NovelToon NovelToon

Mantan Jadi Manten

Bertemu Mantan

Sebuah vespa melanju dengan kecepatan sedang menyusuri jalan ibu kota yang ramai di pagi hari ini. Si pengemudi tampak serius memperhatikan laju jalanan di depannya. Hal ini sudah jadi rutinitas harian.

Namun, tiba-tiba kendaraan roda dua berwarna biru itu memelan dan mengharuskan sang empunya menepi terlebih dahulu.

“Ada apa lagi sih, Blue? Gue harus sampai tepat waktu ini.” Pria berjas abu-abu itu berdecak sebal karena vespanya mati disaat yang tidak tepat.

Tidak ada pilihan pria itu memutuskan untuk mendorong vespa kesayangannya menuju bengkel terdekat.

“Kenapa, Bang?” tanya seorang pria dengan baju yang sedikit kucel.

“Nggak tahu nih. Tiba-tiba mogok. Tolong diperiksa ya!”

Lelaki ini menyerahkan motor pada seorang montir di bengkel itu. Ia melepas helm, lalu menghela napas sembari mengusap keringat di pelipis. Lelah berjalan sudah jauh.

“Kira-kira bisa selesai sekarang nggak?” tanyanya pada sang montir yang sibuk memeriksa vespa.

“Masih lama ini, Bang. Sekitar satu jam. Kalau mau ditunggu ya silakan.”

“Hah? Lama juga ya.” Lelaki yang berdiri sembari berkacak pinggang ini menggigit bibir bawah, “kalau begitu saya tinggal saja deh. Nanti sore sepulang kerja saya ambil.”

Montir yang berjongkok di samping motor itu mengangguk, “Baik, Bang.”

“Bengkel ini tutup jam berapa?”

“Biasanya jam 5 sore, Bang.”

“Oke, saya tinggal saja di sini. Kalau ditunggu bisa terlambat saya ke kantor.”

Montir itu kini berdiri, “Siaplah, Bang. Nama siapa Bang? Takutnya abang datang nanti saya lagi keluar dan ketemu sama montir yang lain.”

“Dimas, Dimas Saputra.” Lelaki itu melangkah pergi saat setelah menyebutkan nama lengkapnya.

Ia berjalan sedikit menjauh dari depan bengkel, lalu menghetikan sebuah angkutan umum.

Demi sampai ke kantor dengan tepat waktu Dimas terpaksa menaiki kendaraan umum dan duduk di dekat pintu masuk karena angkot yang dia naiki penuh.

Ketika sudah tiba di seberang gedung Kencana Desain Group, lelaki ini segera meminta turun pada sopir dan memberikan uang selembar lima ribuan, kemudian dia perlahan namun pasti menyeberangi jalan yang cukup ramai.

Dimas berlari agar cepat sampai di depan pintu lobby, tetapi sebuah kendaraan roda empat yang bersamaan ingin masuk membunyikan klakson dengan keras. Hingga pria yang ingin tertabrak ini menghentikan sepasang kakinya. Ia syok sampai memegangi dada.

“Aish, jalan nggak pakai mata!” runtuk gadis berkacamata hitam yang mengendarai mobilnya sendiri.

Dimas mengatupkan kedua tangan di depan dada, lalu menunduk. Itu tanda dia meminta maaf karena ini memang salahnya. Tidak menunggu si pengemudi keluar dulu, lelaki ini sudah lari memasuki kantor. Dimas takut terlambat, hari ini sangat penting. Katanya, hari ini ada bos baru yang akan menggantikan bos lama yang sedang sakit keras.

Dengar-dengar bos baru ini orangnya jutek dan galak. Bahkan lebih galak dari Bos yang lama. Maka itu, Dimas tidak ingin memberikan kesan buruk untuk pertama kali pada bos barunya.

“Baru datang, Dim?” tanya salah satu teman akrab Dimas di Kontor, Satria.

“Iya, vespa gue mogok lagi. Bagaimana Bos barunya sudah datang?” tanya Dimas sembari celingukan melihat ke arah ruangan yang nanti akan ditempati atasan baru itu.

Satria mengedikkan bahu, “Sampai sekarang belum ada.”

“Syukurlah, gue masih lebih dulu dari pada dia.” Dimas bisa bernapas lega sekarang.

“Tolong berbaris yang rapi karena atasan kita yang menggantikan Pak Arya akan segera melewati ruangan ini,” ujar sekretaris Pak Arya yang tiba-tiba saja datang mengejutkan karyawan marketing.

Dimas dengan rekan-rekan seprofesinya, lantas tergesa-gesa membentuk barisan di ruangan yang tersisa.

Ketukan dari high heels semakin terdengar nyaring saat langkah kaki jenjang itu makin dekat. Semua karyawan menundukkan kepala dan bersikap sopan.

“Selemat Pagi, semua.” Wanita dengan rambut tidak terlalu panjang ini tersenyum sembari mengedarkan pandangan, “perkenalkan saya Zee Iliana. Kalian bisa panggil Liana. Saya yang akan menggantikan Om Arya untuk memimpin perusahaan selama Om saya itu masih sakit.”

Mendengar nama yang tidak asing Dimas yang berdiri di depan pojok kanan mengangkat kepala dan memberanikan diri menatap wanita yang sedang berbicara itu.

Alangkah terkejutnya Dimas, itu Liana, mantan kekasihnya waktu di SMA.

“Liana?”

Sapaan sepontan dari Dimas membuat teman-teman kerja, Sekretaris, dan Liana menatap ke arahnya.

“Lo kenal sama Bu Iliana, Man?” Satria yang ada di sebelah Dimas menyenggol lengan sahabatnya sembari membisikan pertanyaan.

Liana memperhatikan penampilan Dimas, “Kamu yang tadi hampir tertabrak mobil saya?”

Dimas heran mengapa mantan kekasihnya itu seperti tidak mengenali dirinya. Akhirnya, Lelaki ini mengangguk sembari tersenyum kaku.

“Lain kali hati-hati. Sayangi nyawamu sendiri. Manusia tidak seperti kuncing yang mempunyai nyawa sembilan. Jadi, jaga dirimu!”

“Iya, Bu. Maafkan saya, tadi saya takut terlambat.”

Liana mengangguk saja, kemudian mengedarkan pandangan kembali pada karyawan yang lain.

“Oke, baiklah. Kalian boleh kembali bekerja lagi. Saya permisi.”

Wanita dengan postur tubuh perfeksionis itu melangkah menuju ruangan yang sudah tersedia. Sekretaris Pak Arya juga yang bernama Supto mengikuti dari belakang.

Yang lain sudah kembali ke meja mereka masing-masing, sedangkan Dimas masih mematung di tempat. Ia masih memikirkan Iliana yang lupa padanya. Gadis itu benar-benar tak ingat atau hanya berpura-pura untuk menjaga image?

“Lo belum jawab pertanyaan gue. Lo kenal sama keponakan Bos kita?” Satria mengulang pertanyaannya.

Dimas yang sudah tersadar sejak mendengar suara Satria, menoleh dan menatap lelaki itu.

“Nggak. Tadi cuma hampir ditabrak saja sama mobil Bu Liana.”

“Serius cuma itu?”

“Iya, memang apa lagi?” Dimas melangkah menuju meja kerjanya. Ia sengaja segera menjauh dari Satria. Sebelum pria kepo itu melontarkan pertanyaan yang lebih tidak bisa Dimas jawab.

Dimas baru tahu kalau Liana adalah keponakan Pak Arya. Memang Pak Arya adalah laki-laki yang hidup sendiri. Beliau tidak mempunyai anak dan sang istri sudah meninggal sejak 7 tahun yang lalu. Pak Arya yang menginjak umur 50 tahunan itu tidak berniat untuk menikah lagi. Pria itu sangat mencintai almarhum istrinya. Walau sang istri tidak bisa memberikan keturunan, tetapi mengapa harus keponakannya yang bernama Liana diutus untuk mengelola perusahan ini?

Sungguh ini jadi beban tersendiri untuk Dimas. Pasalnya, Dimas putus dengan Liana sangat meninggalkan kesan yang buruk. Sekarang harus bertatap muka lagi setelah bertahun-tahun berpisah dan hilang kontak.

Apa sebenarnya yang sedang sang pencipta alam semesta ini atur untuk Dimas? Mengapa dia dipertemukan dengan masa lalunya? Semua masih rahasia, Dimas harus menjalani semuanya jika ingin tahu.

...***...

A/N

Hai kawan! kita bertemu lagi di cerita baru. Bagaimana dengan bab pertama? tambah penasaran untuk ke bab berikutnya?

Sebelum aku lanjut tolong support cerita ini, simpan di rak buku kalian, like, vote, komen, dan rate 5 Mantan jadi Manten. Terima Kasih.

Ada Apa Dengan Iliana?

Derungan suara dari vespa biru milik Dimas memelan saat kendaraan dihentikan di halaman rumah berpagar rainbow itu. Lelaki ini melepas helm dan memeriksa kembali motor yang sudah di servis itu.

“Kenapa Kak? Motornya rusak lagi? Beli baru makanya. Vespa butut masih saja dipakai. Punya uang itu janganlah terlalu pelit.”

Mendengar penuturan panjang dari seseorang wanita yang ada di teras sembari menggendong bayi itu membuat perhatian Dimas tertuju padanya.

Pria ini berdiri tegak dan melangkah mendekati wanita itu, “tadi pagi sempat mogok, tapi itu sudah gue servis ke bengkel. Cuma iseng memeriksa lagi.”

“Mending lo beli yang baru, Kak. Memang gaji lo selama ini nggak cukup untuk beli motor?”

“Cukup.” Dimas menatap vespa yang terparkir, “bukan masalah uang. Ini soal kenangan yang ada di vespa itu.”

Wanita yang menimang-nimang anaknya ini, tertegun. Dia juga tahu cerita dibalik kendaraan tua itu.

Dimas menoleh ke adiknya, “lo juga tahu, itu vespa bekas Papa. Kalau gue mengendarinya rasanya Papa lagi sama gue. Nggak tega buat ngeganti sama yang baru.”

“Iya gue tahu. Cuma gue kasihan sama lo, Kak. Harus selalu kesusahan ketika si Blue ngambek. Vespa ini ‘kan masih bisa kita simpan saja. Biar Papa selalu serasa dekat bersama kita.”

“Gue pikir-pikir dulu deh. Sampai sekarang si Blue masih lancar dipakai.” Dimas menegok ponakan perempuannya. Bayi berselimut merah jambu ini tertawa setelah sang paman mengodanya, “Atala mana?”

“Ada sama Mama di dalam. Tadi gue mampir ke toko. Malah diajak mama pulang ke sini dulu. Nanti baliknya bakal dijemput Sam sepulang dia kerja.”

Pria berkemeja itu hanya mendengarkan ucapan sang adik sembari menciumi pipi keponakannya.

“Ih, Kak!” Adira mendorong dada Dimas, “Kakak itu bau keringat banyak kuman. Nanti pindah ke Ataya. Mandi dulu sana!”

“Iya bawel.” Dimas mencolek dagu adik sematawayangnya, kemudian berkata pada si bayi, “mamamu dari dulu bawel plus jutek banget.”

Baru saja Adira akan melayangkan sebuah pukulan pada lengan Kakaknya. Namun, Dimas lebih dulu menghindar dan masuk ke dalam rumah sembari tertawa.

...***...

Memakai sebuah kaos putih dan joger hitam, Dimas duduk menatap laptop di hadapannya. Dia tidak sedang mengerjakan pekerjaan kantor, tetapi otaknya melayang memikirkan Iliana. Bos baru sekaligus mantan kekasihnya.

“Masa iya dia lupa sama gue?” Dimas menggosok-gosok dagu, “memang sudah lama nggak bertemu, tapi ya nggak mungkin lupa juga.”

Pria ini menatap ikan ****** yang berenang di dalam botol. Ia menopang pipi di atas meja.

“Menurut lu, cup. Dia pura-pura lupa atau memang lupa? Kalau itu pura-pura tujuannya apa? Lagi pula hubungan itu sudah lama berakhir.” Dimas menumpahkan keluh kesahnya pada ikan ****** berwarna hitam dengan kombinasi merah di siripnya.

Lelaki itu juga tidak sadar saat Adira membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk terlebih dulu.

“Kak, gue pulang ya!” Dimas sedikit tersentak, lalu menoleh ke belakang, “Sam sudah datang. Bye, sampai bertemu lagi Kakakku sayang.”

Ketika Adira menutup pintu kembali, lelaki ini lekas bangkit dan berlari keluar. Dia ikut mengantarkan adik dan juga kedua keponakannya sampai di depan pintu.

“Hati-hati Sam bawa mobilnya!” Dimas menyerahkan stroller bayi yang sudah di lipat, “apa lagi habis hujan gini. Jalanan suka licin.”

Abrisam menerima stroller milik anaknya. Satu tangannya menggendong Atala.

“Baik, Kak. Sam pasti hati-hati. Sekali-kali main ke rumah Kak kalau libur kerja.”

“Oh, pasti itu, tapi jadwal libur belum kelihatan.” Sam tertawa kecil ketika Dimas tertawa lebih dulu.

Adira berpamitan pada Winda dengan mencium punggung tangan, “Ma, Dira, Sam sama anak-anak pamit pulang ya. Mama jaga kesehatan terus! Dira bakal main lagi ke sini atau ke toko kue.”

“Iya cantik.” Winda mengelus pipi anak perempuannya, “kamu yang benar ngurus cucu Mama. Sekarang Mama sudah jarang bantuin kamu.”

“Nggak apa-apa, Ma. Dira sudah bisa mengurus si kembar. Ya sudah, Dira pulang dulu.” Adira menoleh pada Dimas, “gue pulang, Kak.”

Abrisam lebih dulu berjalan menuju mobil berwarna putih yang terparkir di luar pagar. Sedangkan Adira melambaikan sebelah tangan sembari terus melangkah. Tangan yang satu menggendong Ataya.

“Assalammualikum!” ucap wanita itu tersenyum saat melewati pagar.

“Waalaikumsalam, hati-hati!” Winda melambaikan tangan sambil tersenyum.

Melihat mobil sudah pergi meninggalkan rumah barulah Winda dan Dimas masuk ke rumah kembali.

Winda menghela napas sembari mengedarkan pandangan, “sepi lagi rumah ini. Tadi masih ada suara bayi.”

“Kan masih ada Dimas, Ma.”

Perkataan Dimas membuat sang ibu menoleh padanya, “kamu mah suka ngerem di kamar. Kamu kapan kasih mama cucu? Kamu kalau sudah nikah tinggal di sini saja! Biar ramai rumah ini.”

Dimas mengusap wajah dengan bibir yang mencebik. Lagi-lagi membahas cucu. Pembahasan yang lelaki itu kurang minati.

“Ditanya malah ngeledek gitu mukanya.” Winda mencubit gemas lengan anak sulungnya.

“Aw... sakit, Ma.” Dimas mengusap lengan yang terasa panas, “Dimas belum ada calon untuk kasih Mama cucu. Itu ‘kan sudah dapat cucu dari Dira. Masih kurang?”

“Ya kurang, cucu dari kamu ‘kan belum.” Winda mengubah posisi berdirinya kini menghadap Dimas, “kalau kamu belum punya calon, mau mama jodohkan saja?”

Pemuda ini menggerakkan kedua tangan ke kiri dan kanan, “nggak! Nggak ada yang namanya perjodohan. Dimas nggak suka dijodohin. Nanti Dimas cari sendiri.”

Setelah itu, lantas Dimas segera kembali melangkah masuk ke kamarnya.

“Apa kamu mau jadi perjaka tua?” teriak Wonda ketika pintu kamar Dimas tutup.

“Umur Dimas masih 27 tahun, Ma. Itu belum tua untuk laki-laki!” tidak mau kalah, Dimas juga menjawab dengan berteriak dari dalam.

...***...

“Pagi teman seperjuangan!” sapa Dimas pada Satria. Mereka saling menepuk tangan layaknya lelaki.

“Tumben pagian?” tanya Satria melirik jam tangannya.

“Semalam gue nggak bisa tidur. Jadi, siap-siap ke kantor lebih cepat. Kebetulan si Blue lagi nggak ngambek. Harusnya, lo bersyukur teman lo ada kemajuan.”

Satria mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, “alhamdulillah, makasih ya allah teman saya ada kemajuan. Semoga dia terus istikomah.”

Dimas yang melihat kelakuan konyol rekan kerjanya ini hanya bisa tertawa.

“Permisi!” kedatangan Pak Supto membuat kedua lelaki yang sedang asyik bersenda gurau ini terdiam, “Mas Dimas dipanggil Bu Liana. Katanya, segera menemui beliau di ruangan.”

Sejalas Dimas bingung sampai dahinya berkerut, “ada apa ya, Pak?”

“Saya juga kurang tahu, Mas. Saya diperintahkan memanggil Mas saja.”

“Gue kira Bos belum datang.” Dimas menoleh seakan bertanya pada Satria.

“Belum lama dia datang lo juga sampai di sini.” Satria menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu, “sudah sana temui dulu! Siapa tahu ada proyek.”

Dengan ragu Dimas melangkah menuju ruangan Liana. Pria itu merasa dia tidak ada salah dalam pekerjaan. Apa benar mau diberi proyek seperti ucapan Satria?

Setelah tampak ragu-ragu Dimas meneguhkan hati membuka pintu ruangan Liana.

“Permisi, Bu. Kata Pak Supto, Ibu memanggil saya.”

...***...

note:

Jangan lupa kasih supportnya, like, vote, komen, rate kalau belum, favoritkan kalau belum.

Terima kasih sudah membaca 💕

Pura-Pura Tidak Kenal

Setelah tampak ragu-ragu Dimas meneguhkan hati membuka pintu ruangan Liana.

“Permisi, Bu! Kata Pak Supto, Ibu memanggil saya.”

Kursi dengan roda tiga itu berputar, menunjukkan wajah cantik dan mulus milik Iliana. Sekarang mereka saling bertatapan. Namun, Liana masih bersikap biasa saja dengan ekspresinya yang datar.

“Nggak nyangka ya kita bisa bertemu lagi.”

Dahi Dimas berkerut mendengar penuturan itu. Lelaki ini berpikir Liana memang lupa padanya, ternyata diluar dugaan. Dia masih sangat mengenali Dimas.

“Kamu masih ingat sama aku?”

Liana menyunggingkan sedikit sudut bibirnya. Terdengar dengusan kecil dari sana.

“Saya ‘kan belum tua. Daya ingat saya masih tajam.”

“Aku pikir kemarin kamu memang lupa denganku. Syukur, kalau masih diingat. Sudah lama kita nggak bertemu. Sekarang kamu jadi bosku.”

“Langsung saja saya nggak mau basa-basi. Jadi, saya memanggil kamu untuk membicarakan hal penting. Mulai saat ini kita saling menganggap kalau kita baru bertemu dan nggak kenal sama sekali. Kamu harus setuju itu!”

Perkataan sang mantan membuat kerutan di dahi Dimas makin banyak. Semakin membingungkan sifat Iliana.

“Kenapa?”

“Saya ingin kita melupakan semuanya. Kenangan buruk itu nggak perlu kamu ingat.”

“Nggak perlu dilupakan aku sudah ikhlas semuanya.” Dimas menghela napas berat, “dulu itu sangat mengecewakan bahkan membuat hati ini sakit, tapi saat kita bertemu lagi, aku sudah benar-benar memaafkanmu.”

“Kamu nggak ada dendam sama saya?” Kali ini Liana yang dibuat terheran-heran oleh sikap Dimas.

“Dulu aku sangat marah padamu. Semakin dewasa aku belajar semua luka yang tuhan beri adalah caranya mendewasakanku. Kamu nggak perlu khawatir lagi soal itu.” Dimas tersenyum diakhir kalimatnya.

“Tetap saja saya nggak mau orang lain tahu masalah kita di masa lalu. Kamu harus berjanji nggak akan menyebarkan itu!”

“Tenang saja selama ini juga aku tidak bercerita pada siapa pun. Cuma kita yang tahu.”

Iliana belum percaya sepenuhnya akan ucapan lelaki yang berdiri di depan meja kerjanya itu. Apa iya Dimas telah memaafkan semua kesalahan Liana di masa lalu? Padahal saat kejadian itu Dimas yang dikenal lembut dan humoris, sempat mengamuk bahkan memukuli laki-laki yang bersama Liana ketika itu.

Namun, Liana yang berpacaran selama 6 bulan bersama Dimas sangat mengenal baik pria ini. Dimas sosok penyayang dan sabar. Dia juga sangat baik, bisa saja dia memang benar-benar sudah memaafkan.

“Ada yang masih mau omongin, Bu?”

Pertanyaan Dimas menyadarkan Liana dari lamunan. Wanita berambut panjang sepunggung itu menggeleng.

“Nggak, silakan kamu boleh pergi. Lanjutkan pekerjaanmu!”

“Baiklah.” Dimas tersenyum tipis, “saya permisi.” Pria ini melangkahkan sepasang kakinya keluar dari ruangan sang mantan.

Liana memperhatikan pintu yang kembali tertutup rapat, “Semoga saja Dimas benar-benar memaafkan saya.”

Wanita ini tertegun dengan menutup wajah menggunakan sebelah tangan dan memejamkan matanya. Kisah masalah lalunya dan Dimas seperti terputar balik saat dia dan lelaki itu bertemu lagi setelah sekian lama.

Liana sangat menyesali perbuatannya. Dimas, laki-laki baik tak pantas kalau dirinya membalas dengan penghiatan.

“Maafkan saya, Dim.”

...***...

Kalau jam istirahat yang ramai pasti kantin kantor yang ada di lantai dasar sebelah kanan. Terkadang sangking ramai sampai tidak kebagian kursi.

Maka itu sekarang Dimas ada di warung bakso yang mangkal di seberang kantornya. Dia tidak sendiri, tetapi juga bersama Satria dan Vita. Mereka sangat menikmati seporsi bakso seharga dua puluh ribu itu.

“Tadi pagi lo dipanggil Bu Bos karena apa? Kok lo nggak ada cerita-cerita ke gue?” Pertanyaan Satria membuat gerakan rahang Dimas memelan.

Dimas melirik Satria sekilas. Vita yang duduk di sebelah Satria memperhatikan kedua pria itu.

“Cuma bahas laporan yang gue buat kemarin.” Pria dengan tatanan rambut belah tengah ini menjawab tanpa melihat lawan bicaranya.

Satria jadi berusaha mengingat-ingat, “Memang kemarin lo setor laporan? Kayaknya nggak ada.”

Dimas dengan cepat mendongakkan kepala, “Ada kok. Mungkin saat itu lo nggak merhatiin gue ke ruangan Bu Liana.”

Vita yang dari tadi diam kini mengeluarkan suaranya, “Mencurigakan.”

Lelaki itu sempat gugup saat Vita menatap dengan mata disipitkan. Seketikan Satria menyambar.

“Bener mencurigakan.” Keduanya mendekatkan wajah ke depan Dimas, “lo menyembunyikan sesuatu ya?” tanya Satria lagi.

Dimas memundurkan kepala, “Apaan sih kalian. Masalah ini doang pakai sekepo itu. Sudah cepat habiskan makanannya kita masih banyak pekerjaan!”

Satria dan Vita menarik tubuh mereka kembali. Keduanya melanjutkan makanan.

“Soalnya, lo ditanya gitu saja sudah kelihat gugup. Iya nggak, Vit?” Satria menoleh ke arah Vita dan gadis dikuncir itu, mengangguk.

“Nggak ada apa-apa. Cuma bahas laporan.”

Dimas masih saja mengelak dari keingintahuan teman-temannya. Dia harus pura-pura baru kenal dengan Iliana sesuai dengan mau gadis itu dari pada nanti pekerjaannya yang terancam.

...***...

“Lo simpan sertifikat rumah di mana?”

Baru saja pulang dari kantor Iliana ditodong oleh seorang perempuan yang kira-kira berumur 40 tahunan.

“Untuk apa?” Gadis ini mengibaskan tangan di depan wajah. Sungguh mengganggu asap rokok yang wanita itu hisap.

“Sudah nggak usah banyak tanya. Gue sama suami gue butuh itu.”

“Surat rumah nggak boleh dikutak-atik,” ucap Iliana berjalan masuk ke rumah yang cukup besar ini.

Wanita yang berpenampilan sedikit urakan ini memutar tubuh mengikuti langkah Iliana.

“Heh! Lo nggak tahu diri ya. Dari kecil siapa yang ngerawat lo?” wanita itu berteriak kencang, lalu menepuk dadanya, “gue. Gue yang ngebesarin lo. Kakak lo ini! Gue cuma minta surat rumah saja lo nggak kasih.”

Iliana tidak memedulikannya. Gadis itu terus melangkah menuju kamar. Ia lekas memasuki kamar dengan cat pink soft itu. Gadis ini tutup pintu rapat-rapat dan meneteskan air matanya sembari bersandar di pintu coklat itu.

“Kamu harus kuat, Na!” ujarnya sembari mengusap air mata yang membasahi pipi.

Iliana berusaha bersikap seperti biasa kembali. Berjalan mendekati meja rias sekaligus meja kerjanya. Ia meletakkan tas di atas sana. Ketika melihat foto keluarga terpampang di atas meja. Air mata itu tidak bisa Iliana bendung lagi. Dia menjatuhkan tubuh duduk di sebuah kursi dengan menangis tersedu-sedu.

Gadis dengan mata beriris hitam ini sudah bertahan lama dari sikap sang kakak. Berat hidup yang Iliana jalani selama ditinggal kedua orang tuanya.

Hanya Om Arya dan Istrinya yang perhatian ke Iliana dan kakaknya. Namun, sejak Tante Gita meninggal dunia, lagi, Iliana kehilang sosok Ibu.

“Lihat saja Liana sertifikat itu bakal gue temui sendiri!” teriakan Poppy menggelegar sampai ke kamar Iliana.

Dengan cepat Liana mengeluarkan sertifikat dari laci. Ia akan menyembunyikan di tempat lain. Rumah ini tidak boleh dijual karena terlalu banyak kenangannya.

...***...

A/N

...Terima kasih sudah membaca 💕 jangan lupa terus di support^^...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!