NovelToon NovelToon

When DANGEROUS MAN Falling Love

Part 1 - Feeling

Part ini sudah di Revisi, jadi mungkin pembaca lama akan mendapati sedikit perubahan namun tidak mengubah alur dalam skala besar. Terimakasih🙏

"Ya, sebentar lagi saya sampai." ucap seorang pria dengan ponsel di tangannya, lalu menutup panggilan yang baru saja ia terima. Perlahan tapi pasti, mobil yang ia naiki memelan dan akhirnya berhenti di tengah jalan.

"Maaf Sir, di depan sepertinya ada perkelahian antar sekolah. Apa lebih baik kita putar balik saja Sir?" tanya supir di depannya.

"Ck, menyusahkan." gerutu pria yang tadi menerima telepon dan duduk dengan tenang di kursi penumpang.

"Putar balik!" tambahnya dengan nada dingin.

"Baik Sir."

Pria tampan dengan tubuh gagah itu menatap ke arah gerombolan anak sekolahan yang saling baku hantam. Batu dan tongkat Baseball menjadi alat tawuran anak ingusan seperti mereka. Mata pria tersebut dengan tajam menangkap seorang gadis dengan rambut panjang yang tergerai, sedang melawan empat laki-laki sekaligus dengan tangan kosong.

Pria tersebut terperangah, sampai mobil yang ia naiki menjauh hingga gadis tersebut hilang dari pandangannya.

'Tidak! Sejak kapan aku tertarik pada gadis ingusan yang tidak ada apa-apanya.' batinnya. Dibandingkan teman kencannya selama ini, gadis itu hanyalah tikus jelek untuk seorang Davin Anthonic Raveno.

***

Vania masuk ke ruang kesehatan disusul oleh keempat temannya, Samuel, Vico, Liam, dan Abelia. Vania menyentuh lengan atasnya yang memar dan terasa kaku.

"Gila, beraninya main pake alat, Pecundang banget." kesal Vania saat mengingat ia terkena batu yang dilempar asal oleh musuhnya. Vania melempar bokongnya ke atas ranjang dan duduk di sana dengan wajah marah.

"Sudahlah yang penting sekolah kita menang lagi." jawab Abel ikut duduk di samping kanan Vania, lalu Samuel di samping kiri Vania.

"Bel, tolong obati wajahku!" ujar Liam yang sedang memegang memar di wajahnya. Abel dengan senang hati menuruti titah Liam dan menghampiri pria itu.

"Van, mau es buat memar kamu?" tanya Vico menatap Vania yang terus meringis.

"Yes, please." jawab Vania dengan senyum manisnya. Tak butuh waktu lama, Vico datang dengan kantong berisi es di dalamnya.

"Thank you Vic."

"No problem." balas Vico.

"Vic, bibir kamu luka." ujar Vania sambil menunjuk sudut bibir Vico yang terluka.

"Sudah biasa, santai!" jawab Vico dengan senyum mautnya yang begitu mempesona.

"Sam, kamu tidak apa-apa?" tanya Vania yang sadar kalau sejak tadi Sam hanya diam tanpa suara, sedangkan Abel masih sibuk dengan luka di wajah Liam.

"Si bang*at Boby berhasil memukulku dengan tongkat baseball sialannya." geram Sam dengan wajah menggeram marah.

"Tetapi dibalas Sam berkali-kali lipat. Si Boby, mukanya habis tidak berbentuk lagi." ujar Abel bergidik ngeri sampai tak sadar menekan kapas di tangannya ke luka Liam. "Awss." rintih Liam karena tekanan tangan Abel pada lukanya. Abel tersenyum bersalah sambil meminta maaf dengan cengiran imutnya.

"Lagian Sam dilawan." tambah Vico.

"Vania juga banyak menghabisi anak cowok sekolah seberang dengan tangan kosong. Pantesan Vania sama Sam jadi Relationship Goals banget." ucap Abel panjang lebar dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya.

Abelia, gadis itu terlalu baik dan ceria untuk ikut tawuran dan hal extrem lainnya seperti ini. Namun Abel sangat pandai dalam mengatur strategi. Selain itu, Abel bersikukuh ikut karena pria pujaannya bisa selalu dekat dengannya. Oleh sebab itu, Vania setuju-setuju saja jika Abel ikut dengan kelompok mereka.

"Aku tidak pacaran dengan Sammy Belbel." bantah Vania mendengar ucapan ngawur Abel.

"Saling melindungi, di mana ada Vania, di situ ada Sam. Punya nama panggilan kesayangan, apalagi coba kalau bukan kalian pacaran?" tanya Abel memasang ekspresi tak ingin kalah.

"Kami bersahabat Abel." ujar Vania dengan nada lembut, sangat bertolak belakang dengan sifatnya ketika sedang berkelahi.

"Benar Sam?" tanya Abel dengan wajah penasaran ke arah Sam yang sejak tadi terdiam. Sam hanya bergidik bahu dengan tatapan datarnya.

"Tuhkan Sam saja tidak bisa menjawab." ucap Abel dengan nada ngotot. Sejak tadi, Abel sudah tidak fokus mengobati Liam karena pembahasan hubungan antara Sam dan Vania.

"Sammy." Sam terkekeh pelan mendengar nada memelas Vania dan wajah gadis itu yang terlihat sangat manis saat cemberut. Sam suka saat Vania memanggilnya 'Sammy'. Suara Vania bagai alunan melodi indah di telinganya. Tangan Sam terulur mengacak rambut Vania dengan gemas.

"Tuhkan, Sam baiknya sama kamu aja Van." ujar Abel menatap Sam yang tersenyum manis ke arah Vania. Hanya pada Vania seorang.

"Kami sudah bersahabat sejak kecil, bagaimana tidak dekat, benarkan Sam?" dibalas anggukan oleh Samuel. Bibir Abel mengerucut kesal karena rencana untuk menyatukan kedua sahabatnya ini gagal lagi.

"Sam buka baju kamu! Biar aku kompres memarnya." titah Vania yang dengan cepat Sam lakukan.

Sam mengangkat baju sebelah kirinya dan memperlihatkan pinggangnya yang membiru bercampur keunguan. Vania turun dari ranjang, lalu menarik kursi yang lebih pendek dari ranjang dan mendudukinya di depan Sam.

Vania mengulurkan tangan kanannya yang menggenggam es menuju pinggang Sam. Sam menatap wajah serius Vania yang begitu menawan, sampai matanya menangkap lebam di tangan kiri Vania. Sam bersyukur, setidaknya lebam ini tidak separah memarnya. Tetapi Vania tetap saja seorang gadis, lebam ini pasti sakit untuknya.

Tangan Sam terulur menyentuh lengan atas kiri Vania dengan begitu lembut. Tangannya bergerak mengelus lebam kebiruan itu dengan gerakan seringan bulu.

"Shh.." Sam dengan jelas menangkap desisan keluar dari mulut Vania. Namun hanya sebentar, gadis itu kembali mengompres pinggangnya dengan serius.

"Vic, tolong kantong es lagi!" pinta Sam.

"Okey." tak butuh waktu lama Vico datang dengan kantong es di tangannya.

"Thanks."

"Welcome."

Sam mengompres lengan atas Vania dengan begitu lembut. Vania sempat terperangah dan melempar senyum lembut ke arah Sam yang juga tersenyum padanya.

"Makasih, Sammy."

"Sama-sama Zee."

***

Seorang pria tampan masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi kebesarannya dengan wajah gusar. Terlihat sebuah papan nama mewah di atas meja yang bertulis 'Davin Anthonic Raveno' sang pemilik meja tersebut.

Sejak ia datang ke kantor pagi tadi sampai selesai meeting siang ini, pikiran Davin melayang entah ke mana. Davin mengacak rambutnya frustasi. Pikirannya hanya dipenuhi oleh wajah gadis yang baru saja ia lihat di perjalanan.

"Ck, bagaimana aku mencarinya jika namanya saja aku tak tau, bahkan fotonya saja aku tidak ada." gerutu Davin.

Davin memijat pangkal hidungnya sambil menyenderkan kepalanya di kursi yang ia duduki. Davin membuang nafasnya kasar sambil memejamkan matanya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, menunjukkan sosok pria gagah dengan wajah dingin dan datar yang masuk ke dalam ruangan tersebut dengan santai.

Davin mengangkat wajahnya, lalu kembali duduk dengan posisi tegak. Pria yang berdiri dengan tatapan datar dan dingin itu adalah tangan kanan Davin yang bernama Kenzo.

Perlu kalian ketahui, Davin adalah seseorang berdarah dingin, begitu pula dengan Kenzo. Mereka berdua bahkan melebihi Psikopat saat menjalankan misinya. Tak ada kata ampun dan tak ada kata kalah dalam kamus mereka.

"Ada apa memangilku?" tanya Kenzo tanpa basa basi.

"Apa kau bisa mencarikan data seseorang untukku?" tanya Davin yang berhasil membuat alis Kenzo menaut bingung. Mencari informasi dan data seseorang adalah hal termudah yang bisa semua orang lakukan.

"Siapa yang harus aku cari?" tanya Kenzo.

"Aku tidak tau namanya siapa." ucap Davin sambil menghela nafas.

"Fotonya?" tanya Kenzo.

"Aku juga tidak memiliki satupun fotonya." Kenzo terdiam tak tau harus berbuat apa.

"Yang aku tau dia seorang gadis sekolahan." ucap Davin membayangkan bagaimana gadis yang baru ia lihat, dapat menarik perhatiannya sampai sebesar ini.

"Apa kau menyukainya?" tanya Kenzo terdengar polos, namun wajahnya tetap datar dan dingin tanpa ekspresi. Davin yang sedang membayangkan wajah gadis tersebut kembali tersadar, lalu melempar tatapan tajam pada Kenzo.

"Kau ingin kubunuh?" tanya Davin dengan tatapan tajamnya.

"Kalau kau bisa." jawab Kenzo dengan begitu jujur dengan wajahnya yang sama sekali tak memancarkan raut takut atas ucapan Davin.

"Keluarlah!"

"Mengenai Klan Kolosov yang dipimpin oleh Alberto, mereka akan membeli persenjataan dari kita." ucap Kenzo mengingat sesuatu yang harus ia beritahu pada Davin.

"Jika mereka bisa membayar mahal, aku akan terima." jawab Davin.

"Mereka bersedia membayar berapapun yang kau minta." tambah Kenzo.

"Baiklah, katakan barang butuh delapan hari untuk sampai disini." ucap Davin datar.

"Baik."

Bersambung...

Part 2 - Meet

Part ini sudah di Revisi, jadi mungkin pembaca lama akan mendapati sedikit perubahan namun tidak mengubah alur dalam skala besar. Terimakasih🙏

Seminggu berlalu setelah kejadian tawuran yang dimenangkan oleh sekolahnya, Vania menjalani harinya lebih banyak di luar bersama dengan sahabat-sahabatnya. Sejak dulu ia tidak pernah suka pulang cepat ke rumahnya.

Vania Iylazee Addison, duduk di bangku akhir sekolah menengah berumur 18 tahun. Vania adalah gadis yang tumbuh dengan jiwa kuat. Ibunya meninggal saat ia berumur 7 tahun, di saat ia masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Papanya bernama Jason Bruce Addison adalah seorang workaholic. Bahkan saat ibunya dimakamkan, Papanya tak dapat hadir karena meeting bersama klien pentingnya.

Keluarga Addison dapat dikatakan keluarga yang kaya raya. Perusahaannya masuk diurutan dua puluh besar perusahaan yang berpengaruh di dunia. Vania begitu membenci papanya. Papanya menikahi seorang janda beranak satu dan umur anaknya tak jauh darinya. Vania melihat keluarga itu bahagia, namun tanpa dirinya di sana.

Vania duduk santai di sebuah cafe bersama teman-temannya dengan segelas jus jeruk di hadapannya. Sam menatap Vania yang duduk di sampingnya dengan tatapan hangat. Sam tau Vania sedang memikirkan keluarganya ketika sedang terdiam seperti ini.

"Zee, kamu ingin menginap di rumahku hari ini? Mama merindukanmu. Nanti aku yang akan meminta ijin pada Papamu." ucap Sam. Vania mengangkat wajahnya dan tanpa ragu menganggukkan kepalanya menyetujui ajakan Sam.

"Baiklah, aku akan menelepon Papamu sekarang." ucap Sam sambil meraih ponselnya di atas meja.

Tiba-tiba ponsel Vania yang berada di atas meja berdering dengan nyaring. Vania menatap ID Caller di layar ponselnya, lalu membuang nafasnya kasar.

"Tidak perlu menelpon Sam, dia telah meneleponku sekarang." ucap Vania sambil mengangkat ponselnya menuju telinga.

"Ada apa?" tanya Vania dingin.

"Tidak, hari ini aku menginap di rumah Sammy."

"Baiklah, Sammy akan menemaniku."

Vania langsung menutup sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Sam menatap lekat Vania yang sedang berbicara dengan papanya, sampai akhirnya Vania menutup teleponnya dan melempar ponselnya kasar. Abel dibuat tersentak karena lemparan Vania yang berhasil membuatnya terkejut.

"Sekarang apa yang dia lakukan?" tanya Sam dengan serius. Vania membuang nafasnya kasar.

"Dia menyuruhku pulang dan menghadiri sebuah pesta Perusahaan malam ini, kurasa dia ingin menjodohkanku lagi." ucapan Vania berhasil membuat keempat temannya tersentak kaget.

"Bukannya baru seminggu yang lalu dia menyuruhmu untuk menemui koleganya yang tua bangka itu, Papamu benar-benar gila." ucap Liam dengan ekspresi tak menyangka. Bagaimana bisa seorang Ayah menjual putri kandungnya sendiri pada orang yang bahkan lebih tua dari umur Ayahnya.

"Dia memang gila." balas Vania dengan senyum miris.

"Kita pulang sekarang!" Sam berdiri sambil meraih jaketnya dan menggendong tas ranselnya, sedangkan Vania masih duduk menatap Sam bingung.

"Kenapa?" tanya Vania bingung.

"Tidak usah banyak bertanya!" Sam menarik tangan Vania untuk menyuruhnya berdiri. Sam meraih jaket Vania dan memasangkannya pada tubuh gadis itu dengan penuh perhatian. Lalu Sam meraih tas ransel gadis itu dan langsung menarik Vania dengan tangannya yang bebas untuk keluar dari cafe tersebut.

"Kami duluan." ucap Sam datar pada ketiga temannya yang lain. Abel, Liam, dan Vico hanya dapat diam melihat kejadian barusan sambil menatap kepergian dua anak manusia tersebut dengan wajah heran.

"Sam pasti marah karena cemburu." ujar Abel memicingkan matanya seperti detektif dan mengusap dagunya sambil memasang senyum miring.

****

Sam menghentikan motornya di depan gerbang rumah Vania. Vania turun dari motor Sam, lalu menyerahkan helm yang ia pakai pada pria itu.

"Pukul 7 aku jemput." ucap Sam sambil mengelus rambut panjang Vania yang sedikit berantakan.

"Jangan terlambat!"

"Promise." jawab Sam dengan senyum manisnya, lalu mencubit pipi Vania dengan gemas.

"Sammy sakit." gerutu Vania dengan wajah kesal sambil mengelus pipinya yang memerah.

"Sorry Zee. Aku pulang, bye."

"Hati-hati!"

"Siap." jawab Sam tegas, lalu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Vania menggeleng sambil tersenyum menatap motor Sam yang menghilang dengan cepat.

Vania melangkah masuk ke dalam rumahnya dan tak lupa menutup gerbangnya kembali.

***

Vania siap dengan gaun gold yang membentuk jelas lekuk tubuhnya. Vania yakin seribu persen kalau gaun ini pasti pilihan ibu tirinya yang bermuka dua itu. Kalian bertanya bagaimana Vania tau? Karena gaun terbuka ini benar-benar bukan stylenya. Vania lebih suka jaket jeans, celana jeans dan kaus oblong dari pada ini.

"Nona Vania, di depan sudah ada tuan Sam yang menunggu." Vania mendengar dengan jelas suara bibinya yang berbicara dari depan pintunya.

"Aku akan turun sebentar lagi Bi." teriak Vania sambil memakai high heels nya.

"Baik nona."

Sam menatap jam yang melingkar di tangannya, 7 menit lagi pukul 7 dan Vania belum turun juga.

Tak.. Tak.. Tak

Suara hentakan heels milik Vania terdengar jelas di telinga Sam, mengundangnya untuk melihat ke sumber suara, di mana Vania sedang menuruni satu-persatu anak tangga dengan begitu anggun.

Sam terdiam menatap gadis di depannya dengan mata berbinar. Sungguh, Vania begitu menawan malam ini. Namun Sam tetap tidak suka melihat betapa terbukanya gaun indah yang melapisi tubuh gadis itu, seakan memamerkan setiap lekuk badan Vania pada orang yang melihat.

Vania berhenti di depan Sam yang sedang menatapnya lekat. "Ada apa dengan gaunmu ini?" tanya Sam dengan wajah tak suka.

"Nenek sihir yang memilihnya. Aku diperintahkan untuk memakai gaun ini." jawab Vania dengan jujur sambil memasang raut wajah pasrah.

"Ck." Sam berdecak, lalu melepas jas yang ia pakai dan memasangkannya di tubuh Vania.

"Jangan dilepas selama pesta nanti!" titah Sam dengan tatapan tajamnya.

"Siap, yuk." jawab Vania dengan senyum manisnya, lalu menggandeng sebelah lengan Samuel.

***

Vania melangkah perlahan menuruni mobil disusul dengan Sam. Vania yang baru saja turun langsung melingkarkan tangannya di lengan Sam.

Sam menggandeng Vania, lalu memantapkan langkahnya untuk memasuki Hall Hotel tempat acara diselenggarakan. Gadis itu terlihat gugup saat seluruh mata mulai tertuju padanya, ditambah kilatan blitz kamera yang menerpa mereka semakin menambah kegelisahannya.

Ini pertama kalinya Vania menghadiri sebuah acara perusahaan yang sangat mewah seperti ini. Bahkan sampai ada para wartawan yang menunggu di depan hotel tersebut dengan serbuan kamera mereka. Sebelumnya, papanya selalu menyembunyikan keberadaannya dari khalayak dan media. Namun, Reana kakaknya, selalu ditampilkan dan menjadi kebanggaan papanya di depan umum. Vania hanya datang jika Papanya yang menyuruhnya.

Sam merasakan kegelisahan Vania karena genggaman gadis itu pada lengannya mengerat. Sam menoleh menatap mata gadis itu yang memancarkan kekhawatiran.

Sam menurunkan tangan Vania yang mengalung di lengannya, beralih menurunkan tangannya juga dan menggenggam tangan Vania erat.

Vania menoleh menatap Sam yang melempar senyum manisnya, seakan mengulurkan kekuatan padanya melalui genggamannya.

"Kamu harus ada saat nanti aku dikenalkan, Okey." bisik Vania mendekatkan wajahnya pada Sam agar pria itu mendengarnya, dikarenakan sekitar mereka sangat berisik oleh suara para wartawan yang melempar pertanyaan terus menerus.

"As you wish Zee." balas Sam dengan berbisik tepat di samping telinga Vania. Vania tersenyum, lalu menyelipkan jari-jemarinya di antara jari-jemari Sam dan menggenggamnya erat.

"Terimakasih Sammy." ucap Vania dengan senyum indahnya yang mampu membuat jantung Sam berdetak tak karuan saat itu juga. Sam hanya terdiam mencoba menetralkan jantungnya sambil melanjutkan langkahnya.

Di lain sisi, sepasang mata tajam sedari tadi menatap dingin ke arah dua anak manusia yang memasuki hall dengan begitu mesra. Matanya menyalang marah, genggamannya mengerat pada gelas Vodka yang berada di tangannya.

"Sir, acara sebentar lagi dimulai, anda harus membuka acara dengan kata sambutan." ucap sekretaris pribadinya yang datang menghampiri pria itu.

Tanpa menjawab, pria itu melangkahkan kakinya menuju panggung dan berdiri di atas sana dengan penuh karisma. Seketika seluruh wanita berbisik sambil menatap pria yang menaiki panggung tersebut dengan pandangan memukau.

Tak disangkal lagi ketampanan seorang Davin Anthonic Raveno. Sepertinya Tuhan begitu bahagia saat membentuk setiap lekuk pahatan wajah pria ini. Namun ketampanannya tak seiring dengan kelakuannya. Pria itu dikenal sangatlah dingin sebagai seorang pengusaha paling berpengaruh di Dunia.

Tapi tak banyak yang tau, Davin seribu kali lipat lebih kejam saat mengeksekusi korbannya. Nama Davin juga terkenal di dunia Underground karena kekejamannya. Apa yang dia inginkan pasti akan ia dapatkan. Apapun itu, gadis itu sekalipun, harus jatuh ke dalam genggamannya.

"Selamat malam, saya Davin Anthonic Raveno, selaku penyelenggara acara pembukaan cabang Perusahaan saya yang kedua ratus empat puluh tiga, dengan sambutan singkat ini, saya resmi membuka acara pada malam hari ini. Selamat Menikmati." Davin turun dengan riuh tepuk tangan dari seluruh tamu yang datang.

"Cabang perusahaan yang ke-243 bukankah itu gila Sam?" tanya Vania dengan wajah terkejut. Vania dan Sam sejak tadi sudah duduk di salah satu meja khusus dua orang.

"Ya dia pria gila yang kaya." jawab Sam sambil mengedikkan bahunya takjub.

"Apa dia sudah memiliki istri? Kurasa umurnya 28 atau 26. Dia masih sangat muda untuk bisa sekaya ini. Wah, Dia hebat." ucap Vania sambil menggeleng kagum dan matanya menatap pada pria yang sejak tadi sudah turun dari atas panggung.

"Kurasa belum, lihat dia kelihatan sangat suram." ucap Sam yang dibalas anggukan oleh Vania dan kekehannya karena mendengar lelucon Sam.

"Benar, bahkan dia tidak tersenyum sedikitpun saat berbicara tadi." ucap Vania.

"Zee, Papamu mendekat dari belakangmu." bisik Sam yang langsung menggenggam tangan Vania yang berada di atas meja.

"Huh." Vania membuang nafasnya kasar dan mencoba untuk bersikap setenang mungkin.

"Vania." panggil papanya. Vania menoleh dan menatap papanya santai.

"Ada apa?" tanya Vania.

"Ayo ikut Papa! Papa akan memperkenalkan keluarga kita pada seseorang." ucap papanya yang hanya dibalas dengan anggukan kecil.

"Ayo Sam!"

Vania melangkah beriringan dengan Sam yang merangkul pinggangnya dan berjalan menuju sebuah meja bundar di mana saudara dan ibu tirinya duduk.

Bersambung....

Part 3 - He's Mad

Part ini sudah di Revisi, jadi mungkin pembaca lama akan mendapati sedikit perubahan namun tidak mengubah alur dalam skala besar. Terimakasih🙏

Vania dan Sam duduk bersampingan di meja bundar besar tersebut. Mama dan saudari tirinya juga duduk dengan anggun sambil melempar senyum mereka kemanapun. Papanya sibuk memencarkan pandangannya mencari seseorang yang sejak tadi ia cari.

"Halo Mr. Addison." sapa seseorang yang tiba-tiba datang menghampiri mereka.

"Oh Halo Mr. Derrick." sapa Jason sambil mengamit tangan Derrick yang terulur ke arahnya.

"Perkenalkan Keluarga saya. Istri saya Rose dan putri sulung saya Reana dan putri bungsu saya Vania." ujar Jason.

Vania tersentak saat tangannya ditarik oleh Papanya dan menghadap pada pria yang terlihat begitu matang tersebut. Vania bisa menebak pria di depannya ini mungkin sudah menginjak kepala empat. Apa Papanya memperkenalkan ia dengan pria di depannya ini?

"Putrimu sangat cantik." puji orang bermarga Derrick tersebut sambil menatap ke arah Vania dengan wajah menggoda.

Vania mendengus sinis. "Perkenalkan Kekasihku, Samuel Kraven Johnston." ujar Vania sambil merangkul lengan Samuel dengan wajah menggemaskan.

Samuel tersenyum lembut pada Vania, lalu mengulurkan tangan pada pria tersebut dengan senyum di wajah tampannya. Pria tersebut mengetatkan bibir karena merasa direndahkan oleh Vania.

"Saya permisi." ujar pria tersebut, lalu pergi entah kemana. Papanya tampak memandang Vania dengan wajah marah, namun akhirnya kembali memencarkan mata mencari seseorang yang sejak tadi ia cari.

"Itu dia, jaga sikap kalian!" Jason tersentak, lalu menghampiri seorang pria dengan postur tinggi dan badannya yang gagah. Sedangkan Sam masih setia menggenggam tangan Vania.

"Mr. Raveno, senang bertemu anda lagi." ucap Jason dengan senyum ramah.

"Terimakasih Mr. Addison." balas orang yang disapa tersebut.

"Mari, saya perkenalkan dengan keluarga saya." yang dibalas anggukan oleh Davin.

Davin POV

Kuikuti langkah pria paruh baya di depanku ini menuju tempat keluarganya. Sampai mataku menangkap sosok gadis yang belakangan ini memenuhi pikiranku. Gadis itu duduk di samping seorang pria yang senantiasa menggenggam tangannya dan hal itu berhasil membuat emosi memenuhi diriku.

Jadi dia adalah anak dari Jason Addison.

Kulihat istri dan anaknya bangkit berdiri saat aku sampai di hadapan mereka. Aku tersenyum tipis, namun mataku fokus pada tangan pria itu yang menggenggam tangan mungil gadis tersebut dengan erat. Gadis di depanku ini adalah gadisku. Hanya MILIKKU, camkan itu!

"Kenalkan ini istriku Rose Addison, ini anak sulungku Reana Clarice Addison dan anak bungsuku Vania Iylazee Addison." ucap Jason memperkenalkan keluarganya.

"Saya Davin Anthonic Raveno." ucapku.

"Oh ya, jangan lupakan pria di sampingku, Namanya Samuel Kraven Johnston, dia kekasihku." ucap Vania menatap Samuel dengan tatapan penuh Cinta dan dibalas oleh Sam dengan kekehan kecilnya yang berhasil membuat emosiku semakin memuncak. Tanganku terkepal di sisi tubuhku dan gigiku merapat marah.

"Senang berkenalan denganmu Mr. Raveno." Aku ingat namanya. Dia si sulung Addison—Reana sedang memasang senyum genitnya padaku.

"Apa kau kedinginan Nona?" tanyaku saat melihat Vania yang memakai jas pria di sampingnya. Sejujurnya, aku tak suka melihat barang pria itu melekat pada tubuh gadisku.

"Tidak, Hanya saja...."

"Sudahlah Vania lepas saja jasnya! Cepat!" potong ibunya menatap Vania dengan tatapan tajam, lalu kembali tersenyum ke arahku. Dapat kulihat, Vania menatap Sam sebentar sambil melempar senyum manisnya.

Vania perlahan membuka kancing jas di depan perutnya dengan gerakan gemulai. Sial, bagaimana bisa hanya membuka kancing saja, pikiranku sudah melayang ke mana-mana. Dapat kupastikan jika tidak ada seorangpun di sini, aku akan langsung menerkamnya sampai habis.

Lalu gerakan membuka jas tersebut dari tubuhnya berhasil membuat aku meneguk ludahku kasar dan menahan gejolak tubuhku yang terbakar nafsu. Aku harus mandi air dingin setelah ini.

Bagaimana bisa di usianya yang terbilang muda, tubuhnya sudah terbentuk dengan begitu sempurna. Setiap lekuknya terisi dengan pas dan tidak ada yang berlebihan. Rasanya penglihatanku mengabur dan kepalaku pusing karena mabuk oleh gadis di depanku ini.

Shit, aku akan membakar gaun sialan itu.

Aku tambah terbakar, melihat tangan pria itu bersarang di punggung belakang Vania yang aku yakinkan kalau punggung gadis itu pasti terbuka lebar tanpa balutan benang sekalipun.

"Kau bisa memakainya lagi jika kau tak nyaman. Cepat pakai!" ucapku geram yang dibalas anggukan olehnya.

"Mari duduk Mr.Raveno!" ucap Jason dengan senyumnya dan hanya kubalas dengan anggukan kecil.

Setiap gerak gerik Vania dan pria itu tak luput dari penglihatanku. Mulai dari tangannya yang tak berhenti menggenggam tangan Vania sambil mengelusnya lembut. Sampai merapikan rambutnya dengan senyum menjijikkan dan mencuri kesempatan mengelus pipi mulus gadisku. Huh.... Aku benar-benar emosi melihat tingkah pria berengsek ini.

"Kamu mengantuk? Apa kita pulang sekarang saja? Aku tak ingin kamu kelelahan." ucap pria tersebut mengusap kepala Vania dengan lembut saat melihatnya menguap.

"Aku ingin pulang, ini sudah larut malam." jawab Vania dengan puppy eyesnya, yang membuat dia terlihat menggemaskan.

"Aku berjanji akan merebut Vania ke dalam pelukanku. Sial, aku bisa gila jika seperti ini terus menerus." batinku menjerit frustasi.

"Baiklah. Maaf Mr. Raveno dan Mr. Addison, kurasa kekasihku mengantuk dan besok kami masih harus bersekolah. Kami izin ingin pulang terlebih dahulu. Permisi." ucap pria itu, lalu menarik Vania dan menuntunnya lembut. Aku hanya dapat menatap kedua sejoli itu dengan tatapan datar, hingga keduanya keluar dari hall hotel ini.

****

Vania POV

Aku memasuki kelasku dengan langkah gontai dan wajah tak bersemangat. Huh... Aku lelah dan ingin tidur dengan pulas. Kulemparkan tasku kasar ke atas meja, lalu membaringkan kepalaku dengan santainya.

"Kamu kenapa?" tanya Abel yang menatapku bingung.

"Ngantuk." jawabku singkat.

"Hari ini sekolahnya Boby mau nyerang kita lagi. "Ucap Abel. Ya, aku tidak terkejut mendengarnya, karena sekolah mereka selalu saja tidak pernah menyerah untuk mengganggu sekolahku.

"Tinggal kita hadapi, selesai." jawabku tetap dengan mata terpejam.

"Oh iya bagaimana semalam? Kamu beneran dijodohin?" janyanya lagi.

"Aduh Belbel, aku mengantuk dan kamu masih saja bertanya. Aku tidak tau kelanjutan semalam bagaimana, yang penting aku sudah mengenalkan Sam sebagai pacar pura-puraku. Sudah? Sekarang biarkan aku tidur." jawabku dan kembali membaringkan kepalaku.

"Hehe.. Iya deh, nanti kalau ada guru aku bangunin ya?" tambahnya lagi yang hanya kubalas dengan deheman. Baru beberapa detik mataku tertutup, Abel kembali mengangkat suaranya.

"Van, Ms. Ladi datang." aku menggeram kesal, lalu mengangkat kepalaku dan melanjutkan pembelajaran dengan ogah-ogahan.

***

Selang tiga jam pembelajaran berlangsung hingga akhirnya bel istirahat berbunyi, aku bangkit berdiri bersama Abel menuju kantin untuk berkumpul bersama Sam dan yang lainnya. Oh iya, Sam, Liam, dan Vico, mereka bertiga satu kelas sedangkan aku dan Abel sekelas. Sehingga, kami memutuskan untuk berkumpul di kantin jika istirahat.

Aku menatap Sam, Vico, dan Liam sudah duduk di meja yang sering kali kami duduki, sambil bergurau melempar tawa. Sam yang pertama kali menyadari kehadiran kami, ia menoleh dan melempar senyumnya padaku. Aku melangkah pelan, lalu duduk di depan Sam sambil menidurkan kembali kepalaku di atas meja.

"Vania kenapa bel?" tanya Liam dengan wajah bingung.

"Katanya sih kecapean." jawab Abel.

"Pasti karena acara semalam." tambah Sam seiring usapan-usapan kecil yang kurasakan di atas kepalaku.

"Uhh... Imutnya." tambah Abel yang kuyakini pasti ia sedang memang wajah menggelikannya.

"Zee makan dulu, kamu pasti tidak sarapan lagikan? Maag kamu bisa kambuh kalau setiap pagi kamu menahan lapar sampai tiga jam." ucap Sam dengan nada kesalnya.

"Bel pesenin makanan kita seperti biasa, Liam temenin Abel!" tambahnya. Seiring tempat duduk yang bergeser menandakan kalau orang yang diperintahkan pasti sudah bergerak.

"Semalam gimana?" tanya Vico.

"Entahlah, Papanya memperkenalkan seluruh keluarganya pada Mr. Derrick dan Mr. Raveno, pria yang terkenal sangat kaya raya itu." jawab Sam masih terus mengusap kepalaku.

"Vania mau dijodohin sama pria yang mana?"

"Entahlah."

Brak

Tiba-tiba kurasakan meja yang kami duduki tersentak kuat, membuatku meringis terkejut sambil mengusap pipiku dan telingaku yang sedikit sakit. Dengan kesal aku mengangkat wajahku dan menatap ke arah pelaku yang melakukan ini.

Kutatap Sam yang berada di hadapanku melempar tatapan tajam ke arah kirinya.

Dengan cepat kutolehkan kepalaku ke arah tersebut dan mendapati kakak tiriku berdiri dengan tatapan tajamnya ke arahku.

"Untuk apa kau menggangguku?" tanyaku malas.

"Aku hanya ingin memperingatimu, jangan coba-coba menggoda Mr. Raveno karena kau benar-benar tidak pantas untuknya." ucap Rea dengan mata berkilat marah ke arahku.

"Ck... Benar-benar bodoh. Kau datang jauh-jauh ke sini hanya untuk ini? Membuang waktuku saja. Sudah selesaikan? Pergi sana!" aku menatapnya dengan tatapan mencemooh, lalu membuang tatapanku darinya.

"Camkan ucapanku!" kulihat Rea yang tetap memasang wajah marahnya tanpa tau malu, lalu beranjak meninggalkan tempat kami.

"Huh.... Aku butuh pelampiasan." ucapku sambil membuang nafasku kasar. Kulihat Abel dan Liam yang datang sambil membawa makan siang. hmm, aku akan menahannya sampai nanti.

Author POV

Vania turun dari motor Sam sambil menatap kerumunan anak sekolah lawannya dengan tatapan remeh. Sam berdiri di samping Vania, disusul ketiga teman lainnya. Ditambah para geng sekolah yang mereka bentuk.

Vania melangkah mendekati Boby sang ketua sekolah, sedangkan Sam hanya berdiri menatap apa yang akan Vania perbuat. Sebelumnya Vania dan Abel sudah mengganti rok pendek mereka dengan celana yang lebih nyaman digunakan saat bertarung.

"Hai sayang, lama tak bertemu." ucap Boby sambil menatap Vania yang berada di hadapannya.

"Kurasa kita baru bertemu minggu lalu, saat Sammy menghabisi wajahmu." ucap Vania sambil mencebikkan bibirnya mengejek.

"Sammy? Nama panggilannya buruk sekali." ujar Boby sambil tertawa sambil mengusap matanya.

"Itu panggilan kesayangan yang kubuat untuknya. Cobalah tertawa lagi, maka aku akan menghabisimu saat itu juga." ucap Vania menatap Boby dengan tatapan membunuhnya.

"Sayang, walaupun kau pandai dalam berkelahi, tetap saja kau ini adalah seorang perempuan. Aku tidak melakukan kekerasan pada seorang perempuan, terutama gadis cantik sepertimu." ucap Boby sambil mengulurkan tangannya untuk menggapai pipi Vania. Namun, dengan cepat Vania menangkap tangan Boby dan menghempaskan tubuh Boby ke jalan.

"Argh... Ke*arat, si*lan kau. Aku tak akan segan walaupun kau seorang gadis." ujar Boby sambil bangkit dengan raut wajahnya yang kesakitan.

"Ck, tak usah segan padaku karena aku yang akan membuatmu malu telah dihabisi oleh seorang perempuan." ucap Vania sedikit membungkuk meremehkan Boby yang terduduk di jalan.

"Ban*sat." Boby dengan cepat bangkit berdiri, lalu melayangkan tinju kanan nya ke arah wajah Vania. Vania mengelak dengan lihai, lalu menarik pundak Boby dan melayangkan lututnya kuat ke perut pria itu.

"Argh.."

Vania meraih kepala Boby, lalu melempar tepat wajah Boby ke lututnya. Boby meringis sambil memegangi hidungnya yang patah. Vania tersenyum miring menatap Boby yang terduduk sambil meringis kesakitan.

"Kalian semua masih mau bertarung melawan sekolah kami, setelah kami mengalahkan kalian berulang kali? Lihat ketua kalian saja kalah di tangan seorang gadis dan kalian masih tidak tau malu?" ujar Vania menatap antek-antek sekolah musuhnya yang menatap Vania geram.

"Harus berapa kali kami menghajar kalian sampai kalian bisa sadar, kalau kalian semua lemah. LE-MAH." tekan Vania di ujung kalimatnya dengan wajah berang.

Vania membuang nafasnya perlahan, lalu berbalik berjalan ke arah teman-temannya. Boby menatap punggung Vania dengan mata berkilat marah. Tanpa ragu ia meraih pisau lipat di saku celananya, lalu dengan cepat ia berlari sambil mengacungkan pisaunya ke arah Vania yang membelakanginya.

"ZEE DI BELAKANGMU...."

Vania menoleh ke belakang dan melihat Boby yang sudah sangat dekat di hadapannya dengan pisau yang mengacung dan tatapan membunuhnya.

"MATILAH GADIS SIALAN!!"

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!