Happy Reading!
---
Drrttt..
Drrttt..
Suara dering telpon masuk membuyarkan konsentrasi pria berusia sekitar dua puluh tujuh tahun yang sedang menyetir. Pria tersebut langsung segera mencari alat untuk menyambungkan telponnya yang sering di pakai ke telinga. Namun, berulang kali ia meraba ke tempat biasa dia simpan, benda tersebut tidak di temukan juga. Akhirnya pria tersebut memilih untuk langsung mengangkat telpon barusan, dan menempelkan benda pipih itu ke dekat telinganya.
"Halo.. ada apa, ma?"
"Apa? Okay, aku ke sana sekarang!" pria tersebut terkejut ketika mendengar apa yang baru saja di sampaikan oleh sang penelpon, wajahnya seketika berubah panik.
Pria itu memasukkan kembali benda pipih tersebut ke dalam saku jasnya. Ia menambah kecepatan laju mobilnya dua kali lipat dari sebelumnya.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba dia menginjak pedal remnya ketika ia melihat ada seorang wanita sedang menyebrang, dan nyaris dia tabrak.
Ia mengatur deru napasnya yang tersengal-sengal, melihat wanita yang barusan hampir dia tabrak itu nampak ketakutan. Ia segera turun dari mobilnya dan menghampiri wanita tersebut.
"Kamu tidak apa-apa?" wanita itu membuka kedua buah tangan yang menutupi wajahnya.
"Ti-tidak. Aku tidak apa-apa!" jawab wanita berusia sekitar dua puluh empat tahun itu dengan menggelengkan kepalanya kuat
Pria itu merogoh saku jasnya, kemudian memberikan sebuah kartu pada wanita yang belum di ketahui namanya itu.
"Ini kartu nama saya, kalau kamu merasa ada yang terluka bisa hubungi saya nanti. Saya harus pergi!"
Wanita itu menerima sebuah kartu nama yang baru saja di berikan oleh pria yang nyaris menabraknya. Ia menatap belakang body mobil yang sudah melaju dan menghilang dari pandangannya.
Wanita itu membaca kartu nama barusan, di sana tertulis nama pria tersebut.
"Alan Permadi?" wanita itu mengerutkan keningnya dalam.
Kemudian ia bergegas melangkahkan kaki dari tempat berdirinya saat ini.
***
Di sebuah ruang rawat inap rumah sakit, terbaring sosok pria parubaya yang di temani oleh istrinya. Dia tak henti-hentinya menangisi suaminya yang sedang sakit, karena Dokter sudah memvonis masa hidupnya tidak akan lama lagi.
"Ma, Alan mana? Kenapa dia belum datang juga?" tanya Faris Permadi, pria yang terbaring di ranjang pasien tersebut. Suaranya terdengar samar, dan napas yang berat.
"Tunggu sebentar, pa! Alan pasti akan segera datang," Ressa, istri dari Faris menyeka air mata yang menderas di pipinya.
Tidak lama kemudian, seseorang masuk ke ruang kamar itu dengan langkah yang tergesa-gesa. Seseorang itu adalah Alan.
"Ma, papa kenapa?" Alan terlihat begitu khawatir, sebelumnya yang dia tahu papanya ini baik-baik saja.
"Papa ini sebenarnya memiliki penyakit serius cukup lama, dan Dokter bilang kalau papa sebentar lagi akan pergi meninggalkan kita untuk selamanya, Al.." Ressa menangis tersedu-sedu di pelukan putranya.
"Ma, mama jangan bicara seperti itu! Kita berdo'a saja kalau papa pasti akan sembuh. Cepat sembuh ya, pa!" Alan tidak terlalu terkejut mendengar papanya memiliki penyakit serius, karena dia sering menemukan obat di kamar papanya, namun dia tidak tahu itu obat apa, dan rupanya itu adalah obat yang di konsumsi oleh papanya.
"Alan.." Faris meraih tangan putranya dengan gemetar.
"Papa minta sama kamu, tolong jaga mama kamu baik-baik, ya! Tolong jangan beri tahu adik kamu sebelum dia kembali kalau terjadi sesuatu sama papa! Papa tidak mau kalau dia sampai tidak fokus melanjutkan pendidikannya. Ya?!"
"Tapi Disa berhak tahu kondisi papa!" ujar Alan menegaskan. Disa adalah adik dari Alan.
"Papa tidak mau kalau dia sedih, Al.. Jagain dia juga, kamu harus bisa menjaga keluarga seperti papa menjaga kalian. Kamu bisa, kan?" napas Faris terlihat semakin berat, mungkin dia merasakan sesak yang begitu hebat.
"Pa, papa kenapa, pa? Papa bertahan, ya!"
"Al, kamu panggil Dokter sekarang! Cepat, Al!" wajah Ressa semakin khawatir, bagaimana kalau suaminya benar-benar akan pergi meninggalkan untuk selamanya.
"Iya, ma," Alan bergegas keluar dari ruangan, tidak lama dia kembali bersama Dokter dan dua orang suster.
"Maaf, bu. Ibu dan masnya bisa keluar sebentar, Dokter akan memeriksa pasien," pinta suster.
Ressa menggeleng keras, ia membantah dan ingin tetap menemani suaminya di dalam. Namun Alan segera menenangkan mamanya dan membawanya keluar.
Sepuluh menitu berlalu, akhirnya Dokter keluar dari ruang kamar pasien. Ressa dan Alan yang barusan duduk di deretan kursi besi segera bangkit dari duduknya.
"Dokter, suami saya bagaimana? Apakah dia dapat di sembuhkan?" Ressa bertanya dengan tidak sabar menunggu jawaban Dokter.
Di lihat dari raut wajah Dokternya, sepertinya Dokter itu tidak tega untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala, yang bisa Ressa dan Alan dapat artikan maksudnya.
Ressa menerobos masuk ke dalam ruangan, mendapati sekujur tubuh suaminya sedang di selimuti oleh suster. Ressa langsung berteriak tidak percaya, kalau suaminya benar-benar pergi meninggalkan dirinya dan keluarganya untuk selamanya.
"Papaaaa........" teriakan Ressa sampai terdengar ke seluruh penjuru dunia.
***
Beberapa bulan kemudian, seorang gadis baru saja datang dari luar negeri. Seorang asisten pribadi Alan berjalan di belakangnya, membawakan koper milik gadis tersebut.
"Mama.. Aku pulang... Mama... Papa.. Aku pulang.." teriaknya di ruang tamu rumahnya.
Tidak lama kemudian, Ressa keluar dari kamarnya. Semburat kebahagiaan terlihat di wajah Ressa ketika melihat putrinya sudah pulang ke tiba di Tanah Air.
"Disa, sayang..." Ressa segera merangkul tubuh mungil putrinya, begitupun dengan Disa yang semakin mengeratkan pelukan mamanya untuk melepas rindu.
"Mama, aku kangen banget sama mama.." ujar gadis itu.
"Mama juga kangen banget sama kamu, sayang," Ressa tak kalah rindunya dengan Disa.
"Ma, papa mana? Aku juga mau peluk papa, aku kangen juga sama papa," Disa tak sabar untuk melepaskan rindu dengan papanya, namun tiba-tiba saja pertanyaan Disa membuat Ressa sedih kembali.
"Ma, mama kenapa? Kok, mama nangis? Ada apa, ma? Ceritain sama aku mama kenapa?" Disa menatap mamanya bingung, menatap kedua bola matanya mamanya secara bergantian. Kenapa mamanya tiba-tiba sedih ketika ia menanyakan keberadaan papanya. Kenapa mamanya bisa sesedih seperti sekarang ini. Apa telah terjadi sesuatu selama dia berada di luar negeri? Ada apa dengan papanya?
"Ma, mama kenapa diam saja? Papa mana, ma?" Disa mengulang pertanyaannya.
Ressa berusaha mengatur napasnya, ia berusaha untuk tetap tenang di hadapan putrinya. Ia tidak mau kalau Disa sampai hancur jika mendengar kenyataan yang sebenarnya.
"Disa. Papa.." Ressa menggantungkan kalimatnya, rasanya ia tidak sanggup untuk mengatakan semua ini.
----
Hai. Selamat tahun baru 2021.
Ini adalah karya baru saya yang ke tiga. Semoga selalu menghibur kalian semua, ya! Mohon dukungannya, dengan cara like, vote, dan kalian bisa komen di kolom komentar.
Jangan lupa untuk tambahkan ke favorit, ya! Okay?!
Follow ig: @wind.rahma
Disa beserta mamanya baru saja turun dari mobil. Namun, seketika Disa mengerutkan keningnya dan merasa sedikit heran ketika mamanya membawa dirinya ke sebuah tempat pemakaman umum.
"Kenapa mama membawa aku ke sini, ma?" Disa bertanya dengan nada suara sedikit gemetar.
Ressa, mama dari Disa ini menghela napas panjang. Mencoba berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya mengenai papanya.
"Nanti kamu akan tahu sendiri, Sa. Ikut mama!" kemudian Ressa berjalan yang segera di ikuti oleh Disa di belakangnya.
Sebenarnya Disa masih tidak mengerti, mau apa mamanya membawa ia ke tempat pemakaman. Namun, pertanyaan yang bersarang memenuhi seisi kepalanya itu tiba-tiba terjawab, ketika mamanya berhenti tepat di samping kuburan seseorang yang bertuliskan Faris Permadi bin Permadi.
"Sayang.. Ini papa kamu," katanya sambil merengkuh bahu sang putri.
Tentunya Disa sangat terkejut. Bukanlah kebahagiaan yang ia dapatkan kerika pulang ke Tanah Air, justru kesedihan yang teramat mendalam yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sontak Disa menjerit dengan nerangkul batu nisan milik papa-nya. Derai tangisnya kian menderas dan ia biarkan mengalir begitu saja. Hatinya serasa di tusuk, di cabik-cabik.
Seorang papa adalah cinta pertama seorang perempuan, dan saat ini Disa telah kehilangan cinta pertamanya itu.
Mamanya yang melihatnya pun ikut menangis, bukan hanya Disa yang merasa kehilangan atas kepergian Faris, dirinya juga tentunya.
"Kenapa mama tidak ngasih tahu aku, ma... Kenapa?" Disa terdengar histeris, kenapa tidak ada satu pun pihak keluarga yang mengabari dirinya tentang kepergian papanya ini.
"Disa.. Mama minta maaf, sayang! Mama minta maaf!" ujarnya, sambil berusaha menguatkan putri tercintanya.
Disa benar-benar merasa sangat terpukul, namun takdir berkata lain. Papa nya telah kembali ke hadapan sang Maha Kuasa.
Ressa menyandarkan sang putri di bahunya. Menangis secara bersamaan di depan pusara sang suami sekaligus papa dari putrinya.
***
Seorang perempuan tengah duduk di tepi ranjang kasur kamarnya. Kemudian ia membaringkan tubuh lelahnya. Setetes air matapun mengalir dari pelupuk matanya.
Sebut saja namanya Amera, dia kelihatan sedih sekaligus bingung, apalagi kalau membayangkan kejadian yang menimpanya barusan. Anna, ibu tiri dari perempuan tersebut baru saja mencaci makinya kembali.
Sejak bayi ia sudah di tinggal mati oleh ibu kandungnya, sehingga ia harus tinggal bersama papanya yang tidak lama setelah itu menikah lagi.
Tinggal satu atap bersama ibu tiri bukanlah sebuah keinginan atau pun pilihan, namun sebuah keharusan baginya.
Amera mendapat perlakuan yang kurang baik oleh ibu tirinya, apalagi ketika papanya sudah mempunyai seorang putri lagi dari Anna, ibu tirinya saat ini.
Dan, yang membuat Anna semakin benci pada anak tirinya ini, ketika putri kesayangannya meninggal tertabrak sepeda motor untuk menolong Amera.
Tiba-tiba saja Amera mengingat sesuatu, ia mengambil sebuah kartu nama di laci nakasnya. Di sana terdapat terdapat nomer telpon. Amera segera menyalin nomer telpon tersebut dengan ponselnya, setelah itu ia menghubungi nomer telpon tersebut.
***
Alan Permadi, saat ini ia sedang berada di ruangan kerja di kantor mililknya. Ia menatap layar laptopnya cukup serius. Namun, tiba-tiba suara dering panggilan masuk mengalihkan perhatiannya.
Di liriknya layar hp yang menyala, tertera nama Disa sang adik di sana. Alan pun segera menjawab telpon tanpa pikir panjang ia langsung menempelkan benda pipih tersebut ke dekat telinganya.
"Halo, Disa. Ada apa telpon?"
"Hari ini lo sibuk, gak?" tanya Disa dengan nada bicara yang terdengar lemas.
"Kebetulan enggak, memangnya kenapa?"
"Lo bisa temenin gue ke sebuah tempat? Kalau lo gak bisa ya udah gak apa-apa. gue bisa pergi sendiri, kok."
Alan menghela napas panjang, memang semenjak Disa tahu soal kematian papanya, Disa nampak begitu murung akibat terpukul. Bahkan senyuman tidak pernah lagi terlihat di wajahnya.
"Ok, saya jemput kamu di rumah sekarang."
Setelah sambungan telpon terputus, Alan segera menutup laptop di mejanya. Ia bersiap untuk pergi dan bangkit dari duduknya.
Sedetik kemudian, langkah Alan terhenti ketika hp-nya kembali bunyi dan ada lagi panggilan masuk.
Tidak segera Alan jawab panggilan tersebut, karena nomer yang menghubunginya ini tidak di kenal.
Karena takut ada hal penting, Alan pun menjawab panggilan masuk tersebut.
"Halo.. Siapa?"
"Saya Amera Kirana Vani, apa saya berbicara dengan pak Alan Permadi?" tanya seorang wanita dari sebrang sana.
"Iya, saya Alan Permadi. Tunggu sebentar, kamu siapa, ya?! Dari mana kamu mendapat nomer telpon saya?" Ujar Alan heran.
"Saya orang yang waktu itu nyaris anda tabrak. Apa anda masih ingat dengan saya?"
Alan mencoba mengingat-ingat, tidak lama kemudian ia menepuk jidatnya. "Oh iya saya ingat, waktu itu saya buru-buru. Apa ada yang terluka? Berapa biaya yang harus saya ganti?"
"Saya mau minta waktunya sebentar, bisa? Kalau bisa, kita ketemu di cafe manik dua jam lagi,"
"Ok, bisa. Ada lagi?" tanya Alan memastikan.
"Tidak ada. Terima kasih kalau begitu, maaf kalau saya mengganggu waktu anda!"
"Iya." Alan pun kembali memasukkan hp ke dalam saku jas abu-abu yang di kenakannya saat ini.
Kemudian ia bergegas pergi dengan mobil hitam untuk segera menjemput adiknya yang sepertinya sudah menunggunya di rumah.
***
Amera tengah bersiap-siap untuk pergi bertemu dengan Alan Permadi, pria yang barusan dia telpon.
Amera menatap layar ponselnya, seketika ia ingat dengan kekasihnya yang sudah lama menjalin hubungan dengannya.
"Aku rasa, aku gak perlu kasih tahu Revan kalau aku mau ketemu dengan pak Alan Permadi," pikirnya, setelah selesai bersiap-siap Amera segera keluar dari kamarnya.
Tidak ada orang di rumah, mama dan papanya sedang ada acara di luar. Amera tidak perlu berpamitan pada siapapun.
Begitu keluar rumah, Amera di kejutkan oleh mobil yang terparkir di rumahnya. Apalagi ketika seseorang turun dari mobil tersebut.
"Mera, sayang. Kamu mau kemana?" Seseorang itu adalah Revan, kekasih dari Amera.
Amera terlihat gugup, baru saja dia berpikir untuk tidak memberi tahu Revan. Tapi Revan justru malah muncul di hadapannya.
"A-aku.. Aku ada janji dengan seseorang," jawabnya membuat Revan sedikit curiga.
"Janji?" Revan memicingkan matanya, melihat penampilan kekasihnya sudah serapih ini.
"I-iya. Kamu ngapain kesini? Kok tumben gak ngabarin aku dulu," Amera berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Aku mau ajak kamu jalan, lagian udah lama juga kan aku gak ngajak kamu keluar? Tapi bentar deh, emangnya kamu ada janji sama siapa, sih?"
Amera sudah berusaha mengalihkan pembicaraan namun Revan tetap kembali pada pertanyaan yang belum sempat Amera jawab.
Amera semakin bingung, kalau dia bilang akan bertemu dengan seorang pria, Revan pasti akan marah. Apapun alasannya.
Tapi kalau Amera tidak bilang dan nanti Revan akhirnya tahu, Revan justru akan lebih marah lagi.
Akhirnya, mau tidak mau Amera menjelaskan yang sebenarnya. Tentang dia janjian dengan siapa, dan apa yang akan mau dia bicarakan nanti.
***
Alan Permadi sudah sampai di rumah, dan benar, Disa sudah menunggunya di halaman rumahnya dengan terus melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Lama banget sih, mas?" Disa menggerutu, ia sudah tidak sabar untuk pergi.
"Tadi di jalan mas kena macet, ayo naok!" ujar Alan.
Disa pun masuk ke dalam mobil Alan, sang kakak. Alan pun kembali mengendarai mobilnya.
Di perjalanan, Alan memperhatikan adiknya yang tengah senyum-senyum sendiri.
"Kamu kenapa senyum-senyum? Semenjak papa pergi, mas gak pernah lihat kamu senyum. Ada apa?" Alan mulai penasaran.
"Aku ingat dengan seseorang yang dulu sempat dekat dengan aku, mas. Tapi kita harus berpisah karena aku kuliah di luar negeri."
"Terus?"
"Ya sekarang aku mau mas antar aku ke rumahnya, aku mau ketemu dia. Kebetulan aku juga mau minta kontak dia lagi," jelasnya.
"Siapa dia?" Alan mengerutkan keningnya, karena setahu dia Disa tidak pernah mengenalkan siapapun laki-laki yang dekat dengannya pada keluarga.
"Ada, deh. Nanti mas akan tahu sendiri. Dia orangnya baik, sayangnya dulu gak sempat jadian, sih. Tapi aku yakin, kalau dia juga suka sama aku," Disa semakin tidak sabar untuk bertemu dengan orang yang dia maksud.
Aura wajah Disa seketika berubah seratus delapan puluh derajat dengan tadi pagi waktu Alan melihatnya di meja makan saat sarapan.
"Mas akan antar kamu, tapi sebelumnya mas harus ke cafe Manik, ada urusan sebentar."
"Urusan apa?"
Alan tidak menjawab pertanyaan Disa, ia terus menatap ke arah depan untuk tetap fokus menyetir.
Setengah jam kemudian, Alan pun sampai di cafe manik. Melihat pada jam tangan yang ia pakai, sepertinya ia sudah telah sepuluh menit. Karena perjalanan menuju rumahnya tadi memakan waktu yang cukup lama akibat macet.
Alan bergegas turun dari mobilnya, di ikuti oleh Disa yang di penuhi rasa penasaran.
Alan mencari keberadaan Amera, ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut cafe. Sampai akhirnya ia menemukan orang yang ia maksud.
Ia segera berjalan menghampiri wanita yang sedang duduk sendiri di sana. Tidak, tidak sendiri. Di sana ada dua minuman yang sudah seseorang minum. Sepertinya Amera datang bersama orang lain.
Amera segera berdiri dari duduknya begitu melihat Alan datang.
"Pak Alan, silahkan duduk!" Amera mempersilahkan Alan untum duduk di hadapannya.
"Dia siapa, mas?" tiba-tiba Disa muncul dari belakang Alan, ternyata Disa benar-benar ikut turun dari mobilnya.
"Disa, mas kan sudah bilang untuk tunggu di mobil saja!" Alan tidak mau kalau Disa tahu urusannya.
"Saya Amera, anda istrinya?" Amera memperkenalkan dirinya.
"Saya adiknya mas Alan. Kamu siapanya kakak saya?" Disa menatap penampilan Amera dari ujung kepala sampai ujung kaki, sepertinya Disa tidak menyukai Amera.
"Saya..."
"Jadi apa yang mau kamu bicarakan? Langsung saja, saya masih punya banyak pekerjaan!" Belum sempat Amera menjawab pertanyaan Disa, namun Alan segera memotong ucapannya.
Alan dan Disa akhirnya duduk di hadapan Amera.
"Maaf sebelumnya kalau saya mengganggu waktu anda. Saya lihat anda orang super sibuk dan memiliki banyak pekerjaan. Maka dari itu apa saya boleh meminta pekerjaan pada anda?" Ucap Amera dengan sangat hati-hati sekali.
"Pekerjaan?" Alan sedikit bingung.
"Iya, pekerjaan. Pekerjaan apapun pasti akan saya kerjakan, soalnya saya sedang butuh sekali pekerjaan," jelasnya lagi.
Alan menghela napas panjang, ia mengingat-ingat apakah ada pekerjaan yang kebetulan di butuhkan tambahan orang. Sepertinya tidak ada. Namun jika melihat wanita di hadapannya, ia tidak tega juga kalau mengatakan yang sebenarnya.
"Untuk pekerjaan, nanti saya hubungi kamu ke nomer yang tadi. Ada lagi yang mau kamu sampaikan?"
Amera merasa sedikit lega, kemudian berharap kalau Alan akan memberi sebuah pekerjaan nanti.
"Tidak, tidak ada. Sebelumnya terima kasih banyak pak!" Amera sungguh berterima kasih sekali, walaupun Alan belum memastikan akan memberinya sebuah pekerjaan.
Dari kejauhan, Revan, yang tadi sempat izin ke toilet dulu, melihat meja yang ada Ameranya. Namun, saat ini ada tiga orang di sana.
"Kayaknya orang yang mau Amera temui sudah datang," gumamnya.
Revan bergegas kembali ke mejanya.
"Mera, sayang. Orangnya sudah datang?" pertanyaan Revan membuat Alan dan Disa menoleh ke belakang.
Sedetik kemudian, mata Revan dan Disa saling bertemu. Disa membulatkan matanya ketika melihat pria yang tidak asing baginya ini berdiri di hadapannya.
Begitun dengan Revan, ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan gadis yang sudah lama tidak pernah muncul di hadapannya.
"Revan.." dengan kaki yang seketika melemas, Disa mencoba untuk berdiri menggunakan kekuatan yang masih tersisa dalam tubuhnya.
***
NB: Maaf ya baru bisa update lagi🙏 Saya harap kalian tetap menunggu kelanjutan ceritanya. Kalau lupa dengan ceritanya bisa baca ulang lagi episode sebelumnya. Sekali lagi saya minta maaf🙏
Follow ig: @wind.rahma
Dari kejauhan, Revan, yang tadi sempat izin ke toilet dulu, melihat meja yang ada Ameranya. Namun, saat ini ada tiga orang di sana.
"Kayaknya orang yang mau Amera temui sudah datang," gumamnya.
Revan bergegas kembali ke mejanya.
"Mera, sayang. Orangnya sudah datang?" pertanyaan Revan membuat Alan dan Disa menoleh ke belakang.
Sedetik kemudian, mata Revan dan Disa saling bertemu. Disa membulatkan matanya ketika melihat pria yang tidak asing baginya ini berdiri di hadapannya.
Begitun dengan Revan, ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan gadis yang sudah lama tidak pernah muncul di hadapannya.
"Revan.." dengan kaki yang seketika melemas, Disa mencoba untuk berdiri menggunakan kekuatan yang masih tersisa dalam tubuhnya.
"Kamu.." belum selesai Revan bicara, tapi Disa sudah langsung menghambur memeluknya begitu saja dengan erat.
Amera dan Alan di buat bingung oleh kejadian yang ada di depan matanya, terutama Amera.
Tanpa membalas pelukan dari Disa, Revan pun segera mendorong tubuh gadis yang memeluknya dengan paksa.
"Lepaskan..!" pintanya, kemudian menjauhkan diri dari Disa.
"Kamu kenal dengan Disa?" tanya Amera masih di buat bingung.
"Disa, jangan malu-maluin mas! Kamu ini apa-apaan?" Alan sedikit menyeret tubuh adiknya lebih mendekat.
Tanpa rasa bersalah sudah memeluk kekasih orang lain, Disa masih terlihat begitu santai.
"Mas, Revan ini laki-laki yang aku ceritain sama mas tadi di mobil. Dia laki-laki yang pernah dekat dengan aku, mas.." Disa mencoba menjelaskan.
"Tapi kamu dengar sendiri, kan? Dia memanggil Amera dengan sebutan apa tadi?"
Disa yang semula berbicara dengan Alan kembali membalikkan badannya menghadap Revan yang tengah mengobrol dengan Amera.
"Revan, kamu gak lupa kan dengan ucapan kamu dulu. Kalau kamu akan menunggu aku sampai aku selesai kuliah. Kamu masih ingat, kan?" Disa maju selangkah lebih dekat dengan Revan.
"Revan.. Sebenarnya Disa itu siapa kamu?" Amera meminta penjelasan, tentang siapa Disa dan ada hubungan apa mereka di masalalu.
"Sayang.. Dia itu cuma perempuan yang dulu sempat dekat aku. Kamu percaya sama aku, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan dia," Revan menatap Amera sambil meraih buah tangannya.
Merasa tidak terima, Disa pun mulai tersulut emosi. Dia tidak terima karena ada perempuan lain yang sudah merebut laki-laki yang di cintainya.
"Apa? Cuma? Revan, apa kamu lupa kalau kita dulu sudah merencanakan tunangan juga? Kamu melupakan itu?" Disa tersenyum getir, melihat dirinya yang terlihat sangat miris di hadapan para pengunjung kafe di sana.
"Apa benar yang di katakan adik saya? Kamu mencoba main-main dengan adik saya?" merasa marah akibat adiknya di permainkan begitu saja, akhirnya Alan ikut angkat bicara.
"Maaf sebelumnya, tapi saya benar-benar tidak menjalin hubungan apapun dengan Disa," tegas Revan.
"Dan kamu, Disa. Lebih baik kamu lupakan apa yang sudah terjadi di antara kita dulu. Saat ini, aku cuma punya Amera yang melebihi apapun itu," tambah Revan.
"Tapi Revan.."
"Cukup, Disa. Hentikan! Di antara kita tidak pernah ada hubungan apapun dan tidak akan pernah ada hubungan. Aku akan pastikan itu!" ucapan Revan dengan nada sedikit ia naikan membuat Disa merasa tersentak.
Kemudian Disa melirik ke arah Amera, rupanya perempuan itu yang sudah membuat Revan melupakan semua kenangan yang dulu mereka ciptakan.
Dengan tatapan tajam dan di penuhi amarah, Disa pun menarik rambut Amera cukup keras.
"Jadi lo? Lo orang yang udah bikin Revan lupain gue? Beraninya lo, gue gak akan tinggal diam," Bukan cuma menarik rambut Amera, Disa pun berbicara dengan menunjuk tepat di wajah Amera.
Amera meringis kesakitan, ia mencoba melepaskan tangan Disa di rambutnya, namun tarikan tangan Disa cukup kuat, sehingga ia tidak mampu melepaskannya.
Alan dan Revan pun mencoba melerai pertengkaran antara Amera dan Disa. Alan segera membawa pergi adiknya dengan paksa.
"Ayo pergi, Disa! Jangan permalukan diri kamu seperti ini!" Alan terus menarik lengan adiknya sekuat tenaga.
"Awas aja ya! Gue bakal bikin perhitungan sama lo!" ancam Disa sebelum Alan benar-benar menariknya keluar dari kafe itu.
Setelah Alan dan Disa pergi, Amera berusaha merapikan rambutnya. Revan khawatir kalau Amera kenapa-kenapa.
"Mera, kamu tidak apa-apa, kan?" ia membantu merapikan rambut sang kekasih, namun segera di tepis oleh Amera.
"Aku baik-baik saja!" balasnya.
"Aku antar kamu pulang, ya?!"
"Tidak usah! Aku bisa pulang sendiri," Amera merasa cukup kesal dengan kejadian hari ini, ia mengambil hp miliknya yang tergeletak di atas meja.
"Mera, sayang... Aku antar kamu pulang, okay?" Revan menarim lengan Amera yang mulai pergi dari sana.
"Aku bilang aku bisa pulang sendiri!" tolaknya sekali lagi.
"Tapi.."
Suara dering ponsel panggilan masuk berasal dari hp Amera. Di lihatnya itu dari papanya. Amera pun segera menjawab telponnya.
"Halo, pa.."
"Halo, Ra. Kamu dimana, nak?"
"Aku di kafe manik, pa. Kenapa?"
"Kamu pulang sekarang, ya! Ada yang mau papa sama mama bicarakan sama kamu. Bisa?"
"Iya, pa. Kebetulan aku juga udah mau pulang, kok.
"Ya sudah, hati-hati!"
"Iya, pa."
Amera pun menutup sambungannya. Setelah itu ia langsung pergi tanpa menghiraukan panggilan Revan yang berulang kali memanggil namanya.
***
Di rumah, papa dan mama tiri Amera tengah menunggunya di ruang tamu.
"Memangnya Amera kemana, pa?" tanya bu Anna, mama tiri Amera.
"Dia katanya di kafe Amera, ma. Tapi mau pulang kok," jawab pak Abdi, papa Amera.
"Anak itu, selalu... saja buat orang orang di rumah khawatir. Emang gak bisa apa, kalau pergi itu pamit sama orang tua?" Anna memang selalu menunjukkan rasa ketidaksukaannya terhadap Amera di depan suaminya, namun pak Abdi selalu sabar menghadapi sikap istrinya.
Pak Abdi percaya, kalau di hati istrinya pasti ada sedikit rasa sayang pada putrinya, Amera.
"Emang mama khawatir?" ujar pak Abdi, berusaha menyindir istrinya.
"Iihh.. Papa apaan, sih?" wajah bu Anna semakin terlihat bete.
"Hehehe.. Papa cuma bercanda, ma.." pak Abdi berusaha membujuk istrinya dengan cara mengacak-acak pangkal rambutnya, lalu membenamkan ciuman di sana kemudian.
Tidak lama kemudian, Amera pun datang.
"Assalamu'alaikum.. Pa, ma" Amera menyalami pak abdi dan bu Anna secara bergantian.
"Wa'alaikumussalaam.." balasnya.
"Maaf ya, pa, ma, lama. Soalnya tadi kena macet," Amera duduk di samping papanya.
"Gak apa-apa," pak Abdi mengertikan.
"Gak apa-apa gimana papa ini, kaki mama sampai kesemutan nungguin Mera pulang," gerutu bu Anna.
"Maaf ma," Amera sudah biasa mendapat sikap kurang baik dari mama tirinya, ia mencoba terbiasa dengan sikap mamanya ini.
"Papa sama mama mau bicara apa?" Amera sudah siap untuk mendengarkan.
"Tadi papa sama mama ada urusan sebentar. Papa ketemu sama teman sama temen lama papa."
"Heem."
"Katanya dia butuh satu orang pegawai di kantornya. Katanya pegawainya yang lama pulang kampung dan gak akan balik lagi ke sana. Papa jadi ingat sama kamu, kamu mau gak kerja di kantor teman lama papa?"
Amera terdiam, pasalnya dia sudah meminta pekerjaan pada Alan tadi. Tapi Alan juga belum sempat memberikan jawaban yang pasti. Bagaimana kalau Alan nanti mengabarinya lalu dia memberinya pekerjaan saat dirinya menyetujui untuk bekerja di perusahaan teman lama papanya? Amera akan tidak enak juga pada Alan, karena dia sendiri yang meminta pekerjaan itu.
"Em.. Nanti Mera pikir-pikir dulu ya, pa. Sebelumnya terima kasih udah nawarin aku pekerjaan."
"Kenapa harus pikir-pikir dulu, sih. Kamu kan emang butuh pekerjaan? Emangnya kamu mau, terus-terusan numpang hidup di rumah orang tua. Setidaknya kamu kerja lah kalau gak belum mau menikah," sahut bu Anna.
Amera jadi serba salah, sepertinya ia harus segera membuat keputusan untuk bekerja di mana dengan siapa.
"Ma.. Biarkan Mera berpikir, siapa tahu kan Mera udah punya ada pekerjaan lain? Jangan marah-marah, ma.." pak Abdi berusaha meredam emosi istrinya.
"Iya, ma, pa. Jadi sebenarnya aku pergi ke kafe itu untuk bertemu dengan seseorang. Aku minta pekerjaan sama dia, katanya nanti dia akan ngabarin aku kalau ada pekerjaan buat aku," Amera berusaha menjelaskan.
"Tapi itu belum pasti, kan? Lebih baik kamu terima aja tawaran pekerjaan di perusahaan teman papa kamu!"
"Iya, sih, ma. Tapi kalau nanti orang itu udah ngabarin aku dan nyatanya gak ada pekerjaan buat aku, aku pasti bakal terima tawaran papa dan mama untuk kerja di perusahaan teman papa itu, kok."
"Terserah. Mama pusing dengar alasan kamu, bilang aja kamu gak mau kerja! Iya, kan?" bu Anna bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan suami serta putrinya di ruang tamu untuk pergike kamarnya.
Pak Abdi menghela napas panjang, memang ia harus menambah porsi kesabarannya lagi untuk menghadapi sikap istrinya. Begitupun dengan Amera.
"Kamu sabar ya, nak! Ucapan mama kamu gak usah di masukkin ke hati!" pak Abdi menyandarkan putrinya di bahunya, seraya membelai rambut Amera secara perlahan.
"Iya, pa."
***
NB: Jangan pelit-pelit buat like, komen, dan vote ya! Apalagi pelit ngasih koin, hehe.
Follow ig: @wind.rahma
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!