Kisah perjalanan cinta Sang Pemuda dari salah satu provinsi A. Berakhir dengan Adi dan Adinda yang terpaksa dinikahkan secara siri, oleh warga setempat. Karena Adi kedapatan sedang mencoba memaksakan kehendaknya pada janda beranak satu, yang membuatnya mabuk kepayang tersebut.
Awalnya ia bertemu dengan Adinda disalah satu masjid yang berada di kota C, provinsi JB. Karena ia terpaksa dipindahkan ke kota C sementara, sebab tersandung kasus narkotika.
Ia begitu geram pada wanita itu. Karena Adinda sering meledeknya, dan selalu memasang wajah menyebalkan menurut Adi. Selain itu, Adi pun sedikit rasis dengan perempuan yang berstatus janda.
Sampai pada akhirnya, secara tak sadar. Ia ternyata memendam rasa cinta pada janda itu. Hingga ia berani mengambil keputusan untuk menikahi janda itu, namun harus ditentang oleh kedua pihak keluarga masing-masing.
Yang berakhir Adi sengaja berniat buruk, agar mempermudah restu untuk hubungan mereka berdua.
~
Dan sekarang, hampir dua bulan lamanya ia menjalani rumah tangga tanpa sepengetahuan orang tua Adi. Berbeda dengan orang tua Adinda, yang terpaksa harus memberikan restu saat pernikahan siri mereka dilangsungkan.
~
Pagi ini Givan, anak hasil pernikahan pertama Adinda dengan mantan suaminya dulu, tengah menikmati sarapan pagi dengan sang papah sambung. Yang harus dihentikan sementara, karena ibunya yang tiba-tiba muntah-muntah.
Adi bergegas menuju kamar mandi, untuk menemui istrinya yang tengah berusaha mengeluarkan isi perutnya itu.
"Kenapa, Dek?" tanya Adi terlihat begitu kalap.
"Tak tau. Aku ngerasa mual kali bau telor goreng macam itu." jawab Adinda dengan wajah memerah. Serta keringat dingin yang membanjiri pelipisnya.
"Pelan-pelan. Rebahan dulu di kasur, Abang ambil minyak angin dulu." sahut Adi, dengan memapah tubuh lemah istrinya. Lalu perlahan Adinda merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Tunggu sebentar, ok?" ujar suaminya dan berlalu pergi. Untuk mengambilkan minyak angin yang ia butuhkan.
Setelah mendapat barang yang ia cari, Adi menghampiri Givan terlebih dahulu.
"Bisa makan sendiri tak? Papah mau obatin mamah dulu." ucap Adi pada anaknya.
"Tak mau, disuapin Papah aja. Aku tunggu aja, Papah jangan lama-lama, ok?" sahut Givan kemudian. Adi menghela nafasnya lalu berjalan menuju kamar mereka lagi.
'Kapan itu anak bisa makan sendiri? Macam mana nanti kalau punya adik?' gumamnya dalam hati.
"Sini Abang baluri pakek minyak angin." ucap Adi begitu sampai di hadapan istrinya. Lalu ia duduk di tepian tempat tidur, dan menyibakan baju milik istrinya.
Ia tersenyum kecil, saat melihat karyanya yang bertebaran di sekujur tubuh istrinya.
"Tenggorokannya juga, Bang." ujar Adinda yang langsung diangguki oleh Adi.
"Kenapa sih kok tiba-tiba mual?" tanya Adi, dengan membalurkan minyak angin di leher istrinya, yang juga terdapat beberapa bekas c*pangannya.
"Tak tau. Perasaan baunya nusuk kali di hidung. Mana Abang pakek penyedap rasa ayam, kan? Itu tambah bikin aku mual." jawab Adinda kemudian.
"Jadi sarapannya apa? Abang udah goreng telor tiga. Buat Abang, Adek, sama Givan." sahut Adi dengan memperhatikan wajah istrinya yang terlihat begitu pucat.
"Nanti aja, biar aku bikin sendiri. Abang habiskan aja itu telornya." balas Adinda dengan berbaring menyamping menghadap arah lain.
"PAPAH, SUAPIN AKU!" teriak Givan sambil berlari menuju ke tempat mereka.
"Iya, Bang." seru Adi menyahuti anaknya, "Abang tinggal, ya? Adek istirahat aja dulu." lanjutnya berkata pada istrinya.
"Ya, Bang." jawab Adinda tanpa menoleh pada Adi.
Lalu Adi pergi membawa Givan untuk kembali ke ruang keluarga, saat Givan baru sampai di hadapan mereka berdua.
Adi kembali menelateni Givan yang asik dengan kartun paginya.
"Siang nanti belajar makan sendiri, ya? Kasian tuh mamah lagi sakit." ucap Adi mencoba memberi sedikit pengertian pada anaknya. Agar tak terlalu manja pada mereka berdua. Pasalnya untuk urusan makan dan memakai pakaian pun, harus orang tuanya yang melakukan.
"Kalau macam itu, aku ikut Papah aja ke ladang." sahut anak itu dengan sekilas menoleh ke arah Adi.
"Papah ke ladang tuh kerja, bukan untuk main. Masa mau kerja aja, Abang ikut sama Papah." balas Adi dengan memberi anaknya minum air putih. Karena terlihat ia begitu susah menelan makanannya yang cukup banyak di mulut kecilnya.
"Katanya mamah lagi sakit, nanti aku sama siapa coba?" jawab anak itu yang membuat Adi gemas. Karena ia selalu bisa menyangkal ucapannya.
"Terus siapa yang jagain mamah coba?" balas Adi mengikuti nada bicara Givan.
"Ya Papah ya. Aku mana bisa jagain mamah aku. Aku masih kecil lagi. Belum tumbuh besar macam Papah." sahut anak itu yang membuat Adi harus bungkam.
Lalu Adi melanjutkan suapan untuk anaknya, dengan ia yang juga tengah memakan sarapannya.
Setelah selesai sarapan, ayah dan anak itu bersiap untuk berangkat ke ladang. Hanya untuk mengecek kembali pengairan tetes yang masih dalam proses pengerjaan itu. Meski sudah diborong oleh pihak yang telah ditentukan, Adi tetap harus mengeceknya sendiri.
"Dek Dinda, Sayang." panggil Adi yang menghampiri istrinya. Adinda langsung memutar posisi tidurnya, untuk menghadap pada sumber suara.
"Apa Bang?" sahut Adinda dengan wajah yang pucat, dan mata yang terlihat begitu loyo.
"Beneran sakitnya? Abang mau ke ladang sebentar. Biar Givan Abang ajak." ungkap Adi yang mendapat anggukan kepala dari Adinda.
"Adek butuh sesuatu? Abang tak lama kok, cuma ngecek aja." tutur Adi yang mengharapkan istrinya bersuara.
"Iya sana kerja. Aku paling tak suka liat laki-laki yang hari-harinya di rumah terus. Meski udah kaya sekalipun." tukas Adinda dengan cetus. Adi sudah mendengar berulang kali ucapan Adinda yang seperti ini. Jadi ia sudah biasa saja menanggapinya. Karena memang ia pun merasa malu dengan tetangga, karena terlihat seolah-olah seperti pengangguran. Bila hanya diam di rumah saja.
"Maksud Abang, Adek tak apa Abang tinggal ke ladang? Adek kan lagi sakit." jelas Adi perlahan dan sehalus mungkin, agar istrinya tak terpancing emosi. Karena akhir-akhir ini, Adinda gampang marah hanya karena permasalahan sepele.
"Tak apa. Udah sana pergi!" seru Adinda yang langsung mendapat anggukan kepala dari Adi. Adi tak mengerti, kesalahan apa yang ia lakukan? Sampai-sampai istrinya begitu kesal padanya.
Lalu Adi dan Givan pergi ke luar rumah, setelah mengucapkan salam pamit pada Adinda.
~
Sekitar pukul sepuluh, lebih tiga puluh. Adi dan Givan sudah kembali ke rumah mereka. Adi menghela nafas dengan menggelengkan kepalanya, saat melihat istrinya masih tertidur pulas.
'Kenapa lagi dengannya? Tak macam biasanya tidur di waktu pagi macam ini.' gumam Adi pelan. Dan ia menuju dapur, untuk mengambil air minum.
Adi memberikan anaknya mainan, agar anaknya anteng di dalam rumah. Dan Adi memulai mengerjakan tugas istrinya yang terbengkalai itu. Mulai dari menyapu rumah, dan mencuci pakaian yang sudah dua hari ini tak dicuci. Karena ia belum sempat membeli mesin cuci, jadi ia mencucinya dengan tangan. Rencananya, ia akan membeli perabotan baru yang ia butuhkan, jika nanti rumah mereka sudah rampung dibangun.
Pukul dua belas siang, Adi selesai menjemur pakaian yang tadi ia cuci. Ia menggelengkan kepalanya melihat istrinya masih tertidur saja.
Perutnya lapar, tentu perut anaknya juga demikian. Melihat kelakuan Adinda yang tertidur saja dari pagi, membuat emosinya naik. Apa lagi jelas tak ada makanan yang tersedia untuk makan siangnya nanti.
"Ya ampun, Adinda." seru Adi yang berjalan menghampiri istrinya.
"Apa sih, Bang? Berisik aja!" sahut Adinda yang malah sewot. Bukannya ia mengerti atas kesalahan-kesalahan. Malah ia marah dengan Adi yang sengaja mengganggu tidurnya.
TBC.
Disarankan untuk membaca novel Sang Pemuda terlebih dahulu. Agar tak bingung dengan cerita ini.
Ayo dukung cerita author 😁
Dengan cara LIKE, VOTE, RATE ⭐⭐⭐⭐⭐, tap ❤️ FAVORIT juga. Dan berikan komentar terbaik kalian, agar author semakin semangat dalam berkarya 😁
Terima kasih 🙏
"Kenapa Adek tidur aja? Sakit parah kah?" tanya Adi yang menyentuh dahi istrinya. Namun ternyata Adinda tak panas. Ini membuat Adi tak habis pikir, dengan tingkah istrinya yang lalai dalam tugasnya.
"Aku pengen tidur, Bang. Aku tak sakit. Cuma memang ngantuk kali." sahut Adinda yang menarik tangan Adi, untuk merebahkan diri di sampingnya.
"Abang lapar, Dek! Ini udah jam makan siang." balas Adi yang menolak tawaran Adinda, yang mengajaknya berbaring bersamanya.
"Adek tak nyapu, tak nyuci, tak masak. Macam mana maunya? Adek lupa udah punya suami? Adek lupain tanggung jawab Adek sama anak suami!" ucap Adi dengan begitu tegas.
"Tinggal beli aja sana tuh. Ini uangnya." jawab Adinda yang memberikan Adi uang lima puluh ribuan dari dalam sakunya.
"Aku mau tidur bentar lagi aja." lanjutnya yang memutar tubuhnya tengkurap.
Otot-otot tangan Adi mengencang, amarahnya begitu memuncak gara-gara istrinya. Namun ia tak mungkin menuntaskan amarahnya pada anak istrinya itu. Meski penyebab amarahnya adalah karena istrinya.
Lalu ia mengambil uang yang istrinya berikan, dan pergi begitu saja meninggalkan Adinda yang melanjutkan tidurnya itu.
"Ayo, Bang. Ikut Papah. Makan di luar yuk." ajak Adi pada Givan yang tengah memakan berbagai macam jajanan, yang sengaja Adi stock sendiri.
"Di mana, Pah?" sahut Givan yang menyambut uluran tangan ayahnya.
"Jalan aja dulu, mana tau ada makanan yang menarik." balas Adi, lalu mereka pergi ke luar rumah dengan memakai motor Adi.
~
Satu jam kemudian, mereka sudah kembali ke rumah. Adi berjalan masuk, dan berniat meminta Adinda untuk mengajak tidur Givan. Karena ia hendak berangkat ke ladang kembali.
"Mana makanan buat aku?" tanya Adinda yang sudah terbangun, dengan piring dan sendok di tangannya.
"Abang tak beli buat Adek." jawab Adi ringan.
"Ajak Givan tidur gih. Abang mau ke ladang sebentar." lanjut Adi kemudian. Namun ia melihat bibir istrinya melengkung ke bawah. Dan mulai menangis tak jelas.
"Abang tega kali sama aku. Makan sendiri aja, kenyang sendiri aja! Abang tak pernah mikirin aku! Abang lupa ya punya istri di rumah? Abang jahat kali, sampai hati Abang tak kasih aku makan." ucap Adinda dengan tangisnya. Adi mengerutkan keningnya, ia tak paham dengan istrinya.
Kenapa hanya karena masalah makanan saja sampai menangis seperti ini? Ia tak mengerti dengan sikap Adinda akhir-akhir ini. Kenapa istrinya begitu menyebalkan? Kenapa istrinya begitu jadi pemalas sekarang? Dan kenapa istrinya begitu emosional? Dengan tingkat sensitifnya yang tiada tandingannya. Selalu memperbesar masalah kecil. Selalu menangis hanya karena hal kecil.
Seharusnya Adi yang berkata pada Adinda tentang masalah makanan. Yang Adinda lalai memasakkannya untuk mereka semua. Tapi malah seolah Adi yang bersalah di sini.
Adi menghela nafas panjang, lalu ia mendekati istrinya dan mendekapnya erat.
"Sebetulnya ada masalah apa? Sampai Abang seolah salah terus di mata Adek? Bahkan Adek lalai untuk ngerjain tugas hari ini. Dan Abang yang ngerjain semua, tapi tetap Abang yang seolah salah di sini." ungkap Adi berkata dengan lembut.
"Aku kesel kali sama Abang! Abang jelek betul! Abang hitam betul! Mana hidung Abang besar kali! Kenapa Abang berubah jadi jelek sekarang?" sahut Adinda di tengah tangisnya. Sebenarnya Adi ingin tertawa kencang, setiap kali istrinya berbicara sambil menangis. Karena terlihat begitu lucu menurutnya. Adinda seperti halnya anak kecil yang mengadu kepada orang tuanya.
"Mungkin peletnya habis, Dek. Makanya sekarang Abang nampak jelek di mata Adek." balas Adi kemudian. Adinda langsung melepaskan dekapan suaminya, dan menatap tajam padanya.
"Apa?" tanya Adi dengan terkekeh kecil.
"Abang pakek pelet? Pantas aja dulu kok nampak manis kali." tutur Adinda yang membuat Adi tertawa lepas.
"Cepet mau makan apa? Biar Abang belikan." ucap Adi setelah selesai dengan tawanya. Berbeda dengan Adinda yang menatap bingung pada suaminya. Pasalnya, ini tidak lucu menurutnya. Ia tak mengerti bahwa suaminya tadi hanya bercanda.
"Abang tak jelas betul! Tadi bilang pelet, terus tiba-tiba cepet mau makan apa." tukas Adinda, dengan menatap bingung ke arah suaminya.
"Memang Adek jelas? Adek ngerasa tak, kalau Adek akhir-akhir ini emosional, suka marah tak jelas dan sensitif betul. Tadi nangis masalah makanan. Ditanya ada masalah apa, malah jawab Abang jelek betul. Harusnya Adek tak mau dari awal, kalau memang Abang jelek. Buktinya Adek dulu nempel terus sama Abang. Tuh Abang ingetin, kalau Adek lupa." jelas Adi perlahan.
"Aku tak nempel terus sama Abang. Abang yang gatal sama aku!" ucap Adinda, dengan memanyunkan bibirnya.
"Jangan berisik aja tuh! Aku udah ngantuk! Aku mau bobo!" seru Givan yang sudah berbaring di atas sofa ruang keluarga.
Lalu Adi membawa istrinya ke ruangan lain, "Mau cerita? Apa mau ata nyan?" tanya Adi yang tersenyum penuh arti pada Adinda. Ata nyan, bisa diartikan untuk menyebutkan sesuatu yang tak jelas, seperti anu.
"Ihh…" seru Adinda dengan menghempaskan tangan suaminya yang tengah merangkulnya itu.
"Aku mau makan, Bang Adi Riyana bin almarhum Ali Hadiyana. Aku lapar!" lanjutnya dengan delikan tajam.
Adi tertawa geli, "Memang dari tadi belum makan?" tanya Adi yang mengikuti langkah istrinya yang menuju ke dapur.
"Belum! Abang dari pagi tak kasih aku makan." jawab Adinda dengan sewot. Lalu ia berjalan menuju dapur.
Adi tersenyum lebar melihat istrinya yang sedang membuat mie instan, 'Dasar betina!' gumam Adi pelan. Lalu ia pamit untuk pergi ke ladang lagi.
Adi berjalan dengan membawa beberapa perkakas keperluan berladang. Ia melihat anaknya tergeletak di atas sofa ruang keluarga. Sepertinya anaknya itu kelelahan, karena pagi tadi ikut berladang dengannya.
~
Malam harinya, Adi dan Adinda cekcok mulut lagi. Karena masalah Adi yang duduk di kursi makan yang biasa Adinda duduki.
"Dek, jangan sengaja bikin Abang cepat ke alam kubur Dek!" ucap Adi dengan duduk di sofa ruang tamu.
'Ya Allah, kaku betul rasanya ngadepin istri yang emosional macam ini.' gumam Adi meratapi nasibnya akhir-akhir ini.
"Apa? Jangan bilang Abang mau ganti istri!" seru Adinda yang menghampiri suaminya itu.
"Tak! Biar Abang mati perlahan aja, Dek." jawab Adi yang membuat Adinda menyomot mulut Adi, karena ia berkata yang tidak-tidak.
Adi langsung terhenyak kaget, "Apa lagi lah Adek ini? Salah apa lagi Abang, Dek?" ujar Adi yang tak mengerti dengan tindakan Adinda.
"Ngomong tuh jelek aja! Pengen betul aku jadi janda lagi!" tutur Adinda pada suaminya.
"Tak, Dek. Jangan sampai Adek jadi janda. Biar Abang yang cari janda yang lain aja, Dek." tukas Adi yang membuat ia mendapat gigitan di lengannya.
"AWWW! AMPUN DINDA!" seru Adi cukup keras.
"Ya Allah, sakit kali. Sampai hati Adek gigit suamimu sendiri. Abang diperlakukan macam suami tiri." ucap Adi dengan wajah begitu memelas.
"Abang ngeselin betul. Sana masuk kamar! Tidur sana! Orang tuh bikin kesel aja!" sahut Adinda dengan menunjuk kamar tidur yang biasa mereka tempati.
Adi mengangguk, dan berjalan lunglai menuju kamar yang sementara mereka tempati.
"Ada apa sih? Tiap hari ribut terus." tanya Ayu yang muncul dari balik pintu depan. Dan langsung berjalan masuk.
Adi menghentikan langkah kakinya, dan menoleh pada sumber suara itu.
"Itu Kak, Dek Dinda nyebelin betul. Adi salah terus tiap hari. Masalah duduk di kursinya aja, udah jadi masalah besar. Ada aja yang ia ributkan." sahut Adi yang berbalik melangkah lagi menuju ke ruang tamu.
"Emang Abang yang ngeselin betul. Mana jelek, hitam, sering bikin kesel pulak!" balas Adinda menyahutiku perkataan suaminya.
"Jangan-jangan kau tengah…
TBC.
Wah, dek Dinda kenapa nih?
Kok sikapnya beda betul.
Jangan-jangan dia….. 🤔
Ayo ikuti terus kisah mereka 😁
"Jangan-jangan kau tengah hamil?" terang Ayu yang membuat dua orang itu langsung memusatkan perhatiannya pada sumber suara.
"Tak mungkin, haid aku lancar. Dan tanggal empat kemarin aku baru haid lagi. Sekarang bahkan belum sampai tanggal dua puluh." jelas Adinda kemudian.
"Tiga hari dari masa subur, bisa aja kau udah hamil. Tapi nanti dihitungnya dari kau haid terakhir itu." sahut Ayu.
"Tak ada hamil tiga hari. Aku hamil Givan itu setelah telat haid satu minggu. Aku cek ternyata aku hamil." balas Adinda cepat.
"Ada lah, Dek. Kan Adek tak tau aja. Mungkin memang di rahim Adek udah ada embrionya." tukas Adi menyahuti.
"Udah coba Bang jangan ngaco aja. Sana masuk kamar! Tidur!" seru Adinda. Adi langsung berbalik badan dan melangkah masuk ke kamar. Ia tak ingin sedikit-sedikit berantem dengan istrinya. Ia lebih baik mengalah dan menurut saja.
~
Sudah satu minggu lamanya, Adinda masih bersikap tak sewajarnya menurut Adi. Adi setiap hari selalu salah menurut Adinda.
Pagi ini ia dikejutkan dengan seseorang yang ia kenal, meneleponnya dengan menangis tersedu-sedu.
Adi begitu syok, dan tak habis pikir dengan yang perempuan itu katakan lewat telepon.
Kenapa setelah tiga bulan lamanya, perempuan itu baru mengatakannya sekarang?
Kenapa tak saat sejak ia sudah telat satu bulan? Kalau sudah begini, bagaimana dengan nasib rumah tangganya dengan Adinda?
Sekalipun Adinda tengah bersikap aneh seperti ini. Rasa cinta Adi tak pernah berkurang sedikit pun. Malah ia ingin mengetahui alasan di balik sikap istrinya itu.
Adi pamit pada istrinya untuk pergi berladang.
"Kalau masih malas, masak yang cepet aja. Tumis apa gitu." ucap Adi dengan mencium kening, kedua pipi, dan terakhir bibir istrinya.
"Ya Bang. Siang nanti makan di rumah kan?" tanya Adinda kemudian.
"Iya dong. Macam biasa aja." jawab Adi, lalu ia pamit pada anaknya yang tengah asik bermain miniatur rel kereta api, beserta lokomotif dan juga gerbongnya itu.
Lalu Adi berjalan menuju ladangnya. Dan duduk di salah satu gubug, untuk tempat berteduh para buruh ladang. Bukannya bekerja, ia malah merogoh ponselnya dan menghubungi orang yang membuat pikirannya kacau di pagi ini.
"Hallo May?" ucap Adi begitu sambungan teleponnya terhubung.
"Ya Bang. Jadi gimana nasib anak aku?" sahut Maya yang membuat Adi memejamkan matanya. Merasakan sesuatu yang tak baik di dalam hatinya. Ia takut ini semua benar. Ia takut hal ini menyakiti istrinya.
"Kau yakin tak pernah berhubungan badan dengan laki-laki lain selain aku?" tanya Adi setelah sesaat ia terdiam.
"Ya Allah, Abang nuduh aku begitu? Demi Allah ini anak Abang. Aku tau pasti begini kejadiannya. Makanya dua bulan terakhir ini, aku coba minum pelancar haid. Tapi tetap anak ini tak gugur juga." ungkap Maya membuat Adi terkejut.
"Apa? Kau coba gugurin anak yang tak berdosa itu, May?" jawab Adi terdengar begitu tidak menyukai, akan tindakan yang Maya lakukan.
"Terus aku harus gimana, Bang? Aku bingung. Aku gak punya pilihan lain." sahut Maya yang sambil terisak.
"Abang ke sana. Kau jangan berbuat nekat lagi." balas Adi kemudian. Maya langsung mengiyakan dan mematikan sambungan teleponnya.
Adi terlihat begitu frustasi. Ia melamuni ini semua. Bagaimana dengan nasib pernikahannya dengan Adinda. Adi tak akan pernah menceraikan Adinda. Dan ia tak mau mengalami perceraian dalam rumah tangganya. Itu prinsip kehidupan Adi untuk pernikahannya.
'Macam mana ini? Aku tak mungkin cerita ke Dinda. Aku tau pasti Dinda langsung minta cerai.' gumam Adi dalam hati.
Adi memutuskan untuk pulang lagi ke rumahnya.
Setelah sampai di rumah. Ia langsung memeluk istrinya dari belakang. Ia memeluk erat wanita yang sangat ia cintai itu. Ia khawatir ia tak akan bisa mencium bau khas istrinya. Ia takut istrinya berubah menjadi membencinya.
"Kenapa, Bang? Semalam kan udah." ucap Adinda yang membuat pikiran Adi terkumpul kembali.
"Givan tidur nanti. Kita main lagi ya. Lepas itu Abang mau nengok umi sama ayah di kota J." sahut Adi dengan membalikkan tubuh istrinya.
"Kok mendadak? Kenapa dengan umi sama ayah? Mereka sakit lagi kah?" tanya Adinda yang memperhatikan wajah suaminya, yang kentara sekali begitu terlihat kacau.
"Ayah kan masih di rumah sakit. Abang hari ini ngerasa khawatir kali sama mereka. Boleh ya Dek? Abang minta ongkosnya sama buat pegangan juga." jawab Adi yang langsung diangguki oleh Adinda.
"Jangan terlalu lama ninggalin aku di sini ya? Atau aku bakal balik ke orang tua aku nanti." balas Adinda yang membuat Adi begitu tegang. Ia khawatir Adinda tahu lebih awal masalah ini. Dan ia benar-benar pergi dari kehidupannya.
"Jangan dong sayang. Nanti Abang bisa gila. Abang tak bisa hidup tanpa Adek." ujar Adi yang masih setia mendekap tubuh istrinya itu.
"Udahlah jangan drama. Abang pegang ATM yang biasa aja. Itu kan ada isinya. Kalau kurang nanti aku transfer lagi." tutur Adinda yang diangguki Adi.
"Abang main sama Givan dulu ya. Lepas Abang dapat sangu dari Adek nanti, Abang langsung ambil penerbangan, ya?" tukas Adi sambil menciumi istrinya. Adinda hanya mengangguk, lalu melanjutkan aktifitasnya kembali.
Givan terlihat begitu bahagia, tertawa lepas di atas punggung ayah sambungnya. Yang berpura-pura menjadi kuda itu.
Sampai beberapa saat, datanglah Ayu yang mengajak Givan untuk bermain bersama anaknya. Ke taman baru di dekat perkampungan mereka.
Givan langsung bersiap, dan izin pada ibunya.
"Aku mau ke kota J, Kak. Jangan ajak Givan terlalu lama." ucap Adi pada Ayu.
"Sama Dinda, Givan juga?" tanya Ayu dengan membantu Adi membereskan mainan Givan yang berserakan.
"Tak, aku sendiri. Mau nengokin ayah yang masih di rumah sakit. Nanti akak sering-sering ke sini ya, Kak. Soalnya Dinda sering pusing. Kayanya dia kurang darah." jawab Adi yang diangguki oleh Ayu.
Lalu Givan dibawa pergi oleh Ayu. Dengan Adi yang mengahampiri istrinya, yang tengah berkutat dengan perabotan kotornya.
"Tinggal dulu, nanti biar Abang yang lanjutin." ucap Adi tepat di telinga Adinda. Dengan posisinya yang memeluk istrinya dari belakang, dan tangan yang menjelajahi bukit milik Adinda.
Lalu Adinda mencuci tangannya. Dan setelah itu, ia digendong ala bridal style oleh suaminya.
"Mau yang lembut? Apa mau yang kasar?" tanya Adi begitu menurunkan tubuh istrinya di atas tempat tidur.
"Sedikasihnya aja. Aku tau, Abang pasti paham tentang aku." jawab Adinda dengan menarik tengkuk suaminya. Dan mulai menyatukan bibir mereka perlahan. Adi terlihat begitu menikmati ini semua. Sebenarnya ia begitu takut tak bisa merasakan ini semua.
Perlahan permainan di siang hari ini, membuat hawa di kamar itu semakin panas.
TBC.
Dalam rumah tangga, pasti ada aja ujiannya. Entah itu masalah dari diri kita sendiri. Atau masalah dari luar.
Semoga Adi bisa mengatasi permasalah rumah tangganya dengan bijak.
Aku yakin sekarang Adi pasti lagi kacau betul. Sebetulnya dia itu bukan lagi nafsu, dia cuma takut tak pernah ngerasain itu lagi bareng Dinda.
SUPPORT AUTHOR
DENGAN CARA LIKE, VOTE, RATE ⭐⭐⭐⭐⭐ (bagi yang belum saja), TAP ❤️ FAVORIT (bagi yang belum juga). DAN BERIKAN KOMENTAR TERBAIK YANG MEMBANGUN, (jangan dihujat authornya) 😋
TERIMA KASIH 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!