NovelToon NovelToon

Pedang Naga Api

Prolog

“Patih Wijaya menghadap Gusti prabu!" Seorang pria tegap berjongkok menunduk.

“Bangunlah kakang patih, Apa gerangan yang membawa mu kemari pagi pagi sekali?” ujar seseorang yang duduk di kursi bercorak naga.

Suaranya lembut dan penuh wibawa sambil memandang Patih Wijaya dengan penuh tanda tanya. Dia adalah Arya Dwipa, raja dari kerajaan Malwageni, sebuah kerajaan kecil di Nusantara.

“Mohon ampun Gusti Prabu, ada keadaan mendesak yang harus hamba sampaikan kepada Gusti Prabu,” Wijaya masih belum beranjak dari posisinya.

Arya Dwipa terlihat mulai gelisah seakan bisa menebak kabar yang akan disampaikan oleh Patihnya tersebut.

“Apakah ini menyangkut ancaman kerajaan Majasari agar Malwageni tunduk pada mereka kakang Patih? Jika benar demikian bukankah sudah aku sampaikan pada mereka bahwa Arya Dwipa tidak sudi tunduk pada siapapun bahkan pada Majasari,” Arya Dwipa memukul meja, terlihat amarah di wajahnya.

“Mohon ampun Gusti Prabu, menurut teliksandi yang hamba sebar, prajurit kerajaan Majasari mulai bergerak menuju Malwageni. Mereka di dukung oleh pendekar dari Sekte Lembah Tengkorak dan Iblis Hitam”.

Arya Dwipa sedikit terkejut mendengar kabar dari Patihnya tersebut, setelah dapat menguasai rasa kagetnya dia mulai berpikir sejenak.

Tidak heran jika Arya Dwipa begitu kaget mendengar nama Lembah Tengkorak dan Iblis Hitam karena dua Sekte tersebut merupakan perguruan terbesar di Nusantara.

Selain terkenal kejam dan bengis sekte Lembah Tengkorak dan Iblis Hitam merupakan kumpulan pendekar pilih tanding di dunia persilatan. Bahkan tetua sekte Iblis Hitam dan Lembah Tengkorak merupakan salah satu dari sepuluh pendekar terhebat di tanah Nusantara.

“Kakang patih, aku tidak mengira akan secepat ini mereka bertindak, jika informasi teliksandimu akurat berapa lama mereka akan tiba di Malwageni?” Arya Dwipa berkata pelan dan penuh rasa khawatir.

“Menurut perkiraan, dalam dua hari mereka akan tiba di gerbang keraton Gusti Prabu,” Wijaya berbicara hati hati, dia paham raja nya sedang penuh amarah. “Hamba menunggu titah gusti prabu.”

Arya Dwipa memejamkan matanya, dia tidak bisa membayangkan akan seperti apa nasib kerajaan Malwageni kedepannya. Semua keputusannya hari ini akan berakibat terhadap seluruh rakyat Malwageni sehingga dia perlu memutuskan langkah selanjutnya dengan hati hati.

“Baiklah kakang, siapkan seluruh pasukan istana aku akan menyambut mereka di gerbang istana. Jika tanah Malwageni membutuhkan nyawaku maka dengan senang hati akan kuberikan untuk tanah kelahiranku” suara Arya Dwipa meninggi membuat Wijaya sedikit terkejut.

“tapi Gusti prabu,” Wijaya memberanikan diri memotong titah rajanya namun belum selesai dia berbicara, suara Arya Dwipa memotong kembali.

“Cukup kakang patih, aku sudah tau apa yang akan kau katakan, tapi keputusan ku sudah bulat. Aku adalah raja Malwageni, tidak akan kubiarkan tanah leluhurku dijajah dan dirampas oleh mereka. Aku tahu kakang patih menghawatirkan keselamatan ku,” Arya Dwipa memandang patihnya yang mematung dengan wajah pucat.

“Aku bisa menjaga diriku sendiri kakang,” tubuh Arya dwipa mengeluarkan aura biru.

Tubuh Wijaya mengeluarkan keringat dingin akibat tekanan aura yang dikeluarkan Arya Dwipa. Dia paham bahwa rajanya sakti mandraguna bahkan ilmu Arya Dwipa termasuk pilih tanding di tanah Nusantara tetapi kali ini musuh yang dihadapi benar benar berbeda.

Kerajaan Majasari merupakan kerajaan terbesar yang menguasai nusantara dengan pasukan yang jauh lebih banyak, selain itu Majasari di dukung oleh sekte terhebat dari aliran hitam. Akan sangat sulit menandingi mereka walau Arya Dwipa mengeluarkan seluruh kemampuannya.

Tetapi Wijaya tidak berani menjawab lagi, dia hanya menghela nafas panjang, “Hampa akan ikut Gusti Prabu bahkan kealam kematian sekalipun,” gumam Wijaya dalam hati.

Titah Arya Dwipa

“Apa sudah ada kabar dari Sekte Cakar emas kakang?” Arya Dwipa kembali teringat bahwa seminggu lalu dia memerintahkan Wijaya mengirim utusan untuk meminta bantuan kepada beberapa Sekte aliran putih yang mendukung kerajaan Malwageni.

Sekte Cakar emas adalah salah satu aliran putih yang mendukung kerajaan Malwageni. Walaupun tidak sebanding dengan kekuatan Lembah tengkorak dan Iblis hitam tapi Cakar emas cukup disegani di dunia persilatan.

“Ampun gusti prabu, utusan yang hamba kirim belum memberi kabar," balas Wijaya heran karena seharusnya utusan tersebut telah tiba kembali di Keraton.

“Harusnya mereka sudah memberi kabar, apa terjadi sesuatu di perjalanan?” gumam Arya Dwipa sedikit cemas.

“Gusti prabu jangan terlalu khawatir, hamba akan kirim kembali beberapa prajurit untuk mencari tau keberadaan mereka, harusnya dengan kemampuan mereka yang setara pendekar menengah tingkat empat mereka akan baik baik saja,” jawab Wijaya seolah tahu rajanya sedang khawatir.

Tapi dalam hati pun Wijaya gelisah karena utusan yang dia kirim adalah pendekar menengah tingkat empat, jika memang sesuatu terjadi pada mereka, maka yang menyerang mereka adalah pendekar pilih tanding.

Dalam dunia persilatan ilmu kanuragan dibagi dalam beberapa tahap dan tingkatan. Yang paling dasar adalah Pendekar rendah yang terbagi dalam delapan tingkat kemudian pendekar menengah, pendekar Ahli dan pendekar Dewa.

Pendekar dewa adalah pendekar tertinggi yang pilih tanding. Tetua Lembah tengkorak dan Iblis hitam salah satu yang telah mencapai tingkat pendekar Dewa.

"Bagaimana dengan Sekte Elang Putih, Harimau Buas dan Gunung Bambu?” Arya dwipa masih berharap bantuan dari para Sekte pendukung kerajaan Malwageni itu mengingat Lembah Tengkorak dan Iblis Hitam ada di belakang raja Majasari.

Wijaya menggeleng pelan, “Ampun gusti prabu, ketua elang putih telah berkirim kabar, beliau memohon maaf tidak ingin ikut campur, si tua dari Sekte harimau buas menarik diri dan Sekte Gunung bambu belum memberi jawaban."

Arya Dwipa memejamkan matanya, dia telah memperkirakan akan begini keadaannya. Semua Sekte menengah dunia persilatan baik aliran putih maupun alirah hitam akan berpikir seribu kali untuk berurusan dengan Lembah Tengkorak dan Iblis Hitam.

“Dengarkan titahku kakang patih, persiapkan pasukan Angin Selatan aku ingin kakang memimpin langsung misi ini. Bawa Ratu dan anakku menjauh dari Malwageni. Di selatan Hutan Kematian terdapat sebuah gunung berapi. Di puncak gunung tersebut terdapat sebuah Sekte Pedang Naga Api. Tetua Pedang naga api adalah kenalanku. Ku dengar mereka telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, tapi kuharap mereka masih mau membantuku."

Arya Dwipa mengambil batu giok di dalam bajunya dan memberikan kepada Wijaya.

“Tunjukan ini pada mereka dan katakan bahwa aku membutuhkan bantuan untuk melindungi keluargaku."

Wijaya terkejut bukan main dengan titah rajanya, dia tahu betul bahwa pasukan Angin Selatan adalah pasukan elit kerajaan Malwageni yang terdiri dari pendekar menengah tingkat delapan yang memiliki tugas melindungi Raja malwageni. Jika raja sudah memerintahkan pasukan Angin Selatan untuk meninggalkan kerajaan itu, artinya sudah tidak ada harapan bagi kerajaan malwageni untuk bertahan.

“Ampun beribu ampun Gusti Prabu, izinkan hamba tinggal dan menemani Gusti Prabu bertempur melawan pasukan Majasari. Hamba rela mati untuk mempertahankan tanah leluhur ini,” Wijaya bersujud di hadapan Arya dwipa memohon.

“Tidak kakang, keluargaku yang paling utama dan aku hanya percaya kepada kakang patih untuk menitipkan keselamatan mereka. Keturunanku harus membalaskan tindakan keji mereka pada Malwageni,” Arya Dwipa mengepalkan tangannya.

“Tapi gusti prabu,“ belum selesai Wijaya berbicara Arya Dwipa kembali memotong.

“Sudah kakang cukup! ini titah raja, apa kakang berniat melawan titahku?” bentak Arya dwipa.

Dengan wajah pucat Wijaya menggeleng pelan, “Hamba menerima titah Gusti Prabu”.

Arya Dwipa tersenyum lega melihat patih Wijaya, ada rasa bersalah dalam dirinya pada Wijaya yang sudah mengabdi selama puluhan tahun, tapi menurutnya ini keputusan yang tepat.

“Persiapkan semuanya, kita harus bergegas, aku akan menemui ratu dan anakku untuk menyampaikan hal ini."

Arya Dwipa bangkit dari duduknya dan melangkah pergi menuju ke paviliun Ratu.

“Daulat Gusti Prabu,” Wijaya bangkit dan meninggalkan ruangan dengan hati yang kacau.

Sekte Cakar Emas

Puluhan kilometer jauhnya dari kerajaan Malwageni, terjadi pertarungan yang tidak seimbang di sebuah sekte.

Bau darah merebak di setiap sudut padepokan, seorang pria paruh baya berteriak lantang.

“Terkutuk kau tua bangka! ada salah apa Sekte Cakar Emas pada Iblis Hitam?” tangan tetua Cakar Emas ki Sadana memegang perutnya yang sudah bersimbah darah.

Nafasnya terengah engah, jika bukan karena tenaga dalam miliknya, mungkin dia sudah lama tak sadarkan diri karna kehilangan banyak darah.

“Sejak kapan sekte Iblis Hitam butuh alasan untuk membunuh? kami akan membunuh siapapun yang kami inginkan,” ki Bongkel tertawa lantang, seluruh tubuhnya diselimuti aura membunuh yang sangat kuat.

Ki Bongkel adalah salah satu wakil tetua Sekte Iblis hitam yang memiliki tingkat Pendekar tinggi tingkat lima.

Tubuh ki Sadana bergetar hebat mendapat tekanan tenaga dalam dari ki Bongkel, dia sadar ilmunya jauh di bawah lawannya.

Dia menatap sekelilingnya, sektenya telah hancur di serang sekte Iblis Hitam. Semua muridnya dibantai tanpa tersisa oleh pasukan iblis hitam, mengetahui tidak akan bisa menang ki Sadana menutup matanya.

“Maaf Gusti Prabu, hamba tidak dapat membantu kerajaan Malwageni, hamba harap anda selamat."

Ki Sadana membuka matanya, dia mengalirkan sisa tenaga dalam ke tangan kanannya.

Dongkel tersenyum dingin, “Kau sudah putus asa ya tua bangka? baiklah hari ini akan kubuat sekte Cakar Emas hanya tinggal nama di dunia persilatan.”

Dongkel melesat dengan kecepatan tinggi ke arah ki Sadana.

“Cakar Emas Tingkat sepuluh : Cakar baja pheonix”, ki Sadana menyerang dengan sisa kekuatannya tetapi Dongkel dapat menangkis dengan mudah.

“Tarian Pedang Iblis Tingkat Dua : Iblis Pencabut Sukma,” dalam satu tarikan nafas pedang wakil tetua Sekte Iblis hitam sudah bersarang di tubuh ki Sadana.

Darah segar keluar dari mulut ki Sadana.

“Tamatlah riwayatmu tua bangka, terkuburlah bersama sekte mu,“ ucap Ki Dongkel sambil tertawa lantang.

Setelah menyarungkan pedangnya, ki Dongkel memanggil salah satu murid yang berada didekatnya.

“Kirimkan pesan pada Yang mulia raja, Sekte Cakar Emas sudah binasa," ucap Dongkel pelan.

“Baik tetua,“ jawab salah satu murid sekte.

***

Arya Dwipa terlihat memasuki paviliun ratu yang langsung disambut oleh ratu Sekar Pitaloka dengan hangat.

“Selamat datang yang mulia,” Sekar Pitaloka memberi hormat sambil menggendong bayi.

Arya Dwipa mengagguk pelan kemudian berkata “Ratuku, ada yang ingin aku bicarakan padamu”.

Arya Dwipa lalu duduk menghadap Sekar Pitaloka.

“Bibi tolong bawa pangeran jalan jalan di luar agar bisa menghirup udara segar,” Sekar Pitaloka memanggil pengasuh yang berada di luar.

Bayi tersebut bernama Sabrang Damar, yang merupakan putra mahkota kerajaan Malwageni. Umurnya masih delapan bulan dan merupakan penerus tahta Arya Dwipa kelak.

“Daulat gusti,” seorang perempuan paruh baya berjalan masuk dengan hati hati kemudian memberi hormat kepada Arya Dwipa dan Sekar Pitaloka sebelum menggendong pangeran Sabrang.

“Ratuku bagaimana perkembangan pangeran Sabrang?aku terlalu sibuk dengan urusan kerajaan sampai jarang mengunjungi pangeran."

“Yang mulia, pangeran pasti mengerti bahwa tugas raja sangat berat. Dia pasti bangga mengetahui ayahnya adalah raja yang hebat,” jawab Sekar Pitaloka, dia mencoba menghibur Arya dwipa.

Sekar menatap wajah Arya Dwipa yang penuh dengan beban, terutama setelah kedatangan utusan kerajaan majasari.

“Raja yang hebat ya?” Arya Dwipa menghela nafas panjang dan memejamkan matanya.

“Ratuku, mungkin kau sudah mengetahui bahwa kerajaan Majasari meminta kita tunduk pada kekuasaannya, dan aku tidak sudi untuk tunduk pada mereka," Arya Dwipa menatap wajah Sekar sebelum melanjutkan ucapannya, “Keadaan keraton saat ini sudah tidak aman, mereka sewaktu waktu akan datang untuk menyerang."

Sekar Pitaloka mengangguk sambil mendengarkan dengan serius, wajahnya mulai khawatir walau dia berusaha menutupinya.

“Aku ingin kau dan pangeran menjauh dari keraton demi keselamatan kalian.”

Arya Dwipa berkata dengan berat hati, ada rasa bersalah di wajahnya melihat permaisuri dan anaknya ikut menanggung beban Malwageni.

“Tapi yang mulia,” Sekar Pitaloka tidak dapat melanjutkan perkataanya, air mata menetes keluar dari kelopak matanya.

Hati kecilnya sebenarnya ingin ada di samping rajanya untuk menghadapi masalah ini, tetapi terlintas dipikirannya wajah lucu pangeran sabrang, bukan tindakan bijak membawa pangeran masuk kedalam bahaya.

Melihat ratunya dalam kebimbangan, Arya Dwipa memegang tangan Sekar Pitaloka lembut.

“Besok pagi, kakang patih bersama pasukan Angin Selatan akan mengantarmu dan pangeran Sabrang ke tempat yang aman, kau tidak usah khawatir karena ini hanya sementara,” Arya Dwipa mencoba menenangkan ratunya walaupun dia tau bahwa mungkin ini terakhir kalinya mereka bertemu.

Sekar Pitaloka hanya mengangguk pelan, seolah menyadari bahwa Arya Dwipa hanya menghiburnya agar tidak khawatir.

“Seletah semuanya aman aku akan mengirim utusan untuk menjemputmu kembali," ucap Arya Dwipa sambil memegang rambut wanita yang telah memberinya seorang anak itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!