Guyuran hujan malam tadi membasahi sebagian jalanan yang memanjang membelah pesawahan, rerumputan yang basah dan genangan air di lubang-lubang jalan menjadi saksi betapa derasnya hujan semalam. Seseorang berlari pelan melewati jalanan itu, sesekali berhenti hanya untuk menghela napas, terlihat berat dan lelah.
Namun kenapa?
Seseorang yang diketahui seorang pria itu tidak berlari kencang, tetapi kenapa terlihat lelah?
Celana panjang sport yang dikenakannya terlihat basah akibat melewati rerumputan, hal itu tidak menyurutkan langkahnya yang terengah. Sekejap memejamkan matanya seperti menghilangkan beban dan kembali berlari. Suasana yang masih pagi sehingga belum banyak orang yang lewat membuat seseorang itu leluasa berlari bahkan berhenti setiap waktu.
Saat melewati sebuah batu besar orang itu memilih berhenti, duduk bersandar di bawah batu itu seperti kura-kura yang sedang bersembunyi dengan tempurungnya. Kembali memejamkan matanya berat, masalah apa?
Orang itu kenapa?
Matanya berkeliling seperti ada yang dicari namun tatapan itu perlahan kosong seiring mentari yang merangkak naik, sayup terdengar suara panggilan yang mengembalikan pria itu menapak ke bumi.
"Farrel ... hei!"
Pria yang ternyata bernama Farrel itu menoleh keasal suara. Matanya menyipit karena terbias sinar mentari yang mulai menusuk. "Ngapain di sini? Ibu nyariin."
Farrel berdecak merasa terganggu, "kenapa nyariin?" Farrel berdiri menghampiri seseorang yang mencarinya itu. "Kita pulang hari ini kamu gak ingat?"
Ya, ternyata pria bernama Farrel itu sedang menghabiskan masa liburannya di sebuah pedesaan yang jauh dari tempat tinggalnya.
"Bilang sama Uwa, pulang duluan saja. Aku masih ingin di sini." Pria yang masih setia memandangi Farrel itu kemudian melemparkan senyuman seraya menepuk punggung yang diketahui sebagai sepupunya itu.
"Wah jangan-jangan ada gadis desa yang sudah membuat kamu terpikat ya?"
Seketika itu Farrel melirik sinis ke arah sepupunya, "jangan ngaco! Aku hanya ingin menghabiskan beberapa hari lagi di sini. Sebelum aku kembali ke Yogya, kembali bekerja."
Ada sorot lelah dan tidak bersemangat terpancar dari tatapan mata Farrel dan sepupunya tahu itu. "Sudah saatnya kamu cari pengganti Sofia, Rel. Kamu gak bisa terus sendirian, kamu butuh pendamping, butuh teman bicara."
Farrel menggeleng samar dan menyunggingkan senyum, "aku baik-baik saja. Akan selalu baik selama ada kalian, ada Tuhan. Mad, terimakasih kamu selalu tahu apa yang aku pikirkan. Tapi ingat satu hal, aku bukan Farrel yang dulu, aku bukan Farrel yang mendendam dan cengeng sekarang aku udah mulai tua. Jadi jangan khawatirkan aku! Urus anak dan istrimu dengan baik jangan sampai ada penyesalan karena kehilangan seperti aku."
"Kamu jangan bilang tua dong, kamu sama aku tuaan aku. Sama aja kamu ngeledek."
"Syukurlah kalau paham." Farrel berjalan mendahului sepupunya yang bernama Ahmad.
"Hei tadi katanya suruh bilangin sama Ibu, kok malah ikut pulang?" Ahmad mengejar berusaha mengimbangi langkah Farrel.
"Kamu ganggu mood aku Mad."
Begitulah Farrel yang tidak ingin isi hatinya diketahui orang lain. Lebih memilih memendam semua rasa seorang diri. Karena dia yakin pria yang tangguh itu dilihat dari seberapa tegar pria itu menghadapi masalahnya sendirian.
Sebenarnya hati yang luluh lantah bak bumi yang diserang badai tornado sungguh tak bisa dia perlihatkan pada semua orang. Farrel berpikir biarlah dirinya dan juga Tuhan yang tahu.
***
Beberapa menit berjalan tibalah mereka di sebuah rumah sederhana dimana di sana seseorang yang Farrel panggil dengan sebutan Uwa tengah menunggu di teras bersama bocah laki-laki berumur lima tahun dan ibunya yang bernama Siti, istri dari Ahmad.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam ... darimana Rel?" Uwa mendekat ke arah Farrel sekedar mengusap peluh yang membasahi pelipis keponakannya itu.
"Hanya lari pagi, Uwa bukannya pulang sekarang? Kenapa belum siap-siap?" Farrel mengambil gelas berisi air putih yang ada di atas meja kemudian menenggaknya hingga tandas.
"Uwa nungguin kamu, mandi sana!"
"Farrel masih betah di sini Bu, kita disuruh pulang duluan." Ahmad yang ternyata bergelar Ustadz menyela pembicaraan ibunya dan juga Farrel.
Sang Uwa menatap Farrel seakan meminta penjelasan, tatapan teduh itu dibalas sentuhan lembut dari Farrel. Farrel menggenggam jemari yang mulai mengeriput itu, jemari yang telah membesarkannya, jemari yang setia membelainya disaat dia kehilangan arah. Farrel ingin menunjukkan betapa rasa terimakasihnya begitu besar kepada Uwa yang telah berperan menggantikan ibunya dalam mengurusnya. Farrel Farrel mengusap punggung tangan Uwanya, "Farrel masih ingin di sini Wa."
Uwa pun mengangguk seakan mengerti apa yang dirasakan keponakannya itu, baginya sungguh sebuah keajaiban bahwa Farrel tidak terpuruk setelah kehilangan istrinya dua tahun yang lalu.
Ya, Farrel kehilangan istrinya yang bernama Sofia dengan cara yang tragis. Bisa jadi itulah alasan mengapa Farrel senang merenung seorang diri. Mungkin rasa trauma yang dia pendam sendiri itu sebenarnya sangat berat untuk dia pikul seorang diri.
Namun kembali lagi, begitulah Farrel dengan segala rasa yang dipendamnya dan berusaha untuk bersadar diri bahwa dialah manusia paling beruntung di dunia karena begitu dahsyat cobaan untuknya dan dia mampu bertahan.
Bukankah sudah banyak yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mungkin memberikan ujian terhadap umat-Nya diluar batas kemampuan umat-Nya. Pantaslah harusnya Farrel berbangga diri bahwa dirinyalah yang terpilih menjalani kehidupan seperti ini. Bukankah Farrel manusia beruntung?
Uwa tersenyum memperhatikan keponakannya, ketakutan yang pernah ditakutinya tidak terjadi Farrel tumbuh mwnjadi manusia yang tegar setelah apa yang dia alami. Bagi Uwa kini, melihat Farrel tersenyum dan bahagia adalah harapan yang menggembirakan tiada tara.
***
Setelah kepergian Uwa dan keluarganya, Farrel masih merenung di teras. Keheningan mengambil alih suasana. Rumah yang jaraknya dengan rumah lain itu agak renggang mengakibatkan tidak ada suara lain selain suara alam dan juga serangga yang saling bersahutan. Jika sebelumnya akan ada Reasad putra dari Ahmad yang berlarian kesana kemari, kali ini Farrel benar-benar merasa sepi.
Ah bukankah lebih baik dia tadi ikut pulang saja?
Farrel mengusap wajahnya kasar kemudian memilih masuk ke dalam rumah. Farrel meninggalkan sejenak urusan dunianya dan menghadap Tuhannya dengan melakukan sholat dhuha.
Farrel benar-benar menjelma menjadi manusia yang berbeda dari sebelumnya. Sekiranya kita bisa mengikuti perjalanannya mulai dari sini. Bersama-sama mencontoh apa yang baik dan menghilangkan kekeliruan yang terjadi dalam kisah ini.
.
.
.
.
Terhitung dua hari Farrel sendirian di desa itu, sudah ada kejenuhan yang menelusup ke dalam hatinya. Maka hari ini, Farrel memutuskan untuk kembali ke tempat tinggalnya dan bersiap kembali ke Yogya. Begitulah rencananya.
Farrel memilih pulang menggunakan angkutan umum bus. Tas yang terlampir di punggungnya adalah satu-satunya barang yang dia bawa saat ini.
Setelah membeli tiket, Farrel memilih masuk ke dalam bus menunggu keberangkatan. Farrel mulai menggunakan headsetnya untuk menghilangkan kejenuhan. Awal mula semua baik-baik saja, sampai pada saat matanya menangkap sesuatu yang membuatnya tertegun.
Farrel melihat seorang bocah laki-laki sedang berlarian menawarkan jasa membawa barang. Namun bukan hal itu yang membuatnya tertegun. Farrel sedang memperhatikan interaksi antara bocah itu dengan seorang wanita berkerudung di seberang sana.
Terlihat bocah itu menawarkan jasanya kepada wanita tersebut. Farrel seperti melihat sosok yang tidak asing dimatanya.
Seorang wanita yang lembut dan juga anggun menerima jasa bocah laki-laki itu. Mereka berjalan beriringan menuju bus yang ditumpangi Farrel. Anehnya, sang wanita tidak membawa barang apapun dan membayar bocah lelaki itu tepat di depan pintu bus.
Setelah bocah itu berlalu sang wanita masuk ke dalam bus dan mencari tempat duduk untuknya. Bus yang sudah mulai penuh oleh penumpang itu menjadi agak sesak oleh hawa manusia.
Wanita itu masih mengedarkan pandangannya mencari tempat yang sekiranya masih bisa dia tempati. Matanya tertuju pada sebuah jok yang ada di sebelah Farrel.
Entah mengapa Farrel yang sedari tadi memperhatikannya kini mulai tidak nyaman dalam duduknya.
Tiba-tiba saja pasukan semut mistis yang hanya terasa oleh Farrel menyerangnya. Udara yang panas kian bergelora seiring keringat yang bercucuran dari dahinya. Keringat itu muncul bukan karena Farrel memakan sambel pecel lele tadi malam 'kan?
Jika pun iya keringat itu muncul karena sambal semalam, bukankah keringat itu sangat terlambat untuk hadir diwaktu yang kurang tepat.
Farrel tidak duduk dengan tenang karena gangguan-gangguan itu. Apalagi ketika Farrel melihat wanita itu terus berjalan ke arahnya.
Semakin mendekat dan terus dekat, wanita itu tersenyum canggung.
"Di sini kosong Pak?"
Hah Bapak?
Buyarlah sudah semua semut dan keringat tanpa sambal itu. Farrel menatap tajam ke arah wanita itu.
Farrel yang awalnya bersimpati pada wanita tersebut langsung dibuat kesal olehnya. Ingatlah satu hal Farrel masih belum berubah sepenuhnya, egonya yang tinggi membuat dia terus bersembunyi di balik dinding ketegaran dan juga pandai menyembunyikan sisi terlemahnya.
"Maaf sudah terisi Bu."
Di sini Farrel seperti sedang mencoba membalas perkataan wanita itu. Jelas-jelas wanita itu masih terlihat muda dan segar, Farrel dengan sengaja ingin membuatnya kesal.
Kenapa Farrel melakukan hal itu?
Mungkinkah Farrel saat ini sedang salah tingkah?
Di usianya yang sudah matang yakni dua puluh sembilan tahun bukankah masa-masa salah tingkah seharusnya sudah memasuki masa kadaluarsa?
Entah mengapa sisi kekanakkannya hadir saat menghadapi wanita yang bahkan baru pertama kali dia temui.
Eh tunggu, jika diingat Farrel seperti pernah melihat wanita itu tetapi dimana dia tidak ingat dan tidak ingin tahu. Apalagi saat ini, hanya karena wanita itu salah menyapanya Farrel kehilangan semut mistisnya alias dia kembali tenang dalam duduknya tanpa rongrongan dari kecanggungan.
Wanita itu masih tersenyum ramah bahkan tidak kesal sama sekali.
"Oh begitu."
Hanya balasan singkat seperti itu mampu membuat Farrel kembali menoleh ke arahnya. Wanita itu mulai kembali mencari tempat untuk dia duduki, tetapi ternyata semua kursi sudah penuh.
Kemudian wanita itu kembali berpikir untuk turun dan menunggu bus lain mengingat perjalanan yang akan ditempuh terbilang cukup jauh, bahkan bisa menghabiskan waktu selama dua jam.
Oh membayangkannya saja wanita itu sudah merinding, bisa saja kakinya kaku karena berdiri nanti. Saat langkahnya belum sampai dua langkah sang kernet bus menutup pintu masuk, mesin mulai menyala.
Sang wanita mulai kelimpungan mencoba berbicara tetapi sebuah suara menghentikannya.
"Bu, Teh, Non ... tempati saja jok ini. Orang yang tadi di sini tidak jadi naik bus, dia lebih milih naik delman."
Siapa itu yang bicara sungguh alasan tidak masuk akal.
Wanita itu mengernyit tetapi tak lama kemudian mengiyakan dan duduk di samping pria yang tadi disapanya dengan sebutan Bapak.
Ya, Farrel merasa tidak tega akhirnya dan membiarkan wanita itu duduk di sampingnya. Farrel sungguh tidak pandai beralasan terbukti dari alasan yang dia karang tadi. Untunglah wanita itu tidak memperdulikannya, jika iya? Ah mungkin ini akan sampai dititik saling menjambak mungkin.
***
Perjalanan yang membuat badan pegal akhirnya berakhir. Para penumpang turun di terminal tempat tujuan. Begitupun dengan Farrel, dia menenteng tas ranselnya kemudian turun dari bus. Farrel menumpangi salah satu ojek yang kebetulan sedang mangkal di dekat terminal.
Bukan rumahnya ataupun rumah Uwa tujuannya, Farrel mengarahkan tukang ojek itu menuju sebuah area pemakaman. Farrel ingin menjenguk sang istri tercinta yakni Sofia Mufliha.
Setelah turun dari ojek, Farrel memasang wajah ceria setiap kali akan berziarah. Farrel tampilkan senyuman terbaiknya karena Farrel yakin Sofia melihatnya dan akan tahu bahwa Farrel baik-baik saja tanpa dirinya.
Farrel menatap sekeliling yang dipenuhi makam-makam kemudian Farrel menggumamkan salam kepada seluruh makam-makam tersebut.
Farrel mencoba menerapkan apa yang pernah dipelajarinya dari sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abas bahwa Rosululloh pernah melewati area pemakaman di Madinah dan Beliau menghadapkan wajahnya pada seluruh penghuni kubur dan berucap, "assalamualaikum wahai penghuni kubur, semoga Alloh memberi ampunan kepada kami dan kepada kalian. Kalian adalah pendahulu kami dan kami akan menyusul."
Farrel berjongkok di sisi kanan makam Sofia, sejenak memandangi nisan yang bertuliskan nama istrinya kemudian mengusapnya pelan.
Walau batin perih Farrel harus tersenyum, Farrel melapalkan do'a-do'a yang dia hafal untuk Sofia.
Farrel melakukan itu dan selalu berlama-lama bila dirinya sedang berada di makam Sofia. Hal itu semata untuk mengurangi rasa rindunya.
Namun tidak kali ini, setelah selesai berdo'a Farrel mengangkat wajahnya dan mendapati wanita di dalam bus tadi sedang berdo'a di sebuah makam yang berada tepat di hadapan Farrel.
Farrel baru ingat satu hal, pantas saja Farrel merasa tidak asing dengan wanita itu ternyata pernah beberapa bulan sebelumnya Farrel melihat wanita itu di pemakaman ini.
Melihat sosoknya dari arah belakang membuat Farrel teringat pada Sofia.
"Kamu mengingatkanku padanya."
Begitulah gumaman kecil Farrel yang hanya bisa terdengar olehnya.
.
.
.
.
Belum panas ya ini kebanyakan narasi, typo merajalela, ah gimana lagi dong entah kenapa situasinya aku ciptakan seperti ini. Dinikmati aja ya🤗
Gelap langit sore, awan-awan berarak mengikuti tiupan angin hanya terlihat cahaya memanjang terang di ujung sana. Mendung.
Titik-titik air hujan yang ukurannya lebih kecil dari kerikil rel kereta api mulai berjatuhan. Farrel masih enggan untuk pulang, selepas dari pemakaman tadi Farrel memilih berjalan-jalan menyusuri pasar tradisional. Farrel membeli beberapa jenis buah dan juga sayuran.
Ah andai masih ada istri, mungkin kegiatan seperti itu akan sangat membahagiakan untuknya. Kini, hidup sendiri membuatnya terbiasa. Namun, Farrel sangat menghindari berlama-lama di rumah. Selalu ada rasa sesak entah kapan akan sembuh.
Farrel berlari-lari kecil menghindari air hujan yang tumpah itu. Farrel berlari menuju sebuah pelataran mesjid, oh sialnya kenapa harus ada wanita itu lagi?
Siapa sih?
Lalu dengan tekad sekuat baja Farrel melangkah mendekati wanita yang kini sedang membuka payung berwarna merah motif bunga-bunga miliknya.
"Assalamualaikum."
Wanita itu menoleh dan keheranan melihat sosok Farrel.
"Waalaikumsalam, bukankah Anda yang tadi di dalam bus?"
Farrel mengangguk, "kenapa Anda mengikuti saya?"
Krik krik.
Wanita itu mengernyit bingung.
Farrel yang baru sadar akan ucapannya segera meralat, "eh ... maksud saya kenapa kita selalu bertemu hari ini?"
Wanita itu nampak semakin bingung, dengan gerakan pelan dia menoleh ke kiri dan ke kanan kemudian telunjuknya menunjuk ke arah dirinya.
"Iya Anda. Eh ... enggak ... enggak gak jadi."
Ingin sekali Farrel memukul dirinya sendiri yang salah tingkah pada orang yang tidak dikenalnya.
Eh jangan deh kan sakit Bang!
Si wanita kini mulai merasa takut pada Farrel, terbukti dia dengan tergesa-gesa membuka payungnya. Kemudian tanpa permisi wanita itu pergi begitu saja. Mungkin saat ini dia sedang dilanda ketakutan.
Wanita itu berpikir mungkinkah Farrel adalah salahsatu komplotan pencuri yang menggunakan gendam. Ih membayangkannya saja wanita itu sudah ngeri.
Sementara Farrel hanya melongo melihat kepergian wanita itu. Apakah dirinya bau?
Ah tidak, tadi pagi 'kan mandi dulu.
Akhirnya Farrel merutuki kebodohannya dan memilih masuk ke dalam mesjid karena sebentar lagi waktunya sholat ashar.
***
Seorang wanita berpayung merah berjalan cepat membelah hujan. Satu kejadian yang membuatnya ketakutan baru saja terjadi.
Siapa orang itu?
Penjahat zaman sekarang pada jago akting.
Wanita itu terus menggerutu di dalam hatinya.
Was-was dan ketakutan bercampur aduk hingga tanpa terasa wanita itu sudah sampai di tujuannya. Sebuah panti yang berisikan anak-anak kurang beruntung yang ditinggal orangtuanya.
Membuka pintu pagar, wanita itu tersenyum lebar. Terlebih sambutan dari anak-anak yang riang berlarian menghampirinya makin menambah senyuman itu terpahat di wajah cantiknya.
"Kak Inda datang ... Kak Inda datang."
Berawal dari teriakkan seorang anak, mengundang banyak temannya untuk mengikuti menyambut wanita yang bernama Inda Nurqolbi itu.
"Assalamualaikum, adik-adik."
Suatu kebahagiaan melihat keceriaan anak-anak ini, walaupun Inda adalah seorang gadis dari keluarga berada namun dirinya selalu ingin berbagi kebahagiaan bersama anak-anak yang dianggap sebagai adiknya tersebut.
Oleh karena itu setiap kali Inda berkunjung ke kota ini pasti akan menyempatkan diri berkunjung ke panti. Bahkan saat dirinya belum beristirahat seperti sekarang ini.
Berawal dari pertemanan dengan sahabatnya yang merupakan pengurus panti, akhirnya Inda menjadi salah satu orang yang sering berdonasi untuk panti.
Bahkan anak-anak di panti sudah sangat mengenalnya dan menyayanginya berkat ketulusan yang selalu diperlihatkan oleh Inda.
Hari ini, sepulang dari kampung halaman sang nenek Inda menyempatkan diri untuk berkunjung ke panti. Sebelum akhirnya Inda harus kembali ke Yogya untuk meneruskan pendidikannya di salah satu Universitas ternama di sana.
Orang tua Inda sendiri berada di luar pulau Jawa, sehingga hidup mandiri sudah menjadi hal biasa untuknya.
Inda bahagia setiap kali berkunjung ke panti, seperti saat ini anak-anak menggiringnya masuk lebih dalam ke lingkungan panti.
"Kak Inda nginep kan?"
Pertanyaan polos meluncur dari bibir mungil gadis kecil yang sedang menggelayut manja di lengan Inda.
"Nginep gak ya ... hmm."
Menggoda anak-anak ini adalah suatu kesenangan tersendiri untuknya.
"Inda kapan datang?"
Suara seseorang membuat semua orang menoleh, dialah sahabat Inda sang pengurus panti.
"Hai Ri, apa kabar?" Inda menghampiri sahabatnya yang bernama Riri itu kemudian memeluknya.
"Baik ... kapan datang ih? Aku kan jadi gak ada persiapan."
Kedua sahabat itu melepas pelukannya dan saling melempar senyum. Sementara anak-anak yang tadi mengarak Inda, kini mulai sibuk dengan permainannya kembali.
Kini Riri dan Inda duduk di sebuah bangku yang menghadap langsung pada anak-anak yang sedang bermain di depannya.
"Kamu belum jawab pertanyaanku Da."
"Eh yang mana?" Inda yang sedang asik memperhatikan anak-anak sedikit terperanjat mendengar suara Riri.
Riri memutar bola matanya jengah dengan kelakuan sahabatnya yang ternyata tidak berubah. "Kapan kamu ke sini sayang?"
Inda terkikik geli mendengar nada bicara Riri yang terlihat gemas padanya.
"Kemarin aku jenguk nenek di kampung, terus tadi pagi aku naik bus kemari dan ...."
Tiba-tiba saja Inda teringat akan kejadian yang menimpanya sejak menaiki bus.
"Dan apa?" Riri yang melihat perubahan mimik wajah dari sahabatnya merasa aneh dan kembali bertanya.
"Ah bukan hal yang penting, hanya saja tadi aku bertemu dengan orang aneh. Awalnya judes gitu eh ketemu lagi orang itu malah sok kenal. Kan aku takut kalau orang itu penjahat yang suka hipnotis orang."
"Ish kamu jangan berparasangka buruk loh!"
"Ah iya Ri iya ... tapi waspada perlu kan, apalagi aku wanita dia pria."
Riri sontak menoleh dan memicingkan matanya ke arah Inda. "Oh jadi pria, jangan-jangan dia naksir itu."
Eh.
Inda melotot ke arah Riri tidak terima. "Enggak ya, ah udah anter aku ke kamar ingin ganti baju. Malam ini aku nginep ya, besok aku langsung ke Yogya."
"Ok deh Nyonya Bos." Riri merangkul lengan sahabatnya dan mereka berjalan menuju sebuah kamar yang selalu dipakai Inda jika sedang menginap di panti. Malam nanti akan menjadi malam bersenang-senang bersama anak-anak sebelum akhirnya Inda pergi dan entah kapan kembali ke panti itu.
***
Malam menyapa tusukan suhu dingin terasa menyayat di kulit, Farrel baru tiba di rumahnya. Bergegas Farrel membersihkan tubuhnya setelah itu menghadap Sang Tuhan.
Farrel mengupas buah naga dan membelah-belahnya dengan pisau. Farrel memakannya satu persatu sambil membuka-buka artikel otomotif di dalam ponselnya.
Farrel menghela nafas menatap sekeliling rumahnya yang tidak terawat, rumah yang dahulu tempatnya menyiksa Sofia. Ya, menyiksa perasaan wanita yang kini amat sangat ingin dia temui.
Farrel memilih menutup mata dan mengakhiri hari ini berharap bermimpi akan pertemuan dengan Sofia. Namun itu tidak pernah dialaminya, Sofia tidak pernah menyapanya walau dalam mimpi.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!