NovelToon NovelToon

Duda Keren Cari Jodoh

Prolog

"David, kali ini kamu harus ikutin kata-kata Mama. Mama gak mau sampai gagal lagi." Ucapan Mama seperti dengungan lebah di telingaku.

Entah sudah berapa kali wanita yang telah melahirkanku itu mengingatkan rencana hari ini.

"Iya, Ma," jawabku malas.

"Kalau sampai gagal, kamu Mama coret dari kartu keluarga. Seluruh harta warisan mending Mama sumbangin ke panti asuhan," tegas Mama.

"Iya, Ma. Kali ini David pasti datang. Janji."

"Awas kalau berani kabur lagi. Dulu, saat kami bercerai dengan Anna. Memang sudah seharusnya Mama mencoretmu dari KK. Ancaman kali itu seperti angin lalu saja. Kali ini, Mama enggak main-main." Mata Mama berkaca-kaca mengucapkan kalimat itu.

Aku langsung memeluk Mama dari belakang. Meredakan emosinya yang mungkin saja bisa sedikit berkurang.

Mama, kalau saja waktu bisa kuulang. Pasti tidak akan pernah aku menyia-nyiakan Anna.

Semuanya kesalahanku. Murni kesalahanku.

"Maaf, Mama," lirihku.

Mama memegang lenganku yang masih merangkulnya.

Aku pun segera mencium pipi wanita tersayangku itu.

"Jangan kecewakan Mama kali ini. Jangan buat Mama sedih lagi," lirih Mama.

"Iya, Ma. David janji."

***

Hari menyebalkan itu tiba. Mama sudah menghubungiku berkali-kali.

"David, jangan sampai telat."

"David, jangan kabur."

"David, pakai baju yang rapi."

Teleponnya berulang-ulang. Bahkan aku harus mendengarkan omelannya di rapat yang aku pimpin.

Mama.

Mau bagaimana lagi. Ini adalah rencana perjodohan Mama yang ke empat. Sudah tiga kali aku mangkir, kabur dari rencana aneh ini.

Seperti duda lapuk saja. Padahal umurku belumlah sampai empat puluh tahun. Masih jauh dari angka itu.

Namun, Mama sudah gencar mencarikan aku istri.

Kali ini Mama ikut campur dalam urusan masa depanku. Karena khawatir aku bakalan gagal lagi.

Cukuplah sekali aku bercerai.

Aku mendengus kesal. Tanganku menjambak rambut sekuat tenaga, agar kepalaku ini bisa berpikir jernih.

Ya ampun, Mama. Masak sampai video call segala, sih. Gak percaya amat sama anak sendiri. Yaelah.

"Hallo, Ma."

"Eh, David. Mana wajah kamu. Mama mau lihat."

"Ini, Ma. Ini ...."

Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Ingin membantah takut dicoret dari KK.

"Nah, gitu. Ganteng anak Mama. Kamu udah siap?"

"Sudah, Ma," jawabku malas.

"Jangan lemes gitu, dong."

"Iya, Ma ... iya. Udah, ya David mau berangkat nih. Gak mau telat 'kan?"

"Oke. Oke."

Tut

Sambungan diputus.

Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatianku. "Masuk."

"Permisi, Boss. Ini ada satu berkas yang harus ditandatangani." Anita sekretarisku memberikan berkas.

Aku segera menandatangani tanpa banyak bertanya.

"Rapi banget, Boss. Mau ke acara perjodohan ya. Semoga sukses."

Eh, dari mana dia tahu? Pasti Mama.

Aku mendelik tajam ke arahnya. Kontan dia menunduk. Lalu berujar lirih.

"Iya, Mama si Bos yang bilang."

Aku berdecak kesal, lalu meninggalkannya di ruanganku.

***

Dress biru, duduk di pojokan.

Aku mengingat-ingat pakaian yang dikenakan wanita yang datang hari ini. Sesuai instruksi Mama.

Mataku berkeliaran mencari wanita yang berpakaian dress biru itu.

Langkahku perlahan mendekat. Herannya. Jantungku mendadak berdebar lebih kencang.

What? Aku gugup.

"Hai. Sudah lama?" sapaku basa-basi.

Aku kira bakalan datang duluan dan menunggunya. Ternyata aku salah. Wanita itu lebih dulu datang.

Penampilannya, biasa saja. Rambutnya kuncir kuda. Memakai kaca mata.

Masak kayak gini, sih. Selera Mama.

Apa Mama ngerjain aku?

Frustrasi karena penolakan yang kulakukan berkali-kali, misalnya.

"Ya. Baru saja duduk," ucapnya lirih.

Aku duduk di kursi seberangnya. Sesekali melirik padanya yang terus menunduk. Hingga lima belas menit berlalu kami tetap saling diam.

"Mau makan apa?"

"Mau minum apa?"

Duh, kok jadi barengan gini.

"Terserah."

"Terserah."

Kami pun menjawab bersamaan.

Menyadari kekonyolan ini. Aku terkikik geli. Rasanya ada es meleleh dari hatiku.

Aku mengulurkan tangan. "David. Siapa namamu?"

"Aqila. Panggil aja Qila," ucapnya tersipu malu.

Kami berbincang ringan. Ternyata Qila asyik diajak ngobrol. Beda banget dengan tadi saat pertama bertemu.

Aku merasa nyaman, dan lupa waktu.

Beberapa kali ponsel berdering, aku abaikan saja. Meng-gang-gu.

Tanpa melihat siapa si penelpon. Aku non aktifkan ponsel berisik itu.

"Eh, boleh minta nomormu?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Hmmm. Apa enggak apa-apa?" tanya Qila ragu.

"Ya enggak apa-apa, dong."

"Nol delapan ...."

"Biar aku saja yang sebutin. Kamu yang simpen nomor aku, nanti langsung kirim chat ya. Ponselku mati."

Lebih tepatnya, kumatikan. Karena ganggu kita.

Qila mengangguk, seraya tersenyum.

"Manis," gumamku.

"Eh, apa?"

"Oh, enggak."

Aku menyebutkan deretan angka yang sudah kuhapal di luar kepala. Qila menyimak dengan seksama, sembari mengetik di ponselnya.

"Jangan lupa, langsung chat. Kirim nama, alamat, pekerjaan, tempat tanggal lahir ...."

"Kayak mau lamaran kerja aja." Qila terkikik geli.

Gila. Bisa-bisanya aku terpesona oleh senyumnya itu.

Padahal, penampilannya enggak banget. Biasa banget.

***

Malam ini aku enggak bisa tidur. Selain karena Mama yang ngomel sepulang dari aku kencan dadakan tadi.

Apa itu bisa dikatakan kencan?

"David. Kamu itu ya, bandel banget kalau Mama omongin. Kamu kira Mama main-main dengan kata-kata Mama. Ha?"

"Maksud Mama apa?"

"Maksud Mama apa? Maksud Mama apa? Kenapa kamu enggak datang ke perjodohannya itu kali ini? Anak temen Mama udah nungguin kamu lama. Ya ampuun, David. Buat malu terus, deh ah. Heran."

"Aww! Aww! Sakit, Ma."

Udah aku bilang 'kan, kalau Mama jadi aneh gegara pernikahanku yang gagal.

Sekarang jadi tambah aneh dua kali lipat. Aku udah ngikutin apa yang Mama inginkan.

Tunggu-tunggu. Jadi?

"Maksud, Mama? Bukannya, wanita yang Mama bilang itu pakai dress biru duduk di pojokan. Pakai kaca mata dengan rambut dikuncir kuda bukan?"

"Iya, pakai dress biru. Rambutnya sebahu, enggak pakai kacamata juga kali."

"Terus, yang tadi aku temui siapa dong, Ma?"

"Kok tanya sama Mama. Mana Mama tahu?"

"Ya ampun, Ma. Aku salah orang."

Aku menepuk jidat. Malu sekaligus kesal.

Membayangkan pertemuan tadi siang uang ternyata salah orang

Gila. Benar-benar gila.

"Kalau gitu, besok Mama atur lagi jadwal kalian."

"Stop, Ma. Kali ini aku enggak mau. Cukup aku malu sekali aja. Aku enggak mau."

Mengingat percakapan tadi sama Mama. Aku teringat tentang nomor yang aku kasih ke Qila.

Segera kuraih ponsel, lalu mengaktifkannya.

Memeriksa pesan baru dari nomor baru.

Sial. Sial. Sial.

Gak ada pesan baru dari nomor Qila.

Jadi dia enggak chat aku tadi.

Ya ampuun!!!

Kerjaan baru bener ini, nyariin wanita berkacamata, berkuncir kuda.

Kamu di mana?

Kamu siapa?

Kalau tahu dari awal aku salah orang. Kenapa dia enggak bilang, sih?

Aku mengacak rambut frustrasi.

Tidur telentang di ranjang, dengan kedua tangan sebagai bantal.

***

Bab 1

Apa yang kamu tahu tentang pernikahan?

Hmmm, pernikahan itu ikatan janji. Dua orang yang saling mencintai, lalu berjanji untuk hidup bersama. Selamanya.

Seperti roman picisan.

Kisah dua orang manusia berbeda jenis, yang saling jatuh cinta. Lalu mengikat janji pernikahan.

Hah. Dulu, aku pernah berpikir begitu. Sebelum semuanya porak poranda saat aku malah terjebak dengan pernikahan dengan wanita yang tidak aku cintai.

Kesialan yang aku rasakan, entah karena kutukan apa.

Setiap hari, kerjaanku hanya marah ... dan marah. Pada dia, seorang wanita yang berstatus sebagai istri.

Ya, Hana Mahira. Wanita yang beruntung menjadi istri seorang David.

Sayang sekali. Aku justru mencintai adiknya. Alina yang cantik dan manja.

Alina-lah yang seharusnya menjadi istriku. Tapi, kesialan itu ternyata membuat Ana yang mendapatkan keburuntungan itu.

Aku tahu, setiap malam Ana menungguku pulang. Walaupun di rumah kami hanya melakukan perdebatan yang tak berujung.

Namun, istriku itu selalu menyiapkan semua keperluanku.

Waktu tidak bisa diulang. Tak bisa pula diputar balik sesuai yang aku inginkan.

Kelembutan hati seorang Ana nyatanya mampu meruntuhkan egoku.

Tepatnya, saat aku menemui Alina di rumahnya. Tiba-tiba Ana datang dan memergoki kami yang tengah melepaskan rindu.

Aku bisa melihat dengan jelas raut luka itu di matanya. Kecewa yang sangat dalam seorang wanita.

Akhirnya, Ana pun meminta berpisah.

Tak semulus itu memang, karena Mama tidak mengizinknku berpisah dengan Ana. Rasa bersalahku menggunung saat mengingat wajah terluka istriku itu.

Berulang kali aku berupaya meminta dia memaafkanku. Hati Ana telah tertutup rapat.

Mungkin, karena aku menjalin hubungan dengan adik kesayangannya. Ya, bisa jadi seperti itu.

Membuatnya bersikukuh meminta cerai dariku.

Mama tentu saja murka mendengar kabar ini. Harta warisan yang akan diserahkannya kepadaku nyaris gagal total, sebab perceraian ini.

Aku harus kembali ke titik nol, bekerja dengan gaji seadanya walaupun menjabat sebagai pemilik perusahaan. Tentu saja bersama Adrian.

Karena perusahaan ini adalah hasil jerih payah kedua orangtua kami.

Ah, lupakan itu semua.

Semakin lama, aku semakin menyadari. Ana adalah pribadi yang baik. Selalu ketulusan yang dia berikan kepada orang-orang di sekitarnya.

Dan, aku. Sangat ... sangat .... sangat menyesal sekali melepaskan berlian sepertinya.

Namun,di detik ini pula. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik untuknya, untuk Adrian dan untuk putri mereka. Sebagai ucapan maaf yang tidak akan pernah ada habisnya selalu kuucapkan saat kami berjumpa.

Mengenang kilasan masa lalu membuatku yakin. Ana adalah berlian yang seharusnya dipertahankan. Diperjuangkan dan ditempatkan pada tempat yang istimewa.

Bukan malah dibuang lalu diganti dengan kerikil tajam di jalanan.

Aku menyesal, Anna. Sangat menyesal. Berapa banyak kesakitan yang pernah kulakukan. Sebanyak itu pula kebaikan yang Ana berikan.

Masih adakah wanita yang seperti Ana? Yang mau denganku?

Mengingat itu, bahuku terkulai lemah. Andai saja ada, mungkin Mama tidak akan seheboh ini.

Lima tahun sudah aku menduda, belum jua kutemui wanita yang sesuai kriteria.

"Kamu mau wanita seperti apa, David? Mama enggak setuju kalau kamu menikah dengan si Alina itu." Mama selalu saja begitu. Tersulut emosi saat mengingat Alina.

Padahal Ana dan Alina itu terlahir dari ibu yang sama. Namun, memang memiliki karakter yang berlainan. Sangat berlawanan.

"David belum mau memikirkan itu, Mama," lirihku. 'Mau yang seperti Anna. Tolong carikan, Ma,' lanjutku dalam hati.

Mana mungkin aku berani mengucapkannya secara lantang. Bisa-bisa high heels Mama melayang ke wajah tampanku.

"Nunggu umurmu berapa? Kepala empat, baru mikir cari istri. Tuh, si Anna anaknya udah bisa lari-lari." Wajah Mama berubah muram. "Kalau saja kamu tidak mempermainkan pernikahan kalian. Pastilah cucu Mama sudah selucu itu," sesalnya.

Aku menunduk. Diam membisu. Tidak ada yang bisa kulakukan, saat Mama bersedih mengenang mantan menantunya itu.

Mama tidak tahu saja, kalau aku lah yang sangat menyesal karena berpisah dengan menantu kesayangannya.

Nasib ... nasib .... Nasi telah menjadi bubur, tidak akan bisa lagi berubah menjadi nasi. Biarkan saja aku memakan bubur itu dicampur ayam agar terasa nikmatnya.

"Apa kamu tidak pernah menyesal karena berpisah dengan wanita sebaik Anna, ha?! Mama heran deh sama kamu," keluh Mama.

"Mau bagaimana lagi, Ma. Enggak mungkin juga David mau merebut Anna dari tangan Adrian," elakku.

"Kamu dari dulu memang bodoh. Selalu saja kalah oleh Adrian. Padahal, secara tampang. Wajahmu itu lebih tampan dari dia. Lebih tinggi, lebih gagah ... lebih segala-galanya. Tapi selalu kalah soal wanita."

"Ya ampun, Mama." Terang-terangan amat yak.

"Coba ingat lagi. Dulu Marisa, terus ... Ana. Semuanya jadi milik Adrian, kan?"

Iya juga sih.

Entah apa kelebihan Adrian dibandingkan aku.

Apa wanita memang enggak butuh ketampanan untuk membuat hatinya luluh.

"Cuma satu kelebihan Adrian itu ...," ucap Mama pelan. Aku menunggunya dengan tidak sabar. "Dia punya hati yang tulus. Dan wanita sangat sensitif masalah hati."

Ah, itu. Aku juga tulus.

"Coba ingat. Marisa mengkhianati pernikahan mereka. Namun, Adrian tetap berbuat baik kan sama mantan istrinya itu. Adrian enggak pernah mempermainkan wanita seperti kamu. Dia sangat memegang teguh sebuah janji."

Ya, memang Adrian sangat memegang teguh sebuah janji. Dia tidak pernah berkhianat, dan tidak pernah membuatku menunggu saat kami janjian ketemu.

"Tampang memang tidak menjamin kesetiaan seseorang. Laki-laki itu yang dipegang adalah janji dan tanggungjawabnya. Laki-laki tidak akan memiliki harga saat dia berkhianat, apalagi mengkhianati pernikahan yang seharusnya menjadi nyawa bagi kehidupannya," lanjut Mama panjang lebar.

Kali ini aku merasa sangat kerdil di hadapan Mama.

"Lihatlah, si Marisa itu. Berkhianat, lalu menyesal setengah mati. Dan sekarang kamu. Kamu juga menyesal kan telah mengkhianati pernikahan kalian?" Aku mengangguk lemah. "Terlepas dari awal mula pernikahan kamu seperti apa. Karena kesalahpahaman. Harusnya kamu bisa memegang janji pernikahan itu sendiri. Janji itu agung lho, bukan hanya di hadapan manusia saja, tapi janji kepada Tuhan. Sayangnya, kamu memilih mengkhianati perjanjian itu. Jika perjanjian dengan Tuhans saja kamu khianati, apalagi dengan manusia."

"Maaf, Ma."

"Jadi pelajaran. Rubah jalan hidupmu mulai sekarang. Mama bersedih bukan karena kegagalan kamu. Mama bersedih karena kamu tidak juga bisa bersikap dewasa. Kamu itu laki-laki, seorang pemimpin. Bagaimana kehidupan kamu selanjutnya jika kamu terus begini."

"Maaf, Ma."

"Pokoknya Mama enggak mau tahu. Besok kamu temui anak temen Mama. Dia juga cantik kok, baik. Berpendidikan juga. Pokoknya dua jempol. Mama sudah ketemu sama orangnya."

"Tapi, Ma."

"Enggak ada tapi-tapian. Pokoknya kamu temui dulu. Dari kemarin-kemarin kamu enggak pernah mau 'kan?"

"David tinggal di apartemen saja ya, Ma."

"Mau Mama mati berdiri. Ha?"

"Kok Mama ngomongnya gitu. Enggak boleh lho, Ma."

"Makanya, nurut."

Aku mengangguk lemah. Kali ini Mama enggak bisa diajak kompromi.

Bab. 2

Waktu itu, jika ditunggu akan menjadi sangat lambat berjalan. Namun, jika dihindari malah cepat berlalu.

Hari yang dijanjikan Mama akhirnya datang juga. Padahal, kau telah menyibukkan diri dengan berbagai macam pekerjaan.

Sampai mengatur jadwal rapatku sendiri. Lupakan kalau aku punya sekretaris.

Nyatanya, tetap saja Mama tidak menerima alasan sibukku.

"Pokoknya harus datang, enggak ada alasan. Kalau enggak, Mama hapus namamu dari KK sekalian enggak usah kenal Mama sekalian."

Selaku kalimat itu yang menjadi senjata pamungkas Mama untuk membuatku tidak berkutik.

Di lain waktu, Mama akan berbicara lirih. "Ya sudah. Emang kamu enggak pernah sayang sama Mama. Kalau terjadi apa-apa sama Mama enggak usah datang."

Yaelah, Mama. Segitunya.

"Tapi David sibuk, Ma. Banyak banget pekerjaan yang harus diselesaikan, enggak bisa ditunda." Aku mulai mencari alasan.

"Ya sudah. Memang Mama enggak punya arti apa-apa bagi hidup kamu. Kamu kerja aja, terserah mau tinggal di mana juga. Mama enggak peduli."

Ya ampun, Mama! Sumpah, enggak lucu. Enggak lucu sama sekali.

Walaupun usiaku sudah setua ini. Tetap saja, aku takut melihat Mama marah. Bagiku, Mama adalah wanita surgaku. Ceile ... walaupun, nyatanya ... aku terus saja menyakitinya.

Maka, aku pun hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Mama.

"Baiklah." Dan, satu kata itu saja mampu merubah wajah muram Mama menjadi berbinar seakan keindahan malam penuh bintang telah berpindah tempat ke wajah tuanya.

Ah, Mama. Semudah itu memang membuatmu bahagia. Sayangnya, anakmu satu-satunya ini belum mampu melakukannya.

Aku sedang memimpin rapat saat dering telepon dari ponselku berdering berulang kali.

Mataku membola sempura, mendapati nama Mama yang sedang mencoba melakukan video call padaku.

"David, kamu masih di kantor juga. Cepetan berangkat, waktunya tinggal setengah jam lagi, lho. Mama enggak mau kamu terlambat datang. Apa kamu enggak kasian membiarkan wanita cantik menunggu?" semprot Mama tanpa memberiku kesempatan bernapas.

"Iya, Ma ... iya. Davids selesai rapat sebentar lagi, ya. Dadah Mama sayang ...."

"Kamu ya ... kalau ...."

Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya aku telah memutus panggilan video call nya secara sepihak.

Maafkan anakmu yang tampan ini, Ma.

Dan, bisa dibayangkan bukan. Peserta rapat menahan senyum melihat atasannya diomeli sang Mama. Padahal, biasanya aku yang mengomeli mereka.

Aku menggelengkan kepala pelan. Kemudian, mendongak. Menatap tajam pada setiap mata yang tengah menahan senyum melihat aku diomeli.

"Apa?" desisku.

Seketika, setiap kepala tertunduk takut. Ya, aku memang atasan yang ditakuti di kantor.

"Kita tutup rapat hari ini. Besok dilanjutkan yang belum diselesaikan sekarang. Jangan ada yang telat," tegasku mempercepat mengakhiri rapat.

"Mau nemui calon jodoh ya, Bos?" celetuk salah seorang karyawan.

Aku hanya mendelik menanggapi pertanyaannya sebagai jawaban jangan coba-coba mencampuri urusanku.

"Maaf," sesalnya kemudian.

Aku segera meninggalkan ruangan rapat. Mengabaikan kasak kusuk di belakang.

Ada hal yang lebih penting yang harus segera aku kerjakan. Menjalankan kewajiban sebagai anak yang berbakti kepada orangtua.

Menemui calon istri yang telah disiapkan.

Aku sampai di restoran tempat kami janjian lewat lima menit dari waktu yang dijanjikan.

Sebenarnya aku ragu untuk terus melangkah menuju kursi yang telah diberitahukan nomor mejanya. Namun, tetap saja aku berjalan menemui wanita yang telah duduk manis di sana.

"Hai!" sapaku saat telah sampai di meja itu. "Tasya, ya?" tanyaku memastikan kalau aku tidak salah orang.

Wanita itu mendongak. Sesaat dia memindai penampilanku dari pucuk kepala sampai ujung kaki.

"Ya," balasnya singkat. Kemudian dia menyesap secangkir minuman di hadapannya.

Aku mengulurkan tangan, mengajak berkenalan. "Aku David," ucapku seramah mungkin.

Tasya mengulurkan tangan, membalas jabat tanganku. Dingin. Itu kesan pertama yang aku terima tentangnya.

Lantas, aku pun duduk.

"Apa kabar?" tanyaku.

"Baik," ketusnya.

"Sudah dari tadi menungguku?" Aku tidak menyangka pertanyaan itu malah menjadi bumerang untukku sendiri.

"Tentu saja aku sudah datang dari tadi. Kita janjian jam dua siang, dan kamu datang jam dua lewat lima. Bayangkan saja aku harus menunggu kamu yang telat lima menit, sedangkan aku telah datang lima belas menit sebelum waktu kita janjian. Kalau kamu tidak bisa menepati janji, seharusnya tidak usah berjanji. Buang-buang waktu saja," ujarnya panjang kali lebar.

Aku hanya bisa terpana mendengar kalimat panjang dari Tasya.

Syok, tentu saja. Ini pertama kali kami bertemu. Dan, aku telah diomelinya sepanjang ini.

Ya Tuhan! Nasib apa yang telah digariskan untukku ini. Aku benar-benar tidak mengerti.

"Asal kamu tahu saja. Aku terpaksa mengikuti acara perjodohan ini. Kalau tidak menghormati orangtua kita yang telah saling mengenal. Tentu saja aku akan menolaknya mentah-mentah."

Ternyata, masih panjang uneg-unegnya padaku. Aku hanya telat lima menit dari waktu yang dijanjikan. Namun, harus siap mendengarkan omelan panjangnya tentu saja selama lima menit lebih.

Telingaku sampai terasa panas mendengarkan kalimat-kalimatnya.

"Oke. Jadi apa yang kamu inginkan?" tanyaku pada akhirnya.

"Apa yang aku inginkan?" sinis Tasnya. "Tentu saja kamu harus meminta maaf terlebih dahulu. Karena kamu telah datang terlambat," lanjutnya.

Aku menghela napas lelah. "Baiklah. Aku minta maaf karena datang terlambat," ucapku.

"Oke. Aku maafkan." Tasya menjeda sejenak kalimatnya, lalu melanjutkan. "Selanjutnya, aku ingin kamu memutuskan perjodohan ini. Karena sebenarnya aku telah memiliki kekasih. Aku juga merasa jika kita tidak akan cocok satu sama lain. Kamu setuju 'kan?"

"Oke. Baiklah. Aku juga datang ke sini karena permintaan Mama." Tentu saja aku sangat senang mendengar permintaanya yang ingin memutuskan perjodohan kami.

Aku mengulum senyum. Ini akan lebih mudah.

"Tapi aku minta kamu yang memutuskannya lebih dulu. Karena, orangtuaku belum tahu jika aku memiliki kekasih," pinta Tasya penuh harap.

"Oh, tentu saja tidak bisa. Kita harus adil dong. Seimbang. Adil buatku dan adil buatmu. Aku enggak bisa memutuskan sepihak. Karena kita telah membuat kesepakatan, maka kita harus menyelesaikannya bersama."

"Tapi ... aku belum bisa membicarakan tentang hubungan kami sekarang."

"Sorri. Itu bukan urusanku. Bagiku sekarang, kita sepakat tidak melanjutkan hubungan kita. Maka kita masing-masing punya tanggungjawab membicarakannya kepada orangtua kita masing-masing."

"Tolong, dong!" ucapnya memelas.

Sebagai lelaki sejati, tentu saja aku tidak tega melihatnya merasa seperti itu.

Hah. Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa lalu saat bersama Anna. Dulu, aku bahkan tidak peduli bagaimana perasaannya.

"Seharusnya, ini menjadi moment yang tepat untukmu memperkenalkan hubungan kalian. Aku tidak akan mengungkitnya di hadapan orangtuaku. Bagiku, yang penting kita enggak lanjut. Itu sudah cukup."

"Apa kamu juga telah mempunyai kekasih?"

Aku menggeleng lemah. Apa Tasya tidak tahu statusku seorang duda keren yang sedang mencari jodoh.

Aku berdecak kesal. Usai menuai kesepakatan, kami pun berpisah.

Satu orang telah terlewatkan. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku hanya menunggu saja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!