Fajar dan senja. Matahari terbit dan matahari terbenam. Meskipun dua hal itu diciptakan untuk saling melengkapi dan saling menyempurnakan, namun keduanya selalu berada di titik yang berbeda.
Cahaya Senja, gadis cantik dan mungil yang memiliki sifat ramah, tegas, namun juga manja. Ia melepas masa lajangnya di usia 25 tahun. Ia menikah dengan sahabat kakaknya, Fajar Mahardika. Lelaki tampan dan mapan yang hadir disaat Senja sedang terluka.
Senja bukanlah gadis yang hidup bergelimangan harta. Orang tuanya sudah tiada sejak ia masih kecil, dan sekarang hanya hidup berdua dengan kakak laki-lakinya, Alvin Aldiansyah.
Alvin adalah sosok pahlawan dalam hidup Senja. Lelaki itulah yang selama ini merawat dan menjaganya. Alvin juga yang membiayai hidupnya, mulai dari kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah, hingga biaya kuliah. Senja menamatkan kuliahnya diusia 21 tahun. Lalu ia bekerja di salah satu perusahaan yang cukup besar di Kota Surabaya.
Sedangkan Alvin, ia mengembangkan bisnisnya yang sudah dirintis sejak dulu, yakni sebuah kelab malam yang ia dirikan di pusat kota. Sebuah pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh Rani Wilson, ibu dari Fajar Mahardika. Beliau lebih menyukai Adara Victoria, kekasih lamanya Fajar. Menurut beliau Adara yang lebih layak bersanding dengan Fajar, dibandingkan dengan Senja.
Keluarga Fajar termasuk keluarga yang terpandang. Ibu Rani menginginkan menantu yang sejajar dengan keluarganya. Namun, Fajar tak mengindahkan pendapat Ibunya, ia tetap memilih Senja sebagai pasangan hidup. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Fajar mengajak Senja tinggal di apartemen.
Mereka tinggal berdua di sana, Senja menolak saat Fajar akan mempekerjakan seorang pelayan. Senja ingin melakukannya sendiri. Ia berusaha menjadi istri yang baik untuk Fajar.
\*\*\*
Senja duduk termenung di ranjang kamarnya, menatap jarum jam yang terus berdetak. Sudah lima hari Fajar pergi ke Singapura, katanya untuk mengurus bisnis yang ada di sana. Fajar pergi dua hari sejak mereka menikah.
"Kenapa Kak Fajar belum juga kembali, malah sekarang sulit sekali dihubungi," ucap Senja dengan pelan. Ia memeluk guling yang ada disebelahnya. Tinggal sendirian untuk beberapa hari membuatnya merasa kesepian.
"Apa aku mengunjungi Kakak saja, ya," kata Senja sambil menenggelamkan wajahnya di dalam guling yang sedang dipeluk.
Lalu Senja beranjak dari duduknya, lantas berjalan menuju kamar mandi. Ia akan mengunjungi kakaknya untuk menghilangkan rasa kesepian.
Sekitar setengah jam kemudian, Senja keluar dari kamar mandi. Dia mengganti bajunya dengan dress selutut warna kuning gading. Rambutnya dikuncir tinggi, dengan hiasan aksesoris warna putih. Senja juga memoleskan *make up* tipis-tipis di wajahnya. Terakhir, ia mengoleskan lipstik warna merah muda di bibirnya yang ranum.
Merasa cukup dengan penampilannya, Senja keluar dari kamar. Tak lupa ia menyambar tas selempang warna coklat yang berisi ponsel dan dompet.
Senja berjalan keluar dari kamarnya, lalu melangkah ke ambang pintu ruang tamu. Namun alangkah terkejutnya dia, saat tiba-tiba sosok mertua sudah lebih dulu membuka pintu dari luar.
"Mama," sapa Senja sambil tersenyum.
Bu Rani tidak menjawab, hanya tersenyum miring sambil menilik penampilan Senja dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.
"Silakan masuk, Ma!" kata Senja masih dengan senyumannya.
"Fajar di mana?" tanya Bu Rani dengan nada yang sedikit ketus.
"Kak Fajar masih di Singapura, Ma, belum kembali," jawab Senja sambil menunduk. Mengingat tentang Fajar, jujur hatinya sangat gelisah.
"Terus kamu mau ke mana?" tanya Bu Rani sambil menatap Senja dengan tajam.
"Aku\_\_\_" Belum sempat Senja meneruskan kalimatnya, tiba-tiba Bu Rani sudah kembali bicara.
"Beginikah cara kamu saat ditinggal suami? Keluyuran tidak jelas!" kata Bu Rani sambil memicingkan matanya.
Senja memejam sesaat, selalu saja seperti ini. Tak pernah sedikit pun sang mertu bersikap ramah padanya. Dulu saat ia belum menjalin hubungan dengan Fajar, Bu Rani malah biasa saja. Namun sejak Fajar mengenalkannya sebagai pasangan, sikap Bu Rani berubah sinis.
"Aku hanya ingin mengunjungi Kak Alvin, Ma," ujar Senja beberapa saat kemudian.
"Alvin? Kau ingin pergi ke kelab?" tanya Bu Rani dengan sinis.
"Tidak, Ma, ini masih siang, Kak Alvin masih di rumah. Sejak menikah aku belum pernah mengunjunginya," jawab Senja dengan pelan. Meski sebenarnya ia merasa kesal, tapi tetap berusaha menghormati ibu mertuanya.
"Sudah izin suami?" tanya Bu Rani.
Senja terdiam. Dia belum meminta izin pada suaminya karena sejak kemarin nomor Fajar tidak bisa dihubungi. Entah sesibuk apa dia, sampai-sampai melupakan istri yang baru saja dinikahi.
"Kenapa diam? Kamu belum meminta izin pada Fajar?" Bu Rani kembali bertanya dengan nada yang sedikit tinggi.
"Nomor Kak Fajar sejak kemarin tidak aktif, mungkin dia sedang sibuk." Senja menghela napas panjang.
"Ahh terlalu banyak alasan. Terserah kalau kamu mau pergi, aku juga akan pergi!" kata Bu Rani sambil membalikkan badannya dan hendak keluar dari apartemen.
Namun sesampainya di ambang pintu, Bu Rani menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Senja.
"Senja! Fajar adalah putra pertamaku, kau harus secepatnya memberikan keturunan padanya. Aku sudah merestui kamu untuk menjadi istri anakku, jadi aku harap kamu tidak mengecewakan aku. Aku menginginkan cucu secepatnya!" kata Bu Rani dengan tegas. Lalu pergi tanpa menunggu jawaban yang keluar dari mulut Senja.
Senja memandang kepergian Bu Rani dengan tatapan nanar. Bagaimana mungkin ibu mertuanya sudah menginginkan cucu, sedangkan dirinya dan Fajar saja belum pernah melakukan apa pun. Pada hari pertama mereka menikah, keduanya sangat lelah karena harus menemui tamu undangan yang jumlahnya ratusan. Sedangkan pada hari kedua, Fajar pamit pergi untuk mengurus sedikit pekerjaan di Singapura, dan dia belum kembali sampai hari ini.
"Kalau bukan karena aku sangat mencintai Kak Fajar, aku tidak akan pernah menjalani pernikahan ini. Mama sama sekali tidak pernah menghargai."
Senja menunduk sambil menggenggam erat tali tasnya dengan hati yang gelisah. Wajahnya memang cantik, otaknya juga cerdas, tapi dalam hal asmara keberuntungan tak berpihak padanya. Dulu dia dikhianati oleh kekasih yang sudah berpacaran selama 5 tahun. Sekarang, ia dinikahi oleh lelaki yang mencintainya, tetapi tidak disukai oleh keluarga suaminya.
"Ah menyebalkan!" teriak Senja sambil berulang kali menghentakkan kaki.
Bersambung...
Senja masih berdiri terpaku di tempatnya. Pandangan mata terlihat datar, tampak jelas jika hatinya sedang kacau. Tak lama kemudian, Senja melangkah mendekati sofa, dan mendaratkan pantatnya dengan keras. Ia merogoh ponselnya yang berada di dalam tas, sekali lagi ia mencoba menghubungi Fajar. Namun hasilnya tetaplah sama, nomor Fajar masih tidak aktif.
"Kamu kemana Kak, sesibuk itukah di sana, sampai-sampai kamu tidak sempat mengabariku. Kita ini pengantin baru, tapi kenapa sikapmu seperti ini," gerutu Senja sambil menatap layar ponselnya.
Senja memijit pelipisnya dengan pelan, bayangan tentang masa lalu kembali melintas dalam ingatan. Ia dan Fajar sudah lama saling mengenal, namun mereka menjalin hubungan baru enam bulan.
Dulu Senja memiliki kekasih, dia adalah Kenzo Antonio Putra. Mereka menjalin hubungan sejak Senja masih kuliah. Hubungan mereka berjalan selama lima tahun. Namun akhirnya hubungan itu kandas, karena Kenzo menjalin hubungan dengan wanita lain dibelakang Senja.
Sambil menimang-nimang ponselnya, Senja menerawang jauh ke waktu lalu. Waktu ia berencana untuk menikah dengan Fajar. Awalnya Alvin tidak setuju dengan niat Senja, entah apa alasannya, namun Alvin tidak begitu rela jika adiknya menikah dengan Fajar. Berkali-kali Senja menanyakan alasan, namun Alvin hanya menjawabnya dengan sebaris kata tidak apa-apa.
Dengan kesal Senja beranjak dari duduknya. Ia melangkah ke ambang pintu, ia membulatkan niatnya untuk berkunjung ke tempat Alvin. Senja melenggang pergi, setelah menutup pintu apartemen. Ia berjalan menuju parkiran, dan bergegas masuk ke dalam mobil.
Senja melajukan mobilnya dengan pelan, ia menyusuri jalan raya yang cukup padat. Ia membuka kaca jendelanya lebar-lebar, menikmati semilirnya angin yang bertiup meriapkan rambutnya.
Hampir satu jam perjalanan, akhirnya Senja tiba di rumah Alvin, rumah yang beberapa waktu lalu juga menjadi tempat tinggalnya. Sebuah rumah yang tidak terlalu besar, namun terasnya terlihat cukup lebar. Bermacam-macam bunga tampak tumbuh dengan indah di dalam pot. Senja tersenyum, meskipun ia pergi ternyata kakaknya masih peduli dengan tanamannya.
Senja turun dari mobilnya, ia menatap motor ninja yang terparkir di teras rumah. Sejak dulu Alvin lebih menyukai motor, daripada mobil. Senja berjalan memasuki rumah itu sambil berteriak memanggil Kakaknya.
"Kak, Kak Alvin!" panggil Senja sambil melenggang masuk.
"Kak Alvin!" teriak Senja, karena belum ada jawaban dari Kakaknya.
"Jangan berteriak, suara cemprengmu menyakiti telingaku!" sahut Alvin yang baru saja keluar dari ruangan dapur. Ia membawa secangkir kopi hitam, dan sepiring roti bakar.
"Itu apa Kak?" tanya Senja dengan sorot mata yang berbinar senang. Meskipun ia sudah dewasa, tapi sikapnya terhadap Kakaknya tetaplah manja.
"Roti, mau?"
"Mau dong."
"Buat saja sendiri, masih banyak di dapur!" kata Alvin sambil terkekeh. Ia melangkahkan kakinya menuju sofa di ruang tengah, ia meninggalkan Senja yang masih berdiri di tempatnya.
"Kak Alvin tunggu!" teriak Senja sambil membuntuti langkah Kakaknya.
Senja ikut berjalan menuju ruang tengah, lalu ia duduk di sofa yang tak jauh dari Kakaknya.
"Bagaimana kabar Fajar, kenapa dia tidak ikut ke sini?" tanya Alvin sambil menyesap kopinya.
"Baik mungkin," jawab Senja dengan malas.
"Mungkin, apa maksud kamu?" tanya Alvin sambil mengernyit heran.
"Dia masih di Singapura, dua hari ini nomornya sulit sekali dihubungi," jawab Senja sambil menatap Kakaknya.
"Sejak kapan dia pergi?" tanya Alvin.
"Dua hari setelah kami menikah."
Alvin menghela napas panjang, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Alvin menatap adiknya lekat-lekat.
"Hubunganmu dengan dia masih baik-baik saja, kan?" tanya Alvin dengan tatapan mata yang menelisik.
"Baik Kak, mungkin dia sedang sibuk, jadi belum sempat mengabariku," jawab Senja sambil mencomot satu roti bakar, dan menyuapnya dengan pelan.
"Kau yakin dengan pilihanmu ini Nja, kau yakin bisa bahagia menikah dengan Fajar?" tanya Alvin.
Senja menghentikan kunyahannya, ia menilik wajah Kakaknya, "Kak Alvin, kenapa bertanya seperti itu?"
Lagi-lagi Alvin menghela nafas panjang, dan menatap Senja sekilas. Lalu ia meraih rokok yang tergeletak di atas meja, menyulutnya, dan kemudian menyesapnya kuat-kuat.
"Sebenarnya aku sedikit ragu dengan hubungan kalian," ucap Alvin, ia menjeda kalimatnya, dan melihat reaksi Senja. Namun adiknya itu hanya diam, menanti kalimat lain yang akan keluar dari mulutnya.
"Kau dan Ken pacaran sudah 5 tahun, dan akhirnya kandas. Sedangkan Fajar, 5 tahun lebih dia pacaran dengan Adara, dan kandas juga. Kalian baru 6 bulan menjalin hubungan, lalu tiba-tiba menikah. Kalian benar-benar cinta, atau sekedar mencari pelarian. Dan kulihat Tante Rani juga kurang menyukaimu," kata Alvin sambil kembali menyesap rokoknya.
"Aku dan Kak Fajar benar-benar saling mencintai Kak. Dia adalah lelaki yang baik, selama pacaran dia selalu menjagaku, dia tidak pernah meminta yang macam-macam padaku," ucap Senja.
"Tidak seperti Ken, yang sangat senang menciumku. Ahh andai saja waktu bisa diputar kembali, aku tidak akan pernah memberikan bibirku padanya. Aku akan menjaganya, dan memberikannya pada Kak Fajar, suamiku," batin Senja dalam hatinya.
"Baguslah kalau begitu, semoga saja Fajar tidak mengecewakan kamu," kata Alvin.
Sejak dulu Alvin kurang setuju dengan hubungan adiknya. Ia tidak begitu rela, jika Senja menikah dengan Fajar. Meskipun Fajar adalah sahabatnya, namun entah kenapa ia merasa ragu. Mengingat hubungan Fajar, dan Adara dulu, Alvin takut jika Fajar hanya menjadikan adiknya sebagai pelarian saja.
***
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 04.00 sore. Senja baru saja keluar dari mobilnya. Ia berjalan menuju apartemennya, sambil menenteng kantong plastik yang berisi jeruk, dan apel.
Tak lama kemudian, ia sudah berdiri di depan pintu apartemennya. Senja membukanya dengan pelan, dan melenggang masuk ke dalam. Namun tiba-tiba ia tersentak kaget, saat matanya menatap sosok lelaki yang sedang duduk di meja makan. Lelaki yang tak lain adalah Fajar, suaminya. Dia sedang duduk sambil menikmati secangkir teh hangat.
"Kak Fajar!" teriak Senja sambil berlari mendekati Fajar. Ia tak menyangka, jika suaminya ternyata sudah kembali.
Fajar tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Senja dengan pandangan yang sulit diartikan. Tangannya mengepal, dan deru napasnya terdengar sangat berat. Sepertinya ada banyak hal yang sedang mengganggu hatinya. Senja yang menyadari hal itu, ia langsung duduk di sebelah Fajar. Mungkinkah suaminya salah paham?
"Aku dari rumahnya Kak Alvin, maaf tadi aku tidak meminta izin dulu, karena nomor Kak Fajar tidak bisa dihubungi," kata Senja sambil meletakkan kantong plastik ke atas meja.
"Tidak apa-apa, maaf tadi ponselku kehabisan baterai," jawab Fajar sambil mencoba untuk tersenyum.
"Oh begitu ya, tadi aku sempat khawatir Kak. Tetapi syukurlah, kamu tidak apa-apa, dan sekarang kamu sudah kembali. Aku sangat senang, aku sangat merindukanmu Kak," ucap Senja sambil bergelayut manja.
Fajar tersenyum, lalu ia merangkul Senja, dan mengusap bahunya dengan pelan. Tak lama kemudian Fajar menggigit bibir, seharusnya ini menjadi hari yang bahagia untuk dirinya. Bisa menikah dengan wanita yang sangat dicintai. Namun nyatanya tidak, ini malah menjadi hari yang sangat sulit baginya.
"Maafkan aku Senja, aku belum bisa menceritakan semuanya padamu. Maafkan aku, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus menyembunyikan semua ini sendirian, aku tidak mau kehilangan kamu," batin Fajar dalam hatinya.
Bersambung....
Sang surya sudah kembali ke peraduannya. Berganti dengan sang rembulan, dan ribuan bintang yang menghiasi langit luas. Senja duduk sendiri di sofa kamarnya, ia sedang menunggu sang suami yang masih membersihkan diri di kamar mandi.
Senja memainkan ujung rambutnya dengan jemarinya, sembari mengukir senyuman manis di bibir ranumnya. Sesekali ia menatap pantulan dirinya di cermin. Dan senyumannya mengembang semakin lebar, kala menatap wajahnya yang sudah dirias cantik bak boneka.
Tak berapa lama kemudian, Fajar keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat segar dengan titik-titik air yang berjatuhan dari ujung rambutnya.
Senja tersenyum, pipinya mulai merona kala menatap sang suami yang terlihat tampan dengan balutan celana pendek, dan kaos pendek warna putih.
Senja beranjak dari duduknya, ia melangkah mendekati Fajar yang sedang menggosok rambutnya dengan handuk kecil.
"Kak Fajar!" panggil Senja dengan nada yang manja.
"Ada apa, hmmm?"
"Aku merindukan Kak Fajar, beberapa hari aku tinggal sendirian. Sepi, sangat tidak nyaman Kak." jawab Senja sambil mengalungkan tangannya di leher Fajar. Fajar tersenyum, lalu ia menggantungkan handuknya di pintu kamar mandi.
Ia menatap wajah istrinya yang sedang tersenyum di hadapannya. Lalu Fajar melingkarkan tangannya di pinggang Senja, kemudian merengkuh wanita itu kedalam pelukannya.
Fajar mencium puncak kepala Senja dengan cukup lama. Seakan ada perasaan lain, yang sangat sulit untuk ia jabarkan.
"Maafkan aku Senja." batin Fajar sambil memejamkan matanya.
Tak lama kemudian, Fajar melepaskan pelukannya. Ia mengusap pipi Senja dengan kedua tangannya.
"Maaf ya, malam ini aku harus lembur menyelesaikan pekerjaanku. Tidak apa-apa kan, jika nanti kau tidur terlebih dahulu, kalau sudah selesai aku akan menyusulmu." kata Fajar sambil tersenyum.
Senyuman Senja langsung menghilang saat itu juga. Mendengar ucapan Fajar, hatinya terasa ngilu. Mungkinkah Fajar sama sekali tidak menginginkannya?
"Tapi Kak." ucap Senja.
"Waktu kita masih panjang, tidak perlu terburu-buru. Pekerjaan ini sangat mendesak sayang, besok pagi harus sudah selesai. Tolong mengertilah!" kata Fajar sambil menatap Senja.
"Baiklah!" jawab Senja sambil mendengus kesal.
"Terima kasih sayang."
"Perlu aku buatkan kopi?" tanya Senja.
"Boleh." jawab Fajar dengan singkat.
Lalu Senja melangkahkan kakinya keluar kamar, dan berjalan menuju ke dapur. Senja mengambil cangkir dari dalam laci, dan mulai menyeduh kopi hitam kesukaan Fajar.
"Percuma dandan cantik, Kak Fajar malah lebih mementingkan pekerjaan." gerutu Senja sambil mengaduk kopinya dengan keras.
"Menyebalkan! Masa pengantin baru seperti ini, tidak ada manis-manisnya!" kata Senja sambil membanting sendok kecilnya ke atas meja.
Dengan hati yang masih kesal, Senja berjalan kembali menuju ke kamar, sembari membawa secangkir kopi hitam yang baru saja diraciknya.
Senja membuka pintu kamarnya dengan pelan, dan matanya menyipit saat menatap Fajar yang sedang fokus dengan layar ponselnya. Inikah lembur yang dimaksud suaminya?
Senja masih berdiri di ambang pintu, ia mengintip suaminya dari celah yang sedikit terbuka. Fajar tampak memijit pelipisnya, dengan tatapan mata yang belum beralih dari layar ponselnya.
" Kamu sedang apa Kak?" tanya Senja sambil membuka pintunya dengan lebar, tak sabar jika hanya mengintipnya dari luar. Akhirnya Senja memutuskan untuk masuk, dan mendekati suaminya.
"Sayang, kamu...kamu tiba-tiba muncul." ucap Fajar dengan gugup.
"Kamu sedang apa, katanya lembur?" sindir Senja, seraya meletakkan secangkir kopi di atas meja.
"Ada klien yang sedang menghubungiku, dia tidak puas dengan pembangunan proyek di puncak, katanya tidak sesuai dengan desain." kata Fajar sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
"Oh begitu." jawab Senja dengan singkat.
"Semoga saja Kak Fajar tidak membohongiku." batin Senja sambil melirik Fajar.
Lalu Senja duduk di kursi, didepan Fajar. Ia terus menatap suaminya yang terlihat salah tingkah.
"Aku menunggumu Kak." ucap Senja sambil tersenyum, memamerkan barisan giginya yang putih, dan rapi.
"Menungguku? Tapi pekerjaanku banyak sayang, mungkin larut nanti baru selesai." jawab Fajar.
"Tidak apa-apa." ucap Senja sambil tersenyum lebih lebar.
"Baiklah, kalau begitu aku bekerja dulu ya." kata Fajar sambil meletakkan ponselnya, dan mulai membuka beberapa berkas yang menumpuk di meja.
"Maafkan aku Senja." batin Fajar sambil menghela nafas panjang.
Lalu ia mulai menenggelamkan dirinya dalam tumpukan pekerjaan. Fajar mencoba menepis semua kenyataan, yang baru ia ketahui beberapa hari yang lalu.
Cukup lama mereka saling diam. Fajar tampak fokus dengan pekerjaannya. Sedangkan Senja, ia larut dalam buku novel yang sedang dibacanya.
Tak berapa lama kemudian, Senja melirik jarum jam yang menggantung di dinding, sudah pukul 11.00 malam. Namun Fajar masih berkutat dengan pekerjaannya, belum terlihat sedikitpun bahwa ia akan beranjak dari duduknya.
Senja menguap, ia berusaha keras untuk tetap membuka matanya. Novel yang sedang ia pegang, tak lagi dibacanya. Tulisannya sudah terlihat menumpuk, dan bergerak-gerak akibat matanya yang terlalu mengantuk.
"Kak Fajar!" panggil Senja sambil menatap suaminya.
"Kenapa sayang?" tanya Fajar sambil menoleh.
"Apakah masih lama?" Senja balik bertanya.
"Yah lumayan, mungkin satu jam lagi." jawab Fajar.
"Tidak bisakah kau tunda esok hari Kak, aku sangat ngantuk." kata Senja sambil menguap.
"Tidurlah dulu sayang, nanti aku akan menyusulmu! Maaf, tapi ini sangat dibutuhkan besok pagi." ucap Fajar sambil menatap tumpukan berkas di depannya.
Senja menghembuskan nafasnya dengan kasar, lalu ia beranjak dari duduknya.
"Baiklah!" kata Senja sambil mendengus kesal. Lalu ia melangkah menuju ranjang, dan meninggalkan Fajar sendirian.
Fajar sedikit menoleh, menatap punggung Senja yang melangkah menjauh. Ia memijit pelipisnya, ada rasa sakit, kesal, marah, dan perasaan buruk lainnya yang bercampur mengacaukan hatinya.
"Aku sangat bodoh, benar-benar bodoh. Apa yang dulu kufikirkan, kenapa aku bisa melakukan kesalahan yang sangat sefatal!" batin Fajar sambil mengepalkan tangannya. Ia merasa marah dengan dirinya sendiri.
***
Sang surya mulai menampakkan keanggunannya. Cahaya jingganya menyorot indah, menyinari alam semesta. Senja menyibakkan tirai kamarnya, membiarkan sinar surya menyeruak masuk, dan memberikan rasa hangat.
Senja melangkah mendekati ranjang, menyibak selimut coklat yang masih menutupi tubuh suaminya. Lalu Senja berbaring di samping suaminya, ia mengusap rahangnya dengan pelan.
Merasakan ada sentuhan di wajahnya, Fajar terjaga dari tidurnya. Ia membuka matanya, dan menatap wajah Senja yang berada tepat di hadapannya.
"Senja!"
"Selamat pagi Kak Fajar." sapa Senja sambil tersenyum.
"Selamat pagi, apa yang kau lakukan?" tanya Fajar.
"Kau bertanya apa yang kulakukan, aku tidak mengerti dengan maksudmu Kak." jawab Senja sambil menarik tangannya. Matanya menyipit, menatap Fajar yang sedang gugup.
"Maaf aku tidak bermaksud begitu, Senja maksudku..."
"Mandilah, aku tunggu di meja makan!" kata Senja dengan kesal. Ia bangkit dari tidurnya, dan dengan langkah cepat ia keluar dari kamarnya.
"Maafkan aku Senja." bisik Fajar sambil mencengkeram selimut coklat yang masih menutupi kakinya.
Senja memukul meja makan dengan keras, hatinya benar-benar kesal saat ini. Ada apa dengan Fajar? Seperti inikah hubungan suami istri?
Senja melipat tangannya di dada, sambil menatap tajam ke arah masakan yang sudah tersaji di atas meja.
"Aku mencintai kamu Kak, aku berusaha menjadi istri yang baik untuk kamu. Aku harap kamu tidak mengecewakan aku, dan aku harap kamu bisa menghargai aku." ucap Senja dalam hatinya.
Disaat Senja masih larut dalam fikirannya, tiba-tiba ada suara wanita paruh baya yang memanggil namanya.
"Senja!"
Senja menoleh, dan menatap ke arah sumber suara. Senja menghela nafas panjang, disaat suasana hatinya sedang buruk, kenapa malah Ibu mertuanya yang datang.
"Mama, silakan duduk! Kebetulan kami belum sarapan." ucap Senja sambil beranjak dari duduknya. Ia berusaha tersenyum, meski hatinya sedang dongkol.
Bu Rani tidak menjawab, beliau hanya melangkah mendekati meja makan. Menatap setiap masakan yang Senja sajikan di atas meja.
"Fajar tidak suka kangkung, kenapa kau memasak kangkung untuknya?" tanya Bu Rani dengan sinis.
"Hanya itu sayur yang ada di rumah Ma, dan aku juga memasak daging rendang, kesukaan Kak Fajar." jawab Senja sambil tetap tersenyum.
Bu Rani menatap Senja sambil tersenyum miring, lalu beliau menyendok daging rendang yang tersaji di dalam mangkok. Beliau menyuapnya, dan mengunyahnya dengan pelan.
"Sangat tidak enak, seperti inikah masakan yang kamu sajikan untuk anakku!" kata Bu Rani dengan tatapan yang sinis.
"Tapi Kak Fajar menyukainya Ma." jawab Senja dengan nada yang tertahan.
"Dia sudah buta karena cinta, sampai tidak bisa melihat kelebihannya Adara. Kau tahu masakannya Adara sangat lezat, tidak seperti ini." kata Bu Rani.
"Cukup Ma! Istriku adalah Senja, jadi jangan pernah menyebut namanya di sini." sahut Fajar yang baru saja muncul, ia melangkah mendekati Ibu, dan istrinya.
"Mama hanya bicara apa adanya Fajar, Adara itu..."
"Dia hanya masa lalu, dia tidak lebih baik dari Senja." sahut Fajar dengan cepat.
"Sudah, ayo kita sarapan!" ajak Senja sambil menatap Bu Rani, dan Fajar secara bergantian.
"Maaf aku terburu-buru. Aku tadi datang kesini hanya untuk menyampaikan kabar gembira. Kalian tahu, Farah sudah hamil." ucap Bu Rani sambil tersenyum. Dan tanpa menunggu jawaban dari Fajar, dan Senja, beliau langsung melangkah pergi meninggalkan mereka.
"Bukan hanya Farah yang bisa hamil, tapi aku juga bisa. Aku bukan wanita mandul, aku pasti bisa memberikan keturunan untuk Kak Fajar." ucap Senja dalam hatinya.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!