...***...
Transylvania, Rumania
April 2017
"Ngh… ahh… shh… ahh…"
Napasnya menderu bersamaan dengan ritme geraknya, keringat mengucur deras membasahi kedua tubuh mereka.
Ia terus menggerakkan tubuhnya, membuat miliknya semakin dalam menerobos masuk pada inti tubuhnya.
Wanita itu mengalungkan tangannya di tengkuk pria di hadapannya. Setiap ******* terus terdengar menginterupsi seisi ruangan gelap yang kini hanya di tempati oleh mereka berdua.
Pria itu terus bergerak, kali ini mempercepat laju geraknya membuat ******* wanita itu semakin keras. Ia menurunkan sedikit tubuhnya, mendekatkan bibirnya dan melu**t bibir sensual wanita yang menjadi lawan mainnya. Semakin rakus penuh nafsu, tak lama ia melepaskan pagutannya. Memfokuskan diri, menjamah tubuh wanita itu. Mempercepat ritme geraknya, semakin cepat hingga pelepasannya tiba dan menumpahkan seluruh cairan putih itu dalam inti tubuh wanita itu.
Ia menahan posisinya sejenak sebelum akhirnya melepaskan diri darinya dan menjatuhkan dirinya tepat di samping wanita itu. Napasnya masih menderu, keringatnya lebih banyak berkeluaran membuat seluruh tubuhnya lengket.
"K-kau… hahh… adalah… lawan yang sepadan." Pria itu berucap lirih seraya berusaha mengatur napasnya, ia melirik sekilas pada wanita cantik yang tampak sama-sama berusaha mengatur napasnya.
Setelah berjam-jam, berbagai gaya, dan beberapa ronde. Akhirnya ia selesai, ia tidak kuat untuk bermain walaupun hanya satu ronde lagi saja. Energinya benar-benar sudah terkuras habis.
Pria itu tersenyum simpul memandangi wajah cantik wanita di sampingnya, ia merasa benar-benar beruntung bisa di pertemukan dengan wanita yang kini terbaring di sampingnya itu.
"Kau benar-benar kuat, tampan." Wanita itu mengusap pelan wajah pria di sampingnya seraya tersenyum.
"Ya… tentu saja. Kau puas?"
"Puas?" Wanita itu mengulang akhir kata yang di lontarkan pria di sampingnya. Ia beranjak dari posisinya, setengah duduk dengan tangannya yang mulai bergerak mengusap dada bidang pria itu.
Pria itu menatap wajahnya lekat, setiap sentuhan lembutnya selalu berhasil membuat desir di dadanya yang dalam sekejap membuat gairahnya kembali.
Wanita itu terus menggerakkan tangannya, turun mengusap perut sixpack-nya. Ia menggigit bibir bawahnya begitu mendapati benda itu kembali di lihatnya menegang.
"Bagaimana kalau satu kali lagi?" Wanita itu melirik ke arahnya.
"Aku… sudah lelah…" pria itu menelan saliva-nya susah payah, napasnya masih menderu, dan ia masih merasa lelah. Bahkan energinya belum pulih sepenuhnya, sialnya ia kini terangsang hanya karena sentuhan wanita itu.
Wanita itu bergerak naik, membuat dirinya berada tepat di atas tubuh pria itu. Ia mengusap dadanya lembut, menatap lekat pada sosok pria tampan yang kini menatapnya.
"Ayolah, aku tahu kau masih kuat…" tuturnya dengan suara yang berhasil membuat pria itu semakin tegang. Lagi-lagi ia menelan saliva-nya susah payah, tanpa aba-aba wanita itu kini bergerak memposisikan tubuhnya pada milik pria itu, dan dalam hitungan detik benda itu sudah masuk ke dalam inti tubuhnya.
Pria itu hanya diam seraya tersenyum simpul sebelum kemudian di rasanya wanita itu mulai bergerak naik turun dari posisinya, membuat kenikmatan yang benar-benar tak tertandingi itu kembali dapat ia rasakan.
Ia menatap wanita itu lekat, mereka tampak menikmati permainan yang entah sudah yang ke berapa kalinya itu. Tatapan pria itu mulai tampak sayu, kelopak matanya terus turun, mulai memburam membuat pandangannya terhadap si wanita itu kabur sampai kemudian ia mulai terpejam dan terkulai.
Wanita itu memperlambat gerakannya apalagi ketika menyadari lawannya mulai kehabisan energi. Ia terdiam, menarik napasnya panjang, merasakan seluruh energi itu tersedot masuk ke dalam tubuhnya.
Ia mengeluarkan smirk-nya. Setelah di rasanya seluruh energi itu masuk ke dalam dirinya, ia lantas bergerak melepaskan diri dari pria yang kini terkulai lemas tak berdaya dalam keadaan tak sadarkan diri.
Wanita itu bergerak turun dari atas tubuhnya, bangkit mengenakan seluruh pakaiannya kemudian bergerak pergi menuju pintu keluar. Ia melirik sekilas pria di atas ranjang.
"Mulțumesc pentru energia ta, chiar ești prada perfectă," gumamnya pelan setelah itu beranjak pergi meninggalkannya seorang diri, menutup pintu kamarnya rapat agar tidak ada orang yang masuk sebelum waktunya.
(Mulțumesc pentru energia ta, chiar ești prada perfectă/ Terimakasih untuk energimu, kau memang mangsa yang benar-benar sempurna—dalam bahasa Rumania)
...*...
Tbilisi, Georgia
Pria berjubah putih itu mempercepat langkah kakinya begitu mendapati yang diburunya itu semakin jauh melompat dari gedung yang satu ke gedung yang lain.
"Hahahaha, es sheni ertaderti unaria? Damich’ire! Upro sts’rapad!" Makhluk itu tertawa keras begitu mendapati tiga orang yang memburunya itu tampak kesulitan mengejarnya.
(Hahahaha, es sheni ertaderti unaria? Damich’ire! Upro sts’rapad!/ Hahahaha, hanya ini kemampuan kalian? Tangkap aku! Lebih cepat!—dalam bahasa Georgia)
Devi atau Daeva, begitulah orang-orang Georgia memanggil makhluk menakutkan bertubuh besar penuh bulu dengan mata satu itu. Tingginya sekitar dua sampai tiga kali manusia biasa, dengan badan besar penuh bulu, dan gigi taring runcing bagian bawah yang mencuat keluar dari mulutnya. Orang-orang Georgia percaya makhluk itu hanyalah makhluk mitologi yang banyak diragukan keberadaannya dan menurut kepercayaan mereka makhluk raksasa jahat itu hanya hidup di dunia bawah atau dipegunungan terpencil serta tidak pernah keluar untuk menampakkan diri, tapi beberapa waktu lalu makhluk itu muncul dan menyebabkan banyak teror menakutkan di kota.
"Lucky, ar khar iseti ighbliani, rogorts sheni sakheli. Hahaha!" Ia kembali tertawa sebelum kemudian melompat turun dari atas gedung dan terjun bebas di ketinggian beratus-ratus meter dari permukaan tanah.
(Lucky, ar khar iseti ighbliani, rogorts sheni sakheli. Hahaha!/ Lucky, kau tidak seberuntung namamu. Hahaha!)
Pria itu menghentikan langkah kakinya bersamaan dengan kedua rekannya begitu mendapati buruan mereka terjun bebas ke bawah sana.
"Aku tidak akan membiarkannya lolos begitu saja," gumam pria berjubah putih dengan lambang berwarna biru di punggungnya dalam bahasa Rumania. Satu-satunya wanita di antara mereka lantas menoleh bersamaan dengan pria lain disampingnya.
"Kau punya rencana?" Tanya wanita yang mengenakan jubah serupa tapi dengan warna lambang merah muda dengan bentuk yang berbeda.
"Aku tidak pernah bergerak tanpa rencana," pria itu menarik panah yang dibawanya menodongkan benda itu tepat ke arah targetnya yang terus terjun ke bawah sana. Dengan menggunakan kemampuan tembak jitunya ia mengunci targetnya, dan dalam satu kali tarikan pelatuk di busur panahnya, anak panahnya melesat tepat mengenai sasaran.
"Gotcha!" Pria yang termuda dengan jubah berlambang hijau dan bentuk yang berbeda pula, di sampingnya kegirangan begitu ia berhasil memanahnya.
"Tarik dia naik!" Kata si lambang biru sembari menyodorkan panah di tangannya pada si hijau.
"Apa rencana mu?" Tanya si merah muda bingung.
"Kalian angkat dia naik, dan akan ku persiapkan jebakan untuknya! Tunggu aba-aba dariku, setelah itu lemparkan dia ke arah jebakan yang aku persiapkan." Si biru menjelaskan.
"Baiklah," sahut si hijau yang kemudian menarik makhluk bernama Devi itu untuk naik dengan bantuan si merah muda.
Si biru bergerak perlahan menuju sisi lain gedung, berdiri cukup jauh memberikan ruang di tengah-tengah gedung. Ia berdiri tegap, memejamkan kedua matanya seraya mulutnya komat-kamit membaca sebuah mantra.
"Vis terra, vento, aqua, et igni. Da mihi potestatem signandi spiritus maligni, et mitte ad locum."
Cahaya perlahan muncul bersinar mengikuti gerak tangannya, sebuah lambang muncul di lantai yang dipijaknya. Semakin besar bersamaan dengan gerak jemari tangannya, sampai hampir memenuhi seluruh bagian lantai di sana.
Ia mengunci segel yang telah dipersiapkannya, bersamaan dengan itu ia membuka kedua matanya menatap kedua rekannya di sana.
"Sekarang!" Ujarnya mengintruksikan pada kedua rekannya.
Mereka menoleh, mengangguk bersamaan dan menariknya cepat.
"Dalam hitungan ketiga lemparkan dia sekuat tenaga," gumam si hijau pada si merah muda.
"Ng." Si merah muda mengangguk mantap.
Dengan bekerja sama keduanya menarik dan melemparkan sekuat tenaga Devi yang menjadi buruan mereka itu. Makhluk itu berteriak saat tubuhnya terus naik sampai kemudian melayang di udara, ia berusaha memberontak tapi gagal sampai kemudian tubuhnya mendarat kasar tepat di tengah-tengah lantai roof top, mendarat mulus di segel yang telah di siapkan si biru.
"Argh!!!" Devi menggeliat berusaha membebaskan diri, tapi si biru telah siap untuk mengirimnya ke tempat yang seharusnya.
"A terra, a vento, ab aqua, et ab igni. Permittente deo. Praecipio tibi ut redeas quo tu es. Ex terra rursus in terra, ex vento rursus in vento, ex aqua rursus in aqua, et ex igni rursus in igni."
Dalam satu kali gerakan tangannya, seketika tali bermunculan mengikat tubuhnya. Devi menggeliat, memberontak dan terus menjerit minta untuk di lepaskan.
"Argh!!! Lepaskan aku! Kalian tidak tahu telah berurusan dengan siapa, tunggu sampai aku bisa membebaskan diri dari sini. Aku akan mengirimkan kalian ke neraka!" Pekik Devi dalam bahasa Georgia.
"Bermimpilah selagi kau bisa." Si merah muda menyahutnya dalam bahasa Georgia.
"Terkutuklah kalian!" Devi terus memberontak tapi terus gagal, perlahan sosoknya mulai lenyap di antara cahaya segel yang menyelimutinya hingga makhluk itu benar-benar hilang dari pandangan mereka bertiga.
Ketiganya menghela napas lega begitu makhluk itu lenyap dari pandangan mereka.
"Tenanglah kau di alam sana," gumam si biru seraya memanjatkan sebuah doa.
"Tugas kita akhirnya selesai." Si merah muda berucap seraya menghampiri si biru.
"Ya, dan kita bisa kembali," kata si hijau.
"Tapi sebelum itu kita harus memberitahu pada mereka kalau kita sudah berhasil mengirimkan Devi ke tempat yang seharusnya." Si biru berbalik bersiap untuk melompat ke gedung di seberang agar bisa kembali.
Lucky Wayland, itu namanya. Pria berparas tampan dengan tubuh tinggi, kulit putih, mata indah, dan tatapan yang senantiasa tajam itu merupakan seorang exorcist asal Transylvania yang terkenal akan kemampuannya dalam mengusir makhluk-makhluk dan roh jahat yang mengganggu umat manusia ke tempat yang seharusnya. Namanya sudah banyak termasyur hingga ke seluruh penjuru negeri, di Transylvania ia merupakan exorcist berelemen air yang melambangkan ketenangan. Biru menjadi lambang dari elemennya.
Lucky memiliki kepribadian yang tenang, penuh persiapan yang matang, dan dewasa. Di antara kedua rekannya ia adalah yang paling tua sekaligus pemimpin dari timnya yang terdiri dari dua anggota lainnya.
"Dia benar-benar ingin bermain-main dengan kita. Bayangkan saja, kita jauh-jauh datang ke Savannah untuk menangkapnya tapi dia malah menyeret kita sampai di Tbilisi. Benar-benar menyebalkan," gerutu si merah muda seraya terus bergerak mengikuti Lucky dan si hijau.
Jane Cortez, satu-satunya wanita di tim yang di pimpin oleh Lucky. Sosoknya cantik penuh pesona dan kharisma, baik hati, sangat bersemangat dan sedikit tomboi menjadi ciri khasnya. Angin adalah elemennya, dan merah muda merupakan warna dari elemen yang di milikinya. Sebagai exorcist, Jane adalah wanita yang penuh perhatian, pintar, dan aktif. Layaknya angin, ia adalah wanita yang cinta akan kebebasan.
"Tapi biarpun begitu kita bisa menangkapnya 'kan?" Si hijau melirik ke arahnya.
Peter Kane, exorcist ketiga dan yang paling muda diantara mereka. Mencintai kedamaian dan sosok yang pekerja keras. Walaupun menjadi yang termuda tidak menghalanginya untuk bisa setara dengan kedua rekannya yang lain. Peter adalah orang yang cukup ambisius, tapi di sisi lain ia adalah orang yang setia kawan dan pelindung bagi yang lainnya. Tanah atau bumi menjadi elemennya, alam bebas adalah sahabatnya dan hijau adalah warna utamanya.
"Kau benar, setidaknya itu membuatku merasa lega," tutur Jane.
Lucky menghentikan geraknya begitu mereka tiba di jalanan di bawah gedung tempat semula mereka berada.
"Ini sudah begitu malam, lebih baik kita cari penginapan untuk bermalam. Atau mungkin kita bisa pergi ke hotel dan semacamnya, setelah itu kita tunggu besok pagi baru melanjutkan perjalanan kita kembali ke Savannah," tuturnya pada kedua rekannya.
"Ide bagus. Aku juga sudah sangat lelah," kata Peter.
"Aku ingin menikmati waktu memanjakan diri di bathtub dengan air hangat untuk melepaskan penatku," ujar Jane.
"Kalau begitu ayo pergi. Sepulang dari Savannah baru kita pulang ke Transylvania, sudah terlalu lama kita mengurus masalah disini."
"Benar. Bahkan sudah hampir sebulan kita mengurus berbagai kasus di Georgia padahal di Transylvania juga urusan kita masih banyak," sahutnya.
Mereka bertiga lantas beranjak pergi mencari hotel atau penginapan untuk mereka bermalam hari ini.
...*...
BRUKKK!
Peter merebahkan tubuhnya tepat di ranjang empuk di sebuah penginapan yang akan menjadi tempat peristirahatan mereka semalaman ini. Kedua matanya menatap langit-langit kamarnya.
"Hari yang benar-benar panjang," gumamnya pelan.
"Akan lebih baik kalau sebelum merebahkan diri di sana kau pergi untuk membersihkan diri lebih dulu," kata Lucky yang kurang suka dengan kebiasaan si yang termuda.
Peter mendongakkan sedikit kepalanya. "Aku hanya ingin istirahat sebentar, memangnya kau tidak lelah? Begitu kau tiba, kau langsung membersihkan diri?"
"Tentu saja aku lelah, maka dari itu aku segera membersihkan diri agar bisa secepatnya beristirahat."
"Omong-omong, kita akan langsung pulang besok?" Peter bangun dari posisinya. "Bisakah kita bersenang-senang dulu di sini? Kita bisa berlibur sejenak, mungkin sekitar satu Minggu lagi. Bagaimana?"
"Tidak, kita harus pulang."
...***...
...***...
Savannah, Georgia
Pagi tiba, dan seperti rencana mereka semalam. Mereka akan pergi ke Savannah lebih dulu sebelum akhirnya pulang kembali ke Transylvania. Mereka hendak memberitahu kalau tugas mereka di Georgia telah selesai dan mereka akan pulang kembali ke Transylvania.
"Kalau begitu kami permisi." Lucky beranjak bangun bersamaan dengan Jane dan Peter.
"Sekali lagi saya mewakili seluruh masyarakat di sini ingin mengucapkan terima kasih karena telah bersedia datang dan menangkap semua makhluk jahat yang telah meneror seluruh Savannah. Berkat kalian, kami bisa kembali menjalani kehidupan dengan tenang." Pria paruh baya itu tersenyum simpul.
"Itu sudah menjadi tugas kami untuk mengirim kembali para makhluk jahat itu ke tempat yang seharusnya." Jane menyahut.
"Benar. Jadi tidak usah sungkan untuk meminta bantuan kami lagi, kalau ada apa-apa segera hubungi kami," ujar Peter.
"Baik."
"Baiklah kami pamit."
"Hati-hati di jalan. Semoga tuhan melindungi kalian hingga tempat tujuan."
Lucky, Jane, dan Peter lantas beranjak pergi dari sana. Bersiap untuk pulang kembali ke Transylvania.
"Sepertinya aku akan merindukan tempat ini," gumam Jane.
"Bagaimana tidak? Kita sudah cukup nyaman di sini walaupun hanya tinggal selama satu bulan tapi ini cukup membuat kita nyaman."
"Hal yang akan membuatku rindu dengan Savannah adalah gaya langit-langit teras rumah mereka yang sangat unik."
"Oh kau benar. Tapi kira-kira kenapa mereka memakai warna biru samar sebagai langit-langit teras mereka ya?" Peter menaikkan sebelah alisnya penasaran.
"Teras rumah di Savannah dengan warna langit-langit biru samar bukan tanpa sebab atau karena nilai estetikanya. Tapi berdasarkan kepercayaan yang diambil dari cerita tradisional kuno, penduduk yang tinggal di wilayah Selatan meyakini warna biru samar di langit-langit teras sebagai penangkal setan. Suku Gullah, keturunan Afrika yang diperbudak di wilayah Georgia dan South Carolina percaya bahwa warna biru samar dapat mengelabui makhluk halus yang ingin berbuat jahat terhadap penghuni rumah. Mereka akan mengira itu bukan rumah, melainkan air atau langit. Alasan lain mengapa banyak orang terus menggunakan warna langit-langit ini di teras adalah sebagai wujud perpanjangan sifat." Jelas Lucky.
Jane dan Peter menatapnya ternganga, penjelasan yang benar-benar tidak terduga dari Lucky.
"Bagaimana kau bisa tahu sebanyak itu?" Peter mengerutkan keningnya.
"Aku hanya tahu saja."
"Oh…" Peter mengangguk-angguk.
"Pantas saja setiap makhluk yang mengganggu penduduk Savannah kebanyakan beraksi dan mencari mangsanya dari luar, bahkan tidak ada catatan kalau makhluk itu menyerang orang yang tinggal di rumah," gumam Jane.
...*...
Academiei de exorciști
Transylvania, Rumania
Lucky, Jane, dan Peter berdiri di depan sebuah gedung besar yang menjadi tempat mereka bernaung. Academiei de exorciști, setelah hampir sebulan lamanya mereka menyelesaikan tugas di Savannah, Georgia akhirnya mereka bisa kembali ke tempat mereka berasal.
"Akhirnya aku bisa melihat bangunan tua ini lagi," gumam Jane seraya tersenyum simpul.
"Aku ingin segera pergi ke kamar asramaku dan beristirahat." Peter tampak bersemangat
"Sebelum itu, kita harus menemui pak ketua untuk melaporkan bahwa tugas kita di Georgia telah selesai." Lucky berjalan meninggalkan Jane dan Peter.
"Oh benar." Peter membenarkan seraya melangkah bersama dengan Jane mengikuti arah Lucky pergi.
Mereka berjalan memasuki area akademi, kedatangan mereka dalam seketika membuat fokus semua orang yang berada di sekitar akademi beralih pada mereka.
"Huh? Senior!" Seseorang berteriak membuat fokus Lucky dan yang lainnya beralih ke arah datangnya suara dan mendapati seorang pemuda yang kini berlari menghampiri mereka. Raut wajahnya tampak sangat gembira, tiba di hadapan Lucky, pemuda itu spontan memeluknya. "Akhirnya kau pulang," tuturnya seraya tersenyum senang.
Detik berikutnya ia melerai pelukannya dan menatap Lucky yang diam terpaku seraya menatapnya.
Daris Horace, itu namanya. Exorcist tingkat dua dari akademi elemen air, merupakan junior Lucky yang amat dekat dengannya. Orangnya baik hati, periang, tapi di sisi lain ia memiliki sisi bijaksana yang tidak di miliki oleh siswa tingkat dua yang lain.
Di Academiei de exorciști ini setiap siswa di bagi menjadi masing-masing lima kelas akademi dengan lima tingkat. Walaupun merupakan tempat lahirnya para exorcist, tapi para tetua membangun tempat ini lebih seperti sebuah sekolah sihir. Hanya saja bedanya di akademi ini lebih memfokuskan para muridnya dalam bidang kemampuan mengusir dan mengirim para roh jahat yang mengganggu umat manusia untuk kembali ke alam yang seharusnya.
Ada lima akademi yang di bagi menjadi akademi air, udara, tanah, api, dan petir. Masing-masing akademi memiliki keistimewaan masing-masing, seperti contohnya akademi air yang unggul dengan siswanya yang memiliki sifat bijaksana dan tenang seperti air, akademi udara yang selalu penuh akan semangat dan kebebasan layaknya udara, akademi tanah yang lekat dengan jiwa pelindung dan kesetiaan serta selalu menjadi pegangan bagi akademi lain layaknya tanah dan alam yang selalu menjadi pijakan serta tempat bergantung semua makhluk hidup, akademi api yang penuh ambisi dan memiliki emosi yang meledak-ledak layaknya kobaran api, dan yang terakhir akademi petir yang selalu bergerak cepat dan senantiasa berusaha menjadi yang lebih unggul di bandingkan akademi lain layaknya petir yang selalu bergerak secepat cahaya.
Daris bergantian memeluk Jane dan Peter sebagai sambutan.
"Bagaimana perjalanan kalian? Apakah menyenangkan atau sebaliknya?" Tanyanya antusias. Pada dasarnya Daris memang selalu seperti ini, senantiasa antusias dan penasaran akan perjalanan mereka bertiga. Walaupun dia adalah junior tingkat dua tapi dia cukup dekat dengan ketiganya.
"Oh ayolah, kami baru saja tiba. Biarkan kami istirahat dulu setelah itu baru kau tanya," tutur Jane.
"Hehe maaf, kalian pasti lelah. Biar aku ambilkan tas kalian." Daris meraih tas yang di pegang Jane dan Peter. "Milikmu juga senior," ujarnya seraya melirik tas yang di bawa Lucky.
"Tidak perlu, aku bisa membawanya sendiri." Tolak Lucky.
"Tapi…"
"Oh ya, apakah pak ketua ada di ruangannya?"
"Pak ketua? Ada, akhir-akhir ini beliau jarang terlihat tapi beliau ada di ruangannya dan tidak pernah keluar."
"Benarkah? Kenapa?" Jane mengerutkan keningnya.
"Entahlah aku tidak yakin, tapi sepertinya beliau seperti itu karena kasus yang terjadi beberapa Minggu ke belakang ini."
"Kasus apa?"
"Kalian pasti tidak tahu 'kan? Ada kasus aneh yang terjadi di penjuru Transylvania. Banyak orang yang tiba-tiba saja mati dalam keadaan telanjang dan sebagian besar dari mereka meninggal yang diduga akibat kelelahan."
"Benarkah?" Peter menautkan alisnya.
"Ya, dan korbannya kurang lebih ada sekitar tiga puluh orang. Oh, kalau tidak salah tadi pagi aku melihat di berita kalau ada satu korban lagi yang di temukan dalam keadaan tak bernyawa seperti korban-korban sebelumnya. Jadi bisa di simpulkan kalau korbannya ada tiga puluh satu."
"Korbannya perempuan atau laki-laki?" Tanya Jane.
"Laki-laki dan perempuan. Tapi sejauh ini kasus korban perempuan yang lebih banyak di temukan, dalam sehari ada sekitar empat sampai lima korban yang di temukan sedangkan untuk kasus laki-laki biasanya hanya satu sampai dua orang dalam satu hari."
"Tapi kenapa pak ketua mengkhawatirkan mengenai hal ini? Apa hubungannya?" Lucky mengerutkan keningnya.
"Beberapa waktu lalu buku ramalan tiba-tiba saja bersinar dan dalam buku itu tertulis bahwa apa yang selama ini menyerang secara halus mulai bergerak secara terang-terangan."
...*...
"Penemuan mayat seorang pria yang di temukan di sebuah kamar hotel tadi pagi masih dalam penyelidikan polisi, mayat di temukan dalam keadaan tanpa busana dan terbaring di atas ranjang tidurnya. Mayat ini di temukan oleh salah satu cleaning servis hotel yang hendak membersihkan kamarnya, untuk dugaan sementara korban meninggal karena kelelahan. Tapi sampai saat ini masih belum di ketahui secara pasti apa yang menyebabkan korban kelelahan sampai akhirnya meninggal."
PIP—
Abel mematikan televisi yang menampilkan berita penemuan mayat tadi pagi. Ia memijat pelipisnya pelan seraya menundukkan kepalanya.
"Perasaanku mengatakan semua ini ada hubungannya dengan ramalan itu," gumamnya pelan.
KRIEEETTTTT…
Pintu masuk terbuka membuat fokus pria paruh baya itu beralih. Daris datang bersama dengan Lucky, Jane, dan Peter.
"Pak ketua, lihat siapa yang baru saja tiba." Daris tampak bersemangat, berjalan penuh percaya diri memasuki ruangan tersebut.
"Lucky, Jane, Peter." Abel merekahkan senyumannya begitu mendapati wajah ketiga anak murid kebanggannya itu melangkah masuk ke dalam ruangannya. Abel berjalan menghampiri ketiganya memeluk mereka bergantian. "Kalian sudah kembali?"
"Ya, seperti yang anda lihat." Jane menjawab.
"Oh, ayo duduk. Daris, bisakah kau minta asistenku untuk membawakan kami minuman?" Abel beralih pandang.
"Baik, kalau begitu aku permisi." Daris beranjak pergi dari sana meninggalkan mereka berempat.
"Kapan kalian tiba? Bagaimana Savannah? Apakah ada kesulitan selama menjalankan misi ini?" Tanya Abel runtut begitu mereka berempat telah duduk di sofa yang sama.
"Kami baru saja tiba," ucap Lucky.
"Ya, dan Savannah benar-benar tempat yang sangat menarik. Selama kami di sana kami belajar banyak hal, benar 'kan?" Jane melirik Lucky dan Peter bergantian. Lucky hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Benar. Di tambah lagi misinya juga tidak terlalu sulit karena mungkin kami sudah terbiasa untuk bekerja sama dan sudah terbiasa untuk menangkap mereka, tapi kadang masalahnya datang secara beruntun. Yang membuat kami kewalahan, hanya makhluk terakhir yang membuat kami terseret hingga ke Tbilisi," tutur Peter.
"Wah, tampaknya sungguh perjalanan yang panjang," kata Abel yang hanya diangguki ketiganya, tidak lama kemudian asisten Abel tiba dengan empat gelas minuman di tangannya yang kemudian ia taruh di atas meja.
"Omong-omong, kami sudah mendengar semua penjelasan kasusnya dari Daris mengenai apa yang terjadi di sini selama kami tidak ada," jelas Lucky. Abel tertegun, bergegas ia menaruh gelas di tangannya ke atas meja.
"B-benarkah?" Ia terbata.
"Ya. Dan kalau boleh tahu, apa yang sebenarnya menjadi kekhawatiran anda? Apakah anda tahu sesuatu mengenai hal ini?" Jane menaruh gelasnya ke atas meja. Abel bungkam seribu bahasa, ia tampak bingung apakah harus menjelaskan yang menjadi ke khawatirannya atau tidak pada mereka.
"Beritahu kami, mungkin saja kami bisa membantu anda." Peter angkat suara.
"Benar apa yang di katakan Peter." Lucky dan Jane setuju. Abel tak menjawab, ia malah bangkit dari duduknya mengambil sesuatu dari dalam laci meja di ruang kerjanya itu dan membawa sebuah buku tua yang tidak lain menjelaskan mengenai berbagai makhluk yang hidup di dunia.
"Sebenarnya sampai saat ini aku masih berusaha berpikir dan berharap kalau yang terjadi di Transylvania saat ini tidak ada hubungannya dengan bangsa mereka." Abel menaruh buku dalam genggamannya ke atas meja menampakkan sesosok makhluk yang selama ini tak luput dari prasangkanya.
Lucky, Jane dan Peter memandangi lembar buku tersebut dan membaca keterangan yang terdapat di sana.
...*...
Gelap, hanya ada kobaran api dimana-mana yang menjadi alternatif satu-satunya pencahayaan di sekeliling tempat itu.
Perlahan setitik cahaya muncul dari kegelapan, cahayanya semakin lama semakin besar hingga menampakkan sosok wanita yang kini melangkah dengan gemulai menghampiri gerbang masuk.
Ia menghentikan langkahnya begitu atensinya di sita oleh titik cahaya lain yang di lihatnya. Cahaya itu semakin besar hingga begitu tiba di hadapannya sosok seorang pria muncul tepat di hadapannya. Wanita itu tersenyum simpul, melipat kedua tangannya di depan dada seraya memandangi pria itu dari atas sampai bawah.
"Wah, tidak di sangka kita akan bertemu di sini hari ini," ujarnya.
"Aku juga tidak menyangka kalau kita akan menjadi tamu penting dalam pertemuan hari ini." Pria itu tersenyum simpul beradu pandang dengan lawan bicaranya.
"Karena banyak energi yang telah aku serap, hari ini aku benar-benar semangat untuk menghadiri pertemuan ini. Bagaimana denganmu?"
"Energi yang aku miliki bahkan lebih banyak daripada energimu," ujarnya menyombongkan diri.
"Jangan sombong, karena bagaimanapun semua ide ini berasal dariku."
"Ya, tapi kau terlalu lambat sampai-sampai kau hanya mendapatkan beberapa inti energi saja."
"Haha… aku tidak bersikap lamban, aku hanya bersikap waspada. Karena bagaimanapun kalau terlalu sembrono sepertimu, pergerakan kita akan lebih cepat di sadari oleh yang lain. Terbukti 'kan, kita bahkan hanya bisa bertahan selama satu bulan menjalankan semua ini. Setelah ini aku yakin, raja pasti akan memberikan kita hukuman yang ujung-ujungnya membuat kita memutuskan untuk memberontak dan pergi dari dunia ini."
"Bukankah sejak awal kita sudah tahu resikonya? Lalu untuk apa kita takut? Lebih baik sekarang kita masuk, dan mari kita lihat apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh sang raja dan kita dengarkan apa alasan beliau meminta kita semua datang dan berkumpul di sini."
"Aku setuju. Dan tampaknya kita datang paling akhir, semuanya sepertinya sudah berada di dalam."
"Ya, sepertinya begitu."
Wanita itu dikenal akan sebutan Succubus, sedangkan prianya di kenal dengan sebutan Incubus atau lawan jenis dari sosok Succubus. Sang iblis pencinta energi, menyerap energi manusia lewat hasrat dan gairah mereka. Menyerang lewat mimpi, merayu mereka untuk melakukan hubungan seksual, kemudian mengambil energi mereka untuk bertahan hidup hingga korban mereka kelelahan atau meninggal.
Tapi kali ini, mereka bosan dengan cara kuno hingga memutuskan menyerang secara langsung.
...***...
...****************...
"R-rei?" William bergumam seraya menatap Rei yang berdiri di ambang pintu bersama dengan Elvina yang tengah melepaskan sepatu high heel nya.
"Ah kau sudah pulang?" Tutur Elvina seraya melirik sekilas pada adiknya itu. William berjalan menghampiri Rei yang tengah berdiri dengan raut wajah bingung.
"Rei? Kau, kau Rei kan?" William menatap Rei dengan raut wajah bahagia, sudah lama ia tidak melihat wajah sepupu yang sangat akrab dengan nya itu.
Rei terdiam mencoba mengingat wajah William tetapi usahanya tidak membuahkan hasil, ia tidak dapat meningat sedikit pun tentangnya.
"Astaga! Aku benar-benar tidak bermimpi kan?" William memeluknya mencoba memastikan bahwa itu bukan halusinasi nya. Saat William menyentuhnya, Rei kembali merasakan setrum kecil yang menyetrum tubuhnya.
"Aku tidak menyangka, ternyata kau masih hidup! Kami sangat mencemaskan mu! Selama ini darimana saja kau? Dan kenapa kau menghilang lama sekali tanpa kabar?" Kata William. Rei masih terdiam mencoba mencerna kejadian yang ia alami itu, ia bingung harus bagaimana pasalnya tidak sedikit pun tentang William yang ia ingat.
"K-kau siapa?" Lagi-lagi hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutnya. William spontan terkejut, ia melerai pelukannya kemudian menatapnya.
"K-kau tidak ingat aku?" Tanya William, Rei hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Ini aku William, sepupumu! Apakah kau sudah melupakan ku?"
"Aku tidak ingat apa-apa tentangmu."
"Apa? Aneh, apakah kau amnesia?" Tanya William.
"Will, ada yang harus ku jelaskan padamu! Ayo kita bicara di dalam!" Ucap Elvina segera.
"Sebentar kak, apakah dia benar-benar Rei?"
"Nanti ku jelaskan! Ayo kita ke dalam dulu," Elvina menggiring William masuk ke dalam rumah. "Rei, ayo!" Tutur Elvina ketika menyadari Rei hanya berdiri di sana.
"Ah, ya. Sebentar," Rei bergegas melepaskan sepatu yang ia kenakan kemudian menaruhnya di rak sepatu yang ada. "Oh ya, kau bisa pakai sandal yang biru itu!" Elvina menunjuk ke arah rak sepatu, di sana terdapat sandal berwarna biru. Rei memakainya, dan ukurannya benar-benar pas di kakinya.
"Ikut aku!" Elvina berjalan di depan dengan di ikuti oleh Rei dari arah belakang, sepanjang jalan menuju ruang keluarga. Mata Rei tidak berhenti berkelana, menyapu pandangan di sekitarnya. Ada banyak hal yang dapat ia perhatikan di rumah yang di tempati Elvina itu, rumah bergaya ala korea yang sangat nyaman dan rapi.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya William tanpa basa-basi begitu mereka tiba di ruang keluarga, laki-laki itu tengah duduk di salah satu sofa dengan matanya menatap ke arah kakaknya.
"Rei kau tunggu sebentar disini, aku akan siapkan makanan dan minuman untuk makan malam kita!" Kata Elvina tak menghiraukan adiknya yang sejak tadi penasaran dengan apa yang akan di katakan oleh kakaknya itu.
"Baiklah," Rei duduk di sana.
"Will, ikut aku! Bantu aku menyiapkan makan malam!"
"Tapi kau bilang ada yang ingin kau katakan. Jadi apa?"
"Akan ku jelaskan nanti! Ayo!" Elvina menarik tangan adiknya itu dan membawanya menuju dapur, sementara Rei duduk di sana. Sementara menunggu, Rei memandangi setiap foto yang terpajang di sana. Salah satu dari foto-foto yang terpajang disana ada dirinya bersama dengan Elvina dan William.
"Jadi benar? Mereka mengenalku? Jika tidak mana mungkin aku ada dalam foto ini" Rei membatin, tangannya meraih bingkai foto itu dan memandang nya untuk memastikan sekali lagi bahwa orang yang ada dalam foto itu adalah dirinya.
...****************...
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku? Kenapa harus disini?" Tanya William heran dengan tingkah kakaknya itu.
"Sssttt!! Jangan terlalu keras nanti Rei bisa dengar pembicaraan kita!" Tutur Elvina meminta William untuk memelankan suaranya. "sekarang bantu aku dulu menyiapkan meja makan, dan kita taruh dulu makanannya pada piring. Akan ku jelaskan sambil bekerja!"
"Baiklah," William berjalan menghampiri rak piring untuk membawa piring, sementara itu Elvina menaruh tasnya di atas meja bersamaan dengan kantong plastik besar berisi makanan yang sempat ia beli bersama Rei sebelum mereka tiba di rumah.
"Jadi?" William sudah tidak sabar.
"Baiklah begini, aku harap kau mengerti akan keadaannya. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin tapi sepertinya memang benar Rei amnesia, karena dia juga tidak tahu siapa aku atau siapa dirinya. Yang ia tahu hanyalah nama dan usianya saja."
"Benarkah?"
"Ya, aku juga heran mengapa bisa sampai seperti itu. Di tambah lagi bukan hanya ingatannya saja yang tidak dia ingat, aku merasa bahwa Rei agak berubah! Sejak awal aku bertemu dengannya sikapnya aneh."
"Ya, kau benar. Aku juga merasa begitu, selain itu penampilan Rei yang sekarang terlihat agak berbeda dari sebelum dia hilang. Rei terlihat agak lebih rapi, menurut ku agak tidak cocok. Rei lebih baik terlihat seperti yang dulu, berpakaian agak berantakan dia lebih terlihat keren seperti itu!"
"Aish kau ini! Justru menurutku lebih baik penampilan yang sekarang, dia jadi lebih terlihat dewasa! Tidak seperti berandalan!" Elvina tidak setuju dengan ucapan William.
"Oh ya. Ngomong-ngomong ada baiknya jika kita sebagai sepupu yang sangat akrab dengannya untuk membantu dia bisa mengingat masa lalu nya, aku kasihan jika dia terus tidak ingat masa lalu seperti ini. Aku khawatir dia merasa kurang nyaman dengan kita!" Tutur Elvina.
"Oke aku setuju. Tapi bagaimana caranya kita membantu dia untuk memulihkan ingatannya yang hilang?"
"Itu mudah, kita bisa coba dari hal-hal kecil seperti membicarakan dan menceritakan semua kenangan saat-saat kita bersama padanya. Dengan begitu aku yakin perlahan ingatannya akan kembali!"
"Ooh"
"Ya sudah cepat selesai kan! Rei pasti sudah sangat lapar."
"Iya-iya. Lagipula aku juga lapar, sejak pulang sekolah tadi aku belum makan apa-apa!"
"Ya sudah!" Elvina dan William kembali memfokuskan diri untuk menyelesaikan menyiapkan makan malam mereka dan meja untuk mereka makan bersama.
...****************...
Selesai makan malam bersama, kini mereka bertiga tengah berada di halaman belakang rumah. Di sana terdapat kolam berenang yang cukup luas. Rei dan William duduk di sana, di bibir kolam dengan kedua kaki mereka di masukkan ke dalam kolam berisi air, sementara itu Elvina kini tengah duduk di kursi di teras.
Elvina tengah berkutat dengan beberapa pekerjaan nya yang harus ia selesaikan. Gara-gara bosnya yang menyebalkan itu, Elvina harus memulai semuanya kembali dari awal. Menyusun ulang angka demi angka dan merapikan laporan keuangan yang ia buat.
"Untung saja aku masih mengingat semua isi dari laporan yang ku buang di tempat sampah itu, jika tidak mungkin aku harus mengulang nya. Benar-benar mengulangnya dari awal!" Gumam Elvina.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!