NovelToon NovelToon

Kiblat Cinta Bumi

1

Dua keluarga berbeda latar belakang sedang berduka setelah Tujuh hari kepergian kepala keluarga mereka. Di rumah besar dua lantai nan megah seorang Ibu yang selalu disapa Ummi oleh ketiga anak-anaknya sedang duduk di atas tempat tidur dengan dipeluk ketiga anaknya.

"Ummi, ikhlaskan kepergian abi. Bukankah Ummi sendiri yang bilang jika jodoh, rezeki dan maut itu sudah diatur oleh Allah?" Sang anak pertama yang berusia 20 tahun dan memakai hijab hijau muda yang menjulur menutupi dada hingga perutnya, mengusap lembut punggung ummi yang sedang memegang tasbih.

"Iya, Ummi. Ada Akash yang akan selalu jaga umi, kak Zha dan juga adek," anak lelaki berusia dua belas tahun yang memiliki postur tubuh tinggi itu mengusap punggung tangan umminya yang putih.

"Adek nggak tega lihat Ummi sedih terus. Ayo, Ummi. Semangtlah!" gadis kecil berusia enam tahun dengan hijab pinknya mengusap pipi ummi lembut. Ikut menyemangati.

Ummi mengalihkan pandangannya yang sedari tadi menatap kosong ke arah jendela. Wanita yang masih terlihat cantik itu menatap satu persatu buah hatinya. Ada Syifa Azzahra, Assyam Al-Akash dan yang paling kecil Nadia Aminah.

"Astagfirullah, ampuni hamba ya Allah. Maaf nak, maafkan Ummi terlalu hanyut dalam kesedihan hingga lupa kehadiran kalian. Maafkan Ummi, Sayang," Ummi merengkuh putri bungsunya disusul Akash dan Zha yang ikut memeluk ummi. Mereka menangis bersama.

Ya Rabb, hamba ikhlas. Abi semoga tenang di sana.

***

Di lain tempat, sebuah rumah kecil dan sederhana seorang gadis berusia 8 tahun bernama Bumi Hansa sedang menangis di pelukan Ibu nya. Berkali-kali Laut Ganendra, sang Kakak laki-lakinya mengusap punggung Bumi.

"Kalau saja papa bawa mobilnya nggak buru-buru karena permintaan Bumi, pasti papa nggak kecelakaan kan?" keluh sang bocah sambil terus berderai air mata.

"Tidak, Sayang! Ini kecelakaan, Nak. Sudah takdir Allah," sang Mama, Ayas kembali ikut menangis.

"Berhenti menyalahkan diri sendiri, Dek. Jangan menangis terus. Kasihan Mama jadi selalu ikut menangis."

Laut mulai geram dengan tingkah adiknya yang selama tujuh hari ini terus menangis sepeninggalan papa mereka.

Bumi seketika menghentikan tangisnya demi didengarnya intonasi tinggi dari kalimat kakaknya. Bumi mengurai pelukannya dari Ayas lalu mendongakkan kepalanya memandang Ayas.

"Mama, maafkan Bumi. Harusnya Bumi menghibur Mama. Bukan malah membuat Mama tambah bersedih," Bumi menangkup kedua pipi Ayas. Diusapnya air mata yang menganak sungai di pipi Ayas.

"Udah, Bumi. Kita harus kuat. Bumi jangan menangis lagi, jangan merengek terus menerus," Laut harus bisa berfikir dan bertindak dewasa di usianya yang masih 12 tahun.

Bumi melepaskan rengkuhan tangannya di pipi Ayas. Dia membalikkan badannya dan menatap Laut, kakak laki-laki yang memiliki kulit kuning langsat khas orang Indonesia seperti dirinya. Ditatapnya mata Laut yang memerah, air matanya hanya menggenang tidak menetes.

"Maafkan Aku, Kak. Aku pasti sudah membuat Kakak dan Mama susah."

"Kalau Kamu mau Kakak dan Mama maafkan, berhentilah menyalahkan dirimu Dek!" suara laut melembut.

Bumi hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan. Laut meraih tubuh sintal adiknya dan memeluknya penuh sayang. Ayas tersenyum menatap anak-anaknya yang selalu saling menyayangi. Ikut berpelukan.

***

Tujuh hari yang lalu telah terjadi kecelakaan maut antara mobil sedan hitam milik seorang Kiayi yang dikendarai oleh sopirnya dengan sebuah mobil truk di sebuah tol yang baru setahun dibuka.

Subuh itu kendaraan masih lengang, sang sopir melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi mengingat dia ada janji dengan putri kecilnya yang hari itu ulang tahun. Sebelum berangkat, sang sopir sudah berjanji akan pulang sebelum jam 12 malam.

Tapi, karena acara pengajian di luar kota itu molor akhirnya baru setelah shalat Subuh, Sang Kiayi dan sopir dapat meninggalkan tempat acara.

Dengan sangat tidak hati-hatinya sang sopir menyalip kendaraan di depannya. Sekali salip aman. Tapi, tidak dengan salipan yang kedua. Sebuah truk yang disalip ternyata dikendarai oleh supir yang habis mabuk-mabukkan dengan kantuk beratnya.

Mobil sedan hitam itu tertabrak oleh truk hingga terpental jauh beberapa meter dan menabrak pembatas jalan tol. Nyawa kedua penumpang mobil itu tidak dapat diselamatkan, Mereka meninggal setelah beberapa jam dilarikan ke rumah sakit.

Sang Kiayi meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. Sedangkan sang supir meninggalkan seorang istri dengan dua anak. Hubungan antara supir dan majikan ini sudah terjalin sangat lama. Mereka sudah sangat dekat layaknya seorang saudara kandung.

Bersyukur bagi keluarga sang sopir memiliki majikan baik seperti keluarga Kiayi itu. Anak pertama mereka, Laut Ganendra yang usianya sama dengan putra kedua sang Kiayi, Assyam Al-Akash, memiliki hubungan baik sedari kecil. Bahkan Laut sekarang sedang menimba ilmu di sebuah pondok pesantren di Bandung bersama Akash. Dengan dibiayai oleh keluarga sang Kiayi.

Namun, dari kejadian ini membuat Akash sedikit marah dengan Bumi. Andai Bumi tidak terus-terusan merengek minta Papanya cepat pulang mungkin kecelakaan ini bisa dihindari. Itu pikiran Akash.

Berkali-kali Ummi beserta Zha dan juga Nadia mengingatkan Akash agar tidak menyalahkan Bumi. Tapi, Akash masih belum bisa menerima.

Sudah tujuh hari ini Akash tidak mengajak Bumi bicara. Berkali-kali Laut memintakan maaf untuk Bumi pada Akash. Namun, Akash tidak mau menerimanya.

"Berhenti meminta maaf padaku, Laut. Itu salah adikmu, bukan salahmu!" Akash dan Laut yang siang itu habis melaksanakan shalat dhuhur di mesjid kembali berdebat.

"Bumi akan dikirim ke kampung, Kash." Laut masih membicarakan Bumi.

"Bagus, tidak usah pulang sekalian. Tidak usah lagi bertemu denganku!" Akash masih saja emosi.

"Aku sepertinya akan berhenti mondok, Kamu?" kali ini Laut mengalihkan pembicaraan.

Akash tidak menjawab, Dia berlari meninggalkan Laut ke pelataran masjid. Bisa-bisanya Laut berbicara itu di saat-saat seperti ini. Bukankah Mereka berjanji akan selalu bersama?.

Laut segera menyusul langkah Akash.

"Jangan bicara lagi padaku kalau yang mau Kamu bahas itu adikmu!" Akash menatap tajam Laut yang sedang memakai sandalnya.

"Baiklah, ayo kita pulang!"Laut dan Akash hendak melangkah namun teriakkan seseorang mencuri perhatian mereke.

.

.

2

"Kak, aku ikut main!" teriak gadis kecil berusia 8 tahun bernama Bumi. Dua orang anak lelaki berusia 12 tahun yang berdiri di pelataran mesjid besar menoleh ke arah Bumi yang berlari kecil ke arah mereka. Bumi tersenyum menampakkan dua gigi kelincinya yang lucu. Rambutnya dikepang dua dengan sedikit poni di bagian depan.

"Jangan ikut kami, Bumi. Pulang sana!" seru satu orang anak lelaki yang memiliki kulit kuning langsat seperti Bumi seraya mendorong bahu Bumi. Dialah Laut, kakak kandung Bumi.

"Kenapa Kakak bermain dengan kak Akash dan aku tidak boleh?" Bumi menampakkan wajah sedihnya.

"Karena Kamu perempuan. Perempuan itu cengeng!" timpal Akash, sahabat Laut yang tubuhnya lebih tinggi darinya.

"Aku tidak cengeng, Kak. Aku janji," Bumi memegang lengan Akash dan mengguncangnya.

"Jangan pegang-pegang tanganku, Angsa jelek! Ayo, Laut!" Akash menghentakkan lengannya agar terlepas dari pegangan Bumi.

"Pulanglah, Bumi! mama nanti mencarimu. Kamu harus berangkat ke rumah uti."

"Aku ikut main sebentar sebelum ke rumah uti, Kak. Kak Akash, ajak Aku main!" Bumi mengiba pada sosok anak lelaki yang memiliki perawakan tinggi itu.

"Langit dan Bumi tidak akan bisa sama, angsa jelek. Nama kita sudah menjelaskan bagaimana seharusnya posisi kita," Akash menjelaskan alasannya tidak mau mengajak Bumi bermain.

"Baiklah, Aku mengerti. Tapi, bolehkan kak Laut saja yang ikut denganku. kak Laut kan kakaknya Bumi!" Bumi kali ini menarik tangan Laut yang memasang wajah bingung.

"Tidak boleh, Laut itu temanku. Ayo Laut, Kita ganti baju dan belajar memanah lagi dengan Paman Badrun!" Akash menarik tangan Laut dan dia menurut saja.

"Pulanglah, temui mama. Carilah teman di rumah Uti!"

Akash dan Laut yang masih mengenakan koko dan sarung, benar-benar pergi meninggalkan Bumi yang mematung dengan mata berkaca-kaca.

Bumi Hansa, gadis yatim yang baru tujuh hari ditinggalkan ayahnya meninggal karena kecelakaan. Dia pulang ke rumahnya dengan langkah gontai setelah mendapat penolakan dari sang kakak dan juga Akash.

"Aku tahu kami miskin, tidak seharusnya kak Akash bicara seperti itu!" Bumi memegangi dadanya dan berlari membawa tangisan yang mulai pecah.

***

Bumi kembali pulang ke rumahnya dengan wajah murung. Sampai di rumah dia tidak segera masuk, melainkan duduk di bangku kayu di depan teras rumah. Bumi sudah tidak menangis lagi setelah pembicaraan tadi pagi dengan Laut.

Bumi tidak ingin membuat Ayas, sang mama juga sedih. Bumi menopang dagu dengan kedua tangannya. Kakinya yang tanpa alas digerakan-gerakan di atas ubin tanpa keramik sehingga mengeluarkan bunyi srek, srek.

"Kak Akash kenapa jadi jahat?" Bumi bicara pada diri sendiri. Bibirnya yang cemberut terlihat lucu. Gadis pemilik tubuh sintal itu sebenarnya sangat disayang oleh Akash sebelum kejadian ini.

Sifat Bumi yang periang, menyenangkan dan ramah membuat Akash selalu gemas dan ikut tertawa riang saat bermain dengannya. Bumi anak yang baik, penurut dan rendah hati. Sikapnya sama seperti namanya, memBumi.

Pintu dibuka oleh Ayas dari dalam. Ayas tersenyum melihat anak gadisnya yang sedang melamun.

"Loh, tidak jadi ikut main sama kakak-kakak?" tanya Ayas seraya berjongkok di hadapan Bumi. Bumi hanya menggeleng, dagunya masih ditopang.

"Kak Akash masih marah?" Ayas merapikan poni yang basah karena keringat. Bumi mengangguk.

"Nanti juga baik lagi, jangan sedih!" Ayas menghibur Bumi. Bumi kembali mengangguk lalu merentangkan kedua tangannya dan menggeliatkan badannya.

"Bumi ngantuk, Ma," Bumi menguap, lupa tidak ditutup.

"Kebiasaan nih anak cantik kalau menguap tidak ditutup. Ayo Mama gendong. Bobok di kamar ya!" Ayas segera meraih tubuh yang sebetulnya berat itu. Namun tetap Ayas lakukan karena merasa kasihan dengan Bumi yang terus mendapat penolakan dari Akash sehingga wajahnya sangat murung.

***

Sepeninggalan suaminya, Ayas merasa tidak mungkin akan menghidupi kedua anaknya jika tidak bekerja. Kemarin sore dia dibantu oleh seorang tetangga akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai penjahit di sebuah konveksi yang terletak tak jauh dari rumahnya.

Rencananya Ayas akan mulai bekerja lusa setelah mengantarkan Bumi ke kampung halaman suaminya. Bumi sudah setuju, Bumi juga sering ke kampung halaman Papanya. Di sana ada mertua Ayas yang dipanggil Uti oleh Bumi dan Laut. Selain Uti ada juga Paman Yudis, adik ipar Ayas.

Bumi terbangun dari tidur siangnya saat waktu magrib hampir habis. Cukup lama waktu yang dihabiskan Bumi tidur. Bumi mulai beranjak dari tempat tidur hendak mencari keberadaan Ayas. Bumi berdiri di bibir pintu kamar melihat Ayas yang sedang memasukkan baju-baju Bumi ke dalam tas besar. Besok setelah shubuh Ayas akan mengantar Bumi ke kampung.

"Mama!" Bumi memanggil Ayas dengan suara serak khas bangun tidur. Ayas yang baru selesai menutup resleting tas menoleh ke arah suara.

"Sini, Sayang!" Ayas merentangkan tangannya dan Bumi langsung berhambur ke dalam pelukannya. Ayas mendongakkan kepala memandangi langit-langit kusam rumahnya.

"Jangan menangis ya, Mama. Bumi janji di sana jadi anak baik," Bumi menepuk-nepuk punggung Ayas. Ayas hanya mengangguk, takut tak bisa menahan tangis jika mengeluarkan suara.

"Nanti Kakak dan mama sering nengokin koq, Bumi," Laut yang baru tiba di rumah langsung ikut ke dalam percakapan. Laut duduk di samping Ayas yang masih mendongakkan kepala. Laut mengerti bagaimana perasaan Ayas. Ayas sudah bisa menguasai air matanya. Dia mengerjapkan matanya dan mengambil nafas pelan.

"Setelah ini kita ke rumah ummi ya, Bumi. Pamit sama keluarga Ummi," pinta Ayas.

Bumi mengurai pelukannya dari tubuh Ayas lalu mendongakkan kepalanya agar dapat bertatapan dengan Ayas.

"Bumi takut kak Akash marah lagi, Ma!" Bumi mengiba.

Ayas mengusap lembut pipi Bumi.

"Yang penting ummi, kak Zha dan Nadia tidak marah. Nanti kak Akash akan baik sendiri," bujuk Ayas meyakinkan Bumi dan membuatnya berhasil mengangguk. Laut hanya menatap Ayas dan Bumi dengan sorot kasihan. Ada perasaan sedih karena harus terpisah dari Bumi. Soal perkataannya akan sering mengunjungi Bumi tentu saja itu hanya untuk menghibur Bumi. Ongkos ke kampung itu sangatlah mahal bagi mereka.

Selepas isya Ayas, Bumi dan Laut tiba di rumah besar Ummi. Mereka kini sedang duduk berkumpul di atas permadani tebal yang sangat nyaman. Duduk duduk melingkar menghadap meja bulat rendah.

"Bu Ayas bisa dipikirkan lagi loh niatan buat bawa Bumi ke kampung. Bumi bisa dititipkan di sini saja, saat Bu Ayas bekerja." Itu komentar dari Zha saat Ayas memberi tahu maksud kedatangannya.

"Sudah cukup banyak keluarga kami merepotkan Ummi. Sudah Alhamdullillah Laut dibiayai sekolahnya," tukas Ayas menunduk.

"Ini juga Laut, kenapa tiba-tiba ingin berhenti mondok?" Zha masih mendominasi menjawab pernyataan Ayas. Sementara Ummi hanya tersenyum, ada perasaan bangga memiliki putri yang selalu ingin membantu kesusahan orang lain.

"Sekali lagi maafkan Laut, Kak Zha. Setidaknya jika hanya sekolah Laut bisa menemani Mama dan membantu Mama." Laut berbohong. Tentu saja Dia merasa tidak enak jika meneruskan mondok sambil sekolahnya. Biayanya tidak sedikit. Meskipun keluarga Ummi tidak akan mendapatkan dampak buruk soal keuangan setelah Abah tiada. Tetap, Laut merasa tidak enak.

"Kami sebetulnya sudah menganggap kalian sebagai keluarga. Tapi, Saya hargai keputusan kalian. Laut tetap akan Saya tanggung pendidikannya hingga kuliah dan Kamu bisa fokus untuk keperluan Bumi," Ummi berkata lembut membuat Ayas segera merengkuh tangan Ummi dan menciuminya berkali-kali. Baginya, Ummi adalah sosok sempurna. Seorang istri Kiai berhati lembut nan mulia yang selalu peduli terhadap siapapun. Perkataannya selalu menggetarkan hati dan memberi kenyamanan.

3

Suara ketukkan pintu tak membuat Bumi berhenti memoles wajahnya. Rambut sebahu dengan poni tipisnya dia kucir kuda. Diraihnya kemeja putih di atas kasur lalu dia pakai tanpa mengancingkannya. Dia mematut dirinya. Celana pendek yang memperlihatkan paha hingga betisnya dipadu dengan tanktop dan kemeja putih yang tidak ia kancingkan terasa kurang. Bumi memicingkan mata dan membolak-balikkan tubuhnya sendiri di depan cermin.

Dia segera menggulung lengan kemejanya hingga memperlihatkan lengan kuning langsat bersih yang banyak ditumbuhi bulu halus. Sekali lagi mematut dirinya, bibirnya mengukir senyum tipis lalu tangannya membentuk fingerheart, "calangeo...."

Bumi segera menyambar tas ransel di meja rias dan membuka pintu kamarnya.

"Deeek, sekian lama kamu dandan hasilnya cuma gini?" Laut menatap penampilan adiknya dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Kenapa sih, kak? Sekian lama nggak ketemu bukan dibaik-baikkin malah dibentak-bentak!" Bumi melengos meninggalkan Laut dan mengibaskan tas ranselnya ke wajah sang Kakak.

"Sudah siap, Nak?" Ayas yang sedang duduk bersama mertua dan adik iparnya tersenyum lembut. Ada perasaan getir dalam hatinya melihat penampilan sang putri yang sudah sebesar ini tapi belum bisa menutup aurat.

"Sudah, dong. Mam." Bumi menghampiri Uti dan merangkul bahunya.

"Jangan sedih, ya! do'akan Bumi biar kerjanya lancar. Nanti Bumi belikan ponsel biar Uti juga tetep bisa nonton drakor."

Laut geram dengan perkataan Bumi dan langsung mengacak rambut adiknya itu.

"Orang tua diajak nonton drakor. Ajak tuh pengajian, kasih tasbih bukan ponsel!"

Bumi memutar bola mata dan melepas rangkulan di bahu uti.

"Tanya Uti, pilih tasbih apa ponsel buat nonton drakor?"

Uti yang senyum malu-malu menjawab pelan.

"Ponsel dong biar bisa terus liat oppa ganteng."

Bumi tersenyum penuh kemenangan dan menjulurkan lidahnya yang dibalas sentilan pelan di hidungnya oleh Laut. Ayas hanya tersenyum dengan terus menerus mengucap istighfar dalam hati. Anak gadisnya tumbuh menjadi sosok yang jauh dari dambaannya. Ayas tidak menyalahkan Bumi. Dirinya lah yang sepenuhnya salah. Menjauhkan Bumi dari hidupnya dan membiarkan Bumi menapaki jalannya sendiri.

"Jangan lupa sama paman ya, Bumi. Paman nggak ada teman maen ludo lagi nih jadinya," Yudis memasang wajah kecewa karena keponakannya yang sudah tinggal bersamanya selama tiga belas tahun itu akhirnya akan kembali diboyong oleh kakak iparnya ke Kota.

"Paman juga yang dipikirin malah maen ludo, nikah dong. Cari istri!" Laut sok menasihati pamannya.

"Siapa yang mau menikah sama pengangguran?" sergah Uti saat Yudis baru saja akan membuka mulut.

Bumi, Ayas dan Laut saling melirik lalu tersenyum. Ingin tertawa, tapi takut dosa.

"Tertawa aja tertawa, terus ejek aja ejek," Yudis menahan amarahnya yang mulai mendidih.

"Sudah, kita berangkat sekarang saja ya?" Ayas mengalihkan pembicaraan dan bergantian memandang Anak-anaknya meminta persetujuan. Bumi dan Laut mengangguk.

Uti kembali merajuk sebab, akan ditinggalkan oleh cucu kesayangan, yang menurutnya sangat satu server dengannya. Sama-sama girang jika melihat lelaki tampan.

"Ibu, maafkan Ayas ya. Tapi, Ayas juga sudah sangat merindukan kumpul kembali dengan Bumi. Terimakasih selama ini sudah merawat Bumi," Ayas meraih tangan uti lalu menciumnya khidmat seraya memberikan amplop putih tebal berisi beberapa lembar uang seratus ribuan.

"Digunakan sebaik-baiknya, ya. Insyaallah nanti Kami datang menengok Ibu," Ayas memeluk mertuanya. Raut sedih itu berubah sedikit ceria dan mengangguk takjub. Rambut pendeknya yang semakin memutih berkilau terkena pantulan matahari yang masuk lewat celah jendela yang dibuka.

Bumi pun ikut berpamitan bergantian memeluk Yudis dan Uti. Dari dalam mobil yang baru dibeli Laut beberapa waktu lalu, Bumi, Ayas dan Laut melambaikan tangan pada Yudis dan Uti yang saling merangkul melepas kepergian Mereka. Perasaan sedih menyeruak begitu saja di hati Bumi yang kini berusia 21 tahun itu. Bumi baru saja lulus kuliah keperawatan dan menyatakan keinginannya untuk kembali ke ibu kota dan bekerja di sana.

Biar bagaimanapun Bumi sangat bahagia pernah tinggal bersama Yudis dan Uti walau harus selalu menahan rindu pada Ayas dan Laut. Janji Laut akan sering berkunjung ternyata tidak benar. Mereka hanya berkunjung satu tahun sekali saat idul fitri.

Awalnya Bumi sering marah. Namun, Ayas menjelaskan jika ongkos pulang kampung itu tidaklah murah. Ditambah saat itu Laut masih bersekolah dan kuliah belum bisa membantu keuangan keluarga. Bumi bisa menerima alasan Ayas.

Saat berkuliah Bumi sebetulnya ingin melanjutkan di Ibu Kota. Namun, tidak tega meninggalkan Utinya yang berprofesi sebagai tukang urut balita yang kewalahan menerima pasien.

Mobil yang plat nomornya saja baru turun seminggu yang lalu itu pergi meninggalkan pelataran rumah Uti. Bumi membawa bersama kenangan manisnya dari sana. Bumi tidak pernah mendapatkan pendidikan agama dengan baik. Dia hanya mengaji sore di surau, itupun kalau dia mau.

Uti dan Yudis tidak pernah dengan tegas mengarahkan Bumi. Tentang salat saja, Bumi hanya melakukannya jika malam jum'at dan itupun hanya shalat magrib dilanjut membaca yasin bersama di surau. Yudis dan Uti sama saja, Mereka terlalu santai dengan ibadah.

Ayas dan Laut tidak sepenuhnya menyalahkan Bumi. Penyesalan bertubi-tubi datang dalam diri Ayas melihat anak gadisnya yang tumbuh dengan jalannya sendiri.

"Kakak sekarang udah jadi horang kayah ya?" Suara Bumi memecah keheningan dari dalam mobil.

"Menurut kamu?" Laut melirik Bumi yang berada di bangku penumpang sambil merebahkan diri lengkap dengan bantal dan guling yang dia peluk.

"Kayaknya lumayan kaya, ya?" Bumi menerka-nerka.

"Kalau kaya emang kenapa?" Laut mengernyitkan keningnya.

"Ya lumayan lah bisa minta duit terus buat jajan buat beli tiket konser oppa-oppa ganteng itu," Bumi menutup wajahnya dengan guling membayangkan sekelebat wajah-wajah tampan berdarah korea sedang berjingkrak di atas panggung lalu mengerlingkan mata dan membentuk fingerheart.

"Woy, bangun. Mimpimu kebangetan. Cewek-cewek korea bukannya lebih cantik?" Teriak Laut. Bumi terperanjat lalu duduk dengan tegap dan badannya sedikit bergeser ke arah kursi kemudi Laut.

"Kakak suka juga liat kekorea-korea an?"

"Cewekku yang suka, sampai Aku kadang dicuekkin!" Laut mencebikkan bibirnya jika mengingat kelakuan Ayesha yang sedang menonton drakor.

"Kak Ayesha juga suka drakor? Wuih asyiik. Udah mah cantik, mau masukkin aku kerja, satu server lagi. Aah udahlah cepetan sana halalin aja." Bumi mendorong bahu kakaknya dan kembali merebahkan diri dan bergelut dalam khayalannya bersama Oppa nya.

"Sudah, jangan ribut. Nyetir aja yang fokus. Bumi lebih baik tidur," Ayas mengingatkan kedua anaknya agar tenang tidak kembali berisik dan berbicara hal-hal tidak penting.

"Iya, Mam!" Kedua Kakak adik ini kompak menjawab. Suasana dalam mobil kembali hening tanpa percakapan. Ayas menyunggingkan senyum tipis. Rumahnya akan kembali ramai dengan adanya Bumi. Senang? tentu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!