“Ara, aku mencintaimu"
Kata-kata yang membuat jantung Ara berdesir dan tubuhnya tiba-tiba bergidik ngeri. Seperti mendengar suara hantu tertawa dari jarak yang dekat. Kata-kata cinta yang seharusnya tak pernah dia ucapkan, tiba-tiba terdengar.
Ara membelalakan matanya, memandang sepasang manik mata indah di hadapannya, tangannya di remas kuat oleh Kevan.
Ia masih menunggu kata-kata balasan dari mulut Ara. Ara hanya diam.
Lebih tepatnya ia sedang dalam perasaan bingung luar biasa. Ia tahu apa yang akan menantinya ketika hati bermain dalam misi ini, misi yang bahkan tak pernah ia inginkan tapi harus di lakukan.
Cinta mengalir dari mata pria tampan di hadapannya.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?”Batinnya menjerit sekeras mungkin. Kevan masih memandangnya penuh harap.
“Pak Kevan, Anda mungkin salah paham.”Susah payah Ara mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya. Kevan menarik urat-urat di keningnya, menaikan alisnya yang lebat dan hitam itu, ia terlihat bingung.
“Pak? Ara, aku pikir sudah lama sekali kau tak memanggilku dengan hormat seperti itu, lagipula salah paham apa? mencintaimu?"
Jantung Ara berdetak sangat cepat, ingin sekali ia memisahkan kepala dan badannya, pusing tak terkira.
Benar, sudah satu tahun ini Ara tak pernah memanggil Kevan dengan sebutan Pak, apalagi menganggapnya sebagai Bos. Hubungan mereka lebih layak di sebut hubungan tanpa status di banding sebagai atasan dan bawahan.
Sudah menjadi rahasia umum, pegawai lain di kantor itu seperti menutup mata dan telinga mereka dengan hubungan bos dan sekertarisnya. Yang mereka tidak tahu, Ara menghabiskan waktu 1 tahunnya hanya untuk mengetahui keberadaan Cincin tua itu dan berusaha melepas diri dari Kevan.
Cerita ini di mulai 1 tahun lalu
Nama asli Ara adalah Ayana Diandra Romanof. Ia di lahirkan oleh istri ketiga dan paling di benci di keluarga Romanof. Dulu ibu Ara, deisy adalah istri kesayangan Higa Romanof, ayah Ara. Ia sekaligus menjadi istri tercantik dan terakhir di keluarganya.Tak heran, Ara terlahir dengan pesona luar biasa yang di turunkan dari ibunya.
Status istri kesayangan Higa hanya bertahan hingga usia Ara 5tahun, deisy di tuduh berselingkuh dengan ajudan Higa, danni oleh 2 istri tua Higa, wulan dan Dayu.
Setengah mati Deisy dan Danni meyakinkan Higa bahawa ia di fitnah, namun apa daya hati yang membenci akan menutup mata,telinga dan hati yang membenci. Meskipun dua lawan dua terlihat berimbang, tapi melawan dua nyonya di dalam rumah ini bukan musuh yang mudah. Dengan bukti yang di manipulasi dua penyihir itu akhirnya Deisy di asingkan pergi ke villa terjauh yang di miliki keluarga Romanof.
Villa itu berada jauh di pinggiran kota kecil, sangat terasing. Bahkan hidup mereka bisa di bilang pas-pasan untuk ukuran seorang nyonya dari keluarga besar Romanof, tak ada yang mengantar. Higa bahkan tak melirik sesentipun saat kepergian Deisy.
Deisy di usir pergi dari kastil mewah milik Higa. Nasib Danni entah bagaimana setelah insiden pengusiran itu, deisy tak melihat Danni lagi. Deisy sore itu membawa Ara kecil bersamanya, ia di paksa bersembunyi di daerah terpencil, saat ini Ara berusia 21 tahun, hingga Ara tak benar-benar ingat wajah Higa.
Kehidupan mereka sangat sederhana, di dalam villa tua besar, tanpa pelayan tanpa ajudan tanpa semua fasilitas mewah mereka menjalani hidup 15 tahun ini. Tapi bagusnya, Higa masih mementingkan pendidikan anak bungsunya itu, Ara di biarkan bersekolah hingga tamat SMA, namun Ara menolak untuk melanjutkan kuliah.
Tak satupun orang di sekeliling dan teman-teman Ara mengerahui siapa Ara sesungguhnya. Ibunya melarang Ara memberi tahu identitas mereka. Selama bersekolah, Ara seperti gula yang di kerubungi semut. Kecantikannya membuat lokernya penuh dengan surat-surat cinta berwarna merah muda.
***
Pertikaian keluarga Romanof dan Wingsley sudah berjalan berpuluh-puluh tahun dan turun temurun. Keluarga Romanof meyakini, keluarga Wingsley mencuri cincin bermata Jambrud yang di miliki Romanof dan Wingsley selalu mengatakan Romanof menfitnah mereka.
Cincin itu begitu berharga.
Bagi keluarga Romanof, cincin itu adalah kunci rahasia untuk masuk ke gudang peninggalan keluarga. Seluruh aset keluarga berada di gudang tersebut. Jika di salah gunakan dan jatuh pada tangan yang tak tepat, itu berarti kehancuran keluarga besar.
Sebagai anak terasing, Ara tak banyak di ketahui publik. Higa menyembunyikan Deisy dan Ara terlalu jauh untuk menutupi aib.
Saat Higa memutuskan bertindak merebut kembali kunci rahasia itu, satu-satunya orang yang bisa ia manfaatkan adalah Ara. Terlebih Higa tahu, penerus perusahaan Wingsley adalah Kevan.
Satu-satunya kelemahan seorang pria yang bisa menjadi racun di hidupnya adalah wanita. Kevan adalah pria tampan berumur 27 tahun, pebisnis gila berdarah dingin. Semua proyek di tangannya selalu berpredikat sempurna. Dia adalah anak sulung dan anak kesayangan para tetua keluarga Wingsley. Higa pikir, tidak mungkin Kevan tak tahu dimana keberadaan cincin itu.
Ara satu-satunya yang pantas mengemban misi ini, ke empat anak gadisnya dari istri pertama dan keduanya sudah banyak di kenal publik. Terlebih kedua istri Higa tidak akan tinggal diam anak-anaknya mengemban resiko sebegitu besarnya, mereka akan tetap menunjuk Ara untuk pergi. Lagi pula, keempat anaknya tak secantik Ara, akan sulit bagi mereka merebut perhatian Kevan.
Malam itu Higa bertitah, Ara harus kembali ke kastil, pesan itu segera di dengar oleh Deisy. Ia sebagai ibu memiliki firasat buruk. Higa masih sebegitu benci melihatnya, tak mungkin serta merta meminta mereka datang ke kastil tanpa alasan, apalagi Higa di kelilingi penyihir bermulut busuk. 2 ajudan tiba malam-malam menyampaikan maksudnya. Deisy berusaha menolak, namun apa daya, suaminya memiliki kekuasaan yang cukup jika hanya untuk menyeretnya dan Ara ke depan pintu kastil.
“Ada apa ini, bu? kenapa ramai sekali?"
Ara mendekati ibunya yang sedang berdebat dengan para ajudan itu. Mata Deisy seketika memandang Ara dan ketika ajudan itu menoleh ke Arah Ara, mereka seperti tak berkedip melihat kecantikan Ara. Ara menyadari dua orang di hadapannya menatapnya seolah sedang menelanjanginya
Ia pun berdiri di hadapan 2 orang bertubuh kekar dan rapih itu.
“Aku masih sebagai nona muda di keluarga Romanof, jika aku mau, aku bisa saja mencungkil mata kalian seketika ini, apa kalian mau coba?"
Mendengar perkataan Ara, pandangan mata ajudan itu seketika menunduk, tubuh mereka tiba-tiba bergidik. Tak terbayangkan seorang nona cantik di hadapan mereka bisa-bisanya mengancam seperti itu, apalagi berbicara dengan tatapan membunuh, persis seperti Higa saat marah. Tak panjang lebar, mereka meminta maaf pada Ara.
Deisy menatap Ara dan mengatakan bahwa ia harus pulang ke kastil untuk bertemu Higa, Ara mengerutkan dahinya. Wajahnya lebih merah dari sebelumnya. Kali ini sepeti pentol korek yang di nyalakaan dan mengeluarkan api. Ara kemudian memandangi ajudan itu lagi.
“Apa alasan kami harus pergi?"
“Tidak ada alasan yang di berikan pada kami, kami tidak tahu"
“Mustahil kalian tak tahu!!"
“Sebaiknya nona dan nyonya tak mempersulit tugas kami, sebaiknya kalian berkemas karena Tuan Higa sudah menunggu."
Seperti tak memiliki alasan untuk menolak, deisy menarik tangan Ara masuk ke dalam kamar. Ia mengatakan mau tidak mau mereka harus mengikuti perintah. Deisy lebih tahu Higa tipikal orang seperti apa. Akhirnya Ara mengangguk dan mulai mengemas bArang-bArang mereka.
Hawa dingin di luar ruangan begitu menusuk, ini sudah terlalu larut. Ara melirik sekilas jam di pergelangan tangannya. Jam menunjukan pukul 23:07.
Lama berselang, sebuah helikopter mendarat sempurna di halaman rumah. Halaman rumah Deisy memang sangat besar. Deisy seketika tahu bahwa alsan Higa memintanya kembali bersama Ara tak main-main. Higa sampai mengirim sebuah Hellikopter untuk menjemput Ara dan Deisy. Deisy tak memperlihatkan wajah kagetnya. Ini wajar menurutnya selain tingkat keseriusan masalah yang di sembunyikan ini, jarak kastil dan villa dimana mereka tinggal terlalu jauh, jika harus melalui perjalanan darat akan sangat memakan waktu, Higa tak sesabar itu.
Sedangkan Ara, wajah Ara begitu kaget hingga seperti aliran darahnya berhenti seketika, memutihkan wajahnya yang putih. Ia baru menyadari, kekayaan keluarganya mungkin tak terhingga. Namun perasaan menusuk tiba-tiba membanjiri Ara.
“Kalau memang kaya, kenapa kami di asingkan seperti ini? seperti orang kampung. Untuk bisa makan daging sebulan sekalipun sulit rasanya”Batin Ara sambil melirik balutan baju yang ia kenakan, benar-benar menyedihkan.
Hellikopter telah mendarat sempurna, ajudan Higa mempersilahkan Ara dan ibunya naik ke atas heli dengan sopan. Kaki Deisy seperti terlilit batu berat, langkahnya sangat berat. Memikirkan harus melihat lagi suaminya setelah sekian lama membuatnya cukup cemas.
Ara menangkap wajah cemas ibunya hanya bisa duduk merangkul membawa ibunya dalam pelukanya. Deisy hanya tersenyum.
3 jam berlalu, Ara dan ibunya bahkan sempat tertidur, mereka terbangun saat sebuah tangan membangunkan mereka dengan lembut. Mata mereka pun terbuka. Mereka menuruni helikopter dengan tatapan terkesan.
Sebuah kastil luar biasa mewahnya, mata Ara tak berkedip sama sekali, “Bagaimana bisa mereka hidup hampir di bawah garis kemiskinan sedangkan ayahnya hidup di sebuah kastil mewah dengan segala fasilitasnya?”Batinnya heran.
Ara pernah bertanya sebelumnya kenapa ayahnya tak pernah datang menjenguk mereka. Ibunya tidak pernah menjawabnya dengan jawaban memuaskan, lama kelamaan Ara bahkan meyakini ayahnya mungkin telah meninggal. Sampai akhirnya ia tahu, ayahnya bergelimang kekayaan dan sengaja menelantarkan mereka. Saat ini ia belum tahu alasan yang sebenarnya, tapi lama kelamaan ia akan tahu.
“Nyonya Deisy, selama datang kembali. Saya sudah meminta pelayan membereskan kamar Nyonya dan Nona, hari sudah larut baiknya beristirahat dulu, nyonya"
Seru asisten pribadi Higa, Anton. Ia berbicara dengan sangat lembut dengan senyuman bak bunga musim semi, begitu lembut. Sapaan Pak Anton hanya di jawab anggukan oleh Deisy. Sekarang tatapan mata Deisy menjelajah, seperti sedang mengais kenangan-kenangan yang tertinggal.
15 tahun lalu, kastil ini pernah begitu hangat memeluknya. Higa pernah begitu lembut mendekapnya, seketika berubah dingin sedingin es, kali ini pula Higa tak memperlihatkan batang hidungnya. Ia pasti sedang di bawah selimut hangat memeluk salah satu dari Nyonya besar di kastil ini, senyum Deisy berubah kecut. Ia melangkahkan kakinya memasuki kastil dan menuju kamarnya, berpisah dengan Ara.
“Silahkan nona Ara, ini kamar nona”Seorang pelayan membuka pintu besar di hadapannya, ruangan elegan segera menyambut mata Ara. Begitu elegan seperti kamar di dalam dongeng-dongeng yang selalu ibunya bacakan ketika kecil.
“Ini mungkin yang seharusnya aku miliki sejak 15 tahun lalu."
Tangannya menyentuh lembut setiap seprai di atas tempat tidurnya, ranjang itu begitu terlihat empuk dan lembut, cahaya bulan menari masuk ke dalam kamar, Ara menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur nyamannya. Seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan. Beberapa saat ia terasa seperti seorang putri kerajaan yang terbuang. Tapi pikiran itu tak bertahan lama, matanya begitu berat dan akhirnya tertidur hingga pagi.
Keesokan harinya, matahari menyingsing dengan garangnya, sinar-sinar panasnya mengenai wajah Ara membuatnya terbangun. Ia memandangi sekitar, ternyata bukan mimpi, ia benar-benar berada di kamar mewah itu.Ia bergegas menuju kamar mandi untuk mandi, setelah itu ia membuka lemari pakaian, matanya sekali lagi tercengang. Lemari besar itu terisi penuh dengan baju-baju indah, ia memilih satu.
Tak berapa lama, deisy masuk ke dalam kamar Ara, melihat anak gadisnya begitu cantik, ia tersenyum.
“Anak ibu memang sangat cantik, di tambah baju yang indah kau semakin cantik."
Perkataan ibunya terdengar seperti sebuah alunan musik lembut menghangatkan, ia tersenyum dan memeluk ibunya.
“Harusnya kita hidup seperti ini sejak lama bu"
Deasy mendesah, tanpa sebuah keluhan ia menarik tangan Ara untuk keluar kamar
“Jangan buat mereka menunggu di meja makan."
Ara dan ibunya menuruni tangga dan memasuki ruang makan, semua orang telah menunggunya, pandangan mata 6 orang di hadapannya seperti harimau yang akan memangsa seekor ayam, kecuali Higa. Ara menatap mereka sama tajamnya.
“Kenapa melihat kami seperti itu? ingin aku cungkil saja mata kalian”Batin Ara kesal.
Ara dan Deasy duduk di sebelah kanan Arin yang merupakan anak Dayu.
Wulan adalah istri pertama Higa. Mereka memiliki 2 anak, clara dan Mona. Clara 27 tahun dan mona 23 tahun. Sedangkan Dayu adalah istri kedua Higa. Mereka memiliki 2 anak perempuan, meisye 26 tahun dan Arin 24 tahun. Di antara mereka tidak ada yang bersahabat, semua mata mereka seolah-olah ingin menerkam mangsa di depannya.
Ara bukan pribadi yang lemah, dia tahu cara membela harga dirinya. Mungkin karena tidak pernah mengenal sosok ayahnya, hingga perlahan-lahan mentalnya terbangun.
Setelah mereka berdua duduk, pelayan mulai menaruh piring-piring di atas meja, semua orang mendapatkan piring masing-masing, kecuali Deasy dan Ara. Ara memandang wajah ibunya di sampingnya seakan bertanya apa yang terjadi, ibunya juga menatapnya dengan wajah heran. Mata Ara tertuju pada Clara dan mona yang menatap Ara dengan senyuman licik. Ara seketika tahu apa yang terjadi.
“Semua orang mendapatkan piring masing-masing, kenapa kami tidak?"
Suara Ara memecahkan kesunyian di meja makan, Anton segera menatap kepala pelayan Dela. Wajah Dela begitu pucat.
“Maaf, karena kalian datang mendadak, kami kekurangan piring, yang tersisa hanya piring teh di samping kalian, kalian bisa pakai itu untuk makan"
Dengan wajah tak bersahabat Wulan membuka mulutnya, Ara mendengar itu berusaha tenang dan menyunggingkan senyuman tak kalah sinis.
“Wah, aku lihat kalian hidup mewah, tak ku sangka piring pun sampai tak punya, ini benar-benar memalukan, harusnya kepala pelayan di rumah ini mengemasi pakaiannya dan cepat keluar dari sini, aku yakin keluarga ini tak bisa lagi menggajinya"
Mata Ara merujuk pada Dela, wajahnya yang pucat, semakin lama semakin putih, terlihat keringat dingin menetes di antara helai rambutnya. Deasy meremas tangan Ara, mengisyaratkan ia untuk diam. Ara melirik ibunya dan mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tak percaya ibunya justru memintanya untuk diam.
Perdebatan itu berhenti ketika Higa setengah membanting sendoknya di atas meja. Semua mata langsung tertuju pada kepala keluarga itu, termasuk Ara. Ini pertama kalinya ia menatap wajah Ayahnya. Kontur wajah yang begitu tegas, tubuh tegap, ia terlihat gagah meskipun sudah memiliki 5 anak dari 3 istri. Higa dengan tegas memandang Ara dan Wulan bergantian, Ara tak bergeming. Pandangan mata itu benar-benar seperti pisau es menusuk menembus tulang belakangnya.
“Hentikan pembahasan konyol ini, della segera ambilkan piring untuk mereka, jangan buatku hilang muka dan kau Wulan, kau jaga ucapanmu terutama di meja makan!"
Suara berat Higa membuat penyihir di sampingnya terdiam seribu bahasa, tak seperti beberapa saat lalu yang begitu sombong.
Akhirnya setelah perdebatan sengit, Higa meminta Ara dan Deasy menemuinya di ruang kerjanya. Inilah saat paling mendebarkan untuk ibu dan anak itu. Seperti sedang menunggu eksekuti mati yang segera di layangkan pada mereka, bahkan tangan Deasy membeku seperti es. Ara tampak tenang, ia tak tahu apa yang akan ayahnya katakan akan mengubah hidupnya selamanya.
Sesampainya di ruang kerja Higa, Higa berdiri membelakangi Ara dan Deisy, Ara dan ibunya berdiri beberapa lama.
“Ara, kau sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang berani"
Seru Higa membalikan badannya, menatap Ara dengan senyuman. Ara sejenak terdiam, perasaan berkecamuk di hatinya. Untuk pertama kalinya ia berbicara dengan ayahnya.
“Ya dan kau melewatkan 15 tahun, menelantarkan kami"
Mendengar perkataan Ara, ibunya menggenggam erat lengan anaknya dengan wajah cemas. Deasy tahu ini akan menyinggung Higa. Wajah Higa tak ada perubahan, masih menatap Ara dan Deasy bergantian.
“Menelantarkan lebih baik daripada mengkhianati, Ara"
Tubuh Deasy sontak bergetar, Higa sedang membicarakan masa lalu. Ara tak pernah tahu permasalahan ini, deasy selalu menutupinya. Deasy menatap wajah Higa dengan muram. Ara mendengar ucapan ayahnya seketika memalingkan wajah menatap ibunya, seperti ada tanda tanya besar di dalam hatinya.
“Siapa yang berkhianat? apa maksudnya?"
Buru-buru Deasy menepis pandangan curiga itu dari wajah Ara dengan menggelengkan kepalanya.
“Cukup Higa, tak usah membuka luka lama, kau meminta kami datang tidak mungkin tanpa alasan"
“Kau benar! besok kau harus mendapatkan pekerjaan sebagai sekertaris Kevan di perusahaan Wingsley”Seru Higa sambil menyodorkan sebuah berkas lamaran untuk Ara. Ara menyambut berkas di tangan Higa dengan tatapan aneh, ia memicingkan matanya sambil tangannya membuka amplop yang di berikan Higa. Beberapa lembar resume dirinya tercetak disana, berikut dengan fotonya.
“Kau susah payah meminta ku datang hanya untuk memintaku bekerja?"
“Pekerjaanmu hanya kedok untuk mencari tahu dimana cincin keluarga di sembunyikan"
Deasy mendengar kata cincin keluarga seketika menarik urat-urat di keningnya. Rasanya seperti dunianya runtuh, tahu datang ke keluarga Wingsley seperti menyerahkan seekor ayam masuk ke kandang buaya. Deasy bergetar dan menggenggam lengan anaknya untuk mundur, Ara seperti kodok dalam wajan, ia bahkan tak tahu apa yang sedang di rencanakan dan ayahnya katakan. “Cincin apa??".
“Keterlaluan!! kau meminta kami datang untuk menyerahkan nyawa pada Wingsley? kau gila!!"
“Kau harus menebus dosamu Deasy"
“Dosa apa? aku tak pernah mengkhianatimu, kaulah yang tak percaya padaku!! kau melewatkan banyak hal dan sekarang ingin memperlebar dosa mu? sulit di percaya Higa, kau berubah hingga seperti ini"
“Diam!!!!! kau tak berhak menolak!!"
“Kau tak berhak memaksa Higa, kami pergi"
Deasy menarik lengan anaknya dan melangkah setengah berlari hendak membuka pintu seperti seorang buronan, pikirannya berkecamuk. Tak mungkin merelakan anak semata wayangnya yang cantik pergi melawan bencana sendiri. Deasy menarik gagang pintu baru hendak membuka pintu, suara tembakan terdengar begitu keras mengenai permukaan pintu dan menggores lengan Deasy, darah segar mengalir dari lengannya, deasy terhentak terjatuh menahan perih di lengan dan hatinya. Begitu pula Ara yang seketika panik dan menarik matanya menatap Higa.
“Kau keterlaluan!!”Higa tersenyum dingin
“Ara aku bisa melakukan apapun, jika kau ingin dia hidup nyaman, sebaiknya kau menjadi anak baik dan menuruti perkataan ayahmu"
“Cih!! beberapa jam lalu, aku bangun dengan perasaan bahagia karena aku kembali ke asalku, tapi aku salah, kami lebih baik hidup miskin dan lebih baik kalian menelantarkan kami lebih lama, kau tak pantas di sebut ayah. "
Satu tembakan lagi mengenai pintu, hampir mengenai tubuh Deasy yang lain. Ara tentu saja seketika menutup matanya, air matanya terjatuh berkali-kali, figur ayah yang ia impikan ternyata hanya seekor hewan buas tak berperasaan. Pantas ibunya harus berdebat sengit untuk datang ke mari, tenyata di dalam kastil ini adalah kandang monster. Hanya merekalah manusia normal.
Ara terdiam melihat sekilas ibunya, mata mereka berbicara, Ara menggeleng lembut. Ia tahu berada di sini tak ada pilihan lain, menerima perintah Higa meskipun terpaksa ia tetap harus menjalaninya, dari awal ia memang seperti pion, umpan empuk.
“Baiklah, aku akan pergi menurutimu. Tapi jika aku berhasil, aku tak ingin berhubungan lagi dengan keluarga ini, terutama denganmu!!"
“Pergi pun boleh, pastikan kau berhasil atau nyawa ibumu taruhannya"
Ara kemudian merangkul tubuh ibunya yang terjatuh di lantai itu, membuka pintu dan keluar melangkah menuju kamar. Setiap langkah meninggalkan ruangan itu, Ara merasakan perih tak terkira, meskipun ia tak mengetahui apa pentingnya cincin tua itu, melihat perlakuan ayahnya pada ibunya membuatnya tahu, cincin itu amat berarti untuk keluarga ini dan nyawa ibunya amat tak berarti, tak ada cinta di hati ayahnya untuk ibunya. Ialah psikopat sesungguhnya.
Anton melihat Deasy berlumuran, ia segera mendekati ibu dan anak itu. Ia menanyakan apa yang sudah terjadi, tapi tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Pandangan mereka kosong, Anton tak memaksa mereka bercerita.
Sesampainya di kamar, pandangan wajah Deasy begitu sendu menatap anaknya. Seperti menyiratkan jutaan penyesalan di wajahnya, tangannya bergerak menyentuh pipi anaknya.
“Sebenarnya apa yang terjadi,Bu? hanya mencari tahu sebuah cincin tapi kenapa ini sepertinya sangat serius?"
Mau tak mau Deasy menceritakan yang sebenarnya, wajah Ara memucat. Ternyata memang sangat penting, cincin itu sangat penting, pikir Ara dalam hati.
“Ara, yang perlu kau ingat, fokuslah pada tujuanmu, jangan biarkan cinta masuk ke dalam permasalah ini"
Mendengar perkataan ibunya, Ara tersentak dan tersenyum dingin, ”Bagaimana bisa ibunya di saat seperti ini membicarakan percintaan, terlintas di pikirannya saja tidak. Yang ia pikirkan hanya bagaimana menghadapi keluarga Wingsley, bagaimana menyembunyikan identitasnya agar tidak terbongkar.”Pandangan mata mereka tercabang ketika Anton mengetuk dan masuk ke dalam kamar Ara membawa sekotak obat.
“Aku melihat kau terluka, jadi aku bawakan obat ini"
Bahasa yang Anton gunakan berbicara dengan ibunya begitu informal, seperti seorang teman lama yang sudah bertahun-tahun tak bertemu. Dengan tangan lembutnya ia mengulurkan kotak obat ke Arah Ara, Ara tersenyum dan meraih kotak itu. Wajah Anton menyiratkan kekhawatiran pada ibunya.
“Terimakasih Anton, senang bisa melihatmu lagi di rumah ini, mungkin satu-satunya orang yang peduli pada kami, hanya kamu"
“Kau seharusnya tak perlu menolak permintaan Higa hingga membuatmu terluka seperti ini kau tahu wataknya sejak dulu"
“Tidak, dulu dia tak seperti itu"
Ara mendengarkan percakapan Pak Anton dan ibunya, ia bukan gadis bodoh, dengan sedikit mendengar percakapan di antara mereka, ia menangkap ayahnya mungkin dulu seorang yang hangat, tapi mendadak berubah.
Ara terus membalut luka ibunya, pikirannya melayang-layang tak karuan. Percakapan mereka terhenti, Anton memandang wajah Ara.
“Dia benar-benar gadis yang cantik, sangat mirip denganmu. Aku harap dia akan baik-baik saja di sekitar keluarga Wingsley"
Ara menghentikan gerakannya membalut luka ibunya ketika mendengar perkataan Anton, semuanya belum di mulai tapi ia mulai muak mendengar hal yang sama, ia harus baik-baik saja. Untuk apa mengkhawatirkan sebuah pion, seolah-olah ia berharga.
“Meskipun jika aku bodoh, aku takan terbunuh disana, berhentilah mengkhawatirkan aku, aku baik-baik saja, lagipula jangan belagak mengkhawatirkan aku, kau dan mereka ada di barisan yang sama"
Ara memandang Anton dengan wajah sedingin es, kata-katanya membuat Deasy tersentak kaget, wajahnya menghitam. Ara tahu ibunya pasti tak akan suka mendengar ucapannya. Setelah selesai mengobati ibunya, Ara bangun dari duduknya hendak pergi, namun Deasy menghentikan langkahnya.
“Kau mau kemana?"
“Jangan khawatir aku takan lari, aku hanya ingin menghirup udara segar"
Ara berjalan menyusuri taman, taman yang luar biasa indahnya, luar biasa luasnya.
Sejauh mata memandang, bunga-bunga indah bermekaran, tatapan mata Ara kosong. Ia merindukan rumahnya, merindukan villa dimana ia di besarkan jauh dari drama. Ini memang nasibnya, selamanya ia akan terpaut ikatan darah dengan keluarga Romanof, ingin di sesali tak bisa.
Langkahnya terhenti, ketika ia melihat seorang pria berbadan tegap. Terlihat aura bangsawan di tubuhnya, rambutnya yang hitam berkilau terkena cahaya matahari samar-samar, kulitnya seputih susu. Tangannya memegang sebuah biola. Mata Ara terpukau.
Siapa pria di hadapannya ini? yang Ara ingat, Higa tak memiliki anak laki-laki. Ara mendekati pria itu dengan ragu, ia berjalan semakin lama semakin dekat. Mengetahui seseorang mendekat Rudy menoleh.
Seketika Ara melihat wajahnya yang rupawan.
“Dia malaikat, benar-benar malaikat"
Batinnya dalam hati, tak henti ia memuji keindahan di hadapannya itu. Beberapa saat terpaku, langkahnya terhenti. Wajah itu sukses membuat isi kepalanya berantakan.
Rudy tersenyum. Ara hilang kendali dan membalikan tubuhnya. Langkahnya terus menjauh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!