Bryan Atmaja, pria bertubuh putih, atletis bermata tajam seperti elang. Bryan lahir di Malang, 28 tahun yang lalu.
Ibunya, meninggal ketika berjuang melahirkannya. Pendarahan hebat waktu itu tidak dapat ditangani oleh tim medis. Sejak saat itu, ayahnya tidak mau menikah lagi. Beliau berusaha membesarkan Bryan seorang diri.
Hendra Atmaja, sang ayah terpaksa menyewa baby sitter untuk merawatnya kala ia harus pergi ke kantor. Delapan tahun kemudian, adiknya Alexander Abraham beserta istri, mengadopsi seorang bayi perempuan.
Hendra mengajak Bryan kecil bermain ke sana menengok bayi cantik yang bernama Chatrine Salsabila.
"Papa, papa, dedek lucu," ujar bocah kecil berusia delapan tahun.
Mata Bryan berbinar melihatnya. Tangannya terus menusuk-nusuk pipi gembul bayi perempuan itu.
"Iya sayang, pelan-pelan ya. Nanti dedeknya nangis," sahut Hendra berjongkok menyamakan tinggi tubuh sang anak.
"Kamu suka, Sayang? Sering-sering main ke sini ya. Main sama anak Mommy, namanya Chatrine. Kamu panggil aja dia Chaca," ujar Alice mengusap lembut kepala Bryan.
Bryan mengangguk bersemangat. Sejak saat itu, dia selalu bermain bersama Chaca. Setiap pulang sekolah, dia selalu memaksa agar diantar ke rumah Chaca.
Alice juga sangat menyayangi Bryan seperti anaknya kandungnya. Apalagi usianya hanya selisih satu tahun dengan anak kandungnya yang hilang karena diculik.
Tahun demi tahun berlalu, Bryan semakin menyayangi Chaca, namun ia menunjukkan dengan caranya sendiri.
"Bayen! Itu balbie Nca, kembalikan. Nancy ... Bayen nakal!" Chaca yang berusia 3 tahun tengah digoda Bryan.
"Kok Nancy sih panggilnya. Nanny Sayang, Nan-ny bukan Nancy," jelas Bryan masih menyembunyikan barbie milik Chaca.
"Nancyyyy!" teriak Chaca dengan isak tangisnya.
Bi Ratih diperkerjakan ketika Chaca sudah berusia satu bulan. Sejak saat itu beliau yang merawat Chaca.
"Ada apa, Non Chaca kenapa menangis?" Bi Ratih datang tergopoh-gopoh.
Bryan terlihat cekikikan karena puas menggoda gadis kecil itu. Bryan mengusap air mata yang membasahi pipi gembul Chaca.
"Nggak apa, Bi. Maaf, Bryan suka sekali menggodanya," canda Bryan mengulurkan bonekanya. Bi Ratih hanya menggelengkan kepalanya.
Ia lalu menghampiri anak asuhnya itu, memeluknya dengan sayang, membelai lembut rambutnya. Chaca masih terisak dipelukan pengasuhnya.
"Yok Cha sini main lagi," ajak Bryan melambai agar gadis itu mendekat.
"Nggak mau, Bayen suka gangguin Nca. Bayen kayak kodok, suka bikin Nca nangis Nancy, Nca mau bobo aja," adu Chaca pada Bi Ratih.
Bi Ratih hanya tertawa pelan. Ya, Chaca sangat takut dengan katak karena pernah waktu main di halaman, seekor katak melompat tepat di kakinya. Gadis kecil itu menangis meraung-raung, selain geli dia juga takut karena katak itu bersuara ketika ia menatapnya.
"Yasudah, ayo kita bobok siang. Den Bryan mau tidur sini sekalian? Bibi siapin tempatnya," ajak Bi Ratih pada anak laki-laki itu.
Bryan menggelengkan kepalanya. "Tidak usah, Bi, Bryan nunggu papa sambil nonton TV aja," tolak Bryan secara halus.
Chaca dan Bryan, bisa dikatakan tumbuh besar bersama selama kurang lebih lima tahun. Mereka sangat dekat, namun ya itu Bryan suka sekali menjahili Chaca. Namun itu semua adalah bentuk kasih sayangnya. Hampir setiap hari Chaca selalu dibuat menangis olehnya.
Sampai pada suatu ketika, Bryan terpaksa harus mengikuti papanya pindah ke Bandung. Karena harus mengurus bisnisnya di sana.
Bryan begitu berat harus berpisah dari Chaca. Namun, mau gimana lagi? Dia harus tinggal bersama sang ayah.
"Bayen, kenapa ninggalin Chaca? Nanti kalau Chaca kangen main bareng gimana?" ujar Chaca yang kini sudah berusia lima tahun.
"Chaca sayang, aku harus pergi. Suatu saat nanti aku pasti kembali. Jangan nakal ya. Nurut sama Nanny, Mommy dan Daddy," pesan Bryan membungkuk dan mengusap puncak kepala gadis kecil di hadapannya.
"Nancy Bayen!" sergahnya kekeh dengan panggilannya.
"Iya iya ... Nancy. Nanti kalau udah mulai sekolah, kamu harus rajin belajar ya, Dek. Biar jadi anak yang pintar," pesan Bryan.
Semua orang yang tadinya bersedih menjadi tertawa mendengar celoteh Chaca. Bryan memeluk Chaca dengan erat. Sampai suara sang papa memisahkan mereka berdua.
"Bry, ayo!" tukas Hendra menarik kopernya.
"Bayen!" seru Chaca memeluk tubuh anak laki-laki itu dengan isakan tangisnya. Bryan terus menenangkannya, ia juga turut meneteskan air mata namun segera ditepis dengan cepat. Bryan menghela napas berat, ia melepaskan pelukannya. Membenarkan tas ranselnya, lalu berbalik.
"Chaca, salam buat Mommy dan Daddy ya. Aku sayang Chaca," teriak Bryan melambai sambil berlari menghampiri papanya.
Alice dan suaminya sudah pergi ke kantor. Chaca menangis histeris karena ditinggalkan olehnya. Terbiasa bermain bersama selama bertahun-tahun membuatnya sangat kehilangan. Meskipun Bryan suka sekali menggodanya, namun di sisi lain Chaca merasa senang karena dia tidak kesepian.
Bi Ratih berusaha sekuat tenaga menenangkan Chaca. Namun rasanya sia-sia, Chaca masih histeris menangis menjerit.
...----------------...
Belasan tahun kemudian, Bryan telah meraih gelar S2. Dia termasuk mahasiswa yang sangat cerdas.
Suatu hari, papanya mengalami kecelakaan mobil saat perjalanan bisnis. Beliau meninggal seketika. Bryan sangat terpukul dengan kepergian papanya.
Dia sempat bekerja di perusahaan papanya. Namun, semakin lama ia merasa sesak karena kesendiriannya selalu mengingatkan pada orang tua tunggalnya itu.
"Pa, maaf Bryan tidak kuat jika harus menjalankan bisnis ini sendiri. Maafin Bryan mengecewakan Papa," gumamnya memejamkan mata.
Akhirnya Bryan memutuskan menjual semua aset perusahaan di Bandung, kecuali kediamannya. Ia ingin kembali ke Malang, tempat dimana ia dilahirkan. Tempat dimana ia menghabiskan waktu masa kecilnya di sana. Tempat dimana ia menemukan gadis kecil yang sangat dia sayangi bahkan mungkin dicintainya.
Bryan menggunakan ijazahnya untuk melamar di universitas-universitas yang terletak di Malang. Salah satunya, Universitas Brawijaya. Kampus itu, menawarkan harga paling tinggi untuk gajinya. Sehingga ia pun menerima tawaran tersebut.
Sementara, sepulangnya dari Bandung Bryan bermaksud tinggal bersama gadis kecil kesayangannya. Namun ternyata, gadis itu tak lagi kecil. Sekarang sudah beranjak dewasa dan telah menikah dengan pria pilihannya.
Sakit, sesak, tentu dia rasakan. Bryan terlambat, semuanya terlambat. Gadis yang ada di hatinya sedari masih bayi, kini telah menjadi milik orang lain. Tidak mau terus menyakiti hatinya, Bryan mencari apartemen untuk dia tinggali. Dia berusaha mengubur dalam-dalam mimpinya untuk bersanding dengan gadis pujaan hatinya meskipun sulit.
Bersambung~
Intro dulu✋ Welcome Bryan Jangan lupa rate 5, Like, Komeng dan Fav yah...
Selamat Tahun Baru 😘
Malang, Januari 2009
Seorang gadis kecil berusia 10 tahun sedang meringkuk di kasur, ia membelit tubuhnya di bawah selimut tebal. Berharap mampu meredam jerit tangisnya.
Dengan telinga dan matanya sendiri, ia menjadi saksi pertengkaran kedua orang tuanya. Rasa sesak menghimpit dada gadis itu. Ia tidak mengerti akar permasalahannya. Yang dia tahu, selama satu jam ayah dan bundanya bertengkar hebat. Keduanya saling berteriak tidak ada yang mau mengalah.
"Ayah ... Bunda ... jangan bertengkar lagi," jeritnya menutup kedua telinga dengan tangan mungilnya.
Tangisan sang bunda membuat hatinya hancur berkeping-keping. Teriakan sang ayah yang menggelegar membuat tubuhnya bergetar hebat karena takut.
Andin, gadis yang kini duduk di bangku SD itu tidak seharusnya melihat pertengkaran kedua orang tuanya. Hal yang sangat mencekam baginya.
"Dek, kamu di mana?" tanya seorang gadis berusia 3 tahun di atasnya.
Andin menyibak selimut itu, menatap mata kakaknya yang berada di ambang pintu dengan deraian air mata. Sang kakak menutup pintu perlahan, ia lalu berjalan menghampiri adik kesayangannya.
"Kakak," isak Andin dengan rambut yang acak-acakan.
"Sssttt ... jangan takut, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Percaya sama kakak," ujar kakaknya menghapus air mata Andin.
"Kak, Andin takut. Ini bukan pertama kalinya Andin melihatnya," imbuh Andin sesenggukan.
Sang kakak masih terus berusaha menenangkan adiknya. Ia terlihat lebih tegar, meskipun dalam hatinya juga hancur. Namun gadis itu selalu berusaha menjadi tameng untuk adiknya. Memberikan kekuatan dan ketenangan untuk sang adik.
"Udah malem Dek, bobok ya. Semoga besok semuanya baik-baik saja. Ayok gosok gigi dan cuci muka," titah sang kakak menuntun Andin ke kamar mandi.
Andin mengangguk, dia berusaha percaya dengan semua ucapan kakaknya. Setelah membersihkan diri, Andin merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
"Kak, Andin sayang banget sama Kakak," tukas Andin kembali beranjak memeluk erat sang kakak yang duduk di tepi ranjang.
"Kakak juga sayang banget sama Andin, udah jangan sedih lagi. Istirahat ya, kakak mau balik lagi ke kamar," tandasnya.
Andin mengangguk, ia melepaskan pelukan dan kembali merebahkan tubuhnya. Sang kakak menyelimutinya, memberikan kecupan sayang pada keningnya. Lalu mematikan lampu utama dan kembali ke kamar.
Saat sudah terlelap ke alam mimpi, tiba-tiba sang bunda membangunkannya perlahan. Andin mengerjapkan kedua bola matanya lalu menguceknya.
"Bunda, apa sudah pagi," tanya Andin kecil yang belum sadar sepenuhnya.
Bunda Ira masih sibuk merapikan rambut panjang putrinya itu, menyisir dan menguncir kuda. Lalu memakaikan jaket tebal untuk membungkus tubuh kecil itu.
"Bunda, kita mau ke mana?" tanya Andin pelan.
Bunda Ira menghela napas berat, nampak kristal bening menetes pada pipi beliau. Andin memeluk ibunya erat. Ia baru sadar, ketika melihat sebuah koper besar bersandar di tepi tempat tidur.
"Sayang, mau 'kan ikut sama Bunda?" tanya Ira pelan membelai kedua pipi putrinya.
Andin menghapus air mata ibunya yang semakin deras. "Bunda jangan nangis lagi, Andin mau ikut sama Bunda, Andin sayang sama Bunda," ucapnya polos mengulas senyum.
Ira segera mengajaknya keluar dari rumah besar yang sama sekali tidak pernah membawanya dalam kebahagiaan selama beberapa tahun terakhir.
Mereka berjalan sangat pelan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Andin menuruti semua kata-kata ibunya. Saat sudah berhasil menapak di pekarangan yang sangat luas, mereka berhenti sejenak. Berselimut awan gelap bertabur ribuan kerlap kerlip bintang.
Ira berdiri menatap pintu rumah yang menjulang tinggi itu. Lalu menutup matanya sejenak, memutar memori sejak awal ia membangun rumah tangga. Berawal sangat harmonis, penuh cinta dan kebahagiaan.
Namun selama dua tahun terakhir semuanya berubah. Fadli, suaminya menjadi seorang pria pemarah dan penuh emosi. Ira hanya menduga tentang hadirnya orang ketiga, namun itulah awal pertikaian mereka. Dugaannya membawa malapetaka bagi rumah tangganya. Karena memancing emosi sang suami sampai menjatuhkan talak untuknya.
Ira tak kuasa menahan beban berat yang kini terasa amat menyesakkan. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan suami dan anak sulungnya.
"Mulai sekarang, kita hidup berdua ya, Nak," ucap Ira berjongkok menyamakan tinggi dengan Andin.
"Tapi Bun, gimana dengan kakak?" elak Andin dengan mata berkaca-kaca.
"Kakak akan baik-baik saja bersama ayah. Andin harus kuat ya, Andin harus berjuang bersama Bunda. Andin adalah sumber kekuatan Bunda sekarang," ujar Ira menahan tangisnya. Ia tidak mau terlihat sedih di depan Andin. Dia harus tetap kuat.
Ibu dan anak sama-sama saling menguatkan. Disatu sisi Andin tidak mau berpisah dengan kakaknya. Di sisi lain, Andin tidak mau membuat ibunya sedih. Dia paling tidak kuat melihat sang bunda menangis. Andin kecil menahan isak tangisnya sambil berjalan memeluk boneka teddy kembaran dengan kakaknya.
"Kakak, Andin sangat menyayangi Kakak. Tapi Andin tidak mau membuat Bunda menangis. Andin juga takut dengan Ayah yang selalu marah-marah," ucapnya dalam hati menitikkan air matanya.
Ira masih mempunyai sedikit tabungan, kiranya mampu untuk mencari tempat tinggal dan menghidupi mereka berdua. Waktu yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari membuat Ira tidak tega dengan putri kecilnya. Mereka sementara menginap di musholla yang cukup jauh dari kediamannya.
Keesokan paginya, mereka melanjutkan perjalanan dengan menaiki bus. Tujuannya adalah Semarang, kota asal Ira. Dia ingin pulang ke rumah orang tuanya.
"Andin, kita ke rumah nenek ya, Nak," ucap Ira saat mereka telah sampai di terminal. Kini mereka sedang sarapan.
"Iya Bunda," sahut Andin mengangguk dengan seulas senyum.
Hampir dua belas jam perjalanan mereka tempuh, akhirnya telah sampai di Terminal Terboyo pukul 9 malam. Kemudian melanjutkan perjalanannya lagi naik angkutan.
Andin masih terjaga, meski ia sangat mengantuk. Kini keduanya telah sampai di kediaman orang tua Ira.
Awalnya Ira ragu mengetuk pintu, namun melihat putri kecilnya ia memberanikan diri untuk membangunkan sang tuan rumah.
Minah, nenek Andin begitu terkejut dengan kedatangan mereka. Minah tidak langsung menyambutnya, namun menatap anak cucunya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Bu, besok akan saya jelaskan. Izinkan saya dan Andin menginap di sini untuk sementara," izin Ira pada ibunya setelah mencium punggung tangannya
Minah membuka pintu lebar-lebar tanpa sepatah kata pun. Lalu, Ira mengajak Andin masuk ke kamarnya dulu sewaktu masih remaja.
"Andin, maaf ya. Kamarnya tidak seluas kamar Andin di rumah ayah," ucap Ira pelan mendudukkan putrinya di kasur.
"Nggak apa-apa Bun, yang penting Andin selalu sama Bunda. Bunda nggak boleh sedih lagi, Bunda nggak boleh nangis lagi," balas Andin memeluk tubuh ibunya.
"Anak bunda memang pinter banget," ujar Ira mencium kening Andin.
Ia lalu merapikan pakaiannya juga punya Andin di lemari. Andin sudah tidur setelah berganti pakaian dan membersihkan dirinya.
"Maafin Bunda, Nak," tutur Ira pelan menitikkan air mata sambil mengusap kepala anaknya yang sudah terlelap dalam tidurnya.
Ira kemudian turut merebahkan tubuhnya, lalu memejamkan mata. Tak butuh waktu lama, Ira terlelap dalam tidurnya. Mungkin karena kelelahan.
"Kakak," gumam Andin dalam tidurnya.
Bersambung~
Rintik hujan mulai menjatuhkan diri ke bumi. Lama kelamaan tetesan itu semakin deras, hawa dingin semakin menelusup pada pagi hari di Kota Malang.
Seorang gadis beranjak remaja mengerjapkan mata karena gemericik air yang seolah menabuh atap rumahnya. Sinar mentari sama sekali tidak mau menampakkan diri, padahal hari sudah pagi.
Ia menyeret langkah kakinya untuk mandi, waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Saatnya bersiap untuk bergegas ke sekolah. Lima belas menit kemudian, gadis tersebut sudah siap dengan seragam putih birunya.
Seperti biasanya, ia membangunkan adik kesayangannya membantu bersiap ke sekolah. Langkahnya selalu bersemangat. Saat membuka pintu, gadis itu terdiam seketika saat melihat ranjang yang rapi.
Kamar yang gelap, matanya menelisik ke seluruh penjuru ruangan. Darahnya berdesir hebat, jantungnya juga bertabuh sangat kuat. Ia tidak melihat boneka couple di ranjang.
"Dek, kamu di mana?" serunya melangkah masuk.
"Adek?" ulangnya lagi berjalan ke arah lemari.
DEG!
Isi lemari tersebut kosong, kedua bola mata gadis itu membulat dengan sempurna. Tangannya menutup mulut yang menganga.
"Andin!" teriaknya keras.
Ia berlari menuju kamar orang tuanya, tangannya menggedor pintu sangat keras. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya.
"Ayah! Bunda! Buka pintunya," serunya menahan isak tangisnya. Masih merasakan panik luar biasa.
Pintu terbuka, terlihat sang ayah sudah rapi dengan pakaian kantornya. Pria itu mengerutkan kening, ia melihat kepanikan pada putri sulungnya.
"Ada apa, Dewi?" tanya pria itu dengan suara beratnya.
"Yah, adek nggak ada di kamarnya. Dan ...."
"Dan apa?" potong sang ayah tidak sabar.
"Semua bajunya di lemari tidak ada, Yah! Bunda mana? Bun! Bunda!" teriaknya cepat.
Fadli bergegas memeriksa lemari pakaiannya. Ia meremas rambutnya ketika melihat lemari istrinya kosong.
"Aaaaarggghh! Brengsek!" teriak Fadli menggelegar memukul kaca lemari.
Dewi terperanjat, serpihan kaca berserakan dimana-mana. Darah segar mengalir dari punggung tangan sang ayah. Gadis itu segera mengambil kotak P3K.
Lalu berlari lagi menuju kamar sang ayah. Dewi menahan sesak di dadanya. Air matanya terus mengalir, meski ia berusaha keras menghalaunya. Tenggorokannya tercekat, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
Fadli masih terlihat begitu marah. Dewi meraih tangan ayahnya itu lalu mulai membersihkan, mengobati dan membalut lukanya. Meski tangannya bergetar melakukannya. Terbesit ketakutan dalam hatinya, takut jika nanti sang ayah melampiaskan kemarahan padanya.
"Dewi, mulai sekarang jangan pernah menghubungi ibumu lagi. Dia sudah bukan ibumu. Dia bahkan tega meninggalkan kamu! Awas saja sekali kamu menghubunginya, kamu harus angkat kaki dari rumah ini! Silahkan kalau kamu mau ikut bersamanya. Tapi jangan pernah menginjakkan kaki di lantai ini lagi!" tegas sang ayah.
'Bunda bukannya tega meninggalkan aku, Yah. Tapi bunda memintaku untuk menjaga ayah. Bunda sangat menyayangi ayah. Tapi sikap ayah yang membuat beliau pergi. Bunda sudah tidak tahan lagi.' Dewi hanya mampu berucap dalam hati.
Dewi kembali teringat dengan pesan ibunya. Semalam, sebelum Dewi benar-benar terlelap, sang bunda datang ke kamarnya. Beliau berpesan pada putri sulungnya, "Nak, ingatlah sampai kapan pun Bunda sangat menyayangi kamu. Namun, jika suatu ketika Bunda tidak ada, tolong jaga ayah untuk Bunda. Jangan pernah sekalipun meninggalkan ayah. Tetaplah di sampingnya apa pun yang terjadi. Janji sama Bunda ya."
Ucapan ibunya tadi malam adalah pesan terakhir sebelum meninggalkannya. Ira juga memberikan pelukan hangat sebelum pergi meninggalkan putri sulungnya. Dewi saat itu belum mengerti dan sekarang ia tahu maksud dari semua ucapannya.
Dewi hanya menunduk, tidak berani membalas setiap ucapan sang ayah. Yang dia tahu saat ini seolah berada di kamar yang mencekam. Dewi seolah tercekik menahan kesedihannya. Keluarganya hancur, remuk seperti serpihan kaca yang berserakan di lantai.
Satu tahun kemudian ....
Seperti titah sang ayah, Dewi tidak pernah menghubungi ibu maupun adiknya. Setiap malam dia hanya bisa menangis memeluk erat boneka teddy, seolah sedang memeluk adiknya.
Rasa rindu yang mencekik sudah tidak dapat dibendung lagi. Namun tidak ada yang bisa dilakukannya. Selain menikmati rasa sesak dan sepi dalam hatinya.
...----------------...
Di sisi lain, disebuah desa kecil terletak di pinggiran Kota Semarang. Ira, menangis tersedu-sedu karena ucapan ibunya yang begitu menusuk hatinya. Kerap kali disindir karena hanya bisa merepotkannya. Padahal Ira juga memberikan sebagian uangnya hasil dari usaha loundry.
Seolah tidak ada harganya, ibunya terus mencaci dan menyalahkannya karena berpisah dengan suaminya. Sampai Ira sudah berada pada batas kesabarannya.
"Andin, kita pergi dari sini ya, Nak. Mungkin memang lebih baik kita hanya tinggal berdua saja," ucap Ira pelan pada putrinya sepulang dari sekolah.
"Nenek jahatin Bunda lagi ya?" tanya Andin dengan mata berkaca-kaca.
Ira menghela napas berat, "Nenek tidak jahat kok, Sayang. Cuma kita harus mandiri. Nggak boleh ketergantungan dengan orang lain. Andin harus selalu kuat ya," tuturnya lembut membelai rambut putrinya.
Andin mengangguk sambil mengulas senyumnya. Dia tahu bundanya sangat sedih, Andin selalu mendukung apapun keputusan bundanya. Dia hanya ingin melihat sang bunda bahagia.
Hari itu, Andin membantu bundanya mengemasi barang-barangnya. Mereka akan kembali menempuh perjalanan panjang kembali ke Malang malam nanti. Tanpa sepengetahuan orang rumah.
Saat malam menyapa dan semua penghuni rumah sudah terlelap dalam mimpi indahnya, Ira dan Andin bergegas keluar dari rumah dengan perlahan.
"Sayang, maafin Bunda ya," tutur Ira pelan memeluk putri kecilnya.
"Surga Andin ada pada Bunda, apapun akan Andin lakukan asal Bunda bahagia," tukas Andin dengan seulas senyum.
Jawaban Andin membuat Ira terharu sekaligus bersyukur, karena memiliki putri cantik sekaligus lembut dan penurut seperti Andin.
Kini mereka sedang perjalanan kembali ke Malang. Keduanya beristirahat saling berpelukan di bus yang mengantarkan kepergian mereka.
Perjalanan yang memakan waktu lebih dari 10 jam itu membuat keduanya terasa lelah. Tak terasa, hari telah berganti. Malam telah berubah pagi, bus yang mereka tumpangi telah berhenti di sebuah terminal.
"Sayang, sudah sampai, yuk kita sarapan dulu. Lalu kita cari tempat tinggal ya," tutur Ira membelai lembut pipi Andin.
Andin menggeliat, lalu mereka turun dan segera membeli makanan. Setelahnya, Ira bertanya informasi mengenai sewa rumah/kontrakan. Dari usaha loundry yang dijalankan, Ira dapat menyisihkan sebagian uang untuk tabungan.
Hampir 30 menit menyusuri jalan, akhirnya mereka sampai di lokasi. Ira segera menghubungi pemilik kontrakan untuk membayar sewa rumah minimalis yang sederhana sesuai info yang didapat. Agar tidak terlalu menguras kantong.
"Sayang, kita tinggal di sini ya. Andin nggak apa ya sekolahnya ngulang lagi dari kelas 1? Kita nggak sempat urus pindahan, Sayang," ujar Ira pelan di depan rumah yang akan mereka tempati.
Andin meraih tangan bundanya, ia memasang wajah bahagia. "Iya Bunda nggak apa-apa, asalkan Andin selalu bersama Bunda," sahut Andin memeluk tubuh ibunya.
Bersambung~
Segini aja ya kenalannya....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!