"Ren, pulanglah! Mama kamu sakit keras, dia menyebut nama kamu berulang-ulang." Suara Bapaknya di telepon membuat rapat yang saat itu dipimpin Reno harus tertunda.
***
Bagi seorang Reno Premadi, Ibunya adalah segalanya. Dia akan rela melakukan apapun demi sang ibu. Lalu sekarang dia mendengar ibunya sakit keras, maka tak ada hal yang lebih penting saat itu juga selain kesehatan ibunya.
"Batalkan semua janji dan juga rapat yang harus aku hadiri. Aku harus pulang menemui Ibu," ucap Reno dengan nada tegas kepada asistennya Doni.
"Baik, Pak. Apa perlu saya antar?" tanya Doni.
Reno meraih jasnya, "Aku pergi sendiri. Tolong urus perusahaan dengan baik selama aku tidak di sini."
Doni mengangguk. Reno dan Doni sebenarnya usia mereka tidak terpaut jauh. Mereka juga adalah dua sahabat yang dekat sejak masih kuliah.
"Hati-hati, bro." Doni mengingatkan Reno agar hati-hati. Kali ini dia berbicara sebagai seorang sahabat, bukan sebagai asisten Reno.
Reno adalah pria asal Makassar, dia merantau ke Jakarta dan merintis sebuah usaha yang mengantarkan dia ke puncak karirnya. Sudah lama sejak dia ada di Jakarta, beberapa tahun terakhir dia tak pernah pulang lagi. Selama ini dia berkomunikasi dengan orangtuanya hanya melalui sambungan telepon dan video call.
Mendengar ibunya sakit, dia seakan merasa bersalah karena sudah beberapa tahun tidak pernah pulang. Doni sudah mengatur kepulangannya, termasuk membelikan tiket dan perjalanannya kembali pulang ke kampung halaman.
Suara dari pengeras suara di Bandara Internasional Soekarno Hatta, membuat lamunannya buyar. Panggilan untuk para penumpang pesawat Garuda tujuan Makassar yang juga merupakan pesawat yang akan ditumpanginya menuju Makassar.
Reno segera mengemasi bawaannya yang hanya berupa tas ransel itu. Lalu melangkah menuju lorong pemberangkatan menuju pesawat.
Sesaat dia akan masuk ke dalam pesawat, ponselnya berdering. Reno meraih telepon genggamnya dan melihat siapa penelepon itu. Wajahnya berubah setelah melihat nama di layar ponselnya. Dengan cepat dia menggeser tombol hijau ke atas dan memindahkan ponsel itu ke telinganya.
"Sayang, malam ini kita jadi makan malam kan?" ucap seorang perempuan di seberang sana dengan nada manja.
Seketika raut wajah Reno mengkerut. Dia lupa kalau dia belum memberitahu pacarnya Elsa. Mengenai kepulangannya yang tiba-tiba ke Makassar.
"Sa, dengerin aku ya. Aku minta maaf malam ini aku tidak bisa menemani kamu makan malam. Ada hal yang harus aku urus mendadak dan itu tidak bisa ditunda lagi. Tapi aku janji, aku akan memberikan waktu aku selama kamu mau setelah aku balik lagi ke Jakarta. Oke? Aku harus keluar kota." Reno menjelaskan panjang lebar.
"Kamu mau ke mana?"
"Aku harus pergi. Tunggu aku di Jakarta."
Klik.
Tanpa menunggu jawaban dari Elsa, Reno sudah mematikan ponselnya karena dia sudah berada di dalam kabin pesawat. Dia menghela napas panjang dan mengusap wajahnya. Di sampingnya seorang Ibu dengan usia kurang lebih di atas lima puluh tahunan, sedang menggenggam erat tangan suami yang juga duduk berdampingan dengannya. Pemandangan tersebut mengingatkan dirinya pada sang Ibu dan juga Bapaknya.
Pemberitahuan bahwa pesawat sebentar lagi akan terbang, membuat Reno memperbaiki posisi duduknya dan memasang headset di telinganya. Dia memejamkan mata dan mungkin akan memilih tidur saja.
Pesawat mengudara, kota Jakarta terlihat sangat kecil. Sampai akhirnya pesawat benar-benar berada di ketinggian yang hanya terlihat awan saja.
Kepulangan Reno kali ini, merupakan titik balik dari hidup yang dia jalani di Jakarta.
(Bersambung)
Setelah perjalanan udara selama kurang lebih dua jam. Akhirnya Reno tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Pesawat mendarat dengan mulus, lalu pengeras suara dari pesawat itu mengucapkan terimakasih karena sudah terbang bersama Garuda Indonesia.
Reno menuruni tangga pesawat, menghirup dalam-dalam udara kota kelahirannya yang sudah lama dia tak kunjungi lagi. Nampak sangat banyak perbedaan, apalagi di lingkungan Bandara yang tentu saja pembangunannya semakin maju. Bahkan Bandara terlihat semakin bersolek dengan banyak sekali perubahan di setiap sisinya.
"Reno sudah sampai Makassar, Pak. Sebentar lagi, Reno akan sampai di rumah. Bilang sama Ibu agar bersabar menunggu Reno, bilang juga bahwa Reno sangat mencintai Ibu." Dia berbicara lewat telepon, mungkin dengan bapaknya.
Reno memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Lalu sebuah kendaraan yang akan mengantarnya ke kediaman orang tuanya tiba di depannya. Reno segera naik dan duduk di samping kemudi.
"Lebih cepat sedikit, Daeng." Begitu ucapnya pada seorang supir yang merupakan supir pribadi keluarganya.
Reno sudah tak sabar ingin bertemu ibunya, memeluk dan mencium tangannya serta wajahnya. Wanita yang melahirkannya ke dunia, sekaligus merawatnya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang yang tak akan pernah bisa diukur oleh apapun.
Selama tiga puluh menit berkendara, Reno pun sampai di sebuah rumah yang tak terlalu besar namun memiliki kesan hangat. Dia segera turun dari mobil dan bergerak cepat menuju ke pintu masuk rumah itu.
"Di mana, Ibu? Bagaimana keadaannya?"
"Dia di dalam, dia terus menanyakan kedatanganmu." Jawab seseorang yang merupakan Om atau saudara dari ibunya.
"Bu, Reno pulang."
Reno mencium tangan ibunya penuh haru, air matanya seakan mencuat keluar dan menjebol seluruh pertahanan dirinya sebagai laki-laki.
"Reno ..., senang sekali ibu kau pulang, Nak." ucapnya dalam logat Makassar yang kental.
"Pasti pulangka Ibu, demi kita." Reno menimpali juga dengan logat khas daerahnya.
Mereka berdua berpelukan dan ibunya menangis sesenggukan serta senang anak semata wayangnya kini telah pulang dan kembali lagi padanya.
"Bagaimana? Apa yang sakit?" tanya Reno penuh perhatian.
"Ibu sudah tua-mi, Nak. Sering sekali sakit-sakitan. Jadi sebelum terjadi apa-apa pada Ibu, Ibu sangat ingin melihat kau duduk di pelaminan, Nak."
Deg.
Reno terkejut. Akhirnya hal yang ditakutkan olehnya terjadi juga. Dia tahu kedua orang tuanya pasti akan meminta dirinya segera menikah. Apalagi di usianya kini yang sudah di kepala tiga. Tentu saja semua orang tua ingin melihat anaknya bersanding dengan seorang perempuan.
Permasalahannya adalah, Reno belum siap menikah. Terlebih lagi, dia sama sekali belum memikirkan hal itu. Dia berhubungan dengan Elsa pun hanya sebatas pacaran seperti kebanyakan lelaki lainnya. Belum ada pemikiran bahwa dia harus menikahi Elsa atau menikah dengan gadis lain.
"Iyek, tapi sembuh- maki dulu, Bu. Gampang- mi itu menikah." Reno berusaha meyakinkan ibunya.
"Tidak, Nak. Ibu mau kamu segera menikah, kalau bisa dalam Minggu ini juga. Itu permintaan terakhir Ibu."
Reno semakin kelabakan dibuatnya. Bagaimana bisa dia harus menikah dalam waktu Minggu itu juga. Bahkan dia belum memikirkan apapun tentang segala sesuatu yang berbau pernikahan. Lalu sekarang tiba-tiba dia ditodong dengan kalimat kamu harus segera menikah. Tentu saja Reno shock dan Bapaknya hanya terlihat tenang tak bisa berbuat apa-apa. Bapaknya adalah lelaki paling menurut pada ibunya.
"Kamu mau- ji toh, Nak?" tanya Ibunya memastikan sekali lagi.
Reno tampak gamang. Dia terlihat berpikir keras. Suara batuk ibunya yang payah menyadarkan dia bahwa sudah tidak ada waktu lagi. Dia tidak mau terjadi hal buruk pada ibunya dan permintaan terakhir ibunya itu tak dapat dipenuhinya.
Reno tampak mengangguk walau sebenarnya berat.
*Bersambung*
Bantu like dan juga komen ya, Kak. Kasih masukan dan saran atas novel ini. Terimakasih.
Hujan turun sejak petang dan hingga malam ini tak kunjung ada tanda-tanda untuk berhenti. Reno masih terpekur di hadapan ibunya. Dia tahu, dia tak akan bisa menolak permintaan ibunya. Tapi bagaimana dengan Elsa? Apakah dia mau menikah? Atau bagaimana dengan Reno? Sudah siapkah dia menikah?
"Nak, ibumu itu sudah berkali-kali memohon agar kami membujuk kau untuk mau menikah. Karena dia selalu bilang, kalau umurnya tidak akan panjang lagi." Om Beta yang saat itu datang ke kamarnya, meyakinkan Reno agar dia segera memenuhi permintaan ibunya itu.
Semua takut bahwa permintaan ibunya kali itu, benar-benar adalah permintaan terakhir beliau.
"Tapi Daeng, saya sendiri belum siap. Tidak tahu kenapa, pernikahan bagi saya ada di nomor sekian. Tidak pernah terpikir oleh saya sampai saat ini." Reno menjawab dengan tegas.
"Kau ini anak semata wayang ibumu dan bapakmu, sudah sepantasnya pula kau menikah. Umur kau sekarang sudah kepala tiga, karir kau bagus. Apa- pi lagi Nak, kau tunggu?"
"Nikah itu tak semudah diucapkan, Daeng."
"Apa kau punya calon di kota?"
"Tidak tahu apakah dia calon yang kuharapkan atau bukan. Kami cuma menjalani hubungan pacaran seperti layaknya anak muda."
"Kalau begitu, lamar- mi, Nak."
"Saya tidak yakin, Daeng."
Reno dan omnya kembali terdiam. Suasana kamar itu sangat hening. Meski hujan di luar sana tak berhenti memukul-mukul atap rumah mereka.
Sebuah teriakan mengejutkan mereka berdua, teriakan itu berasal dari kamar ibunya.
Reno begitu juga dengan Daeng Beta bergegas keluar dari kamar, secepatnya menuju asal teriakan tersebut.
"Kenapa dengan Ibu, Pak?" tanya Reno khawatir.
"Tidak tahu, Ibumu tiba-tiba merasa sesak napas."
"Bu ... Bu ..., Reno di sini. Ibu harus kuat, harus sehat. Katanya mau lihat Reno duduk di pelaminan. Reno bersedia menuruti apapun kemauan Ibu, asal ibu sehat lagi dan baik-baik saja. Kumohon, Bu."
Napas Ibu Reno yang sejak tadi terlihat tersengal-sengal, kini berangsur membaik mendengar ucapan Reno barusan. Semua orang di ruangan itu merasa lega karena Reno akhirnya menyetujui permintaan Ibunya.
"Terimakasih, Nak. Daeng, besok lamarkan Tenri untuk Reno." Ibunya tersenyum, dia bahagia mendengar Reno mau menikah juga.
Sementara itu, Reno dirundung kebimbangan. Bagaimana sekarang? Dia sudah setuju menikah, bahkan perempuan yang dilamarkan untuk dia pun sudah disiapkan oleh Ibunya. Wajahnya yang gamang masih berusaha memberi senyuman pada Ibunya. Begitulah, dia sangat menyayangi perempuan yang sudah melahirkannya ke dunia ini.
"Namanya, Tenri. Ibu yakin, kau akan suka padanya. Dia juga teman bermainmu dulu, jadi tidak sulit untuk kalian beradaptasi."
Reno tak bisa mengelak lagi, dia sudah tak tahu harus bagaimana selain menerima semua keputusan yang telah ditetapkan ibunya.
Bapaknya, Daeng Beta yang merupakan Omnya, sepertinya tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hati Reno. Mereka berdua tahu Reno belum siap dengan semua itu. Apalagi, perempuan yang akan dinikahinya adalah orang yang belum pernah bertemu dengannya. Meski ibunya bilang mereka adalah teman bermain semasa kecil, tapi sekarang mereka sudah sama-sama dewasa. Mungkin saja keduanya pun bahkan telah lupa bahwa mereka pernah bermain bersama.
Setelah kondisi ibunya cukup stabil, dokter yang dipanggil datang ke rumahnya pun mengatakan bahwa kondisi ibunya sudah lebih baik. Reno pun keluar ke teras rumahnya, berdiri seperti sedang berpikir keras.
"Nak, maafkan kami sudah memaksakan kehendak. Namun, baik bapak atau ibumu sudah berjanji pada orang tua Tenri bahwa kami akan menjodohkan Tenri dengan kau setelah kau dewasa nanti. Maafkan kami juga baru mengatakannya sekarang." Bapaknya perlahan mendekat dan memegang bahu Reno.
"Ini mendadak sekali, Pak. Tapi Reno tahu, Reno tak mungkin menolak permintaan Ibu."
"Tenri anak yang baik, kalian pasti akan saling menyukai satu sama lain. Kalian akan mudah beradaptasi nanti."
"Lihat bagaimana nanti saja, Pak."
Hujan di bulan Desember, seperti isyarat akan sebuah perjalanan yang basah dan dingin.
*Bersambung*
*Bersambung*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!