Tidak seorangpun pernah meminta dilahirkan
Tidak seorangpun dapat meminta pada waktu dan tempat seperti apa dia akan ada di bumi ini
Semua semata kedaulatan ilahi
Yang pasti Dia punya maksud untuk setiap kehidupan yang diciptakan-Nya
*
*
Menjadi anak pertama dari empat bersaudara bukan sesuatu yang mudah. Harus lebih sering mengalah, menjadi teladan, dan bisa menjaga adik-adiknya. Tapi Melati tidak merasa itu menyusahkannya. Karena ia sangat menyayangi adik-adiknya. Unik juga orang tuanya memberi mereka nama. Untuk anak pertama dan kedua yang perempuan diberi nama Melati dan Lily, nama-nama bunga. Sedang anak ketiga dan keempat yang lelaki diberi nama Damar dan Jati, nama-nama kayu. Ayah bilang bunga itu cantik, pohon itu kuat. Dan semua berguna untuk hidup manusia. Begitu pula harapan ayah untuk anak-anaknya kelak jadi orang yang berguna bagi sesamanya.
"Makanan sudah siap. Sana panggil adik-adikmu. Kita makan bersama," kata ibu. Sekar, wanita yang lembut tetapi tegas. Kadang-kadang cerewet juga kalau anak-anaknya mulai membuatnya kesal. Begitulah ibu-ibu.
"Iya, Bu." Tanpa menunggu menit berikutnya Melati sudah meninggalkan ruang makan yang nyambung dengan dapur. Dia ke ruang tengah, Damar dan Jati ada di sana, sedang mengerjakan PR. "Makan dulu, yuk..." ajak Melati.
"Hmm... Memang sudah lapar ini," kata Jati. "Ibu masak apa, Kak? Tempe penyet?"
"Kamu ini tiap makan kok nanya tempe penyet, spagetti kek, berkelas dikit gitu," sahut Damar.
Melati tertawa mendengarnya.
"Emang kenapa? Orang suka," ujar Jati sambil nyengir.
"Damar panggil Kak Lily, ya..." kata Melati. Lily sukanya belajar di kamar. Damar berdiri dan segera menuju kamar depan, kamar Lily dan Melati.
Melati dan Jati sudah ke ruang makan dan duduk di sana. Tak lama Damar dan Lily bergabung. Ibu mengajak mereka berdoa baru mereka mulai makan bersama malam itu.
Bu, ayah bulan ini tidak pulang?" tanya Damar. Mereka sudah menikmati makanan sederhana tapi nikmat buatan ibu.
Ayah memang bekerja di Jakarta sudah empat tahun ini. Pulang setiap dua atau tiga bulan sekali. Di rumah paling tiga atau empat hari lalu balik lagi bekerja. Tapi komunikasi yang intens membuat hubungan mereka tetap baik. Awalnya tidak mudah harus berjauhan dengan ayah. Karena ayah biasanya yang antar ke sekolah. Ayah juga suka membantu berbelanja menyediakan kebutuhan di rumah.
Ayah memang pekerja keras. Sering dari pagi sampai malam bekerja supaya kebutuhan cukup untuk empat anaknya. Zaman sekarang punya empat anak itu banyak ya, dan biaya hidup tidak sedikit.
Sedang ibu, dia wanita tangguh. Sejak ayah kerja jauh, semua harus bisa diatasi sendiri. Mengurus rumah, menyediakan makanan, membantu belajar, dan menjadi tempat curhat anak-anak dengan sabar. Ibu sebenarnya bukan orang yang suka memasak, tapi dengan senang hari setiap hari memasak dan menyiapkan makanan, karena biar lebih irit pengeluaran dibanding beli makanan jadi terus.
"Bulan depan baru pulang. Kenapa memangnya?" Ibu balik bertanya.
"Mau ditemani beli HP baru. Aku sudah nabung beberapa bulan. Ayah bilang kurangnya nanti ayah tambah," jawab Damar.
"Sama ibu saja ga apa-apa, kan?" lanjut ibu sambil menuang air di gelas minumnya.
"Wah, ga seru, Bu... Kalau sama ayah selera kita sama. Selera lelaki," ujar Damar sambil memainkan alisnya. Ibu langsung tertawa melihatnya.
"Selera lelaki... Jangan sampai selera ayah itu selera bapak-bapak. Beda sama kita, kaum milenial," sahut Lily.
"Eehh... ayah kita itu ga jadul, yaa... lihat aja nanti, Kak Lily pasti ngiri lihat HP baruku." Damar tidak mau kalah.
"Ga bakal deh... HP-ku sudah bagus, yeee..." Lily mencibir.
"Ayo, sudah... kapan makannya selesai.. kalian masih harus lanjut belajar loo..." ibu melerai keduanya.
Begitulah. Suasana rumah keluarga Adinata selalu ramai dan riuh. Anak-anaknya semua suka bicara dan cerita. Rumah baru sepi kalau mereka tidur atau pas memang tidak ada di rumah.
Lima belas menit kemudian acara makan selesai. Melati dan Lily membantu membereskan dapur. Sedang ibu sudah ke ruang tengah membantu Damar dan Jati melanjutkan belajar. Kemudian Melati dan Lily juga masuk ke kamar mereka belajar.
Melati sangat suka belajar. Sejak kecil dia selalu senang mengetahui hal-hal baru. Dia juga aktif di sekolah. Sejak SMP ikut organisasi OSIS. Bergabung dengan Ekskul dance dan musik. Main gitar cukup bagus dan kalau bernyanyi suaranya
lumayan dengan suara merdu dan menyayat hati saat bernyanyi. Pernah ikut kelas khusus untuk jurnalis. Memang komplit bakat Melati. Itu tumbuh karena dia suka mendapat pengetahuan dan pengalaman baru.
Melati sadar keluarganya hanya keluarga sederhana. Dia harus bisa berprestasi maksimal supaya bisa dapat beasiswa untuk kuliah. Jika tidak dari mana orang tuanya bisa bayar kuliahnya. Sementara tiga adiknya juga perlu bawah sekolah. Lily masih kelas 1 SMU, Damar kelas 2 SMP, dan Jati baru kelas 2 SD. Melati bahkan berencana dia akan cari kerja paruh waktu jika sudah kuliah nanti. Dia tidak mau menjadi beban lebih lama. Dia harus bisa mandiri. Bahkan jika sudah selesai kuliah dia akan bantu orang tuanya menyekolahkan adik-adiknya. Itu cita-cita Melati.
Malam makin larut. Melati melihat jam di dinding kamarnya, sudah lebih jam 10 malam. Pantas matanya sudah mulai perih. Dia lihat Lily, sudah merapikan peralatannya.
"PR apa, Ly?" tanya Melati pada adiknya. Lily kelihatan serius mengerjakan tugasnya di depan laptopnya.
"Sejarah. Mau presentasi. Ini bikin power point," jawab Lily tanpa menoleh.
"Oo..." Melati mengambil bukunya, duduk di ranjang dan mulai sibuk membaca, mempelajari dan menghafal materi yang akan diujikan.
Sampai lebih sejam kemudian waktu berlalu.
"Tidur, Kak. Aku sudah ngantuk banget," katanya. Lily menguap. Lalu dia naik. Ke ranjangnya.
"Sudah selesai?" Melati menoleh ke arah Lily. Rupanya dia sudah membereskan peralatan sekolahnya.
"Dikit lagi, sih. Tapi presentasi lusa kok. Jadi masih ada waktu selesaikan besok," jawab Lily.
"Ya uda. Aku juga dikit lagi," kata Melati sambil tetap menatap bikin di tangannya. "Jangan lupa doa, Ly." Masih menyahut juga.
"Ya, Kak." Adiknya yang mulai lebih tinggi darinya itu manut. Melipat tangan menutup mata, mengucapkan doa sebelum tak lama lelap di kasurnya.
Beberapa menit kemudian Melati menutup bukunya, memasukkan ke dalam tas. Lalu dia baringkan tubuhnya yang mulai penat. Matanya juga sudah terasa agak perih. Karena banyak membaca dan mulai mengantuk juga.
Malam bergulir. Rumah itu makin sepi. Semua penghuninya sudah tenggelam dalam peraduan. Damar dan Jati yang letak kamarnya di sebelah kamar Melati juga sudah tidur. Ibu pun sudah mematikan lampu kamar, tanda dia mengakhiri semua aktivitasnya.
Sedang Melati, matanya sudah berat, tapi pikirannya belum mau istirahat. Akhir-akhir ini dia sering susah tidur, karena memikirkan rencananya setelah lulus. Apakah bisa dia lolos ke perguruan tinggi negri yang dia inginkan? Kalau iya, apakah bisa dapat beasiswa yang lumayan, sehingga tidak kesulitan membayar kuliah? Misal tidak lolos apa dia harus tunggu tahun depan? Ah, dia tidak mau menunda waktu studinya.
Misal sudah kuliah, dia mau ambil waktu kerja paruh waktu. Lalu kerja apa? Jadi pramusaji di restoran? Atau jadi penyanyi di kafe? Hmm, apa mungkin jadi guru les? Pikiran Melati semakin jauh ke mana-mana. Karena terlalu letih akhirnya dia terlelap juga.
Malam semakin dalam, lambat tapi pasti hari berganti, pagi pun datang.
"Pagi, Bu... Pagi, Kak..." Suara Jati. Dia masuk ruang makan. Sudah siap dengan seragamnya.
"Aduh, anak ini kok ganteng, sih?" sapa Melati sambil mencubit pipi adiknya, pelan saja, agar tidak membuat Jati sakit.
"Iya laa..." sahut Jati santai. Melati tertawa.
"Ibu buatin roti bakar loo..." kata Melati lagi.
"Aku suka... Mana punyaku?" Jati duduk di kursi menghadap meja.
"Ini... pakai selai coklat, kesukaanmu." Melati meletakkan piring dengan roti bakar di depan Jati.
"Hmmm... yummy..." gumam Jati sambil mencium aromanya.
"Dihabiskan ya, Nak," ujar Ibu. Dia tersenyum melihat Jati nampak cerah pagi ini.
"Iya... Terima kasih, Bu." Jati tersenyum dan mulai menikmati sarapannya.
"Lily dan Damar, mana?" tanya ibu. Ibu sudah mulai menyiapkan sarapan dan bekal makan siang mereka.
"Sedikit lagi pasti siap, Bu," jawab Melati.
"Hadir!" Damar muncul. "Ahh... Roti bakar. Coklat, kan?" Dia kelihatan senang.
"Yup. Ayo cepat makan," kata ibu.
"Punyaku mana?" Lily nongol juga.
"Ini. Sudah cepat dikit, yaa..." jawab Melati.
Mereka segera sibuk menghabiskan sarapan karena tidak mau terlambat sekolah. Ibu akan pergi dengan Jati. Melati, Lily, dan Damar berangkat bersama dengan angkot ke sekolah. Sekolah mereka memang jadi satu. Jati yang beda. Sekolah Jati dekat dengan TK tempat ibu mengajar. Sedang sekolah ketiga kakaknya agak jauh dan berlawanan arah.
"Berangkat..." kata Melati. Dia mendekati ibu dan mencium pipi ibu. "Doakan lancar ya, Bu..."
Damar dan Lily menyusul mencium pipi ibu.
"Dah... Kakak jangan nakal, yaaa..." Suara Jati. Ketiga kakaknya tertawa. Ibu juga ikut tertawa.
Melati dan kedua adiknya sudah keluar gang dan menyeberang jalan. Tidak lama angkota yang ditunggu sudah datang. Segera perjalanan dimulai. Begitu setiap hari. Berdesakan, tapi menyenangkan. Perjuangan untuk meraih cita-cita. Kadang lelah, pingin libur saja yang lama. Tapi waktu tidak bisa diajak kompromi. Dia menuntut anak-anak itu berlarian mengisinya. Baik atau buruk itu keputusan penggunanya.
Bagi Melati waktu tidak boleh disia-siakan. Dia menyadari dia bisa dapat sekolah di salah satu sekolah terbaik di kota Malang ini adalah anugerah besar buatnya. Dia bisa sekolah di sana karena ada beasiswa. Jika harus bayar normal cuma mimpi laa.. Makanya tekat Melati dia harus berprestasi, tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan dan anugerah yang dia terima.
Beruntung juga adik-adiknya juga menunjukkan prestasi baik. Sering diikutkan lomba untuk mewakili sekolah. Dan itu juga yang mendorong Melati ingin jadi wanita yang berhasil, bisa membantu orang tuanya membiayai adik-adiknya.
Tidak mudah, tapi pasti ada jalan. Itu keyakinannya.
Melati masuk ke kelasnya. Ini semester terakhir di kelas 12. Dan hari ini ujian akhir dimulai. Melati rasanya sudah siap menghadapi semua, meski dia tahu masih ada yang belum dia kuasai dari semua pelajaran yang dia pelajari.
"Yang terjadi terjadilah. Just try to do your best," gumamnya menyemangati diri sendiri.
"Mela, ntar kasih contekan, ya..." Ranita langsung duduk di sebelah Melati begitu sohibnya itu sampai di bangkunya.
"Apa? Ini ujian kali." Melati meletakkan tasnya di meja lalu mengeluarkan alat tulisnya.
"Semalam ga belajar kamu, Ran?" tanya Melati.
"Belajar laa... Tapi dikit..." sahut Ranita. "Otakku ini kayak porak poranda kalau diajak mikir banyak-banyak. Beda sama kamu."
"Haa... Haaa..." Melati ngakak mendengar itu. "Porak poranda, memangnya abis bencana angin ****** beliung."
"Gitu, deh... Bantulah sahabatmu yang baik, cantik, murah hati, dan tidak sombong ini." Ranita merayu.
"Kalau mau ngajari waktu belajar ok. Kalau ujian mau celaka bareng? Aku atuttt..." tukas Melati sambil mengepalkan kedua tangan di dada pura-pura gemetar.
Ihh.... Pelit..." Ranita manyun.
"Percaya diri aja. Yang penting kita sudah berusaha yang terbaik. Hasilnya serahkan sama yang di atas. Toh, ujian akhir ini bukan penentu kelulusan satu-satunya, kan?" hibur Melati.
"Yang di atas? Cicak?" kata Ranita sambil melirik ke plafon kelas.
"Memang bisa aja jawab, yaa..." Melati menarik ujung lengan baju temannya itu. Ranita cuma ngakak.
Kelas mulai ramai. Teman-teman yang lain sudah berdatangan dan duduk di tempatnya masing-masing. Lima menit setelah itu bel berbunyi dan ujian segera mulai.
Jam 1 siang, tuntas sudah perjuangan hari itu. Sebelum pulang Ranita mengajak Melati ke kantin. Dia ingin minum es mendinginkan kepala yang rasanya sudah mendidih. Di kantin mereka duduk di kursi paling ujung. Bagian sini lebih sering sepi daripada yang dekat stand penjual.
"Hei... Ada si ganteng keren," ucap Ranita girang.
Di kursi sebelah ada Elvan salah satu cowok beken di sekolah ini. Pemain basket andalan. Dia juga wakil ketua OSIS. Musiknya jago gitar dan keyboard. Beberapa kali membawa band sekolah juara di festival musik antar sekolah dan sekota. Ganteng dan dari keluarga yang lumayan tajir. Siapa coba cewek yang ga klepek-klepek sama cowok model begini.
"Hai..." sapanya ramah. Senyumnya mengembang ke arah Melati dan Ranita yang duduk tak jauh darinya.
"Hai..." sahut Ranita. "Belum langsung pulang, El?" tanya Ranita lagi.
"Janjian sama Pak Diko. Mau pulang bareng," jawab Elvan. Iya, dia keponakan Pak Diko. Guru olahraga, salah satu guru favorit sekolah ini. Orangnya energik dan selalu tersenyum. Sedikit menular sama ponakannya ini, tapi Elvan lebih kalem, sih.
"Ooo..." Kedua cewek itu bareng membulatkan mulutnya. Membuat cowok dengan mata coklat terang itu terkekeh. Melati dan Ranita ikut tertawa kecil.
"Gimana ujiannya tadi, susah?" Elvan bertanya. Lalu dia menyeruput es jeruk di depannya.
"Hmm, gitu deh. Makanya cari es, nih... Biar kepala adem," sahut Ranita.
Lagi-lagi cowok itu terkekeh. "Tahun depan giliranku. Ngeri-ngeri sedap kayaknya, ya," ujarnya. Tetap kalem mesti kata-katanya ngajak bercanda.
"Iya laa... Kecuali kamu berencana tinggal kelas atau drop out aja dari sekolah." Mulut tajam Ranita langsung nyahut.
"Ngomong tuh dipikir, Mbak." Melati memencet hidungnya sebel dengan model Ranita yang selalu suka sekenanya kalau bicara.
"Aduh, sakit. Bisa mancung ke dalam ntar aku." Ranita menarik tangan Melati dan mengusap hidungnya yang sedikit ngilu.
"Wah, kalau aku tinggal kelas atau drop out ketinggalan serunya perjuangan menyelesaikan sisa-sisa masa SMA. Padahal justru itu tantangannya, kan?" Elvan mengangkat bahunya.
"Belum tahu saja. Kalau boleh, waktu ujian gini asyiknya di-skip, deh. Aku ingin langsung sampai di hari wisuda." Ranita menjawab sambil menatap ke atas, membayangkan apa yang dikatakannya.
"Emang film kartun, bisa di-skip." Melati geleng-geleng. Sahabatnya ini selalu bisa saja menjawab.
Elvan tertawa lirih. "Kalian asyik, yaa... berdua..." ucapnya.
"Asyik apa? Kami sahabatan doang, El. Murni. Kami bukan pasangan loo... masih di jalur yang lurus," sahut Ranita sambil membelalakkan matanya.
"Tahu, Ran..." Elvan makin melebarkan senyumnya. Dan gantengnya bertambah lagi.
"Ya Tuhan... kok bisa ya, aku tahan punya teman kayak gini..." gerutu Melati.
"Ya iya laa... Masa masih belum paham aku ini makhluk langka, tiada duanya. Beruntung kamu bisa sedekat ini denganku. Takdir memang berpihak padamu," kata Ranita sambil mendekatkan wajahnya pada sahabatnya itu.
Melati menarik ujung rambut Ranita karena sebal dengan candaannya itu. "Aaauhh... sakit, Mel!" Kontan Ranita berteriak kaget.
"Biarin," ujar Melati. Elvan lagi-lagi tertawa melihat tingkah dua sahabat itu.
"El, kamu ditaksir banyak cewek loo... sadar, kan?" kata Ranita sambil dia menghabiskan minumannya.
"Hmmm... kenapa memang?" tanya Elvan, bukan menjawab Ranita. Wajah cowok itu berubah sedikit serius.
"Ga ada yang nyantol di hati apa? Mulai dari kelas 10 sampai 12, ada lo yang hatinya terpaut pada dirimu." Ranita memancing pembicaraan soal hati.
Elvan menoleh dan menatap Ranita lurus. Gadis itu santai sekali gayanya. Tidak ada beban menanyakan hal begini pada cowok.
"Kalau ada kenapa? Kalau nggak kenapa?" Elvan berusaha menjawab dengan santai juga.
"Aiihhh... ini nggak asyik banget. Bukan menjawab pertanyaan, El," ujar Ranita gemes. Melati tidak tahu harus komen apa dengan pembicaraan makhluk unik di depannya ini.
Elvan hanya tertawa kecil. Dia menyeruput es jeruknya lagi. "Itu masalah hati, Ran. Sebaiknya dijaga baik-baik. Kalau pas, baru..."
Tinggg!!
Elvan melihat ke HP yang dipegangnya. Pesan masuk. "Aku uda ditunggu. Duluan, ya," kata Elvan sambil berdiri.
"El, belum selesai kalimatnya tadi... Baru apa??" Ranita penasaran.
"Hmmm... lain kali aja, ya... episode selanjutnya..." tandas Elvan.
"Hei... bukan sinetron ini..." Ranita masih ngotot.
Elvan hanya melambaikan tangan kanannya.
"Oke. See yaa.." ujar Melati.
"TTDJ. Kalau jatuh bangun sendiri, ga usah sebut namaku tiga kali." Masih nyahut lagi Ranita.
"Hah?" Elvan menatap Ranita.
"Ga ngefek. Kan aku jauh darimu," jelas Ranita sambil mengerjapkan mata beberapa kali.
Elvan cuma bisa ngakak sambil geleng-geleng. Dia mengambil gelas plastik kosong bekas es jeruknya dan membuangnya ke tempat sampah. Lalu meninggalkan dia cewek cantik itu. Memang anak baik ya, ga ninggalin sampah sembarangan.
"Hmm... aku suka cowok kayak Elvan itu. Coba dia mau memperhatikan aku sedikit saja, mungkin bisa jatuh cinta dia," ujar Ranita.
"Mulai lagi, deh... Lalu si Iwan, anak kelas sebelah? Katanya dia mantap punya," sahut Melati.
"Iya, dia boleh juga. Tapi mereka kayak tertutup kabut apa gitu ga pernah noleh padaku. Aku ini jelas-jelas cantik loo..." tambah Ranita. Dia memainkan pipinya yang memang bagus bentuknya.
"Kabut asap," kata Melati datar. Lalu meneguk es di gelasnya sampai habis.
"Sialan." Ranita tertawa. "Kamu, setelah ditembak Viko? Kan kamu tolak. Terus apa masih berharap sama Alfaro?" Ranita menoleh pada Melati.
"Aku kan sudah bilang, ga mau pacaran dulu. Fokus belajar. Biar hati suka, ga harus ngotot jadian. Lagian Alfaro juga sudah pindah kota. Masa depan masih panjang, Ran," jawab Melati.
"Bisa ya ada cewek model begini. Kamu ini langka tahu ga..." Ranita berdiri. Merapikan roknya lalu mengambil tasnya dan bersiap meninggalkan kantin. Melati mengikutinya.
Tidak lama setelah itu Melati dan Ranita pulang. Mereka berpisah di depan gerbang sekolah. Dengan motornya Ranita duluan. Sedang Melati seperti biasa naik angkot. Rumah Ranita memang ke arah yang berbeda makanya ga bisa pulang sama-sama.
Hari-hari berikutnya benar-benar diisi dengan sibuknya ujian. Ujian tulis dan ujian praktek. Ada beberapa proyek yang juga mesti diselesaikan untuk menentukan kelulusan. Rasanya waktu hanya habis untuk menuntaskan semua itu.
Melati mencurahkan semua kemampuannya untuk ini. Ujian ini adalah pembuktian dirinya yang paling puncak dari semua pembelajaran yang dia lalui di SMA. Jadi jangan sampai menyesal nanti kalau hasilnya tidak maksimal. Karena hasil yang dia raih juga akan berpengaruh pada rencananya mencapai universitas yang dia inginkan.
Tinggal minggu terakhir proses ujian akhir akan selesai. Berarti masih tiga hari perjuangan. Melati dengan rasa lelah dan lapar bergegas pulang.
Baru turun dari angkot HP nya berbunyi. Telpon dari Lily. Tumben. Adiknya itu jarang menelponnya apalagi kalau jam-jam sekolah.
"Ya, Ly?" Melati menjawab sapaan Lily sambil berjalan menuju gang rumah.
"Ibu sakit, Kak. Panas sekali badannya. Dan sangat lemas. Bagaimana ini?" Kedengaran suara Lily cemas.
"Iya, sebentar kakak sampai. Tunggu, ya." Melati langsung mematikan HP dan cepat-cepat lari menuju rumah.
Sampai di rumah dia ke kamar ibu. Benar, ibu panas tinggi. Sudah dari kemarin sebenarnya ibu kurang sehat. Tapi ibu bilang ga apa, paling kurang istirahat saja.
"Ibu rasa mual," kata ibu. Mencoba bangun dari tempat tidur. Melati memapah ibu ke kamar mandi. Benar saja. Ibu muntah-muntah.
"Li, buatkan minum hangat, ya," kata Melati. Lily segera mengerjakan perintah kakaknya. Lalu Melati membawa ibu kembali ke kamar.
"Bu, kita ke dokter saja, ya," kata Melati.
"Ibu tidak apa-apa. Paling masuk angin," jawab Ibu.
"Tapi, Bu, masa dari kemarin masuk anginnya? Biar Ibu dapat obat yang tepat la." Melati mengusap kaki Ibu dengan minyak kayu putih. Lalu juga di leher dan dada atas Ibu. Ibu kelihatan pucat.
"Ibu akan istirahat full malam ini sampai besok pagi. Pasti baik kembali." Ibu masih mencoba menenangkan Melati.
"Iya, bu. Kalau besok Ibu masih belum sehat, harus ke dokter, ya," pinta Melati. Ibu mengangguk.
Lily datang dengan teh hangat. Melati membantu ibu duduk dan minum. Lalu dia tinggalkan ibunya istirahat di kamar.
Sampai saat makan, lagi-lagi Ibu muntah-muntah. Dan badan Ibu semakin panas, dia menggigil dan merasa kedinginan.
"Ibu, tidak bisa tunggu besok. Ibu bisa tambah parah. Obat yang Ibu minum tidak ada pengaruhnya. Ibu juga muntah terus. Sekarang saja ya bu, ke dokternya." Melati masih membujuk ibunya.
"Bu, biar pak dokter kasih obat yang cocok, jadi Ibu cepat sehat." Jati ikut membujuk ibu.
"Ya sudah. Ayo, kita ke dokter." Ibu akhirnya mengalah.
Melati mengajak Damar menemaninya membawa ibu ke dokter. Sedang Lily di rumah menemani Jati. Melati memesan taksi online dan bergegas ke dokter begitu kendaraan datang.
Ternyata ibu kena gejala typus. Untung ibu bersedia periksa. Kalau telat ketahuan bagaimana, batin Melati. Dokter menyarankan ibu harus bedrest selama dua minggu. Makan makanan yang halus dan tidak boleh yang pedas.
Sebenarnya dokter sarankan untuk opname, tapi ibu tidak mau. Dia tahu anak-anaknya akan kesulitan untuk menjaganya di rumah sakit. Sebaiknya dia tetap di rumah saja, masih bisa mengawasi mereka.
Melati lega karena tahu penyakit ibu, tapi juga agak kuatir dengan situasinya sekarang. Ini ujian belum selesai. Bagaimana dia bisa mengatur rumah dan adik-adiknya? Selama ini semua ibu kerjakan. Dia dan adik-adik hanya bantu sesekali karena memang sudah sibuk urusan sekolah. Sedang ibu, meskipun dia juga mengajar di TK, ibu bisa handle semua dengan baik. Beresin rumah, siapkan keperluan mereka sekolah, menyediakan makanan di rumah, bantu belajar khususnya Jati, dan banyak lagi lainnya.
Melati makin bangga dan sayang ibu. Dia baru tahu betapa berat yang ibu lakukan untuk mereka. Apalagi ayah selalu jauh. Makanya kadang ibu akan ngomel kalau mereka tidak mau nurut. Maafkan aku ya, bu, yang kadang bikin ibu emosi karena susah diatur, bisik hati Melati sementara mereka perjalanan pulang dari dokter.
"Mela, tidak usah kerjakan semua urusan rumah. Yang penting saja. Kalau ga sempat masak, beli saja di warung Bu Nani," kata Ibu. "Pesan saja bubur buat Ibu pagi dan siang. Sore baru ga apa Mela buatkan asal tidak lelah."
Mereka sudah kembali di rumah. Ibu sudah berbaring di kamarnya. Ibu sudah makan bubur yang Melati buat dan minum obat.
"Bu, ujian kan tinggal tiga hari. Ibu tenang saja. Kami sudah besar, pasti bisa mengatur semuanya. Pokonya Ibu harus cepat sehat." Melati memeluk ibunya.
Ya, dia harus bisa mengurus rumah. Adik-adiknya juga bukan anak yang bandel yang semaunya. Dia bersyukur, meski keluarga mereka sangat sederhana, tapi orang tuanya bisa mendidik semua anaknya dengan baik.
"Terimakasih ya, Sayang." Ibu tersenyum. Melati mencium pipi ibu lalu meninggalkannya untuk istirahat.
Hati Melati sedikit teriris. Bagaimana tidak, ini hari-hari penentuan buatnya. Dia harus fokus belajar untuk tiga hari terakhir ujiannya. Siapa yang mengira situasi begini ibu sakit. Dan ini bukan main-main. Harus dijaga benar atau bisa tambah parah.
"Tuhan, bantu aku atasi ini," batinnya. Jujur saja ada sedikit rasa cemas di hatinya.
Tapi dia tidak boleh kalut. Kasihan Ibu, kasihan adik-adiknya.
"Kak, bantu aku, yaa.." Damar mendekati Melati yang ada di kamar. Dia rupanya ada yang kurang paham dari tugas sekolahnya.
Biasanya ibu yang akan membantu. Sekarang ibu harus istirahat. Dengan sabar Melati menjelaskan beberapa soal yang Damar tidak mengerti. Lalu anak itu balik ke ruang tengah.
Melati mencoba fokus lagi dengan bukunya. Masih banyak yang harus dibacanya.
"Kak, aku lapar..." ganti Jati yang datang.
Melati menoleh. Wajah adiknya itu sudah layu. Dia pasti juga sudah mengantuk.
"Kakak masak telur dadar saja, nggak apa-apa?" kata Melati.
"Iya. Nanti kasih kecap ya Kak, di nasinya." Jati mengikuti Melati yang sudah menuju dapur.
Sepuluh menit selesai sudah. "Jati bisa makan sendiri, ya. Kakak mau belajar lagi," ujar Melati.
"Oke..." Jati tersenyum. Dia duduk dan mulai makan setelah berdoa pendek.
"Ly, nanti lihat Jati. Antar dia tidur selesai makan, ya... Kakak belajar dulu." Melati minta Lily membantu adiknya.
"Iya. Aku hampir selesai, kok." Lily mengangguk.
Melati kembali berkutat dengan buku dan soal-soal latihan. Besok ujian matematika. Selama ini Melati bisa pelajaran ini, tapi bukan yang mahir. Melati memang lebih menikmati belajar bahasa dan hal-hal sosial ketimbang angka dan hitungan. Untungnya nilainya tidak pernah jeblok di matematika.
Dengan situasi ini Melati tidak yakin besok ujiannya bisa bagus. Mau bagaimana lagi? Yang penting dia berusaha saja semaksimal mungkin. Seperti pesan ayah, lakukan segala sesuatu yang terbaik kamu bisa, maka hasil tidak akan mengecewakan. Itulah yang membuat Melati tidak pernah main-main dengan tanggung jawabnya.
"Kumohon, Tuhan... berbaik hatilah padaku... Besok berikan soal yang ga terlalu susah. Pikiranku benar-benar lelah sekarang." Melati meletakkan kepala di atas meja. Terasa berat tengkuknya dan pedih di matanya.
Yaa... penat... itu yang dia rasa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!