Kami hadir untuk memberikan solusi terbaik bagi kehidupan Anda. Menawarkan inovasi yang terlahir dari kepedulian kami terhadap kebahagiaan semua orang. Rasa takut, cemas, sedih, adalah musuh tak kasat mata yang harus dihadapi kita semua. Dan kami ada di tengah Anda, untuk sama-sama berjuang, demi merasakan hidup yang lebih baik.
Beberapa tahun ke belakang, Indonesia sedang berada di titik terburuk sejak memasuki abad ke-21. Dari mulai pandemi yang meresahkan selama lima tahun—yang memaksa semua orang bertahan dan bangkit setelah terpuruk bersama. Kemudian disusul dengan keributan pasca lahirnya undang-undang baru—yang mendapat kecaman dari para buruh.
Tak hanya sampai di sana, presiden yang menjabat pada masa itu pun didemo besar-besaran. Mendapatkan protes, hingga paksaan untuk lengser dari jabatannya. Keadaan yang sudah tidak kondusif, akhirnya memaksa beliau untuk pensiun sebelum waktunya, dan diganti oleh seseorang—yang diisukan bisa memimpin dengan lebih baik. Namun ternyata, masalah negara ini tidak bisa selesai hanya dengan seperti itu. Masih banyak bibit-bibit penyakit yang tetap tinggal. Bertahan di tengah perlindungan kekuasaan dan harta. Masih leluasa menggerogoti apa yang seharusnya menjadi hak rakyat.
Aku tidak bisa membahas hal itu lebih lanjut. Karena bagaimana pun, aku hanya rakyat kecil yang mencoba bertahan hidup di tengah negara ini. Tempat di mana kami yang miskin hanya perlu bergerak mengikuti arus. Mencoba untuk tidak keluar jalur, apalagi sampai berbalik arah melawan aturan yang ada. Kami hanya berharap masih bisa memenuhi kebutuhan perut setiap harinya.
Dua ribu tiga puluh tujuh. Kuharap tahun yang baru saja berlalu selama seminggu ini bisa menawarkan ehidupan yang jauh lebih baik. Meski keadaan sudah terasa kembali normal, namun kuyakin banyak hal yang turut berubah.
***
"Kamu itu sudah berapa tahun sih kerja di sini? Bukan anak baru yang masih perlu pengarahan, kan? Kerja kayak gitu aja gak becus. Perlu saya keluarkan SP tiga sekarang, hah?!"
Bagas melirik ke arah jam tangan. Masih pukul delapan, tapi si direktur setan—mereka menyebutnya—sudah mengeluarkan taringnya. Benar-benar membuat mood hancur, pikirnya. Tentu saja Bagas merasa iba kepada lelaki setengah baya yang sedang dimarahi, tapi dia pun merasa berhak membutuhkan ketenangan saat bekerja. Bukan justru mendengarkan orang marah-marah di tengah ruangan yang tidak seberapa luasnya itu.
"Sst! Bro, si Pak Joko kenapa lagi sih itu?" bisik Anton. Bagas menoleh padanya dengan malas.
"Mana gue tahu. Lo tanya sendiri sono ke Baginda." Itu sebutan lain mereka untuk si direktur setan.
"Ngaco, lo! Eh, tapi denger-denger Pak Joko lagi banyak masalah di keluarganya. Dari beberapa hari lalu dia ngelakuin kesalahan melulu. Bahkan dalam satu bulan sampai dapat dua kali SP."
"Lo kenapa harus nanya ke gue sih, kalau udah tahu lebih banyak?"
"Bagas!"
Oh, Shit! Celetuk Bagas dalam hati saat mendengar namanya disebut. Bulu kuduknya seketika berdiri. Dia berharap semoga pembicaraannya dengan Anton barusan tidak terdengar hingga ke bangku sang direktur.
"Iya, Bag- ehem, Pak."
Anton sedikit menahan tawa saat mendengar Bagas hampir bunuh diri dengan salah menyebutkan nama. Bagas pun lekas melangkah ke tempat kejadian perkara. Tekanan yang terasa semakin besar, tiap kali dia mendekat ke sana. Dia merasa semua orang diam-diam sedang mencuri pandang ke arahnya.Beberapa menatap dengan iba, beberapa menerka-nerka apa yang akan terjadi.
"Iya, ada apa, Pak?" Meski tidak melakukan kesalahan—selain menyebutnya dengan panggilan Baginda—tetap saja Bagas merasa cemas.
"Mulai sekarang, kamu saja yang urus EXIM. Biar Pak Joko yang urus supplier lokal."
"Baik, Pak."
"Kamu jangan mentang-mentang senior di sini, jadi bisa seenaknya!" bentaknya lagi pada Pak Joko yang sudah tak berdaya. Membuat semua orang merasa iba melihatnya. Meski lelaki tersebut memang bukan sosok senior yang disegani.
Bagas menatap Pak Joko dengan simpati. Sempat berniat untuk menawarkan diri menjadi teman curhat. Namun beberapa saat kemudian, langsung dia urungkan niatan tersebut. Bagas pikir, masalah hidupnya sendiri sudah cukup banyak. Dia tidak berani menambah beban dengan berlagak menjadi pahlawan bagi orang lain. Jadi, dia bersikap masa bodoh seperti biasanya.
Bagas merasa hidupnya bertambah berat sejak melewati ulang tahun ketiga puluhnya. Di samping beban pekerjaan yang terus menuntut performanya selalu baik—tanpa memberikan gaji yang layak, ada pula tekanan yang berasal dari keluarganya sendiri. Ayah dan ibu Bagas selalu bertanya kapan dia akan mulai berkeluarga. Tapi jangankan untuk menikah, hingga saat ini saja dia masih belum bisa memulai hubungan baru sejak dua tahun lalu.
Bagas terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan. Sebenarnya dia cukup bangga karena mendapatkan kepercayaan dari para atasannya. Tapi hal itu justru membuatnya semakin kehilangan hak untuk menikmati kehidupan pribadinya.
Di umurnya yang sudah tidak lagi muda, Bagas semakin sulit menemukan wanita yang cocok dengannya. Meski sebenarnya tidak terlalu pemilih. Dari segi penampilan pun dia bisa dibilang tidak buruk. Tapi lingkaran pertemanan yang sudah semakin kecil, membuatnya agak sulit menemukan orang baru yang bisa diajak berkenalan.
Beberapa bulan ke belakang, ayahnya baru saja meninggal dunia. Sehingga kini dialah yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Adik laki-lakinya sudah dua tahun belum kembali dari Korea—bekerja sebagai buruh pabrik di sana. Sebenarnya bisa mengurangi bebannya, tapi Bagas terlanjur menyuruh sang adik untuk menabung uangnya sendiri. Sementara kebutuhan keluarga akan ditanggung oleh Bagas sendiri, meski dia sering nyaris kehabisan uang di akhir bulan.
Selain itu, ada dua adik perempuan kembarnya yang masih bersekolah di bangku SMA. Untung saja biaya sekolah di kampung tidak terlalu mahal. Tapi Bagas mulai pusing saat keduanya berkata ingin melanjutkan kuliah. Mereka semangat sekali saat membahas mimpinya untuk lanjut berkuliah seperti kakaknya itu.Tentu saja Bagas sangat senang dan bangga mendengar semua itu. Dia salah satu orang yang mementingkan pendidikan bagi perempuan. Hanya saja, keadaan berkata lain.
Jaman dulu, ayah Bagas masih mampu membiayai kuliah karena bisnis catnya lancar. Dua tahun lalu, dia kena tipu dan sisa uangnya hanya cukup untuk modal usaha nasi goreng. Gaji Bagas saat ini hanya UMR. Meski tinggal di kota dengan UMR tertinggi, tetap saja dia harus menjual ginjal untuk mengkuliahkan kedua adiknya dalam satu waktu.
'Rasanya, aku ingin mati saja...'
“Hah…” Bagas mengembuskan napas panjang. Dia duduk di belakang kantor—tempat orang-orang biasa merokok di sana.
“Kenapa, Gas? Masih muda kok kayak banyak pikiran gitu.”
“Eh, Pak Joko.”
Pak Joko mengeluarkan rokoknya, dan turut duduk di samping Bagas. Sesaat mereka saling diam menikmati rokok masing-masing. Kini Bagas tidak bisa hanya diam tanpa memulai pembicaraan.
“Baru ganti tahun, tapi saya sudah mulai pusing nih, Pak. Kayaknya gak pas ya bilang gitu ke bapak, hehe.”
Setiap hari, Bagas melihat Pak Joko selalu datang ke kantor dengan wajah lesu. Biasanya dia cukup enerjik sampai-sampai sering membuat pegawai wanita risih karena candaannya. Dia pun rajin mengajarkan kepada juniornya cara pintas mengambil keuntungan dari proses export-import. Hampir seluruh pegawai tahu soal hal buruk yang dia lakukan. Tapi tidak pernah sampai hati untuk melaporkan hal itu kepada Baginda.
“Yah, siapa sih orang yang gak punya masalah? Pak direktur sekali pun pasti banyak masalah tuh sampai-sampai ngelampiasin ke pegawainya.” Pak Joko menghisap kembali rokoknya dalam-dalam. “Saya memang lagi agak pusing. Belum lama cerai sama isteri saya. Mobil ditarik sama leasing gara-gara beberapa bulan gak bisa bayar cicilan. Ditambah gaji saya disunat Baginda.”
Bagas bingung harus bereaksi seperti apa. Dia terlalu banyak mendengar informasi yang terlalu pribadi soal Pak Joko.
“Saya gak tahu harus komentar apa, Pak. Semoga masalah bapak bisa cepat selesai ya.”
“Kau juga, Gas. Kalau memang ada kesempatan buat cari pekerjaan yang lebih baik, jangan memaksakan tinggal di sini cuma karena mereka bilang percaya sama kamu. Mereka senang bisa dapat pegawai yang bagus dengan gaji kecil kayak kamu.”
Bagas merasa kata-kata Pak Joko menamparnya. Membuat kepalanya semakin pusing.
“Iya ya, Pak. Saya terlalu takut buat ngelangkah ke tempat baru. Mudah-mudahan nanti dapat kesempatan yang lebih baik.”
“Selagi masih muda. Jangan lupa buat nikmatin hidup kamu juga. Sebelum terlanjur gak punya kesempatan buat ngelakuinnya.”
Pak Joko pun membuang puntung rokok dan pamit untuk masuk ke kantor lebih dulu. Meninggalkan Bagas yang kembali termenung meratapi nasib. Dia berharap hidupnya tidak akan jadi seburuk milik Pak Joko. Kini dia tinggal sendirian, sembari menghadapi berbagai masalah yang ada. Setidak Bagas berpikir kalau dia masih punya keluarga yang menyayanginya.
***
Hari-hari berikutnya masih tampak sama bagi Bagas. Keadaan masih belum kunjung membaik. Tapi dia melihat ada yang berbeda dari seseorang. Pak Joko yang semula selalu tampak lesu, kali ini tampak normal kembali seperti semula. Dia tampak ceria, dan bercanda dengan pegawai lain seperti biasa. Nongkrong di gazebo sambil menggoda pegawai wanita yang baru saja datang.
"Gas... kenapa kamu, Gas? Masih pagi kok udah lesu gitu." Bagas agak terkejut karena kedatangan Pak Joko. Padahal dia sedang ingin menenangkan diri sendirian. Sambil merokok di belakang gedung seperti biasa.
"Eh, Pak. Mau rokok, Pak?"
"Oh, enggak. Terima kasih. Saya udah memutuskan buat berhenti, biar hemat," ucap Pak Joko sambil tertawa.
"Gimana, belum beres juga masalahnya?" tanyanya seperti ibu-ibu tukang gosip yang mencari informasi.Nada bicaranya sedikit membuat Bagas kesal.
"Ya... begitu lah, Pak."
Awalnya, Bagas tidak tertarik untuk memperpanjang pembicaraan. Tapi, ada hal yang mengganggu pikirannya. "Tapi saya salut, bapak kelihatannya sudah bisa ngatasi semua masalah ya?"
Pak Joko justru tertawa, membuat dahi Bagas mengerut.
"Kalau kamu tau, saya masih stres, Gas. Ingin mati rasanya. Dalam satu waktu dapat masalah langsung seabrek."
Saya juga sama, Pak.
"Tapi, saya punya sesuatu yang bisa bikin hidupmu lebih baik. Saya ingin ingin kasih tau kamu karena kamu selalu baik sama saya."
Kata-kata Pak Joko berhasil mencuri perhatian. Sampai-sampai Bagas mematikan rokoknya yang masih belum habis. "Apa itu, Pak?"
Pak Joko merangkul bahu Bagas supaya mendekat. Berkata dengan nada yang pelan. "Saya punya obat."
"Ah, enggak ah, Pak. Saya gak mau pakai kayak begitu.”
"Eh, dengar dulu! Kamu pikir saya pengedar narkoba ya?" Selanjutnya, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemeja. "Kamu tahu perusahaan Hidup Bahagia Sejahtera? Anak perusahaan dari HSS yang terkenal itu."
"Yang jual alat-alat kesehatan dan perabotan rumah tangga itu bukan ya?"
"Betul!"
Pak Joko menyerahkan selembar kertas kecil dari tangannya. Sebuah kartu nama seorang marketing bernama Ellyana. Kertas hitam, dengan tulisan berwarna emas. Tampak mengilat saat tersiram cahaya mentari.
Happiness Support System Co., Ltd - PT. Hidup Bahagia Sejahtera (HBS)
'Kebahagiaan Anda adalah Tanggung Jawab Kami'
Happiness Support
System Co., Ltd - PT. Hidup Bahagia Sejahtera (HBS)
'Kebahagiaan Anda adalah Tanggung Jawab Kami'
Bel masuk kerja memotong pembicaraan Bagas dengan Pak Joko. Padahal dia belum sempat bertanya apa pun soal benda yang baru saja diterimanya. Alhasil, Bagas mencari informasi sendiri mengenai perusahaan tersebut.
Saat ini, berita tentang HBS sedang menjadi trending topic. Bagas merasa dia terlalu fokus terhadap pekerjaan di kantor, sampai-sampai tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar.
Perusahaan yang pertama kali dibangun di negeri Sakura sejak tahun 1980-an tersebut memiliki puluhan cabang di seluruh penjuru dunia. Salah satunya yaitu HBS, yang berdiri sejak 2001 di Indonesia. Mereka selalu menawarkan berbagai teknologi mutakhir yang mempermudah hidup manusia. Dimulai dari robot asisten rumah tangga, laptop sebesar rubik dengan layar dan keyboard hologram, dan masih banyak lagi.
Sementara yang sedang booming saat ini adalah Dream Machine—alat yang katanya bisa memberikan mimpi indah kepada semua orang. Ternyata banyak sekali youtuber yang sudah mencoba dan memberikan review soal
mesin tersebut. Dan tidak ada satu pun review buruk tentangnya. Kecuali soal harga yang terlalu fantastis—untuk bisa dinikmati golongan rakyat kelas bawah seperti Bagas.
Kebanyakan yang menikmati fasilitasnya adalah orang-orang menengah ke atas. Bahkan para orang kaya membeli mesin tersebut untuk digunakan di rumah masing-masing. Kebanyakan orang datang ke perusahaan tersebut untuk menyewa. Bisa dibilang seperti warnet, kita harus membayar untuk menggunakan mesin tersebut—dalam waktu yang bisa kita tentukan sendiri.
Bagas mengklik salah satu tayangan dari youtuber terkenal.
"Hai, gaes! Barusan gue baru aja nyobain mesin kekinian yang lagi banyak diomongin seantero Indonesia nih! Dream machine dari PT. HBS! Awalnya gue bingung, kayak gimana sih rasanya mesin pembuat mimpi itu. Karena penasaran, gue datang aja langsung ke lokasinya. Pegawainya ramah banget! Mereka ngejelasin soal mesin ini, dan cara kerjanya. Intinya kita cuma perlu registrasi doang, dan langsung pake mesinnya tanpa ada minimal dan maksimal waktu penyewaan. Dan bayarannya dilakuin di belakang. Katanya sih mereka pengen pelanggan ngerasa puas dulu dan bakal ngasih gratis kalau kita gak puas sama mesinnya. Tapi setelah gue coba, wah... langsung booking buat tidur tar malem. Nah, di sini gue lagi sama salah satu pegawainya."
"Makasih banyak Mas Itta sudah menyempatkan datang ke HBS. Puas, Mas?"
"Banget, Mba! Saya beneran udah pesen buat tar malem kan ya, delapan jam?"
"Iya, benar. Sudah saya masukan ke sistem,pokoknya. Jadi Mas bisa tinggal datang saja nanti malam."
"Siap, Mba! Nah, coba Mba kasih tau info lain yang mungkin belum saya jelasin tadi ke para Itta Holic."
"Terima kasih atas kesempatannya, Mas Itta. Halo semua yang sedang menonton. Mungkin masih banyak dari kalian yang penasaran kayak gimana sih Dream Machine ini. Intinya, mesin ini akan memberikan stimulus kepada otak kalian, dan bisa menciptakan mimpi dari semua hal yang kalian inginkan. Jadi tanpa perlu diucapkan, mesin ini akan menganalisa dengan sendirinya, hal apa saja yang bisa membuat kalian merasa bahagia. Tentu saja tanpa ada efek samping yang berbahaya. Semuanya dijamin aman. Kalau masih ragu, kalian datang saja ke kantor kami. Untuk pelanggan baru, akan kami berikan free trial satu jam."
"Wah! Asik banget tuh! Tapi, saya lihat kan banyak banget nih yang datang. Kita perlu reservasi dulu gak sih, Mba? Takutnya kan gak kebagian."
"Lebih baik sih reservasi dulu ke nomor telepon yang ada di website kami. Tapi jangan takut, karena di sini kami sudah menyiapkan lebih dari seribu mesin yang siap digunakan."
"Waw, seribu gaes! Jadi gedung dua puluh tingkat ini isinya mesin semua!"
"Selain itu, tentunya banyak fasilitas lain yang kami tawarkan. Seperti jasa pembuatan makanan dan minuman. Room-nya pun beragam. Dari mulai yang VVIP—di mana kalian bisa menikmati mesin dalam satu ruangan khusus, sepeti kamar hotel. Ada yang first class, sampai ada room ekonomi—yang penggambarannya mirip capsule hotel."
"Pokoknya,kalian wajib banget nyobain ke sini deh, gaes! Gue aja kayaknya nanti bakal beli mesinnya sendiri buat disimpen di rumah. Menurut gue ini keren sih, kayaknya bisa jadi solusi buat ngurangin penggunaan obat-obatan terlarang. Iya, enggak, Mba?"
"Benar sekali. Kami tentu berpikir sampai ke sana saat membuat inovasi seperti ini. Karena menurut kami, pikiran yang bahagia, akan membuat jasmani kita sehat. Jadi anak-anak muda sudah tidak perlu lagi menggunakan hal berbahaya hanya untuk mencari kesenangan."
"Setuju banget! Nah, itu aja gaes buat episode kali ini-"
Bagas menutup channel youtube yang baru saja ditonton. Rasa penasaran mengantarkannya ke halaman website HBS. Tentu saja untuk memastikan harganya. VVIP Class Rp.10,000,000 per 6 hours. (Dapatkan semua fasilitas free. 1 ruangan khusus dengan kamar mandi di dalam. 2x makan dengan berbagai pilihan menu high quality. Free jemputan PP, dan lainnya.)
Jari Bagas tidak bisa berhenti meng-scroll ke bawah. Melewati daftar harga yang menusuk mata, dan berhenti pada bagian Economic Class.
“Seratus ribu perjam? Huh, siapa yang mau mengeluarkan isi dompet hanya untuk tidur satu jam? Lagian mana puas tidur sejam doang. Jago banget marketingnya, bikin orang otomatis nyewa lebih dari sejam.”
Biaya yang menurut Bagas tidak ramah untuk kantongnya, membuat dia langsung mengabaikan soal dream machine tersebut. Dia menyimpan kartu nama pemberian Pak Joko, tapi tidak pernah memikirkannya lagi.
Seminggu berlalu setelah mendapatkan info dari Pak Joko. Bagas sudah tidak ingat soal informasi yang dia dapat. Hingga lelaki setengah baya tersebut kembali mengajaknya bicara.
"Gimana, Gas? Udah nyobain belum?" Pak Joko kembali mendatangi Bagas yang sedang menikmati sebatang rokok di tempat biasa.Tentu saja dia ke sana bukan untuk bergabung, hanya sekedar mencari teman untuk membicarakan pengalamannya menggunakan dream machine.
"Belum, Pak."
"Gimana sih, kamu. Cobain aja dulu free trial-nya. Pasti kamu ngerti kenapa saya nyaranin ke sana."
"Mahal ah, Pak. Sayang uang."
"Oh, itu ternyata alasannya."
Pak Joko tertawa di samping Bagas yang memasang wajah serius. "Maaf, saya lupa ngejelasin. Kalau soal itu, saya
ngerti benar. Makanya saya kasih kartu nama itu. Sebenarnya HBS punya tempat khusus untuk golongan kayak kita. Harganya jauh lebih murah daripada kelas ekonomi sekali pun."
"Tapi saya gak lihat ada di website-nya."
"Iya, karena memang ini dibuat khusus. Mereka bilang sengaja gak cantumkan di website, karena takutnya orang-orang yang mampu justru pakai fasilitas ini. Jadi mereka cuma memasarkan dari mulut ke mulut saja. Coba deh kamu hubungin nomor di kartu nama yang saya kasih. Cuma seharga uang rokok."
Pak Joko langsung pergi setelah selesai berbicara. Meninggalkan Bagas dalam rasa penasaran yang kembali muncul.
Bagas tetap bergeming, sembari melihat sosok Pak Joko menjauh. Lelaki itu memang selalu terlihat bahagia belakangan ini. Meski entah kenapa badannya menjadi semakin kurus. Tapi, mood-nya tidak pernah buruk. ‘Apa efeknya sehebat itu ya?’ Pikir Bagas
Lagi-lagi, Bagas bermaksud mengabaikan cerita Pak Joko. Hingga telepon dari adiknya menjelma menjadi petir di siang bolong.
"Halo, Kak, ibu sakit. Udah kita bawa ke dokter, tapi katanya perlu diopname di rumah sakit."
Padahal Bagas bermaksud menikmati weekend ini dalam kedamaian. Tidur seharian di kosan, tanpa gangguan apa pun.
Jumlah saldo pada rekening membuat kepalanya bertambah pusing. Hingga akhirnya Bagas spontan menghubungi nomor kontak dalam kartu nama yang diberikan oleh Pak Joko. Kini, dia berada di sebuah tempat yang diberitahukan oleh orang di seberang telepon. Cabang dari HBS, yang berlokasi tak jauh dari GBK.
Bangunan yang ada tidak tampak seperti sebuah perusahaan. Bahkan sangat kontras dengan bangunan rumah sakit mewah yang tepat berdiri di belakangnya. Bagas harus memastikan berkali-kali agar dia tidak salah masuk. Di depan gedung—yang hanya terdiri dari tiga lantai tersebut, terdapat sebuah plang dengan nama HBS.
“Cari siapa, Mas?” tegur seorang satpam. Mungkin Bagas tampak mencurigakan karena terus memandangi gedung dari luar, namun tak kunjung masuk.
“Ini HBS yang punya dream machine kan ya, Pak?”
“Kalau untuk sewa DM itu bukan di sini, Pak. Alamatnya bisa dilihat di website. Ini hanya kantor arsip dan gudang.”
Bagas merasa bingung sekarang. Dia kembali mengecek alamat yang tertera pada kartu nama. Memastikan bahwa tempat yang dia tuju tidaklah salah. “Tapi, saya dapat alamatnya dari kartu nama ini,” jelasnya sembari memperlihatkan kartu nama yang dipegang.
Sang satpam langsung tersenyum—lebih ramah dari sebelumnya. “Oh, bilang dong daritadi, Mas. Kalau itu benar, kok. Silahkan, langsung masuk saja menuju ke lobby.”
“Terima kasih, Pak.”
Bagas melangkah pelan. Mulai menjauh dari satpam yang hanya berdiri memandanginya sembari tersenyum lebar. Entah kenapa ada sebuah perasaan aneh yang muncul. Padahal jelas-jelas Bagas mendapat sambutan yang ramah, tapi dia merasa agak tidak nyaman.
‘Ah, apa sih yang harus aku takutkan di tempat kayak gini?’
Pintu kaca berwarna hitam terbuka dengan sendirinya. Cukup membuat Bagas terkejut karena ternyata ada seorang satpam lain yang membukakan pintu untuknya.
“Selamat datang di HBS,” sapa satpam tersebut—tak kalah ramah dengan yang berjaga di gerbang.
Happiness Support System Co., Ltd - PT. Hidup Bahagia Sejahtera (HBS)
'Kebahagiaan Anda adalah Tanggung Jawab Kami'
Lagi-lagi, moto yang sama Bagas temukan pada dinding. Terukir dengan warna emas dan berukuran cukup besar. Langsung mencuri perhatiannya saat baru saja melangkah masuk ke dalam lobby.
Seorang wanita yang semula duduk pada meja resepsionis langsung berdiri. Dandanannya mirip pramugari, dengan potongan rambut bob dan seragam yang sangat pas pada tubuhnya. Bagas spontan melirik pada badge yang menempel pada seragam wanita tersebut. Kini dia tahu siapa pemilik dari kartu nama yang dia dapatkan dari Pak Joko.
“Selamat datang di HBS, ada yang bisa saya bantu?”
“Em, saya diberitahu teman kalau di sini bisa sewa dream machine…” Bagas mendekatkan kepalanya ke arah Ellyana. “Dengan harga murah,” bisiknya.
Si wanita hanya tersenyum—tanpa pandangan mencemooh. “Benar sekali. Maaf, namanya siapa, Mas?”
“Bagas.”
“Sebelumnya Mas Bagas sudah tahu apa itu dream machine?”
Bagas mengangguk. “Saya sudah sempat nonton di youtube.”
"Kalau gitu, Mas Bagas mau coba dulu free trial-nya? Atau mau langsung sewa untuk beberapa jam?" tanya Ellyana lagi. Kelihatannya dia masih lebih muda dari Bagas.
“Em, saya mau tahu harganya dulu.”
“Oh, ya ampun. Maaf, Mas, saya sampai lupa. Untuk harga sewanya dua puluh ribu per jam.”
"Hah, seriusan cuma dua puluh ribu per jam, Mba?" tanya Bagas memastikan—dengan agak terkejut. Khawatir dia sedang mengalami penipuan.
Ellyana kembali tersenyum ramah. "Benar, Mas.”
“Kok, bisa semurah itu?”
“Kami bukan perusahaan yang hanya ingin meraih profit. Tapi memang benar-benar peduli terhadap kebahagiaan customer kami."
"Kalau gitu, saya mau coba dulu trial-nya, deh. Setelah itu baru putuskan mau lanjut atau bagaimana. Tidak masalah kan, ya?"
"Tentu saja tidak masalah, Mas. Mari ikut saya."
Bagas merasa cukup senang karena bisa diperlakukan sebaik itu, meski orang tersebut tahu ada kemungkinan kalau dia tidak lanjut menyewa. Ellyana tidak memberikan pandangan men-judge sama sekali, dan tetap melayani dengan ramah.
Ellyana mengantarkan pelanggan barunya ke sebuah ruangan yang dipenuhi semacam laci besar—yang menempel pada tiap dinding. Di dalam sana berisi ranjang yang akan digunakan, sama persis seperti hotel kapsul. Kelihatannya, sebanyak tujuh puluh persen sudah terisi. Bisa terlihat dari lampu hijau dan merah yang menjadi penanda di tiap depan laci.
“Mas Bagas pakai kapsul yang ini ya.”
“Kapsul?”
“Iya, kami menyebut tempat untuk menggunakan dream machine ini dengan sebutan kapsul.”
“Oh...”
Ellyana membukakan salah satu pintu kapsul. Kini Bagas bisa melihat kasur yang tampak empuk di dalam sana. Sebenarnya, dia orang yang tidak suka berada di tengah ruangan sempit. Tapi setelah masuk ke dalam, dia merasa sangat nyaman. Hangat, tidak seperti kamar kosannya yang panas. Wewangian yang dipakai pun tidak membuat perut mual—seperti yang biasa tercium dalam bus.
"Saya tutup ya, Mas. Silahkan santai saja. Aroma terapinya akan membuat Mas rileks dan lebih cepat tertidur."
Entah kenapa Bagas merasa dadanya berdebar. Masih merasa khawatir karena harus berada di ruangan sempit selama satu jam. Dia pun segera menutup mata, dan mencoba rileks. Makin lama, dia merasa seperti sedang tidur di kasur hotel mewah. Tidak terasa sedang berada di tengah ruangan kecil. Dan dengan memejamkan mata saja seakan sudah membuatnya melupakan semua masalah yang ada.
***
"Gas, bangun."
Bagas terbangun dengan sedikit terkejut akibat suara bapaknya. "Sudah sampai, nih," katanya lagi.
Bagas mengusap wajah dengan kedua tangan. Butuh beberapa detik hingga dia ingat kalau saat ini sedang berada di dalam pesawat. Dia lihat semua orang mulai sibuk berjalan ke arah pintu keluar.
Hampir dia lupa kalau baru saja mendarat di Bali. Tempat yang selalu ingin dikunjungi sejak kecil. Akhirnya, dia bisa mewujudkan mimpi itu dan pergi bersama keluarganya.
"Kak, nanti ke tempat yang banyak bulenya ya. Aku mau minta foto ah, buat dipamerin ke temen-temen." Ina menjadi yang paling antusias.
"Mending banyakin ke tempat-tempat sejarah aja, Kak. Biar bisa sekalian belajar gitu," sahut Sania. Meski mereka kembar, tapi keduanya punya kesukaan yang sangat berbeda.
"Ngapain sih, lagi liburan masih belajar aja!"
Bagas, bapak, ibu dan Awan hanya tertawa melihat si kembar bertengkar. Keduanya memang sering seperti itu. Tapi semua orang merasa tenang karena setidaknya Ina dan Sania tidak pernah berkelahi hingga melakukan baku hantam.
Ini pertama kalinya Bagas merasa sangat bahagia. Bisa melihat keluarganya tertawa lepas—membuat hatinya terasa hangat. Kebahagiaan orang-orang tersebut menjadi salah satu penyemangat hidup bagi Bagas.
Bagas mengajak keluarganya ke Pantai Kuta. Menikmati kelapa muda sembari memandangi sunset yang sangat indah. Tidak banyak orang yang datang saat itu, sehingga mereka merasa bahwa tempat tersebut adalah milik pribadi.
Bagas memainkan gitar, sementara adik kembarnya bernyanyi. Ayah dan ibunya bergandeng tangan dengan mesra.
Embusan angin malam yang dingin tak lagi terasa. Keadaan menjadi hangat berkat tawa dan canda yang ada. Membuat Bagas terbuai, tak ingin kehilangan semua itu.
‘Andai saja waktu bisa berhenti bagi kami.’
Sayangnya, waktu free trial sudah habis. Padahal baru saja cumi bakar pesanan Bagas mendarat di atas mejanya.
Lelaki tiga puluh tahun itu terbangun—tepat setelah satu jam tertidur. Dia mendengar suara pintu kapsul dibuka. Wajah ramah Ellyana muncul dari baliknya.
"Bagaimana, Mas?"
Bagas terdiam sesaat. Masih belum percaya dengan apa yang baru saja dirasakan. Padahal baru satu jam, tapi dia merasa hatinya jauh terasa lebih ringan.
Bagas mengakui kalau efek dream machine memang hebat. Mirip seperti narkoba, membuat yang mencoba ingin kembali menggunakannya.
"Em... saya masih tidak percaya ini benar-benar… menyenangkan. Sepertinya saya ingin menambah jam sewa beberapa jam lagi."
"Baik, Mas Bagas. Tapi sebelum melanjutkan, Mas harus registrasi sebagai pelanggan baru dulu ya. Biar saya bantu. Bisa dilihat, di atas Mas ada layar. Di situ nanti ada formulir yang muncul—yang harus diisi ya. Setelah itu, Mas bisa lanjut menggunakan DM."
Posisi Bagas masih sama sejak tadi. Tidur terlentang, sambil menghadap ke arah monitor yang tepat berada di atas wajah.
Ellyana menutup kembali pintu kapsul. Lalu layar langsung menampilkan formulir yang dimaksud. Isinya sama seperti pada saat kita hendak membuka rekening di bank. Yang membuat sedikit berpikir hanyalah ketentuan pada halaman kedua.
Mohon untuk dibaca syarat dan ketentuan di bawah ini sebelum mencentang kolom setuju yang ada di akhir halaman!
1. HBS akan menjamin kenyamanan dan memastikan tidak adanya gangguan saat pelanggan sedang menggunakan mesin mimpi.
2. HBS hanya berkewajiban memberikan fasilitas berupa pelayanan sewa mesin mimpi—sesuai dengan permintaan
waktu dari pelanggan. (Tidak ada batasan waktu untuk sewa)
3. HBS tidak bertanggung jawab dengan segala hal yang terjadi (di luar kesalahan / masalah teknis yang disebabkan oleh abnormalitas mesin).
Dengan ini saya mengerti dan setuju terhadap semua persyaratan dan ketentuan yang ada.
Bagas terdiam sebelum mencentang pada kolom 'setuju'.
‘Memang apa sih, resiko selain kehabisan uang? Kelihatannya semua aman-aman saja. Lagipula
perusahaan sebesar ini pasti mempunyai sistem keamanan yang terpercaya.’
Tanpa tunggu lebih lama lagi, si pelanggan baru tersebut segera menyelesaikan registrasi. Setelah formulir diterima, disusul dengan pertanyaan terkait waktu sewa—muncul pada layar. Bagas memilih untuk melanjutkan selama tiga jam.
Ajaibnya, mimpi yang tadi didapatkan masih bisa diteruskan. Seakan sedang lanjut menonton film yang sempat tertunda.
Rasa bahagia membuat waktu berjalan semakin cepat. Seakan Bagas baru saja terlelap beberapa menit saja. Dirinya yang mendambakan kebahagiaan dalam mimpi, spontan bereaksi dengan terus memperpanjang waktu sewa. Dia bahkan tidak bisa merasakan lapar dan haus, hanya kepuasan batin yang saat ini ingin dia dapatkan. Ditambah lagi, rendahnya biaya sewa membuatnya tak merasa sayang untuk menghamburkan uang.
Mesin mimpi itu benar-benar mematahkan teori 'kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang'. Bagas yang awalnya ragu, akhirnya puas karena bisa merasakan bahwa uang bisa menyuguhkan kebahagiaan yang tidak bisa diberikan oleh dunia. Dan dia, terlanjur terjebak di dalam kenyamanan yang didapat.
‘Jika saja bisa, aku ingin hidup di dalam mimpi selamanya.’
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!