Seorang lelaki berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Masih menggunakan setelan jas lengkap dengan memasang raut wajah khawatir. Bahkan ia tak menghiraukan omelan dari beberapa orang yang berulangkali ditabraknya.
"Gimana sih, jalan kok gak lihat."
"Dikejar setan paling tu orang."
"Ampun... kalau jalan lihat-lihat dong."
Masih begitu santai seakan tidak terjadi sesuatu. Saat ini ia sedang terburu-buru untuk menemui sang pujaan hatinya yang baru saja mengalami kecelakaan. Harap-harap cemas dengan keadaan wanitanya.
"Ruang UGD."
Setelah melihat tulisan itu di atas pintu sebuah ruangan, ia pun tak ingin menunda waktu lagi untuk segera masuk ke dalam sana. Pikirannya sudah tidak karuan sejak tadi. Biarlah ia melakukan sedikit pelanggaran agar dapat segera melihat keadaan wanitanya.
Ceklek
Beberapa perawat menoleh. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu perawat.
"Korban kecelakaan yang bernama Bella Shofie. Bisa saya menemuinya?" tanyanya tanpa mengurangi rasa paniknya.
Sang perawat pun mengangguk. "Disebelah sana, Pak. korban sedang mendapat perawatan," jawab sang perawat sambil menunjuk pada sebuah tempat.
Tak menunggu lama, lelaki tersebut segera melangkah pergi menuju tempat yang diyakininya jika sang pujaan hati berada.
"Awwhh...."
Wajah cantiknya mengerut ketika menahan rasa sakit pada tangannya. Sang Dokter masih sibuk mengobati luka gores yang lumayan parah tersebut dengan cukup hati-hati. Berulangkali mengguyur lukanya dengan cairan antiseptik sebelum mengusapnya menggunakan kapas.
"Harus sering-sering kontrol, yah Mbak. Takut lukanya gak kering-kering kalau ditutup terus." Sang dokter memberikan nasihat sembari membalut luka pasien dengan kain kasa.
"Iyah, Dok."
Tiba-tiba saja seorang lelaki datang dengan wajah panik. Sang wanita mengalihkan pandangannya. Menatap sosok lelaki tampan itu dengan memasang senyuman manis.
"Hei, Sayang. Kamu kok, udah kesini aja. Katanya ada meeting pagi ini."
Sekilas sang dokter menoleh ke belakang. Hanya sekilas saja dan kemudian segera kembali menyelesaikan pekerjaannya.
"Diamlah, Honey. Aku mengkhawatirkan keadaan mu sekarang."
Sang lelaki sedikit mengintip kegiatan yang sedang dilakukan oleh Dokter itu. Kemudian matanya bergantian melirik ke arah wajah cantiknya.
Aku seperti tidak asing dengan wanita ini. batinnya.
"Selesai! Tunggu dulu sebentar hingga nanti akan mendapatkan panggilan untuk mengurus biaya administrasi."
Dokter cantik itu tersenyum.
"Apa saya tidak di opname, Dok?" tanya Bella.
Kembali melayangkan senyuman sembari menggeleng. "Hanya luka kecil, tidak perlu dirawat di sini. Jaga kesehatan saja dengan banyak istirahat di rumah. Kalau istirahat di sini, akan rawan tertular dengan penyakit lain."
Bella pun ikut tersenyum dan mengangguk. "Baik, Dok. Terimakasih."
Baru saja sang Dokter cantik itu berbalik dan ingin melangkah pergi. Namun, lelaki yang sedari tadi berdiri dibelakangnya memanggil. "Tunggu dulu, Dok!"
"Iyah, apa ada?" tanyanya.
Keduanya saling memandang. Mata saling mengerjap beberapa kali. Mungkin keduanya sedang menggali ingatannya. Dahi mereka berdua mengerut.
"Keen."
"Anggi."
"Ya ampun," pekik anggi.
Keduanya tersenyum lebar. Hampir saja saling memeluk karena ingin melepaskan rindu. Ada perasaan bahagia yang tertahan. Sahabat lama telah bertemu kembali dengan keadaan berbeda.
"Wah... lama tidak bertemu sekarang udah jadi bu Dokter aja. Keren kamu, Nggi."
Terkekeh. "Yah, kamu juga terlihat gagah sekarang. Lalu, bagaimana dengan Khal? Bagaimana kabarnya sekarang? Aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya."
"Wah... ada yang reoni kayaknya, yah," sahut Bella sedikit merasa cemburu.
Keen mengalihkan pandangannya kearah sang kekasih hati. Tersenyum lembut dan segera melangkah menghampirinya. "Dia adalah wanita yang pernah disukai oleh Kak Khal, Honey," bisiknya.
Keen segera memutar tubuhnya setelah berbisik pada kekasihnya. Mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu dari sana. "Tidak enak jika kita mengobrol di sini. Kamu bisa menghubungiku nanti. Kita bisa mengobrol santai sambil minum kopi, bagaimana Honey?"
Anggi tersenyum lebar. Tak lama kemudian ia mengangguk sambil menerima kartu nama milik Keen.
"Tentu. Akan ada banyak cerita yang ingin ku ketahui mengenai Kakakmu. Baiklah, aku akan kembali bekerja. Semoga lekas sembuh."
Senyuman di wajah mereka mengakhiri pertemuan singkat sahabat lama tersebut. Kini kesadaran Keen telah kembali. Ia pun segera melayangkan ribuan pertanyaan pada kekasihnya.
"Bagaimana bisa kamu seceroboh itu, Honey? Aku membiarkan Kak Khal mengomel karena khawatir dengan mu."
Baru saja satu detik ia terdiam, suara dering ponselnya kembali bergetar. Keen segera meraih benda tersebut dari dalam kantong celananya. "Lihatlah! Pengawas ku sudah mulai menelvon kembali."
Bella terkekeh. Sebenarnya bukan kalimat itu yang dirasa lucu olehnya. Namun, ingatannya pada sosok Khal yang selalu kaku dan susah senyum itu sedang mengomel layaknya ibu-ibu, membuat sosok Bella tak bisa menahan diri. Imajinasinya terlalu luas.
"Sebentar yah. Aku angkat dulu biar Kak Khal gak marah."
"Iyah," balasnya.
****
Di tempat lain.
"Halo, kau di mana Keen? Meninggalkan meeting begitu saja. Ini sudah kesekian kalinya. Sekali lagi kau melakukannya, aku tidak akan menolong mu."
Disebrang sana Keen menjingkat. Baru saja ia mengucapkan Halo, sang Kakak sudah memberondongnya dengan berbagai macam ungkapan.
Keen menghembuskan nafasnya kasar. jika ia berhadapan dengan Kakak kembarnya satu ini, pasti akan sedikit rumit karena Kakak itu sedikit keras daripada dirinya.
"Oke, sorry Kak. Hari ini Bella keserempet motor. Aku panik dan langsung saja pergi. Aku takut jika terjadi sesuatu padanya, Kak. Really sorry Bro...."
"Seharusnya, kamu selesaikan dulu Meetingnya, baru kamu tinggal pergi. Bukannya meninggal Meeting ditengah jalan. Untung saja aku sedang ingin menemuimu, jadi Meeting tidak sampai ditunda lagi."
Menahan tawa. Keen selalu saja mendapatkan keberuntungan. Bersyukur karena Kakaknya akan berkunjung bertepatan ia mendapatkan kabar buruk.
"Oke, oke, lain kali tak kan terjadi lagi."
Huufffh...
"Baiklah, bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia mengalami luka parah? Patah tulang atau koma?"
Pertanyaan Khal membuat seorang Keen menjadi kesal. Enak saja dia kata. kalau bukan Kakakku, sudah ku hajar kau. batin Keen.
"Sial! Kakak sedang mendoakan hal buruk terjadi padanya, jahat."
Khal terkekeh. "Oke, ku doakan agar Bella lekas sembuh. Agar kau bisa segera kembali menangani proyek di Singapura."
tut.
Meletakkan ponselnya di atas meja kerjanya. Khal kembali terkekeh. "Sekali-kali harus diberi pelajaran agar tidak seenaknya sendiri."
Ia hanya melirik ponselnya sekilas. Keen berulangkali menghubunginya, lagi dan lagi. Pasalnya, Keen sangat anti jika harus diminta untuk menangani proyek perusahaan yang ada di luar negeri. Di negara sendiri dan hanya luar kota saja, lelaki itu terasa berat karena meninggalkan kekasihnya, apalagi ke luar negeri.
Bersambung...
Hallo gaes...
Khal dan Keen kembali lagi...
Sapa mereka yuk...
Kisah mereka ketika sudah beranjak dewasa yang cukup matang...
Yuk kita nostalgia sedikit dengan Pasangan Legendaris Rafania Amora dan Ammar Al Malik. Keduanya memiliki pahatan wajah yang sempurna. Tak ada yang bisa mengelaknya. Bahkan sang Author pun terpesona pada keduanya. 😘😘😘
Cung yuk yang kangen sama kemesraan mereka!!
Khaleed Ghazi Al Malik
Sosok lelaki yang tampan yang sedikit keras. Mungkin keras kepalanya menurun dari Ammar sang Ayah. Ia sangat susah untuk di atur, namun ia lebih bisa mandiri dan tegas daripada adik kembarnya.
Keenan Ghazi Al Malik
Kedua lelaki tampan ini adalah anak kembar Nia yang tidak diragukan lagi ketampanannya. Kini keduanya sudah beranjak dewasa. Sejak usianya 23 tahun, tiga tahun yang lalu, mereka berdua sudah belajar untuk siap menjadi seorang pemimpin. Walaupun begitu, keduanya tak meninggalkan pendidikan yang tinggi.
Bukan karena apa-apa. Karena memang keadaan yang harus membuat mereka harus sanggup menerima keadaannya. Mama cantiknya Meninggal karena mengalami serangan jantung, dan setelah 40 harinya sosok Papa tampannya menyusul karena mengalami gagal ginjal. Sungguh miris sekali kisah mereka.
Jangan salah, walaupun begitu, keduanya sudah sangat siap untuk mengambil alih perusahaan besar Keluarganya. Tentu saja semuanya juga tak jauh dari campur tangan Kakak iparnya yang selalu menjadi pembimbing terbaik bagi mereka berdua.
Kembali lagi pada cerita Khal dan Keen.
Terdengar suara gelak tawa dari sudut Cafe yang cukup digemari oleh para anak muda jaman sekarang. Sepasang pria dan wanita sedang asyik berbincang. Tidak menghiraukan keadaan sekitar.
"Sungguh aku tidak menyangka jika kita akan bertemu lagi," ungkap Keen masih tidak percaya.
Tiga hari sudah berlalu, tanpa sepengetahuan Bella, keen mengajak Anggi untuk mengobrol berdua karena ingin melepaskan rindu. Entah karena memang ingin melepaskan rindu ataukah ada hal lain, itu hanya keen yang tahu.
Anggi kembali terkekeh. "Hem... waktu aku pergi berobat di Singapore, Keen. Meninggalkan Kakak mu tanpa kabar. Aku sungguh merasa bersalah padanya."
Keen kembali meletakkan cangkir kopi miliknya setelah menyeruputnya sedikit. Ia tersenyum menatap wajah bersalah dari sahabatnya tersebut.
"Yah, Kak Khal sangat terpuruk saat ia tidak bisa mendapatkan kabar tentang dirimu. Bahkan, dia juga minta tolong pada pamanku yang juga dokter di rumah sakit tempatmu di rawat kala itu untuk mencari tahu keberadaan mu." Keen tersenyum sejenak, "Mama melarang paman untuk menuruti keinginannya. Mama ingin Kak Khal agar kembali fokus belajar."
Anggi mendengus sebal. Ia merasa bersalah. Namun, kejadian itu sudah beberapa tahun berlalu. Tidakkah ia bisa melupakannya saja agar rasa tidak nyaman itu menghilang dari dirinya.
"Jika kamu tidak keberatan, tolonglah aku agar bisa bertemu dengannya. Aku ingin sekali meminta maaf padanya, Keen."
Keen tersenyum lebar sembari mengangguk. "Tentu saja. Lebih dari sekedar bertemu, aku pun tak keberatan membantu."
Kali ini Anggi menaikkan sebelah alisnya. "Apaan sih, Keen."
Keen kembali terkekeh. "Dia masih jomblo, Nggi. Kau tidak ingin mendaftarkan diri? Tampan, baik dan tentu saja mapan. Sudah pasti akan menjadi idaman banyak wanita."
Lelaki itu menaikkan kedua alisnya berulangkali untuk menggoda wanita cantik yang ada di depannya. Namun, sang wanita hanya terkekeh. "Yah, wanita mana yang akan menolaknya. Tentu, aku pun tidak menolak."
Kali ini Keen juga ikut terkekeh. " Baiklah, sepertinya, kisah asmara kalian dimasa lalu akan terulang kembali. Aku akan membantumu."
dddrrrrtt... dddrrrrtt...
Sejenak keduanya menghentikan gelak tawa. Perhatian mereka teralihkan pada suara dering ponsel yang berasal dari dalam tas milik Anggi. "Sepertinya aku ada panggilan mendadak."
Keen mengangguk faham. Ia hanya terdiam saat melihat gadis cantik di depannya itu sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.
Entah mengapa, ia merasa tidak bosan-bosannya menatap. Wajah cantik itu seakan mengalihkan hidupnya.
Mungkin seperti ini ketika Kak Khal merasakan debaran cinta dengan seorang wanita. batin Keen.
Ia mengkambinghitamkan Kakaknya atas perasaan yang saat ini sedang ia rasakan.
"Keen, sepertinya aku harus pergi. Ada pasien gawat darurat yang harus ku tangani."
Anggi sudah beranjak dari duduknya. "Tapi, apa tidak ada dokter yang jaga sesuai shift yang ditentukan."
Wanita itu mengangguk. "Dokter Jaganya sedang ijin mendadak karena anaknya sakit, Keen. Aku pergi dulu. Salam untuk Kekasihmu. Bye...," pamitnya terburu-buru.
Wanita cantik nan anggun itu sudah melangkah pergi meninggalkan Keen yang saat ini masih mematung ditempatnya. Tersenyum tipis saat mengingat wajah cantiknya.
"Dia semakin cantik saja."
****
Ditempat lain.
Seorang wanita sedang menggerutu tidak jelas. Berulangkali menghentakkan kakinya untuk menyalurkan rasa kesalnya pada seseorang.
"Dia sudah setengah jam lebih terlambat menjemput ku. Benar-benar menyebalkan."
Masih mencoba bersabar. Setia menunggu sang kekasih hati di depan kantor tempat dirinya bekerja. Hubungan mereka sudah terjalin satu tahun yang lalu setelah acara reoni kampus diselenggarakan. Tak disangka jika keduanya memang sudah saling memiliki perasaan sejak lama. Hingga kini keduanya telah menjadi sepasang kekasih.
Beberapa menit kemudian.
Sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti tepat di depannya. Kaca mobil telah terbuka. Menampilkan sosok lelaki tampan yang sedang tersenyum ramah.
"Honey, maafkan aku. Jalanan cukup macet dari Cafe tempatku bertemu dengan Client," ucap Keen berbohong.
Seharusnya, ia tidak perlu berbohong hingga seperti itu. Toh, ia tidak melakukan apapun, jadi seharusnya ia tidak perlu takut. Hem... alasannya bukan karena takut gaes, melainkan sosok Bella ini adalah wanita yang pencemburuan dan sayangnya, Keen sangat mencintainya.
"Honey, maafkan aku, oke."
Keen yang baru saja turun dari mobil segera merangkul bahu kekasihnya. Merayunya dengan tutur kata dan sentuhan lembut. "Bagaimana jika kita mampir beli es krim?"
Tersenyum. Bella mengangguk kecil. "Baiklah." Disusul oleh pekikan keras dari dalam hati Keen. Iyah bersorak karena Bella sudah tidak kesal lagi.
Keduanya segera masuk ke dalam mobil. Keen meraih tangan kiri Bella yang kemarin terluka. "Baguslah, jika lukanya sudah mengering."
Bella tersenyum. "Harus dong. Gak mungkin juga aku harus ambil cuti lagi. Jatah cuti ku pengen ku ambil nanti ketika kamu melamarku, Keen."
Seketika itu Keen mematung ditempatnya. Ia sedikit kepayahan menelan ludahnya. Bukannya ia tidak ingin segera melamar kekasihnya itu, namun ia tidak ingin mendahului Kakaknya.
"Aku akan melamar mu ketika Kak Khal sudah mendapatkan wanitanya. Kita sudah membicarakan mengenai hal ini juga, kan."
Bella meraih tangan Keen. "Iyah, aku tahu, tapi masa bertunangan saja harus menunggu Kak Khal mendapatkan Kekasih. Mama sama Papa juga ingin melihat aku menjalin hubungan yang lebih serius lagi denganmu, Keen. Kita sudah menjalani hubungan ini kurang lebih satu tahun, dan hubungan kita sama sekali tidak ada kemajuan."
Keen sedikit merasa tidak nyaman. Melepaskan genggaman tangannya. Ia menyandarkan kepalanya di jok mobil. Wajahnya berubah menjadi resah.
"Kamu tahu sendiri, kan. Kak Khal sangat sulit untuk berhubungan dengan wanita. Jika aku lebih dulu bertunangan. Bagaimana perasaannya? Tunggulah sebentar lagi, Honey. Aku akan mencarikan wanita yang tepat untuk Kakak ku itu. Setelah berhasil baru aku akan segera melamar mu."
"Hem... baiklah, semoga kamu lekas mewujudkannya."
Bersambung...
Anggita Maharani
"Assalamualaikum."
Dua lelaki tampan baru saja pulang dari kantor. Mereka segera masuk kedalam rumah mewah yang selama ini telah ditempatinya. Rumah keluarga besar Al Malik tentunya.
"Wa'alaikumsalam."
Sosok wanita dewasa keluar dengan menggunakan pakaian rumahan. Disusul kemudian David Alby Malik dan Devano Azka Malik berjalan di belakangnya.
"Wah, jagoan uncle akan pergi kemana? Kenapa sudah rapi begini?" tanya Keen penasaran.
"Iyah, kalian berdua akan pergi kemana?" tanya Khal setelahnya.
Zeline menghentikan langkahnya di depan kedua adik kembarnya. "Mereka ada acara kemah di sekolahan." Zeline menghela nafasnya. "Kakakmu belum pulang juga. Padahal tadi aku sudah memintanya untuk pulang lebih awal. Mereka berdua ingin Papanya yang antar."
Keen terkekeh. "Paling Mas Ino mampir dulu," ucapnya asal. Berniat menggoda sang Kakak tercinta. Namun, tak disangka, malah ia mendapatkan hadiah.
Plak
"Kalau ngomong jangan asal, Keen," bentak Khal.
Hahahah... kekehan Keen semakin menggema. Tidak menghiraukan tatapan tajam dari Zeline. "Sudah, sana pergi. Kalian pulang bikin Kakak tambah pusing."
Masih terkekeh senang. Keen pun tak segan merangkul bahu Khal dan mereka segera melangkah pergi menuju kamarnya. Namun langkahnya terhenti kala sosok David dan Deva memanggil.
"Uncle."
Sekilas kedua bocah berusia sepuluh dan delapan tahun itu melirik kearah Mamanya yang sedang sibuk dengan telepon genggamnya. Senyuman bocah membawa ransel itu mengembang.
"Ada apa?" tanya Khal.
Perlahan keduanya melangkah mendekat. Segera menyodorkan tangannya. "Bagi uang jajan dong," pinta Deva.
Seketika itu Keen dan Khal saling menatap. Keduanya saling menahan tawa yang siap meledak. "Kau mengingatkan kami dengan masa lalu, Dev," ucap Khal.
Keen sudah merogoh kantong celananya, namun Khal lebih dulu mengeluarkan uang miliknya. Menyerahkan empat lembar uang seratus ribuan. "Ini, gunakan uangnya dengan baik. Jangan dibuat hura-hura!" tuturnya.
Kedua bocah berbeda usia itu tersenyum lebar. Mereka berdua sangat jauh berbeda dengan masa muda Khal dan Keen. Mungkin, gen milik Ino lebih mendominasi. Hingga kini yang tampak pada keduanya adalah sosok yang lemah lembut.
"Baik, terimakasih Uncle," ucap keduanya hampir bersamaan.
Tak berselang lama terdengar suara salam. Ino dengan wajah yang sedikit kusut melangkah masuk kedalam rumah dengan Zeline yang menggandengnya.
Baru saja David dan Deva menghampiri Papanya. Ino segera menyodorkan tangannya pada mereka. Suara Khal menggema hingga membuat siapa saja yang berada di sana segera mengalihkan pandangannya. "Kenapa Mas? Kok loyo gitu."
Keen menahan tawa. Sedangkan Zeline melotot padanya. Sejenak Ino menghela nafas. "Ada masalah di Hotel. Kasus pembunuhan di salah satu kamar hotel. Bikin pusing."
Semuanya memasang wajah tegang seketika. Keen dan Khal segera melangkah mendekat. Mereka berdua tampak penasaran dengan Kasus yang baru saja dibicarakan oleh Kakak iparnya.
"Widih... serius Mas?" ucap Keen.
"Gimana ceritanya, Mas? Tapi udah diusut tuntas, kan." Kali ini Khal yang terlihat lebih antusias.
"Iyah, syukurlah semuanya berjalan lancar. Beritanya pun sudah tertutup rapat dari media," jelas Ino.
"Yasudah deh. Jangan dibahas lagi! Ayo, sebaiknya kamu mandi dulu. Mereka sudah nungguin kamu sejak tadi, loh," sahut Zeline sembari melirik kearah kedua putranya.
Kemudian, pandangan matanya tertuju pada sosok adik kembarnya. "Sudah, kalian balik kamar, gih. Bikin tambah ruwet aja."
Bukannya takut, Keen dan Khal malah terbahak. "Kakak tu sekarang makin mirip sama Mama. Suka sekali ngomel." Segera Keen menutup mulutnya. "Lo cari gara-gara aja, Keen," celetuk Khal sembari merangkul bahu Keen dan membawanya untuk segera pergi ke kamar.
Pasalnya, Zeline akan kembali bersedih jika seseorang telah menyebutkan nama Mama atau Papanya. Yah, bahkan sudah beberapa tahun berlalu setelah kepergian mereka. Zeline selalu mengingat akan setiap hal yang dilakukan oleh keduanya. Cintanya pada kedua orangtuanya masih tetap sama dan utuh di dalam hati.
"Sudah, jangan dimasukin hati, sayang!" tutur Ino sembari mengajaknya untuk masuk ke dalam kamar.
"Hem..."
Setelah para orang dewasa masuk kamar. Kini hanya menyisakan dua bocah yang telah siap dengan kegiatan sekolahnya.
"Ini uang yang dikasih sama Uncle," ucap Deva.
David tersenyum lebar. "Lumayan buat tambahan beli stick drum."
Deva terkekeh. "Yasudah, semuanya buat kamu deh. Mendingan minta aja sama Papa aja, beli alat musik yang kamu pengen. Daripada sembunyi-sembunyi kek gini."
Raut wajah David berubah menjadi sayu. "Apa boleh Kak? Takut Mama marah kalau aku minta aneh-aneh. Ingat kan, kata Mama waktu aku minta beliin gitar. Belajar dulu yang pintar, baru boleh fokus yang lain."
Deva mengiba. Entah darimana sang adik bisa menyukai hal-hal yang berhubungan dengan seni. Namun, minat dan bakat tidak ada yang bisa menebak dan kali ini ia begitu kasihan padanya. "Gak papa, nanti aku bantuin kamu kalau kamu mau ikut ekstra seni musik. Udah jangan sedih lagi," tutur Deva sembari merangkul bahu adiknya.
****
Disisi lain, ditempat lain pula. Terdengar suara merdu dari seorang wanita cantik yang sedang berbincang dengan seseorang melalui ponselnya.
"Astagaaaa... beneran Keen? Kamu gak bercanda, kan."
Keen tersenyum lebar. Masih dengan posisinya yang rebahan di atas tempat tidurnya. Seakan ia sedang membayangkan sosok wanita cantik yang ada di seberang sana.
"Iyah, Nggi. Besok aku akan mengajak Kak Khal untuk makan siang di Cafe dekat rumah sakit tempat kamu bekerja. Gimana? Bisa Gak?"
Dengan tersenyum lebar dan jantung yang sudah berdegup kencang, Anggi mengangguk. "Iyah, tentu saja aku mau. Oke, sampai ketemu besok siang, yah."
tut.
Panggilan telepon sudah berakhir. Senyumnya masih tidak menyurut. Wajah cantiknya semakin tampak berseri. Kini pikirannya sudah melayang jauh ke udara. Membayangkan wajah tampan seseorang yang sejak dulu ia rindukan.
"Sudah tidak sabar rasanya ingin bertemu denganmu, Khal. Apakah kamu masih tetap sama seperti dulu?"
Terkekeh kecil. Anggi mulai mengingat kembali masa-masa di mana ia menyaksikan sendiri ketika Khal ketakutan saat dirinya menyodorkan minyak angin.
"Perasaan ku padamu masih sama, Khal. Semoga saja kita bisa bersama."
Tersenyum. Anggi kembali membawa kesadaran dirinya melayang bersama dengan angan yang telah dinantikan. Menyandarkan punggungnya dikursi kebesaran miliknya. Yah, karena saat ini ia sedang jaga malam.
Masih bertahan dengan angan-angan semu untuk merajut kasih dengan lelaki yang sejak lama di simpan di dalam hati.
Hanya beberapa menit saja, dan panggilan dari seorang perawat telah membuyarkan lamunannya. "Ah, iyah Sus. Tunggu sebentar!"
Wanita cantik itu segera beranjak dari duduknya untuk memenuhi panggilan dari perawat tadi. Segera keluar dari ruangannya untuk menuju kamar pasien.
Bersambung...
Kisah hidup adalah sekumpulan kisah yang berawal dari ketidaksengajaan..
Dan asal kalian tahu, jika sekumpulan hal-hal yang tidak kita sengaja itu adalah takdir yang tersamarkan..
Iyah gak sih??
Jangan lupa like dan komen...
😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!