TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR🤗
Jangan lupa jempol digoyang.
...LIKE...
...KOMEN...
...HADIAH BOLEH...
...VOTE KALAU IKHLAS😅...
...SELAMAT MEMBACA. SEMOGA BETAH...
...LOPE LOPE SEKEBON KELAPA SAWIT PUNYA ORANG😅...
Siang itu cuaca matahari sangat terik, masih terlalu cepat bagiku untuk pulang ke rumah, tapi hari ini aku merasa sangat lelah, karena sedari tadi tidak berhenti melayani para pengunjung, rasa lelah ini sudah tidak bisa dibendung, aku menitipkan tempat ini kepada Rossa, dia orang kepercayaanku selama ini.
Aku memarkirkan mobil di garasi rumah, rumah ini sangat sepi, karena di jam segini biasanya Mas Haris masih ada di kantor, ku buka pintu utama, aku melihat Lia duduk dengan tv yang masih menyala, tapi pandangan gadis itu tertuju pada ponsel di tangannya, sepertinya gadis itu tidak tahu kalau aku sudah pulang, perlahan aku berjalan mendekatinya.
"Bima di mana, Li..?"
Mendengar suaraku, Lia terperanjat kaget, ponsel ditangannya hampir terjatuh, namun cepat-cepat dia menyimpan benda pipih itu ke dalan kantong celananya, sepertinya dia terkejut melihatku sudah ada di belakangnya.
"I-ibu sudah pulang?" tanya Lia dengan wajah gugup, sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dariku.
"Kenapa...? Sepertinya kamu terkejut melihatku?"
Lia tersenyum namun terkesan canggung, sudah lama aku mengenalnya, sudah lama aku tinggal satu atap dengannya, jadi aku tahu ekspresi wajahnya yang terlihat gugup.
"Ng-gak kok, Bu ... gak ada apa-apa, Bima baru aja tidur siang, Bu." Lia menjawab semabari menunjuk kamar Bima, lalu aku masuk ke kamar Bima.
Melihat wajah anakku yang polos ini, membuat rasa lelah yang tadi melanda, menjadi hilang seketika, aku mencium semua bagian dari wajah Bima, sepertinya anak ini merasakan kehadiranku, Bima gelisah namun aku kembali menenangkannya, disaat itu aku mendengar suara Mas Haris, tapi mungkin aku salah, karena tidak biasanya Mas Haris pulang di jam segini.
Suara itu semakin nyata, aku seperti mendengar orang yang sedang mengobrol di luar kamar, dari cela pintu yang sedikit terbuka aku melihat Mas Haris bicara dengan Lia. Apa yeng mereka bicarakan? Biasanya Lia selalu menghindari mas Haris, tapi kenapa sekarang ia berani menatap suamiku?
"Kamu sudah pulang, Mas...?"
Mas Haris gelagapan melihatku di depan pintu kamar, aku menjadi curiga dengan ekspresi wajahnya, ada apa dengan mereka? Apa ada yang aku lewatkan di rumah ini? Saat itu Lia tampak menunduk lalu ia berjalan menuju dapur.
"Ehm, iya ... sebenarnya, tadi Mas ke butik kamu, tapi kata Rosa kamu sudah pulang, jadi ya Mas juga pulang ke rumah, Mas mau kita makan siang berdua," jawab Mas Haris kepadaku.
"Tumben, Mas. Biasanya gak pernah seperti ini?" tanyaku saat Mas Haris melonggarkan dasinya, ia tersenyum kepadaku.
"Apa Mas gak boleh kangen sama kamu?"
Seperti biasa Mas Haris terlihat manis dan romantis, aku mendekatinya lalu Mas Haris mengecup keningku dengan mesra, aku hanya diam dan tersenyum.
"Kita makan siang bareng, yuk!"
Mas Haris merangkul bahuku. Aku merasa aneh, tumben Mas Haris pulang hanya untuk makan siang denganku, tapi segera kubuang pikiran negatif yang bersarang di kepalaku, lalu aku mengambil tas Mas Haris dan membawanya ke kamar.
***
Mataku terbelalak saat melihat hidangan di meja makan, terlihat lezat dan masih hangat.
Mas Haris sudah duduk di kursinya, ia terlihat bahagia, tanpa melihat kiri dan kanan, mas Haris sudah mulai menyiapkan makanannya sendiri.
"Ehhhm enak banget ... seperti biasa rasanya selalu enak, Mas sangat suka sama semua ini."
Mas Haris terlihat lahap, sepertinya ia sudah biasa makan masakan ini, dia terlalu memuji sedangkan aku masih bertanya siapa yang menyiapkan semua ini? Apa mungkin Lia yang memasaknya? Tapi untuk apa? Lia hanya pengasuh anakku saja, selama ini dia tidak pernah masak di dapur.
Disaat yang bersamaan, Lia datang dan berajalan ke depan westafel untuk mencuci botol susu anakku. Karena penasaran aku bertanya kepadanya.
"Lia, siapa yang nyiapkan semua makanan ini?"
Mas Hari terbatuk aku menyodorkan segelas air putih, dan Mas Haris langsung menenggak habis isi di dalamnya, aku tahu saat itu Mas Haris melirik Lia.
"Ehmmmm it-itu saya yang masak, Bu!"
Apa aku salah dengar? Sejak kapan dia bisa masak? Untuk apa dia memasaknya. Apa dia tahu kalau aku dan mas Haris akan makan siang di rumah.
"Ekhmmmm, sebenarnya ... Mas yang minta Lia nyiapin makan siang untuk kita! Benar 'kan Lia?"
Mas Haris dan Lia saling melirik satu sama lain, dan itu tidak luput dari pandanganku.
"Iya, Bu. Tadi saya mau pesan di restoran, tapi saya khawatir bawa Bima keluar rumah, jadi saya masak bahan makanan yang ada di dalam kulkas, Bu."
Benarkah seperti itu? Kenapa aku merasa Mas Haris dan Lia seperti menyembunyikan sesuatu dariku? Ah sudahlah mungkin semua yanh dikatakan mereka benar, untuk apa Mas Haris berbohong?
"Oh, terima kasih, Lia," aku menarik kursi di sampingku untuk Lia, "kamu belum makan, kan? Ayo duduk di sini?" Lia tampak gugup padahal setiap malam kami selalu makan bertiga, aku tidak pernah membedakan gadis belia ini, aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri.
"Kenapa bengong, Li...? Ntar keburu dingin gak enak dimakan, loh!" Mas Haris juga ikut bicara, Lia hanya tersenyum dan duduk di sampingku, tepat dihadapan Mas Haris.
****
Malam semakin larut, tapi kenapa aku belum bisa tidur? Sedangkan Mas Haris masih fokus menonton pertandingan bola di layar kaca, aku memutuskan masuk ke dalam kamar berbaring dengan menatap nanar langit-langit kamarku.
Ponsel Mas Haris yang ada di atas nakas bergetar, sepertinya Mas Haris lupa membawanya, tumben sekali biasanya Ponsel ini tidak pernah lekat dari tangannya. Dalam keadaan masih berbaring, aku mengambil dan membuka pesan di dalamnya.
Ternyata pesan ini dari rekan bisnisnya, lalu ntah knapa tanganku tidak bisa diam, aku membuka pesan lainnya.
Deg!!!!
Apa ini? Aku tercekat dan duduk di tempat tidur, saat ini jantungku berdetak lebih kencang, aliran darahku terasa mengalir lebih deras. Mataku sudah mulai berkaca-kaca, saat membaca pesan mesra di ponsel suamiku. Mungkinkah suamiku punya wanita lain?
Sayang, kamu di mana? Kenapa belum sampai juga? Aku sudah menyiapkan semua ini! Seperti biasa aku menunggu kamu, Mas.
Sabar sayang, sebentar lagi aku sampai
Mas?? Siapa yang mengirimkan pesan mesra ini kepada suamiku? Wanita mana yang dipanggil sayang itu? Berani sekali mereka bermain dibelakangku, aku hampir membanting ponsel ini, namun aku tersadar kalau aku juga harus ikut bermain dengan mereka.
Aku menyimpan kontak wanita yang tidak ditulis namanya ini, lalu aku meletakkan lagi ponsel itu di tempatnya semula. Aku harus tau siapa wanita itu.
Apa salahku? Pesan siapa yang ada di ponsel suamiku? Aku tidak bisa tidur masih terus menerka apa yang sebenarnya terjadi, selama ini tidak ada yang salah, mas Haris selalu baik dan romantis, mas Haris juga tidak pernah mengeluh, aku selalu melayaninya dengan baik, pakaiannya, makananya meskipun saat siang kami jarang bertemu, ya mas Haris sibuk dengan kantornya, mas Haris juga tidak pernah keluar malam, lalu siapa wanita itu?
Mungkinkah itu rekan kerja Mas Haris di kantor? Mungkinkah mereka cuma bercanda? Kenapa Mas Haris tidak menghapus pesan ini? Apa mas Haris gak takut kalau aku membaca pesan ini? Aku benci pikiranku ini, iya sudah pasti mas Haris hanya bercanda dengan teman kantornya, aku harus berpikir positif.
Aku terbangun karena mendengar suara Bima anakku, kulihat jam masih pukul satu pagi. Aku tidak menemukan mas Haris disampingku, ada di mana dia? Apa sedari tadi belum masuk ke kamar? Aku membuka pintu penghubung antara kamarku dan juga kamar Bima, aku nenangkannya, melihat wajah anakku yang teduh, hatiku menjadi tenang, aku sadar Bima adalah bukti dari cintaku dan mas Haris, sudah pasti mas Haris tidak mungkin mengkhianati pernikahan kami.
Setelah Bima kembali terlelap, aku menuju ruang tv tidak ada siapapun di sini, mendadak tenggorokanku menjadi kering, aku berjalan menuju dapur, saat aku melewati kamar Lia yang letaknya diujung lorong, aku seperti mendengar suara orang yang sedang ngobrol, siapa mereka? Aku mendekatinya tapi suara ini mendadak hilang, apa yang aku lakukan di depan pintu kamar Lia? Aku memutuskan kembali ke dalam kamar, beberapa saat kemudian, mas Haris masuk ke dalam kamar.
"Dari mana, Mas?" tanyaku kepada Mas Haris yang baru saja menutup pintu, dari wajahnya mas Haris terlihat gugup, tapi ia tersenyum kepadaku.
"Dari kamar mandi, Dek," jawabnya kepadaku, lalu mas Haris berbaring disampingku.
"Lihatin apa?" tanya Mas Haris, ia menghadapku dan memegang suir rambutku, apa aku bilang mas Haris selalu manis, jadi tidak mungkin mas Haris mengkhianatiku.
"Udah malam kamu gak ngantuk? Muka kamu kelihatan segar gitu."
"Oh, ini mas habis basuh muka, Mas baru aja lembur di ruang kerja, menghilangkan ngantuk jadi mas ke kamar mandi," jawabnya dengan cepat, lalu mas Haris memejamkan mata, aku lega mendengarnya, berarti bukan mas Haris yang ngobrol di kamar Lia tadi, akupun ikut memejamkan mata.
Sudah pagi lagi, seperti biasa aku berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk mas Haris, dibantu Lia yang juga sudah biasa menemaniku di dapur.
"Lia, setiap malam kamu tidur jam berapa, sih?" tanyaku kepada Lia yang saat itu sedang mengiris bawang.
"Gak tentu, Bu. Tapi tadi malam aku tidur lebih cepat dari yang biasa, jam 9 sudah tidur," jawbnya tanpa melihatku, lalu apa tadi malam aku salah dengar?
"Tapi tadi malam ... Ibu lewat kamar kamu, dan sepertinya Ibu dengar suara orang ngobrol," Lia terlihat gugup bahkan tangannya teriris pisau.
"Auu," rintihnya cepat-cepat aku membuka laci dan mengambil plaster dari sana, dan kubalut luka ringan dijari telunjuk Lia.
"Hati-hati, Li. Lagian kamu kenapa terkejut sih?"
"Gak, kok Bu. Biasa aja saya kurang hati-hati, emmm tadi malam itu, aku nelpon Ibu di kampung," jawab Lia setelah aku selesai mengobati lukanya.
"Tengah malam, loh. Apa Ibumu gak tidur?"
"Baru ada waktu, Bu. Biasa kalau siang Ibuku kerja jarang ada waktu ngobrol," jawabnya, aku mengangguk mungkin mmemang seperti itu, aku semakin lega, dugaanku semakin salah, tidak mungkin Mas Haris yang ada di kamar Lia.
****
"Pagi!" Mas Haris sudah rapi dengan pakaian kerjanya, ia duduk disampingku dan aku menyiapkan sarapan untuknya, saat itu Lia sedang memangku anakku, jadi dia tidak bisa ikut sarapan bersama.
"Pagi, Mas. Seperti biasa suamiku selalu tampan dan rupawan, gayanya dikurangi dong mas, aku takut ada perempuan lain yang tergoda sama kamu," ucapku bercanda, tapi wajah Mas Haris mendadak terlihat kaku.
"Mana ada perempuan lain yang tertarik sama bapak-bapak," jawabnya seraya mengunyah nasi goreng.
"Bisa aja mas, apa lagi kalau digoda sama kamu, perempuan mana yang bisa menolak pesona kamu, Mas," aku benci ucapanku ini, tapi aku ingin melihat reaksi Mas Haris.
"Aku gak mungkin godain perempuan lain, cuma kamu yang ada di hati dan hidupku," gimana aku gak meleleh? Mas Haris sudah gombalin aku dipagi hari, ia mencium tanganku dengan mesra.
Tiba-tiba di dalam gendongan Lia, anakku Bima menangis, aku menoleh kearahnya.
"Kenapa, Lia...?" Lia kelihatan gugup ia menepuk halus punggung Bima berusaha menenangkannya sampai Bima berhenti menangis.
"Ti-tidak apa-apa, Bu. Bima digigit nyamuk. Aku gak sengaja menepuknya, mungkin karena itu Bima kaget ... maaf gak bermaksud mengganggu Ibu sama Bapak," jawabnya terlihat gugup.
"Ya sudah, sayang aku pergi kerja dulu ya, mungkin pulang tengah malam, aku ada lembur, kamu makan malam ditemani Lia saja ya." Tiba-tiba Mas Haris buka suara padahal makanan dipiringnya masih utuh.
"Iya, Mas," aku mengambilkan tas Mas Haris dan mengantarnya sampai di depan pintu, setelah puas menghabiskan waktu dengan Bima yang sudah kembali tidur, aku pergi ke Butik.
****
"Bu Wati, mau yang mana?" Ibu Wati tetangga di kompleks rumahku, setiap hari aku melewati rumahnya yang ada di ujung lorong.
"Gaun ini cantik, aku mau yang ini, ya Ma," ucap anaknya menunjuk sebuah gaun, "yang ini aja, Mbak Sera," jawabnya.
Aku mengambil gaun itu dan mengemasnya, saat ini kami sudah ada di meja kasir, sementara anaknya sedang melihat koleksi yang lain.
"Mbak, Sera beruntung ya, setiap hari bisa makan siang berdua sama pak Haris, tidak seperti suami saya yang selalu sibuk," ucapannya mengejutkanku, perasaan kami jarang makan siang di rumah. Aku pergi ke butik jam 10 pagi dan biasanya akan kembali ke rumah jam dua siang.
"Kapan Ibu melihatnya? Maksud saya kenapa Ibu bisa perpikir seperti itu?"
"Lah, setiap hari saya lihat mobil pak Haris keluar masuk, memang saya gak lihat mobil Mbak Sera, karena sudah pasti Mbak Sera duduk di samping pak Haris, kan?"
Ya Tuhan, apa lagi ini? Kata-kata tetangga ini benar-benar membuatku bingung, mas Haris dan Lia tidak pernah bicara soal ini, untuk apa mas Haris pulang ke rumah di jam makan siang saat aku tidak ada di rumah?
"Mbak, kalau boleh saya kasih saran, sebaiknya jangan ada orang ketiga di dalam rumah kita, Mbak."
"Maksudnya orang ketiga itu apa, Bu?" aku benar-benar tidak tau.
"Orang ketiga yang bukan muhrim suami kita, ya untuk jaga-jaga," apa selama ini aku sudah kecolongan orang ketiga?
Aku tidak bisa berpikir jernih, perkataan tetanggaku ini benar-benar mengganggu pikiranku, saai ini juga aku memutuskan untuk kembali ke rumah, aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi, sebentar lagi jam makan siang, aku ingin mastikan sendiri, apakah benar kalau suamiku itu selalu pulang tengah hari, ah aku benci dengan semua ini, apa diam-diam Lia sudah menjadi orang ketiga di dalam rumah tanggaku? Kalau semua terbukti maka aku tidak akan melepaskan mereka, benar-benar keterlaluan mereka berkhianat di dalam rumahku sendiri.
Sebentar lagi aku sampai di perumahan, tapi sepertinya yang baru keluar dari gapura itu mobil mas Haris, apa aku salah lihat? Tidak aku yakin itu memang mobil Mas Haris, ternyata benar kalau selama ini dia selalu pulang ke rumah saat aku tidak ada, aku meraih ponsel-ku dan menghubunginya.
"Mas, kamu di mana?"
(Aku lagi di kantor, ada apa kelihatannya kamu panik gitu?)
"Gak kok, Mas. Aku mau ajak kamu makan siang bareng, kamu bisa' kan?"
(Maaf ya sayang, hari ini gak bisa Mas sibuk banget)
"Yasudah, lain kali janji ya kita makan siang di rumah saja, atau jangan-jangan kamu sudah makan siang sama wanita lain?"
Mas Haris mengelak aku pura-pura percaya, padahal saat ini aku benar-benar menahan kesal, sudah jelas aku lihat mobil mas Haris keluar dari perumahan ini, aku sudah sampai di halaman rumah saat panggilan itu berakhir, baiklah aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi di rumah ini.
Dengan kunci duplikat aku masuk ke dalam rumah, kenapa aku seperti maling? Aku mengendap-endap menuju dapur, seakan takut ketauan Lia, jelas saja aku mau tau apa yang dilakukannya kalau aku tidak ada di rumah, sementara Bima anakku masih tidur pulas.
Aku mendengar suara gemercik air dari kamar mandi, suara itu semakin intens, sepertinya Lia sedang mandi, tapi kenapa dia mandi di tengah hari seperti ini?
Ceklek pintu dibuka dari dalam.
"I-ibu...?" Lia terkejut saat melihatku, ia berdiri di depan pintu dengan rambutnya yang basah, sementara tubuhnya hanya dililit handuk.
"Kamu baru siap mandi, Li...?" tanyaku penasaran, dadaku bergemuruh berusaha menyangkal pikiran negatif yang bersarang di kepalaku. Membayangkan Lia dan Mas Haris selingkuh membuatku marah, tapi aku tidak punya bukti, jadi aku harus lebih bersabar.
"Ehmm iya, Bu. Gerah," jawabannya semakin membuatku curiga, gerah dari mana? Padahal rumah ini dilengkapi ac jadi kenapa dia merasa gerah? Aku hanya diam melihat Lia berjalan cepat menuju kamarnya.
****
Sudah jam sembilan malam, tapi mas Haris belum juga sampai di rumah, katanya ada lembur di kantor, dan aku percaya itu. Aku menunggunya sambil bermain dengan anakku di dalam kamar. Perutku sakit sekali setiap datang bulan selalu seperti ini, Bima sudah mulai rewel karena mengantuk, aku memeluknya dan menemaninya tidur.
Aku mengerjapkan mata, kulihat jam di dinding sudah pukul satu malam, aku menoleh dan tidak menemukan mas Haris disampingku, sepertinya mas Haris belum pulang juga. Kerja lembur tapi gaji tidak pernah utuh, iya sudah tiga bulan ini gaji yang diberikan nas Haris berkurang hampir setengahnya. Katanya perusahaan tengah dilanda kesulitan, aku tidak mengerti tentang itu. Perutku semakin tidak nyaman, buru-buru aku ke kamar mandi.
Suara apa itu? Kenapa terdengar seperti orang yang sedang dimabuk asmara? Tapi siapa? Aku jadi merinding saat suara itu terdengar semakin nyata, itu seperti suara Lia apa dia menelpon Ibunya lagi? Tapi kenapa aneh? Jiwa penasaranku meronta, aku menempelkan telingaku tepat di pintu kamar Lia.
"Terima kasih, Mas."
Suara Lia terdengar manja, tapi siapa yang dipanggilnya mas?
"Sama-sama sayang."
Deg!!!
Itu suara Mas Haris, aku gak mungkin salah dengar, apa yang dilakukan mas Haris tengah malam begini di dalam kamar Lia? Sejak kapan panggilan mereka berubah? Istri mana yang tidak sakit hati mendengar semua ini? Tanpa terasa air mataku mengalir, jadi ternyata benar kalau aku sudah kecolongan, Lia pengasuh anakku yang aku anggap seperti adik sendiri, ternyata orang ketiga di dalam rumah tanggaku, tega kamu Lia, tega kamu, Mas. Kalian pandai bersandiwara benar-benar menjijikan. Aku benar-benar sudah tidak tahan saat suara itu mulai terdengar lagi, aku memutuskan kembali ke dalam kamarku.
Inikah balasanmu, Mas? Kamu tega mengkhianati pernikahan kita? Kamu selingkuh sama pengasuh itu? Ingin sekali aku mendobrak pintu itu, tapi aku harus bersabar, kalian harus membayar lunas apa yang sudah kalian lakukan kepadaku. Aku tidak bisa tidur, aku menangis sampai terdengar pintu kamar dibuka, aku pura-pura tidur benar saja mas Haris berbaring disampingku, dasar suami jahat, dia masih bisa sesantai ini, setelah berduaan dengan selingkuhannya itu.
Pagi sudah datang lagi, aku bersikap seperti biasa, ck sepagi ini Lia sudah mandi, aku muak melihat wajahnya yang sok polos itu. Apa aku salah dengar lagi? Lia mual? Kenapa dia?
"Kamu kenapa Li...? Kamu sakit?" tanyaku saat Lia baru keluar dari kamar mandi, wajahnya terlihat pucat, tubuhnya seakan lemas, mungkin Lia kena ajab karena sudah merebut suami orang, majikannya pula.
"Gak apa-apa, Bu. Mungkin masuk angin," jawabnya sembari memegang perutnya.
"Jangan-jangan kamu hamil...?"
Spontan aku mengatakan itu, Lia terlihat gugup dan terkejut, ia tidak mau melihatku, sebentar lagi aku bongkar sandiwara kalian, aku tidak akan melepaskan kalian berdua.
"Ibu bisa aja, mana mungkin aku hamil, aku masih gadis Bu," elaknya aku hanya tersenyum.
"Yasudah, kamu istrahat saja, Ibu sudah memindahkan Bima di kamarnya, jadi kamu temeni Bima ya, biar Ibu yang masak," titahku kepada Lia.
Lia masuk ke dalam kamar, tanpa sengaja aku melihat sekelebet bayangan mas Haris diam-diam mengikutinya, tanpa buang waktu aku menguping mereka.
"Gimana ini Mas, aku sudah telat datang bulan, gimana kalau aku hamil, Mas. Kamu harus bisa adil dong, Mas. Bagaimana 'pun juga aku berhak atas kamu, aku lelah kalau kita terus main kucing-kucingan, cepat nikahi aku."
"Sabar sayang, aku masih nunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Sera, kamu tidak perlu khawatir, aku yakin Sera pasti mau menerima kamu sebagai istriku yag kedua."
"Kapan Mas, kapan? Aku harus menunggu sampai kapan? Kamu gak adil, Mas hiks hiks hiks."
Apa aku tidak salah dengar? Kenapa aku tidak tahu semua ini? Tega sekali kalian kepadaku, kurang baik apa aku selama ini? Ternyata di balik wajah Lia yang polos itu, tersimpan sifat yang jahat, Lia sudah merebut suamiku, dan Mas Haris kamu benar-benar keterlaluan, dari cela pintu aku melihat mas Haris memeluk dan menenangkan Lia. Tunggu saja pembalasanku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!