'Ceklek' Suara pintu yang berwarna putih terbuka dan keluarlah seorang wanita yang sudah berpenampilan rapi dengan dandanan yang sederhana.
"Kamu sudah siap Dell?" Sebuah suara membuat wanita yang kerap disapa Adelia itu menoleh ke asal suara yang bertanya padanya.
"Sudah ... kamu juga sudah siap?" sahutnya dengan tersenyum manis pada pria yang saat ini berdiri di dekatnya.
"Sudah, ayo kita sarapan dulu," ajak pria yang bernama Dion.
Mendengar ajakan dari pria yang sudah setahun itu menjadi suaminya. Adelia menganggukkan kepalanya dan mengikuti langkah Dion yang sudah berjalan lebih dulu.
Tidak ada lagi percakapan yang terjadi antara mereka di perjalanan menuju ke meja makan itu, hanya ada suara ketukan sepatu mereka yang bersentuhan dengan lantai yang menjadi pengiring langkah mereka.
"Selamat pagi Tuan muda, selamat pagi Nona," sapa Pak Mul yang merupakan kepala pelayan di rumah itu.
"Selamat pagi juga Pak Mul," jawab Adelia, sementara Dion hanya mengangguk sebagai jawaban atas sapaan dari Pak Mul itu.
Kini mereka telah sampai di meja makan, Adelia mendudukkan dirinya menyusul Dion yang telah lebih dulu duduk di kursi untuk memulai sarapannya.
Tidak ada percakapan atau apapun yang terjadi di meja makan, hal seperti itu memang sudah biasa untuk mereka berdua, mengingat hubungan mereka yang tidak seperti pasangan normal lainnya.
Tak berselang lama mereka pun mulai bangkit kembali dari kursi karena telah selesai menyantap sarapan mereka.
Mereka melangkahkan kaki untuk pergi dari ruangan itu menuju tempat kerja, Adelia dan Dion akan pergi dengan menggunakan kendaraan mereka masing-masing.
Dion masuk ke dalam mobil yang pintunya telah dibukakan oleh sopirnya. Namun, sebelum mobil itu mulai melaju, dia berbicara pada Adelia terlebih dahulu dengan membuka kaca mobilnya.
"Nanti Vano ngajak makan malam di tempat biasa," kata Dion.
"Serius! Vano udah pulang. Kok gak ngabarin aku sih." Adelia yang sedang memanaskan mobilnya, menatap Dion dengan tak percaya.
"Gak tau, mungkin dia belum sempat. Ya udah aku cuma mau bilang itu aja, aku akan datang bareng Zeline nanti malam," kata Dion dengan enteng, tanpa memikirkan perasaan Adelia sedikit pun.
"Ya udah, kamu hati-hati di jalannya ya, sampai ketemu nanti malam," sahut Adelia berusaha tersenyum, meski hatinya serasa diremas saat mendengar Dion akan mengajak Zeline untuk makan malam nanti.
'Hmmmmm' sahut Dion singkat dan menyuruh supirnya untuk menjalankan mobilnya.
"Kapan kamu akan menganggap aku ini sebagai istrimu Dion? Apakah aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk mendapatkan cintamu itu?" Adelia menghela napas dan mengusap pipinya yang mulai basah.
Setelah itu, mobil Adelia pun mulai melaju, melewati gerbang meninggalkan komplek perumahan Dion, membelah jalanan menuju ke butiknya.
............................
"Bagaimana kabarmu sekarang, apa kamu sudah bahagia dengannya Dell? aku harap kamu bahagia, karena jika sampai aku mendengar kamu tidak bahagia, aku tidak akan segan-segan merebutmu darinya. Meskipun dia sahabatku tapi aku tidak akan tinggal diam kalau sampai dia menyakitimu," kata seorang pria yang sedang menyetir, sambil membayangkan wajah cantik Adelia.
Meskipun sudah setahun ini dia berusaha untuk melupakan Adelia. Tapi rasa itu malah semakin besar, meskipun dia tau ini salah, tapi dia tidak bisa mengendalikan hatinya sendiri.
Setelah beberapa menit kemudian dia pun sampai di kantornya, dia mulai melangkah menuju ke lobby dan menuju lift khusus untuk para petinggi di perusahaannya itu.
Wajahnya yang selalu terlihat dingin dan tegas, membuat kagum siapa saja yang melihatnya. Termasuk kaum hawa. tapi, meski banyak wanita yang selalu mendekatinya tidak ada satu pun wanita yang berhasil masuk ke hatinya.
Hatinya seolah sudah terkunci hanya untuk satu nama yaitu. Adelia Carlotta Abiputra, wanita cantik, anggun, dan ramah yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Meskipun sampai saat ini dia tidak berani mengungkapkan perasaannya, hingga akhirnya Adelia menikah dengan sahabatnya sendiri.
Setelah lift sampai di lantai tempat dimana ruangannya berada dia keluar dari lift dan berjalan menuju ke ruangannya.
Di depan pintu ruangannya sudah ada asisten juga sekertarisnya yang sedang menyambut kedatangannya.
"Selamat datang kembali Tuan," sapa asisten dan sekertarisnya sambil menunduk.
'Hhhmmm' Hanya suara itu yang terdengar oleh asisten dan sekertarisnya.
"Maaf Tuan, mau saya buatkan kopi atau teh?" tanya sekertarisnya yang bernama Anggi saat dia duduk di kursi kerjanya
"Kopi," jawabnya singkat, Anggi pun bergegas keluar dari ruangan itu.
"Tuan Vano memang tidak berubah, dari dulu perasaan selalu saja datar," kata Anggi lalu bergegas ke pantry untuk membuat kopi.
Setelah selesai membuat kopi, Anggi segera mengantarkan kopi itu ke ruanga bosnya, saat sampai di depan pintu, dia pun mengetuk pintu terlebih dahulu dan setelah dipersilakan untuk masuk, barulah dia masuk lalu meletakan kopinya di meja kerja bosnya itu.
"Apa masih ada yang anda butuhkan lagi Tuan?" tanya Anggi berdiri di depan meja bosnya.
"Tidak," jawab bosnya yang memiliki nama lengkap Elvano Adhitama itu dengan singkat.
"kalau begitu saya permisi tuan," pamit Anggi
'hmmmm'
Setelah Anggi menghilang dari balik pintu ruangannya itu, Vano mulai berbicara pada asistennya.
"Apa agendaku hari ini Dim?" tanya Vano kepada asisten pribadi sekaligus sahabatnya itu.
Mendapat pertanyaan itu, Dimas pun mulai menjelaskan apa saja agendanya hari ini sampai dengan selesai.
"Baik Tuan, kalau gitu saya permisi untuk kembali keruangan saya dulu Tuan," pamit Dimas saat sudah selesai membahas masalah pekerjaan dengan Vano.
'Hmmmm' jawab Vano singkat, tapi sebelum Dimas membuka pintu ruangannya, dia menghentikan langkah Dimas.
"Tunggu ... usahakan jam tiga semua pertemuan sudah selesai. Dan nanti kamu ikut aku untuk makan malam dengan Dion dan Adelia tapi sebelum itu kita ke butik Adel dulu."
"Iya tuan nanti saya akan mengatur semuanya," ucap Dimas dan keluar dari ruangan itu.
"Aku kira setelah satu tahun kamu di luar negeri, kamu udah bisa lupain tentang perasaanmu itu Van, tapi ternyata tidak, perasaan kamu sepertinya masih sama seperti dulu meskipun kamu tau dia istri sahabatmu, tapi kamu tetap menyimpan perasaan itu. Seandainya dulu kamu mempunyai keberanian untuk mengatakan perasaanmu, pasti yang ada di posisi Dion saat ini adalah kamu ... Semoga saja kali ini tuhan berpihak padamu meski kemungkinannya sangat kecil karena jika dilihat mereka selalu baik-baik saja tidak pernah terdengar ada masalah," gumam Dimas saat sudah keluar dari ruangan Vano.
Dia tahu betul bagaimana sahabatnya itu telah memendam perasaan yang begitu besar untuk istri sahabatnya dari sejak lama. Bahkan sebelum wanita yang disukainya menikah dengan sahabatnya.
Vano melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, ternyata waktu sudah jam tiga sore. Dia memutuskan untuk membereskan meja kerjanya terlebih dahulu.
Setelah mejanya sudah rapi, Vano memasukan beberapa berkas yang akan dia kerjakan di rumah, ke dalam tasnya.
Tak lama kemudian, masuklah Dimas ke ruangannya itu, untuk memberitahu jika sudah saatnya untuk pulang. Mereka pun langsung pergi dari ruangan itu.
"Kalau ada yang mencari tuan Vano minta untuk menemui beliau besok saja," kata Dimas kepada Anggi, saat mereka melewati meja kerjanya.
"Baik Pak. Apa ada yang lainnya lagi Pak?" tanya Anggi sambil berdiri dari duduknya.
"Tidak itu saja," sahut Dimas, lalu kembali melanjutkan langkahnya menyusul Vano yang sudah menunggunya di depan lift. Setelah sampai di depan lift, mereka langsung masuk ke dalam lift itu.
Saat di dalam lift, Dimas terus memperhatikan Vano, ada yang ingin ditanyakannya. tapi, dia ragu untuk bertanya. Vano yang menyadari hal itu pun, menoleh ke arahnya dengan kening mengerut dan bertanya.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya Vano, kemudian kembali memalingkan wajahnya ke arah depannya.
Dimas tersentak karena Vano tau ada yang ingin dia tanyakan, dia menggaruk tengkuknya canggung dan bergumam dalam hati, Kenapa dia bisa tau, kalau ada yang ingin aku tanyakan?
"Apa kamu masih mencintai Adelia, Van?" tanya Dimas dengan ragu, sambil melihat ekspresi Vano.
Vano melihat ke arah Dimas sebentar, lalu memalingkan kembali wajahnya ke depan dan menerawang.
"Kamu pasti tau, kalau aku belum pernah merasakan yang namanya cinta sebelumnya. Namun, di saat aku merasakan hal itu, apa kamu pikir aku bisa dengan mudah melupakannya. Meskipun di saat aku menyadari kalau aku merasakan cinta itu, aku harus mengubur rasa itu karena ternyata dia menikah dengan sahabatku sendiri,"
"Aku sudah mencoba menghapus rasa itu, mencoba untuk berdamai dengan hatiku tapi ternyata tidak bisa. Semakin aku berusaha membunuh rasa itu, semakin kuat dan semakin besar pula rasa itu tumbuh di hatiku," sahut Vano dengan tersenyum getir.
Baru saja Dimas akan membuka mulutnya untuk bertanya lagi, pintu lift terbuka, dia mengurungkan niatnya bertanya dan langsung berjalan ke arah parkiran. Setelah sampai di parkiran mereka masuk ke dalam mobil, Vano duduk di samping Dimas yang akan menyetir.
Saat di tengah perjalanan, Dimas Mulai bertanya lagi pada Vano, tentang apa yang akan Vano lakukan selanjutnya.
"Terus apa yang akan kamu lakukan sekarang? tidak mungkin kamu bisa memiliki dia karena dia sudah menjadi istri sahabat kita," kata Dimas.
"Cinta tak harus memiliki dan memberikan kebahagiaan untuk orang yang kita cintai, meski bahagianya bukan bersama kita.
Lagian aku tidak akan merebutnya, selama Dion menjaga dan membahagiakannya, tapi kalau Dion membuat dia bersedih bahkan menangis. Aku akan merebutnya dengan cara apa pun dan menjadikannya milikku selamanya," jawab Vano lalu tersenyum pada Dimas.
"Tapi, apa kamu sanggup kalau melihat kebersamaan mereka, karena mungkin kebersamaan mereka akan sering kamu lihat nantinya, saat kita sedang kumpul bersama," tanya Dimas.
"Selama aku bisa melihatnya bahagia, itu sudah lebih dari cukup untukku," jawab Vano.
Dimas yang mendengar hal itu hanya tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan mobilnya.
"Aku gak nyangka, jika sekarang seorang Vano yang datar dan dingin akan jadi sebucin ini hanya karena seorang Adelia yang sudah menjadi istri dari sahabatnya," kata Dimas sambil terkekeh, sedangkan Vano hanya mengangkat bahunya.
Selang beberapa menit, mobil yang mereka tumpangi sampai di depan sebuah bangunan yang ber-plang, Alota Boutique, mereka masih diam di mobil karena Vano mau memberikan kejutan untuk Adelia dan juga ingin melihat Adelia terlebih dahulu dari jauh.
.........................
Adelia dan Maira, baru selesai bertemu klien yang memesan baju pengantin. Mereka memasuki mobil dengan Ira yang menyetir, sedangkan Adelia duduk di samping Ira, lalu memejamkan matanya. Ira melihat kearah Adelia, kemudian memulai percakapan.
"Bagaimana hubunganmu dengan Dion Dell, apa ada kemajuan. Ini udah setahun umur pernikahan kalian?" tanya Maira.
Adelia membuka matanya dan melihat kearah Maira yang sedang fokus melihat ke depan, kemudian menghela napas barat.
"Apa sih yang kamu harapin dari hubungan aku dan Dion, tidak ada bedanya dengan dulu, saat kita masih kuliah. Yang ada malah hubungan Dion dengan Zeline yang makin erat dan tidak ada celah untuk orang lain masuk di antara mereka termasuk aku," cerita Adelia dengan wajah sendu.
Bayangan Dion dan Zeline yang selalu mesra saat sedang bersama, canda, tawa mereka yang seolah tidak pernah menganggap Adelia ada di antara mereka. Adelia yang terus melamun membayangkan kebersamaan Dion dan Zeline, hingga tanpa sadar setetes cairan bening turun ke pipinya yang langsung dia usap.
Maira yang melihat itu hanya bisa mengusap panggung Adelia untuk menguatkannya, bagaimanapun dia tahu bagaimana kisah Adelia dari awal dan dia merasa sedih dengan keadaan sahabatnya itu.
Di depan orang lain mungkin Adelia dan Dion seperti pasangan yang serasi tidak pernah terdengar ada masalah, padahal sebenarnya adalah lain dari yang dilihat.
"Terus sampai kapan kalian seperti ini terus, kalian sadar gak sih kalian hanya menyakiti diri kalian sendiri," kata Maira melirik kearah Adelia sesaat dan fokus lagi pada jalanan di depannya.
"Justru itu yang Dion pikirkan, kamu tau sendiri, kan? Dion menerima perjodohan ini karena terlalu sayang pada mama Santi, karena dia tidak ingin melihat mama Santi kecewa kalau Dion tidak menuruti keinginan mama santi," jawab Adelia Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka.
Setelah beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi pun tiba di parkiran butiknya, Maira dan Adelia, turun dari mobil dan berjalan menuju butik. Maira jalan di depan Adelia.
Vano yang fokus dan tidak berkedip melihat Adelia tidak sadar kalau Dimas dari tadi memanggilnya untuk mengajaknya turun.
"Woyy ... Van!" kesal Dimas karena Vano tidak juga mendengarkannya
"Woy ... Tuan Elvano Adhitama kalau kamu hanya bengong di sini nanti Adelia keburu diambil orang!" teriak Dimas.
Mendengar perkataan Dimas, Vano langsung menatap Dimas dengan tatapan tajamnya, tak lama kemudian dia bergegas keluar dari mobil dengan semangat, sementara Dimas yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Ternyata cinta memang bisa merubah segalanya," kata Dimas, lalu keluar menyusul bosnya itu.
Saat sudah berada di belakang Adelia, Vano menutup kedua mata Adelia dengan kedua tangannya. Membuat Adelia yang sedang berjalan tersentak kaget, saat tiba-tiba ada yang menutup matanya, lalu dia meraba tangan kekar yang menutup matanya sambil bertanya-tanya dalam hati lalu kemudian dia tersenyum, dia mengira itu adalah kakaknya
"Nggak lucu kali kak, ngagetin gitu. Untung aku gak punya penyakit jantung, coba kalau aku punya penyakit jantung udah mati aku kak," kata Adelia sambil mengerucutkan bibirnya merajuk karena mengira Vano adalah Kakaknya.
Vano yang mendengar Adelia merajuk hanya terkekeh lalu Vano mendekatkan bibirnya ke telinga adelia dan berbisik.
"Apa kamu tidak merindukan aku Dell, atau kamu sudah lupa sama sahabatmu ini hmmm?"
Deg ... Adelia tau suara itu, suara yang tiba-tiba menghilang selama setahun ini.
"Apa kamu benar sudah melupakan aku Dell sehingga tidak mau memelukku," kata Vano lagi sambil merentangkan tangannya. Adelia yang melihat itu pun langsung memeluk tubuh kekar Vano dan menumpahkan air matanya di dada bidang Vano.
"Huh, Adel kamu membuat bajuku basah dengan air matamu dan ingusmu itu," kata Vano yang pura-pura kesel, tapi Adelia tidak memedulikanya, dia terus menangis seolah ingin mengatakan sebuah kesedihan kepada sahabatnya itu.
"Bi-biarkan saja bajumu basah ka-karena air mata dan ingusku ini," jawab Adelia terpotong-potong karena tangisannya.
"Hey, apa kamu melakukan hal seperti ini juga pada Dion saat sedang sedih, Kamu tidak berubah ya Dell," kata Vano sambil melihat wajah Adelia yang kini sudah acak-acakan dengan mata bengkak dan hidung merah.
Mendengar perkataan vano itu, Adelia langsung melepaskan pelukannya, dari sahabatnya dan menatap Vano dengan cemberut.
"Tidak, aku tidak berani melakukan hal itu padanya, kamu sendiri tau, kan? Dion orang yang sangat menjaga kebersihan," jawab Adelia.
Vano melihat ada perubahan dari raut wajah Adelia, dia menatap ke dalam mata Adelia, dia melihat ada kesedihan dari sorot mata itu.
"Apa terjadi sesuatu antara kamu dan Dion?" tanya Vano menatap dalam, mata Adelia, tersirat sebuah kesedihan yang dapat dilihatnya dari pancaran mata yang memerah itu.
"Aku gak papa Van, aku hanya bahagia hingga tidak bisa membendung air mataku saat melihatmu kembali," kata Adelia dengan tersenyum, berusaha meyakinkan Vano, tapi percuma Vano tau ada yang dia sembunyikan darinya.
"Apa hubunganmu dan Dion baik-baik saja? Apa dia memperlakukanmu dengan baik?" tanya Vano lagi masih belum mengalihkan tatapannya dari mata Adelia.
"Hubunganku baik-baik saja, udah yuk masuk dulu. Aku mau beresin barangku dulu, bukankah kita mau makan malam dengan Dion," kata Adelia mengalihkan pembicaraan.
Vano pun mengangguk pasrah dan mengikuti Adelia masuk ke butiknya bersama Dimas yang masih mengikuti mereka. Vano tidak bisa memaksa Adelia untuk berterus terang padanya, karena status di antara mereka hanya sebatas sahabat.
Dia hanya bisa berharap, bukan Dion penyebab kesedihan Adelia itu, sungguh dia tidak akan terima jika itu benar-benar terjadi.
Setelah sampai di ruangannya, Adelia pun mempersilakan Vano dan Dimas untuk duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Sementara dia membereskan barang yang akan dibawanya pulang.
Vano yang duduk di sofa terus memperhatikan gerak-gerik Adelia yang sedang membereskan mejanya, dia benar-benar merindukan sosok itu. Sosok yang selalu bersamanya saat kuliah dulu, sosok yang selalu memenuhi pikirannya.
"Yuk, kita langsung aja ke Restoran," ajak Adelia.
"Oh iya kamu siapa? apa kamu asistennya Vano?" tanya Adelia pada Dimas.
"Dia Dimas, asisten sekaligus sahabatku dan Dion," sahut Vano yang menjawab pertanyaan Adelia.
"Oh sahabat, sejak kapan? kok aku baru tau," kata Adelia.
"Sejak SMP dan SMA, tapi pas kuliah kita beda Universitas, jadi dulu jarang ketemu," sahut Vano lagi, sedangkan Dimas memutar matanya karena dia yang akan menjawab pertanyaan dari Adelia itu terus dipotong oleh Vano.
Mereka pun sampai di parkiran Vano mengajak Adelia untuk satu mobil dengannya.
"Kamu ikut mobilku aja ya, biar cepat," ajak Vano yang langsung disetujui oleh Adelia.
"Bagaimana kabar keluargamu, apa mereka baik-baik saja?" Saat di perjalanan Vano memulai percakapan.
"Semuanya baik," jawab Adelia.
"Oh ya, apa kamu belum kepikiran untuk punya anak? Secara kalian menikah udah lumayan lama," ucap Vano sambil melihat ekspresi Adelia.
Adelia yang mendapatkan pertanyaan seperti itu hanya termenung untuk beberapa saat.
Sebenarnya aku juga ingin punya anak karena usiaku sudah cukup matang untuk punya anak, tapi Dion, mana mau punya anak dariku. Menyentuhku saja tidak pernah, gandengan tangan pun paling kalau lagi di depan orang tua kita saja, batin Adelia.
"Aku masih ingin fokus dulu pada pekerjaan dan karirku, lagian punya anak itu harus dipikirin dulu matang-matang," jawab Adelia tanpa melihat ke arah Vano.
"Terus kamu sendiri gimana, apa udah ada seseorang yang spesial di hatimu?" tanya Adelia, mengalihkan pembicaraan lagi.
"Atau Jangan-jangan selama setahun ini kamu gak ada kabar karena udah punya pacar bule ya di sana, sampai lupa sama aku," kata Adelia dengan memanyunkan bibirnya. Vano yang melihat itu hanya terkekeh.
"Tentu saja, ada seseorang yang berhasil membuka gemboknya dan berhasil tinggal di sini," sahut Vano menatap mata Adelia dan memegang tangan Adelia lalu diarahkan ke dadanya.
Jantung Adelia berdetak tidak seperti biasanya, saat tangannya merasakan detak jantung Vano. Mereka saling menatap untuk beberapa saat, hingga Adelia memalingkan wajahnya terlebih dahulu ke arah lain.
"Wah, aku jadi penasaran seperti apa wanita yang berhasil masuk ke hatimu? Apa kamu sudah mengatakan perasaanmu padanya, pasti dia tidak menolakmu, kapan kamu akan kenalkan aku padanya," kata Adelia setelah berhasil mengendalikan dirinya.
"Dia wanita cantik, baik dan agak cerewet saat bersamaku beda kalau lagi sama orang lain, aku belum sempat mengatakan perasaanku padanya karena dia keburu nikah sama orang lain," kata Vano dengan wajah sendunya.
"Yah, sayang sekali. Padahal kamu baru aja dapat merasakan cinta, tapi keduluan orang lain, mungkin dia bukan jodohmu," kata Adelia hanya dibalas senyuman oleh Vano, setelah itu tidak ada lagi percakapan antara mereka.
Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi sampai di Restoran tempat mereka janjian. Mereka pun masuk ke ruang VIP yang telah direservasi oleh Dimas sebelumnya, Vano dan Adelia berbincang sambil menunggu Dion datang, sedangkan Dimas fokus pada ponselnya.
Tak lama kemudian yang ditunggu pun tiba, tapi tidak sendiri. Dion datang bersama Zeline sesuai dengan yang dikatakannya pada Adelia sebelum berangkat kerja,
Dion dan Zeline berjalan beriringan memasuki ruangan itu dengan santai, Vano yang melihat itu kaget. Bagaimana bisa Dion berangkat bersama Zeline, sementara Adelia yang istrinya dibiarkan sendiri.
"Apa-apaan si Dion ini, kenapa dia mengajak Zeline ke sini, apa dia tidak memikirkan perasaan Adel," cebik Vano dalam hatinya.
"Sorry lama, tadi kita kejebak macet," kata Dion sambil menggeserkan kursi untuk Zeline duduki. Zeline langsung duduk dan mengucapkan terima kasih, sambil tersenyum manis pada Dion.
"Oh iya gimana kabar kalian?" tanya Dion pada Vano dan Dimas sambil salaman ala laki-laki.
"Baik, kamu sendiri gimana kabarnya? Aku dengar perusahaanmu makin maju aja ya sekarang?" sahut Dimas menjawab sapaan Dion.
Sementara Vano hanya diam, menatap tajam Dion dan sesekali melihat Adelia yang terdengar beberapa kali menghela napas, tanpa melihat ke arah Dion dan Zeline.
"Baik juga, ya begitulah sekarang lumayan banyak peningkatan dalam setahun ini, aku dengar kamu jadi asisten Vano ya sekarang," kata Dion hanya dijawab anggukan oleh Dimas.
"Oh iya Van, apa sekarang kamu akan mengelola perusahaan yang di sini dan menetap lagi disini?" tanya Dion pada Vano yang hanya diam dari tadi.
'Hemmm' Hanya deheman saja yang dapat terdengar atas pertanyaan Dion itu.
Adelia yang merasa suasana jadi canggung pun, mulai berbicara untuk mencairkan suasana.
"Udah kita makan dulu yuk, nanti lanjut lagi ngobrolnya aku udah laper nih, tadi siang makan cuma sedikit," kata Adelia sambil memegang perutnya yang rata.
Mereka pun memulai makan malamnya dengan tenang, tapi mata Adelia sesekali melihat ke arah Dion yang memperlakukan Zeline dengan lembut dan romantis.
Adelia hanya bisa memegang kuat garpu dan sendok yang dipegangnya, dia menundukkan wajahnya dan menghela napas untuk menenangkan hatinya yang bergemuruh.
Setelah makanan mereka habis, Adelia memutuskan pamit terlebih dahulu karena dia sudah tidak tahan membendung air matanya lagi.
"Aku harus pulang duluan, ada hal yang harus aku kerjakan lagi," pamit Adelia berusaha tersenyum dan langsung melangkah pergi tanpa menunggu jawaban dari orang yang ada di ruangan itu.
"Apa kamu tidak berniat untuk mengantarkan Adel pulang? ini sudah malam," kata Vano, pada Dion dengan tatapan tajamnya.
"Biarkan aja, dia udah biasa pulang malam sendiri, lagian habis ini aku masih ada urusan dengan Zeline," kata Dion dengan santai.
"Urusan apa yang kalian lakukan, melakukan hal yang menjijikkan cih!" sindir Vano.
"Apa maksud kamu Van?" Dion menatap Vano dengan sengit.
"Aku yakin kamu tidak bodoh untuk mengerti apa maksud perkataan aku tadi, apalagi yang bisa dilakukan oleh seorang pria yang sudah menikah bersama dengan simpanannya," sarkas Vano.
"Jaga omongan loe Van, jangan sampai gue ngehajar loe di sini karena omongan asal loe itu!" Dion berdiri dan menggebrak dengan tatapan nyalang pada vano.
Vano ikut bangun, dia berniat untuk melayangkan sebuah bogeman mentah pada Dion. Namun, segera ditahan oleh Dimas.
"Van, jangan gegabah. Lihat ini di mana, jangan buat keributan," kata Dimas berusaha menenangkan Vano yang sudah tersulut emosi dari tadi.
"Ayo kita pergi dari sini Dion," ajak Zeline pada Dion.
"Jangan pernah ikut campur urusan keluargaku!" kata Dion sebelum pergi dari sana.
"Lepaskan Adel br*ngs*k!" geram Vano.
Dion dan Zeline sudah pergi dari ruangan itu, meninggalkan Vano yang masih ditenangkan oleh Dimas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!