NovelToon NovelToon

Aktivis: Perjuangan Dan Cinta

Analisis Kritis Doktrin

Alex merupakan mahasiswa baru di kampusnya, tepatnya di Universitas Harapan Negeri. Hari ini merupakan hari pertama dia memasuki kampus, seperti tradisi pada umumnya untuk setiap mahasiswa baru yaitu, mahasiswa harus mengikuti agenda PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru).

PKKMB yang pada dasarnya bertujuan untuk memberi pengetahuan tentang peraturan dan ketentuan yang berlaku di lingkungan kampus. Kini di salah artikan dan di praktekkan oleh panitia PKKMB yang tak lain dan tak bukan adalah mahasiswa senior.

Namun Alex yang berlatar belakang memiliki jiwa dan pemikiran sosialis yang dia adopsi dari buku-buku karya Karl Marx, Paulo Freire, dan Tan Malaka menyadari ada yang salah berdasarkan pandangannya terhadap agenda PKKMB tersebut.

Menurutnya kegiatan tersebut merupakan ajang menindas junior, hingga menunjukkan senioritas itu berlaku secara tidak langsung.

Saat Alex mendengarkan pengarahan dari seniornya, yang mana mereka harus memakai tas yang terbuat dari karung beras, plastik keresek dijadikan penutup kepala dan karton bekas dikalungkan untuk menjadi palang nama, yang mana namanya bertuliskan nama-nama hewan.

Dan mereka di jemur dibawah terik matahari terlebih dahulu sebelum mendapatkan makan siang.

Pukul 12:25 dimana sang surya sedang semangat-semangatnya membakar bumi, yang membuat peserta PKKMB frustrasi terhadap kondisi. Alex bertanya kepada seniornya yang bernama Fatur.

"Jika ilmu pengetahuan diperkenalkan atas ketidak warasan apa jadinya generasi bangsa?"

Fatur merupakan senior Alex yang memiliki sifat angkuh, sangat suka menindas junior dan juga kini dia menjabat sebagai ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Menjawab pertanyaan Alex dengan tegas.

"Ini merupakan latihan mental kalian agar siap menghadapi berbagai problem perkuliahan kedepan!"

Alex dengan pemikirannya yang waras membantah perkataan seniornya itu.

"Tidak ada mental yang dibentuk dibawah tekanan yang brutal, yang ada hanya ketidak warasan yang dirasakan"

Fatur merasa geram terhadap perkataan Alex barusan, yang membuat dirinya malu dihadapan mahasiswa baru hingga  memanggil teman-temannya untuk memberi pelajaran terhadap Alex.

Doni, Fadel dan Fatur datang bersamaan menghampiri Alex yang telah siap dan mengetahui retorika yang akan mereka putar terhadapnya.

Doni dan Fadel merupakan panitia bidang keamanan PKKMB. Doni merupakan mahasiswa tua yang sampai sekarang belum lulus-lulus disebabkan berbagai kasus yang membuat dia dipersulit oleh dosen untuk lulus, sedangkan Fidel merupakan sahabat Doni yang memiliki sifat mesum dan belum lulus juga akibat imbas dari Doni.

Mereka berdua dipanggil oleh Fatur atas dasar ada mahasiswa baru yang berbuat ulah dan enggan mengikuti peraturan.  Alex pun dipanggil keluar dari kelompok oleh mereka, didepan ratusan mahasiswa baru Alex disuruh merayap sejauh 100 meter, namun dia enggan melakukannya dan langsung bersuara untuk mewakili perasaan mahasiswa baru yang sedang di jemur di bawah teriknya sinar matahari dan belum mendapatkan makan siang.

"Teman-teman ku semua, hari ini merupakan hari pertama kita menjadi mahasiswa, dan hari ini juga kita pertama kalinya menginjakkan kaki di kampus ini untuk mendapatkan ilmu pengetahuan demi mengubah masa depan kita, keluarga kita, atau bahkan bangsa kita. Sudah saatnya pembodohan di akhiri, sudah waktunya diskriminasi berakhir. Jika tidak! Tradisi senioritas ini akan membuat kita makin tidak waras. Oleh sebab itu jangan pernah mau di bodohi!"

Akibat perkataan Alex tersebut ratusan mahasiswa baru yang ikut PKKMB bersamanya menentang segala diskriminasi yang dilakukan oleh senior. Hal ini membuat agenda PKKMB tidak berjalan dengan lancar seperti yang telah dikonsepkan.

Laporan ketidak lancaran PKKMB sampai ke ruang rektor hingga membuat Alex harus bertanggung jawab dan memaksakan diri untuk menemui rektor kampus.

Seorang mahasiswa baru yang di hari pertamanya masuk kampus harus menemui rektor akibat pemikiran kritisnya menolak doktrin yang menindas, namun dari sisi ini kita dapat memandang Alex akan menjadi manusia yang peduli terhadap hak-hak yang dirampas.

Ibarat matahari pagi yang ingin menyinari bumi tetapi ada awan mendung yang menyelubungi, begitu juga hal yang dirasakan oleh Alex. Ingin melawan intiminadasi dengan pemikiran kritis tetapi ada birokrasi yang berada di oposisi.

Seketika Doni mendapatkan telepon, langsung dari rektor kampus yang memerintahkan untuk membawa Alex si pengacau untuk menemui-nya, dengan singap Doni dan Fidel yang berperan sebagai panitia keamanan PKKMB membawa Alex ke ruang rektor.

Alex berpikir keras mencari cara bagaimana menghadapi rektor yang memiliki otoritas tertinggi di kampus. Sebagai mahasiswa baru rasanya wajar jika perasaan takut merasuki jiwanya, saat berjalanpun Alex seperti narapidana yang dikawal oleh sipir penjara. Dalam hatinya berkata.

"Jika mengkritisi akan menjadi napi, jika berpikir kritis akan menjadi fasis. Lalu apa gunanya belajar jika ujung-ujungnya tetap kurang ajar, apa gunanya kampus jika ujung-ujungnya membuat harapan pupus"

Semakin dekat dengan ruang rektor langkah Alex semakin berat seolah-olah kakinya ditarik ke dalam pusaran bumi, apakah semesta sedang berkonspirasi untuk menghentikan pemikiran kritisnya?

Kini Alex sudah tepat berdiri didepan pintu yang terbuka lebar dengan tulisan rektor di atasnya, persis seperti sarang harimau yang terbuka lebar untuk para mangsanya.

Satu langkah yang berat Alex angkat untuk masuk kedalam dan kini dia sudah berhadapan langsung dengan seorang birokrat tertinggi dikampus dengan Doni dan Fidel berada dibelakang, yang kini berperan sebagai algojo.

Sang rektor bernama Ir. Ahmad yang tersurat jelas oleh palang nama di atas meja kerjanya menyambut Alex dengan tatapan mata dingin dan kumis lebat tumbuh di atas bibirnya membuat Alex mati kutu akibat tekanan suasana.

Adu argumen tak bisa terelakkan lagi antara Alex dengan rektor, yang mana Alex tetap berpendirian pada pemikiran kritis dan rasional sedangkan sang rektor tetap pada aturan dan ketetapan birokrasi.

"Kamu mahasiswa pengacau yang namanya Alex?"

"Ya, saya Alex, tetapi bukan mahasiswa pengacau. Saya cuma mahasiswa dengan pemikiran yang waras"

"Apakah kamu tau jika aturan yang berlaku untuk agenda PKKMB sudah ada sebelum kamu menjadi mahasiswa atau bahkan siswa? Seharusnya kamu mengikuti semua arahan yang diperintahkan oleh panitia sebab ini semua untuk kamu juga kedepannya dalam menjalani perkuliahan dan kehidupan kampus"

"Jika kegiatan yang dilakukan itu dapat diterima oleh alam pikiran manusia yang waras, saya akan ikut tanpa ada sedikitpun bantahan. tetapi kegiatan ini tak ada bedanya dengan penjajahan serta menindas mahasiswa baru, bagaimana tidak? Kami diperlakukan seperti binatang dan tidak diberikan makan siang sebelum matahari membakar dan membuat kami sakit jiwa, apakah ini tugas perguruan tinggi untuk membuat manusia menjadi bodoh"

"Semua ini kami lakukan untuk memperkenalkan bahwa dunia kampus itu berat dan tidak mudah untuk dijalani, harusnya kamu paham maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya!"

"Kampus itu ibarat rumah, dosen ibarat orang tua, dan senior ibarat kakak atau abang. Apakah ada didalam suatu rumah orang tua mendukung anaknya untuk saling menindas?. Harusnya mereka mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya agar menjadi orang yang sukses dan berguna."

Seketika sang rektor tersentak dan terdiam akibat perkataan Alex. Alex yang tidak sanggup mendengar ocehan rektor yang tidak waras lalu pergi begitu saja, Doni dan Fidel hanya bisa terdiam tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulut mereka.

Hari Pertama Perkuliahan

Setelah kejadian perdebatan argumen antara Alex dengan sang rektor, Alex tidak hadir dan mengikuti agenda PKKMB tersebut lagi yang tersisa tiga hari, dikarenakan dia merasa hidupnya hanya tuhan yang layak untuk mengatur dengan semena-mena, bukan manusia.

Kini Alex menghabiskan sisa hari-harinya sebelum masuk perkuliahan dengan memesan kopi dipinggir jalan lalu membawanya ke taman kota.

Taman Kota tidak jauh letaknya antara kost Alex dan kampus, hanya berkisar 20 menit jika berjalan kaki.

Alex sendiri lebih suka menghabiskan waktunya di sini, dengan membaca buku dipinggiran danau sambil ditemani kicauan burung yang saling bersautan dan deris angin yang berhembus membelai rambutnya, serta secangir kopi untuk melengkapi manis dari baris kata yang dia baca.

Mungkin inilah tempat yang paling sesuai untuk mengasah pemikiran kritis tanpa harus terdistraksi dengan hiruk-pikuk rutinitas kota besar, di sini Alex terbiasa untuk mengkaji pemikiran-pemikiran para filsuf terdahulu melalui buku-buku yang dia baca, lalu membandingkan pemikiran tersebut jika di implementasikan saat ini.

Selain membaca, Alex terkadang suka merenung hingga senja menemaninya. Dia merenungi tentang apa yang salah di negara ini, padahal negara ini memiliki potensi yang luar biasa besar akan tetapi banyak masyarakat yang kelaparan.

Ini yang membuatnya binggung sampai saat ini, hingga dia rela melakukan apapun untuk mendapatkan jawabannya.

Senja kini berganti dengan malam, sudah saatnya Alex kembali pulang ke kamar kostnya yang berantakan dengan buku-buku, entah berapa kali dia mengulang membaca buku-buku tersebut.

Alex hanya merapikan buku yang berada di atas tempat tidurnya untuk memberi dia sedikit ruang bagi tubuhnya beristirahat agar besok dia terjaga lebih awal untuk mengikuti perkuliahan.

Alarm dari handphone-nya berbunyi dan menunjukkan jam 08:00, sudah saatnya untuk Alex bangun dari mimpi-mimpi manisnya. Dia langsung mandi lalu mengenakan celana jeans dan kaus oblong yang dibalut jaket jeans robek untuk segera ke kampus.

Alex terbiasa berjalan kaki kemanapun dia pergi, adakala dia menggunakan angkutan umum jika dirasa perlu. Sambil berjalan dia menatap langit dan berkata: “Semoga cerahnya matahari memberikan izin bagi langkah kaki menyonsong negeri”.

Sesampainya dikampus Alex langsung memasuki ruangan untuk mengikuti mata kuliah umum bagi bahasiswa baru yaitu PKN (Pendidikan Kewarga Negaraan) yang di ajarakan oleh pak Mahfud sebagai dosen.

Alex Kuliah dikampus Universitas Harapan Negeri mengambil jurusan Sastra, akan tetapi dia harus mengikuti kuliah umum yang diwajibkan untuk semua mahasiswa baru.

Awalnya perkuliahan berjalan dengan lancar, hingga tiba di suatu titik yang mana penjelasan pak Mahfud mengenai prekonomian negeri membuat Alex bersuara menyanggah pernyataan pak Mahfud.

“Anak-anak, kita berada di negeri yang kaya raya akan sumber daya alamnya. Saking kaya negara kita, dahulu penjajah datang dan merampas sumber daya tersebut. Oleh sebab itu kalian harusnya bersyukur berada dan tinggal di Indonesia”

“Tetapi pak saya ada pertanyaan!”

“Ya, silahkan Alex”

“Jika negara yang kita tempati saat ini sangat kaya, mengapa masih banyak pengangguran diluar sana?”

“Itu  dikarenakan sumber daya manusia kita yang masih kurang untuk mengelolanya Alex”

“Jawaban Bapak itu terlalu klise bagi saya pak. Bagaimana mungki kita kekurangan sumber daya manusia, sebab banyak lulusan perguruan tinggi di negeri ini setiap tahunnya yang menjadi pengangguran, padahal mereka merupakan lulusan terbaik di bidangnya. Bahkan 65 persen pengangguran merupakan lulusan perguruan tinggi”

“Memang benar Alex, kita memiliki banyak lulusan dari berbagai perguruan tinggi setiap tahunnya. Akan tetapi biaya untuk membangun sebuah industri yang fokus mengelola hasil alam, yang nanti akan membuka lapangan kerja itu belum ada saat ini. Oleh sebab itu kita butuh yang namanya investor asing”

“Jika demikian pak, kita akan tetap dijajah dan tak akan berubah. Percuma membangun industri yang membuka lapangan kerja, akan tetapi hasil alammnya di ambil oleh negara asing”

Seketika pak Mahfud kebingungan menjawab argumen Alex yang berpikir kritis tentang problematika negeri ini, hingga menanyakan pendapat Alex untuk solusinya.

“Lalu apakah kamu ada solusi untuk mengatasi masalah ini?”

Alex yang sendari mengingat tentang konsep yang ditawarkan oleh bapak pendidikan Brazil (Paulo Freire), untuk mengatasi masalah ini.

“Menurut saya pak, bukan masalah negara ini kekurangan biaya untuk membangun perusahaan yang mengelola sumber daya alamnya. Akan tetapi, kita masih kekurangan manusia yang memiliki pola pikir kreatif dan kritis  tentang bagaimana cara mengelola. Salah satu contoh adalah negara jerman yang sangat minim sumber daya alam, akan tetapi mereka mampu untuk membuat negara mereka maju dengam pola pikir kreatif dan kritis. Sedangkan kita masih saja terpaku terhadap doktrin dan dogma yang diturunkan dari generasi ke generasi”

Pak Mahfud hanya bisa terdiam ketika Alex mengutarakan pemikirannya, tak hanya pak Mahfud tetapi seluruh isi kelas yang berisi 29 mahasiswa dan mahasiswi kecuali Alex terdiam dan memerhatikan Alex yang berbicara pola pikir kreatif dan kritis untuk menghadapai permasalahan prekonomian negeri, hingga sampai selesai Alex berbicara.

Penampilan Alex yang dapat dibilang kumal dan beda dari mahasiswa lainnya mungkin tidak ada satu gadispun yang tertarik pada dia.

Akan tetapi tanpa Alex sadari, ketika dia menjelaskan tentang konsep pemikirannya ada seorang gadis yang menatap dengan tatapan kagum padanya. Ibarat semesta hanya berpusat pada Alex seorang.

Nama gadis tersebut adalah Rosa, seorang mahasiswi jurusan Sastra yang satu kelas dengan Alex. Dia tergolong gadis yang cantik dan juga pintar, konon katanya ketika PKKMB berlangsung banyak senior yang naksir padanya, akan tetapi Rosa tidak memperdulikan untaian kata manis yang tertuju padanya.

Baru kali ini alam semesta Rosa terdistraksi pada seorang pria kumal yang lebih mementingkan gaya berpikir dari pada gaya berpenampilan, pria tersebut tak lain adalah Alex. Entah apa yang ada didalam pikiran Rosa, dia terus saja memerhatikan dengan tatapan kangun dan lirikan manja kepada Alex hingga kelas pak Mahfud selesai.

Selesai kelas pak Mahfud, Alex berniat pergi ke kantin kampus untuk sarapan dikarenakan dia tidak sempat membuat sarapan dikostnya. Alex yang sedang menikmati mi rebus dan ditemani es teh manis  sembari membuka buku dengan tangan kirinya dikagetkan dengan kedatangan Rosa yang tiba-tiba duduk didepannya.

Tanpa ada rasa keraguan dihadapan pusaran semestanya itu Rosa menjulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri kepada Alex: “Halo.., kenalin saya Rosa. Kita satu jurusan dan satu kelas juga sepertinya semester ini”

Alex yang sendari kaget kedatangan Rossa segera memalingkan pandangannya dari untaian kata yang sedang dia tatap, lalu menjabat tangan Rosa.

“Eh…, halo. Aku Alex, saya tau kita satu kelas, sebab waktu di kelas kamu terus menatap saya sampai-sampai tidak sadar kalo kelas pak Mahfud udah selesai”

Seketika wajah Rosa memerah karena Alex rupanya mengetahui jika dia terus menatap Alex saat kelas pak Mahfud berlangsung. Hingga percakapan hangat terjadi di antara mereka.

“Itu perasaan kamu aja kali, karena kamu berdiri disamping pak Mahfud tadi, jadi saya memandang pak mahfud bukan kamu tau…”

“Terus kalau kamu  memandang pak Mahfud, kok masih bengong padahal pak mahfud udah keluar tadi”

“Ya.., saya bengong karena mikirin tentang konsep yang kamu jelaskan tadi, apakah bisa diterapkan di negara kita?”

“Tentu bisa diterapkan jika mekanisme pendidikan di negara kita diubah”

“Diubah maksudnya?”

“Pengubahan mekanisme ke arah yang lebih baik, maksudnya mengarahkan para peserta didik untuk menggali potensi mereka masing-masing hingga mereka dapat mengembangkan kreatifitasnya lebih optimal”

Tanpa mereka sadari jam telah menunjukkan pukul 11:00 siang, Alex yang berencana mencari buku baru lalu berpamitan kepada Rosa: “Kayaknya aku harus pamit deh, soalnya aku mau cari buku bacaan baru”

“Eh.., boleh aku ikut gak?”

“Boleh jika kamu enggak malu jalan sama gembel kayak aku”

“Jika semuanya di percaya melalui fisik, bagaimana kita dapat mempercayai sang pencipta yang tanpa fisik”

Pusaran Semesta

Siang itu Alex bersama Rosa berjalan  meyusuri gang-gang pinggiran kota untuk menuju tempat pernjual buku, Alex lebih suka membeli buku-buku bekas dibandingkan dengan buku baru.

Ada beberapa alasan mengapa dia demikian, menurutnya membeli buku bekas dipenjual pinggiran kota akan mendapatkan harga yang lebih murah serta dapat membantu prekonomian pedangang kaki lima.

Hal ini sangat penting untuk seorang yang sangat menyukai membaca buku, tetapi bukan itu alasan utamanya membeli buku bekas di pinggiran kota. Hal yang paling mendorongnya untuk masuk ke gang-gang yang terdapat lapak penjual buku adalah, dia sesekali dapat menemukan buku-buku langka yang tidak diproduksi lagi, dan hal itu hanya bisa didapatkan pada lapak penjual buku bekas.

Rosa yang mengikuti Alex terus saja terpukau kepada Alex, mungkin gadis lain enggan untuk mendekati Alex dikarenakan tampilan Alex yang acak-acakan dan hampir menyerupai gembel ketimbang mahasiswa.

Tetapi Rosa memiliki cara pandang lain dalam menilai seorang pria, dia lebih suka memandang seorang pria dari sudut pandang pola pikir dan pengetahuannya. Bagi dia penampilan merupakan prioritas nomor dua.

Kota sedang sibuk-sibuknya dengan aktivitas kendaraaan yang hilir-mudik kesana-kemari, walau demikian Rosa tetap saja terdistraksi dengan Alex tanpa memperdulikan kebisingan kota. Hingga dia menanyakan kepada Alex.

“Mengapa kita mencari buku ditempat seperti ini?. Bukankah lebih enak jika mencari buku di mall atau di toko resmi”

Alex dengan senyuman menjawab: “Jika semuanya dilihat dari penampilan, bagaimana kita dapat mempercayai sang pencipta yang tanpa bentuk”

Rosa yang tertawa ketika Alex membalikkan kata-katanya: “Hahaha…. Jadi kamu ngebalikin kata-kata ku tadi ya”

“Bukan ngebalikin tetapi cuma mengingatkan, barang kali kamu sudah lupa”

Hingga  langkah mereka terhenti  disebuah emperan toko dengan lapak buku didepannya. Mata Alex tertuju pada sebuah buku yang dibalut sampul hitam dan bertuliskan Pendidikan Kaum Tertindas diatasnya yang tak lain dan tak bukan adalah karya dari Paulo Freire, Alex sendiri sudah beberapa kali tamat membaca buku tersebut akan tetapi dia menyarankan kepada Rossa untuk membacanya agar dia lebih paham tentang konsep pemikiran kritis.

“Coba kamu ambil buku bersampul hitam itu”

“Yang ini maksud kamu?”

“Ya, buku itu sangat berharga untuk kamu yang sedang mengasah pemikiran kritis”

Lalu mata Alex tertuju pada sebuah buku bersampul merah yang cukup tebal hingga membuat kebanyakan orang untuk enggan membukanya, buku yang di incar Alex adalah karya mendunia dari Karl Marx yaitu Das Kapital.

Ketika Alex  ingin mengambil buku tersebut ada sebuah tangan dengan warna kuning langsat juga tertuju pada buku tersebut, hingga membuat tangan Alex terhenti. Ketika Alex memalingkan wajahnya dia menatap seorang gadis dengan tatapan mata cokelat yang cukup tajam, dan dilapisi oleh bingkai kacamata bundar diwajahnya yang tertutupi oleh masker.

Tatapan mata tersebut langsung menembus kedalam jiwa Alex hingga membuat pergerakan semesta terhenti untuk sesaat dan hanya berpusat pada sang gadis, mungkin bagi kebanyakan orang cinta pada pandangan pertama tak ubahnya sebuah mitos. Tetapi bagi Alex hal yang dia rasakan saat ini merupakan perasaan yang pertama kali seumur hidupnya.

“Maaf bang, boleh tidak buku ini saya yang ambil?. Soalnya saya udah mencari buku ini selama satu bulan dan baru dapet sekarang”

Alex yang hanya bisa terdiam, terpukau oleh tatapan mata sang gadis hanya bisa merelakan buku yang dia incar.

“Oh…, silakan mbak. Jarang-jarang ada orang yang ingin membaca buku filsafat setebal ini”

Gadis tersebut lalu membayar harga dari buku tersebut lalu pergi begitu saja meninggalkan Alex yang telah dibuatnya tenggelam dengan tatapan mata cokelatnya yang indah. Alex seperti orang yang membatu akibat sang gadis, hingga tanpa dia sadari jika sang gadis yang telah membuatnya tenggelam sudah pergi begitu saja.

Bahkan Alex tidak sempat untuk menanyakan nama dari sang gadis yang telah membuat semestanya terhenti sejenak. Rosa yang menyadari bahwa pria yang dia incar sedang melirik wanita lain dihadapannya langsung menegur Alex.

“Alex, buku apa yang ingin kamu cari?”

Seketika Alex tersadar dari lamunannya mengenai sang gadis yang sempat menghentikan semestanya dan kembali terdistraksi dengan hiruk-pikuk kota yang bising.

“Oh…, aku mau mencari buku filsafat, tetapi sepertinya tidak ada buku yang menarik di sini. Ayo kita cari lapak lain”

“Baiklah, saya ikut aja”

Alex lalu membayar buku yang dipegang oleh Rosa sabagai tanda perkenalkan antara mereka berdua.

“Kali ini saya yang traktir kamu buku, besok-besok kamu yang harus traktir aku ya”

“Tenang aja..., berarti ada saatnya kita untuk jalan mencari buku lagi dong?”

“Tentu, jika semesta merestui”

Ujar Alex dengan senyuman kepada Rosa, dan mereka langsung berjalan menuju ke pelapak lain yang berada di gang-gang pinggiran kota. Langkah mereka di iringi oleh bisingnya kota hingga sampai di sebuah emperan toko, Alex terhenti ketika melihat lapak dengan buku novel filsafat yang cukup terkenal saat ini.

Buku tersebut adalah Dunia Sophie karya Jostein Gaarder, sebuah buku yang cukup tebal untuk bisa disebut sebagi novel. Alex sangat tertarik dengan buku tersebut dikarenakan penjelasan mengenai filsafat sangat mudah untuk dipahami bagi orang awam.

Alex yang ditemani Rosa lalu menanyakan kepada penjual tersebut, yang mana penampilan dari penjual tersebut hampir sama dengan Alex dan dapat dibilang lebih parah dikarenakan rambut gondrong yang terurai serta kumis yang tumbuh tak beraturan di wajahnya.

Bagi Alex apalah arti sebuah penampilan, tetapi yang penting apa yang dia lakukan, tidak seperti para koruptor yang berpakaian rapi tetapi kotor. Alex merasa sang penjual memiliki karisma dan pengalaman tinggi untuk membahas masalah negeri, oleh sebab itu dia berkenalan dengan sang penjual.

“Bang, buku ini sangat menarik sepertinya. Apa abang ketahui tentang buku ini?”

“Ya…, buku ini sangat menarik. Banyak bahasa dan pengertian tentang filsafat berat dapat dengan mudah dipahami akibat penulisan bahasa yang mudah dimengerti”

“Menurut saya lihat, abang sangat paham mengenai filsafat boleh saya tau nama abang?”

“Ah…, mana ada, saya cuma tau sedikit-sedikit. Kenalin nama aku Beni, aku lihat kau mahasiswa ya?”

“Iya bang, aku mahasiswa baru di kampus Universitas Harapan Negeri. Ini juga baru semester satu”

“Aku juga masih mahasiswa dari Universitas Nusantara, bedanya Aku udah semester akhir. Kalo kau ada waktu luang, ayo kita minum kopi sambil diskusi di kedai kopi Litera samping taman kota, di sana banyak mahasaiswa juga yang suka diskusi”

“Boleh banget bang, ini nomor saya agar nanti bisa abang hubungi”

“Oke, nanti aku hubungi. Untuk tanda perkenalan kita, buku yang kau pegang itu kau ambil saja tak usah kau bayar”

“Terima kasih bang, kalo begitu saya pamit dahulu”

Jam ditangan Alex telah menunjukkan pukul 03:45 sore, sudah saatnya dia kembali ke kamar kost yang berantakan. Rosa yang dari tadi siang mengikuti Alex juga sudah saatnya untuk kembali. Mereka kembali menggunakan angkot agar lebih cepat sampai dan Rosa berpamitan pada Alex karena dia harus turun di persimpangan depan.

“Sudah saatnya saya turun, namun ini bukan perpisahan sebab saya masih harus memberimu traktiran”

“Traktiran itu apakah akan menjadi sebuah kepastian?”

“Tentu, jika semesta merestui”

Alex tersenyum ketika Rosa mengembalikan kata-katanya sendiri. Hingga Rosa turun dipersimpangan dan kini hanya tinggal Alex bersama sang sopir angkot yang memecah kebisingan kota. Didalam angkot Alex terus saja memikirkan gadis yang membuyarkan semestanya itu, hanya dengan sebuah tatapan dapat memberhentikan waktu. Tanpa Alex sadari pak sopir telah berhenti tepat didepan kost Alex.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!