NovelToon NovelToon

Anak Kuliahan : Hanung Dan Wati

Ospek

Saat pertama kali gue menginjakkan kaki di kampus ini, ketika gue mau mendaftarkan diri sebagai salah satu mahasiswa. Sedangkan kedua kali gue menginjakkan kaki di kampus ini saat gue melakukan bermacam-macam tes agar terpilih menjadi salah satu mahasiswa, kalau ketiga kalinya gue menginjakkan kaki di kampus ini ketika hari pertama ospek dilaksanakan.

Orientasi studi dan pengenalan kampus atau ospek bisa dibilang sebagai awal kegiatan para peserta didik yang menempuh jenjang perguruan tinggi. Selain itu ospek bisa dikatakan sebagai pintu ilmu bagi mahasiswa-mahasiswi, dalam artian sebagai kegiatan buat memperkenalkan kampus kepada mahasiswa-mahasiswi baru.

Kalau kata pak Budi–dosen yang membimbing selama ospek, beliau berkata jika ospek memiliki tujuan. Yang gue inget itu tentang mengenal dan memahami lingkungan kampus sebagai suatu lingkungan akademis serta memahami mekanisme yang berlaku di dalamnya, menambah wawasan mahasiswa dan mahasiswi baru dalam penggunaan sarana akademik yang tersedia di kampus secara maksimal, mempersiapkan mahasiswa dan mahasiswi agar mampu belajar di perguruan tinggi serta mematuhi dan melaksanakan norma-norma yang berlaku di kampus—khususnya yang terkait dengan Kode etik dan tata tertib, menumbuhkan kesadaran mahasiswa baru akan tanggung jawab akademik dan sosialnya sebagaimana tertuang dalam tri dharma perguruan tinggi, terakhir bisa saling beradaptasi antar sesama mahasiswa.

Ospek di kampus gue dilaksanakan sekitar empat hari. Selama ospek dilaksanakan gue harus bangun pagi-pagi buta dan untungnya gue nggak sampai telat dateng, kalau sampai telat bisa runyam deh dunia persilatan (Padahal nggak ada hubungannya).

Selama ospek gue harus memakai kemeja putih lengan panjang, dasi hitam, sabuk hitam, celana panjang warna hitam, kaos kaki putih, dan sepatu pantofel warna hitam. Dan jujur itu semua bukan gaya gue banget. Gue nggak terlalu suka memakai pakaian yang formal. Gue lebih suka pakai kaos putih polos lengan pendek, celana training atau bokser, serta sendal sejuta umat.

Beberapa atribut lain yang harus gue pake saat ospek adalah name tag dari kardus dihiasi permen sebanyak tanggal kelahiran, topi berbahan dasar dari setengah bola plastik, pita dengan warna yang berbeda-beda ditempel di kemeja lengan bagian kanan sebagai penanda masing-masing setiap fakultas.

Selama ospek kami melakukan berbagai macam permainan bahkan beberapa mahasiswa dipermalukan ada yang joget ala ulet keket, nyanyi macem nyamuk tawuran, pantun yang memancing amarah netijen, baca puisi yang bikin siapa aja pengen baku hantam, serta jadi tukang lawak dadakan. Tentunya mereka dipermalukan oleh kakak tingkat masing-masing fakultas dan gue salah satunya, korban dipermalukan di depan semua orang terlebih cewek-cewek cantik.

Sebenernya bisa aja gue nggak dipermalukan di depan umum, namun karena kakak tingkat yang gue liat dari name tag-nya bernama Raditya Anwar menyuruh gue untuk ke depan dan penyebabnya karena name tag yang gue pakai terlalu menarik perhatian.

"Kenapa gitu namanya Hanung 'Ganteng' Binsetya?"

Nama gue cuma Hanung Binsetya—bukan bintitan, kata 'Ganteng' sengaja gue tambahin karena faktanya gue emang ganteng.

"Kan katanya harus bikin name tag semenarik mungkin."

"Emangnya lo ganteng?"

"Iya, Bang. Soalnya kan saya laki-laki. Kalau cantik berarti perempuan."

Jawaban gue sepertinya bikin kakak tingkat bernama Radit mulai terpancing kekesalannya.

"Lo dari falkutas mana?"

"Teknik, Bang."

Bang Radit manggut-manggut, kemudian merangkul dengan sok akrab.

"Udah punya pacar?"

"Belum, Bang."

Jawaban gue bikin Bang Radit ketawa padahalkan nggak ada yang lucu, "Katanya orang ganteng, tapi kok belum punya pacar?"

"Belum dapet yang memikat hati, Bang," jawab gue jujur diakhiri cengiran sejuta kebodohan.

Buat kedua kalinya bang Radit manggut-manggut, kemudian pandangan matanya mengarah pada sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi baru yang lagi duduk berjamaah.

"Di sini banyak cewek-cewek cantik. Lo mau yang mana? Nanti gue suruh buat maju ke depan."

Mata gue melotot kemudian memandang bang Radit dengan sejuta pertanyaan yang mulai hinggap di otak.

"Buat apa, Bang?"

"Ngombalin lah, siapa tau aja lo langsung punya pacar."

Gue cuma bisa meringis meratapi bagaimana nanti reputasi gue selama belajar di kampus ini, bukannya nanti si cewek klepek-klepek tapi malah jijik soalnya gombalan gue tuh masih amatiran dan lagi gue suka geli sendiri kalau harus disuruh ngegombal tapi kalau tebar pesona baru gue ahlinya.

"Hahaha. Nggak usahlah Bang, entar ngerepotin," tolak gue secara halus.

Si abang Radit yang mukanya kayak bungkus nasi uduk senyum dengan sejuta kemisteriusan, "Nggak apa-apa, santai aja sama gue."

"Nggak usahlah, Bang."

"Dibilangin nggak apa-apa!" ulang bang Radit sekali lagi tapi kali penuh penekanan dan tepukan yang cukup keras di bahu gue.

"Tolong perhatian semuanya," ucapan bang Radit yang memakai pengeras suara bikin sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi baru yang tadinya sibuk ngobrol sekarang semuanya kompak memperhatikan gue, bang Radit, serta senior-senior lainnya yang ada di depan.

"Saya mau tanya untuk para perempuan, masih ada yang jomblo nggak?"

"BANYAK, KAKKKKKK!"

"Coba yang jomblo angkat tangannya."

Dalam hitungan tiga detik hampir semua mahasiswi baru angkat tangan mereka. Wow, ternyata banyak juga ya kaum-kaum kesepian.

"Tuh, banyak pilihan. Lo mau pilih yang mana?"

Gue diem sebentar penyebabnya karena bingung buat milih yang mana soalnya ceweknya pada cantik-cantik semua sih lama-kelamaan gue bingung sendiri karena nggak bisa milih.

"Mau pilih yang mana?"

"Terserah, Abang ajalah."

Buat ketiga kalinya bang Radit manggut-manggut, ini kalau dia manggut-manggut lagi. Fix, bang Radit bukan manusia tapi kucing pajangan buat di dalem mobil.

"Kamu yang di pojok kanan belakang, tolong maju ke depan," ucap Bang Radit pakai pengeras suara lagi.

Mata gue dan mata-mata milik orang-orang yang ada di sini langsung tertuju pada sosok cewek di pojok kanan belakang yang gue perhatikan cewek itu lagi kebingungan sambil nunjuk dirinya sendiri.

"Iya kamu," jelas bang Radit, membuat dia mau nggak mau bangkit dari duduknya dan perlahan jalan menuju keberadaan bang Radit sekaligus gue.

Dari name tag-nya yang gue baca, cewek itu namanya Indira Raisawati. Gue sempet nahan ketawa saat tau namanya, lucu. Kayak tampangnya sekarang ini.

"Ayo, Nung. Silahkan dimulai." Setelah itu Bang Radit mundur selangkah sambil mengarahkan pengeras suara yang dia pegang ke bibir gue.

Gue sempat berdeham sebentar meredakan debaran jantung, penyebabnya karena si cewek yang namanya Indira terlalu fokus natap gue tapi yang bikin deg-degan lagi saat semua mata tertuju padaku.

Dengan mengucapkan Bismillah, gue langsung mengutarakan gombalan receh yang seketika melintas dipikiran gue.

"Kamu tau nggak? Kalo bebek jadi kebo, kucing jadi kebo, ikan jadi kebo, kadal jadi kebo, ayam jadi kebo. Terus kebo jadi apa?"

Indira mengerjapkan matanya, dari tampangnya sih udah keliatan kalau dia nggak tau, "Jadi apa?"

"Ya, jadi kebolah."

Dan setelah gombalan nggak jelas yang terdengar hanyalah suara jangkring, kan gue jadi tambah malu. Tapi samar-samar gue ngeliat kalau cewek itu sempat senyum sebentar.

"Lagi. Nung," bisik Bang Radit dan mau nggak mau gue lanjutkan kembali aksi gombal-gembel ini.

"Senyum kamu kadar alkoholnya berapa persen sih?"

"Maksudnya?"

"Soalnya senyum kamu bikin aku mabuk."

Gombalan kedua gue kali ini sukses bikin heboh para penonton apalagi cewek-cewek, kayaknya sih mereka iri dan ke pengen gue gombalin juga. Reaksi Indira? Dia cuma senyum doang tapi kali ini agak lama.

"Gasss, Nung. Gassssss."

Lagi dan lagi gue cuma bisa nyengir saat bang Radit nyuruh gue buat ngegombal lagi, rasanya pengen gue sleding sang ketua, seenaknya aja nyuruh gue ngegas dikira gue ini motor apa? Dikira ngegombal itu segampang ngedipin mata?

"Sekali lagi ya, Bang."

Sebagai jawaban bang Radit ngangguk. Saat berpikir kebiasaan yang sering gue lakukan adalah liat kebawah, garukin kepala, atau meremin mata. Dari ketiga kebiasaan itu yang sering gue lakuin adalah garukin kepala sama kayak sekarang ini.

Setelah dapet bahan gombalan gue berhenti garukin kepala terus berdeham serta membaca Bismillah lagi kemudian berkata.

"Beli kedondong beli jamu."

"CAKEPPPPPPP!"

"Mau dong jadi pacar kamu."

Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai detik keempat semuanya semakih heboh.

"WADAW! MAS HANUNG PINANG AKU DENGAN MAHAR DONG MASSSS!"

"HANUNG GANTENG EMANG GANTENG BANGET DAH AH!"

"TERIMA DONG TERIMAAAA!"

"JANGAN DITERIMA SI HANUNG BAU BAWANGGGG!"

Saat dipermalukan seperti ini gue cuma bisa menunduk sambil menghela napas dengan panjang, rasanya gue pengen sembunyi di warung remang-remang.

"Gimana Indira? Kamu mau jadi pacar dia?" pertanyaan bang Radit semakin memperkeruh suasana, para penonton ada yang teriak terima dan ada juga yang bilang jangan.

Saat gue melirik cewek itu dia tersenyum tipis kemudian menggelengkan kepala.

"Enggak Kak, makasih. Saya nggak suka cowok alay."

Dan suara sorakan mulai mendominasi, buat Indira gue cuma mau bilang kalau bukan karena terpaksa gue nggak akan mau ngegombal.

"Oke, kamu boleh kembali kebarisan kamu."

"Makasih, Kak."

Indira melangkah maju berjalan pelan buat balik ketempat asalnya, saat cewek itu udah duduk di tempatnya temen-temen di sekitarnya pada ngegodain dia.

Dirasa urusan gue udah kelar tanpa ragu dan penuh keyakinan gue melangkahkan kaki buat balik kebarisan, tapi saat dua langkah berjalan pergerakan kaki gue berhenti karena bang Radit.

"Eh, lo mau ke mana?"

"Mau balik ke tempat barisan saya."

"Siapa yang nyuruh? Gue nggak nyuruh lo buat balik kebarisan ya."

Gue tercengang karena hal gila apalagi yang harus gue lakukan setelah ini? Makan batu apa ngobrol sama rumput yang bergoyang?

"Terus saya ngapain lagi, Bang?"

Samar-samar gue ngeliat bang Radit tersenyum jail, "Goyang ngebor dulu lah kalau enggak goyang maut."

"Nggak bisa, Bang."

"Terus lo bisanya apa?"

"Goyang Shopee, Bang."

"Terserah lo aja dah, Nung. Capek gue ngomong sama lo!"

Dan setelah kejadian memalukan tersebut gue makin deket sama bang Radit beserta temen-temennya dan dari kejadian itu juga gue bisa mengenal lebih jauh siapa itu Indira Raisawati si cewek cerewet dan nyebelin yang sering gue panggil Wati atau Raisa versi ndeso.

***

**Hai... Alohaaaaaa.. pertama-tama aku mau mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, para pembaca, NovelToon/Mangatoon, dan tentunya diriku sendiri. Karena berkat semuanya aku bisa menulis cerita ini ehehehe.

Ini cuma cerita receh yang aku ketik dikala otak sedang stress dan pusing ehehehe.

Terima kasih untuk kalian yang sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya yang tidak karuan ini, tolong dimaklumi ya wankawan karena saya masih pemula ehehehe.

Oiya, satu lagi cuma mau kasih tau aja kalau 'Anak Kuliahan' ada versi chat story nya loh. Yang penasaran ayo dibaca juga...

Sekali lagi terima kasih dan maaf jika ada typo maupun salah-salah kata, sampai bertemu di chap berikutnya.. Byeeeee**

Lee Hangyul as Hanung Binsetya

Adaptasi

Setelah ospek selesai dilaksanakan sekitar sebulan yang lalu kegiatan yang gue lakukan selanjutnya adalah adaptasi terhadap lingkungan yang baru, dan gue sendiri merupakan manusia yang gampang berbaur dengan lingkungan sekitar. Misalnya gue bisa berubah jadi batu, jadi tong sampah, jadi tiang bendera atau jadi gapura kampus.

Enggak woi, gue bercanda. Yakali orang ganteng disamain sama benda mati.

Dan selama beradaptasi dengan lingkungan sekitar gue udah menemukan teman yang bisa diajak baku hantam–di dunia games, namanya itu...

"Woi, Nung. Ngapain lo di kantin falkutas ekonomi?"

Yohan Septa Jouhari, bisa dipanggil Mamat atau Ohang, manusia setengah ayam yang sekarang jadi temen gue. Btw si Yohan ini yang neriakin gue bau bawang waktu gue ngegombalin Indira, padahal waktu itu kami belum saling kenal.

"Nungguin si Wati."

Gue menjawab tanpa ekspresi, kedatangan Yohan yang secara tiba-tiba itu udah nggak bikin gue kaget lagi dia itu emang suka banget muncul tiba-tiba kayak kang parkir.

"Widih, makin deket aja lo sama si Indi. Demen lo ya?" Yohan mendudukkan dirinya di samping gue sambil naik turunin alisnya.

Langsung aja bahunya gue geplak, "Jangan sotoy luh, gue cuma ada perlu aja ama tuh bocah."

Mendengar ucapan gue barusan, dia malah sok-sokan senyum misterius gitu. Tapi kalau di mata gue jatohnya malah kayak lagi boker.

"Terus lo ngapain juga di sini?"

"Mau gangguin elo lah," katanya sambil cengengesan.

Selesai si Ohang cengengesan, dia bangkit dari duduknya ninggalin gue yang duduk sendirian di kursi kantin, gue nggak tau dia mau ke mana. Toh, nggak peduli juga gue.

Sembari nungguin kedatangan Indira alias Raisa alias Wati, hal yang gue lakukan saat ini adalah mengeluarkan hape di saku jaket kemudian memencet ikon seorang laki-laki memegang senapan.

Tau kan lo gue mau ngapain? Yoi, nge-game dulu kitaaaa.

Padahal gue lagi nungguin si Wati tapi yang dateng malah si Ohang lagi, tadinya pengen gue sleding palanya gara-gara dia nyenggol dan mengakibatkan gue kalah dalam permainan tapi pas tau dia dateng bawa sepiring makanan, lutur sudah niatan buat nyeleding kepalanya, ehehehe.

Yohan makan gitu aja tanpa nawarin makanannya ke gue terlebih dahulu, emang bener-bener ya punya temen kok kampret banget enggak tau apa kalau temennya yang ganteng ini lagi krisis keuangan?!

Saat ngeliatin Yohan makan ayam penyet gue jadi laper, pengen beli tapi uang buat bertahan hidup mulai sekarat dan gue harus tunggu seminggu lagi biar dapet kiriman uang bulanan dari bokap-nyokap.

Sedikit menggeser kursi yang gue duduki supaya lebih deket sama Yohan terus natap dia dengan tatapan sejuta kemelasan.

"Han, bagi dong?"

Yohan yang asik gigit tulang ayam, menoleh sambil senyum jumawa, "Nggak usah ya, hmmmmmm.. Ayam penyet enakkkkkk."

"Uh, dasar pelittttt!"

Gue berujar—yang nadanya persis kayak bocah di iklan permen s*plit, sembari menarik piring makanannya Yohan kemudian mencomot daging ayam yang rasanya empat ribu persen lebih enak saat sedang lapar dan kenikmatannya semakin bertambah kalau ayam ini adalah makanan gratis.

"Woi! Ayam gueee!"

Saat si Yohan berusaha buat ngambil piringnya, tangan gue dengan cekatan menjauhi piring itu dari jangkauan tangannya.

"Dikit lagi, jangan pelit lo jadi orang! Inget orang pelit kuburannya sempit," tutur gue sambil nyomot lagi, kali ini bagian kulitnya.

Yohan mendesis sambil natap gue tajem, mungkin kalau dia ultraman matanya bisa ngeluarin laser dan gue cuma bisa ngakak di dalem hati. Dirasa udah puas nyomotin ayamnya gue menyerahkan kembali pada pemiliknya diterima dengan tatapan yang sinis.

Gemes ih jadi pengen nampol, eh?

"Wah, ada si Ohang."

Sapaan Wati yang baru dateng itu buat Yohan natep dia sinis, yang bikin ngakaknya lagi dia natep sinis sambil ngunyah ayam dengan sadis.

"Makannya nyantai aja atuh, ayam lo nggak bakal kabur kok," ucap Wati sambil ketawa.

Yang lagi makan ayam natapnya makin sinis, "Stop panggil gue Ohang, gigi gue nggak ompong! Ngerti lo, Wati?!"

Jadi yang di maksud Yohan tentang giginya nggak ompong itu karena ada artis pelawak namanya Ohang terus giginya yang dibagian depan ompong, tau kan lo pada? Kalau ada yang nggak tau liat aja di Google.

Tanpa mempedulikan Wati yang balik natap sinis, si Yohan malah sibuk sama ayamnya meskipun itu ayam sisa tulangnya doang. Oiya mengenai mereka berdua gue baru tau tiga hari yang lalu kalau Ohang dan Wati itu temen sekelas waktu SMA.

"Nih, flashdisk nya." Wati ngelujurin tangannya ngasih gue benda kecil warna pink yang di percantik dengan kepala Hello kitty sebagai gantungan.

Lo pada udah bisa nebak, kan? Keperluan gue sama Wati itu apa? Yap. Benar sekali keperluan gue apalagi kalau bukan minjem flashdisk-nya, hehehe.

Enggak modal? Emang! Namanya juga anak kos.

Sebenernya gue punya flashdisk tapi rusak gara-gara nggak sengaja kecemplung di comberan dan sampai sekarang gue belum sempet beli yang baru (read:lagi nggak punya duit).

"Inget ya flashdisk gue jangan sampai ke format, kena virus, keinjek, nyemplung di wc, hilang, di jual apalagi sampai rusak."

Sebagai jawaban gue anggukin kepala.

"File penting gue masih ada di situ semua soalnya, belum sempet pindahin."

Buat kedua kalinya gue anggukin kepala, btw gue jadi kepo sama file pentingnya Wati. Gue hilangin seru kali ya? Wkwkwk bercanda.

"Oke, makasih Raisa."

"Sama-sama, Nunung."

***

Selain harus beradaptasi di lingkungan kampus gue juga harus beradaptasi di lingkungan indekos, sedikit cerita nih. Awal mula gue tau ada kamar kosong yang disewa buat kos-kosan itu dari sepupu gue yang tinggal di Jakarta. Katanya ada tempat kos yang deket sama kampus gue, tanpa banyak ngulur-ngulur waktu langsung berangkat ke Jakarta dan langsung ngasih uang muka sama yang punya indekos.

Pendapat gue tentang indekos yang gue tempatin sekarang cukup nyaman, fasilitasnya juga lengkap, harga sewa perbulannya juga nggak terlalu mahal, udah gitu pemiliknya baik banget soalnya sering ngasih makanan ke anak-anak kos yang lain.

Yang anak kos, ngiri kan lo ama gue? Ehehe.

Seperti apa yang gue bilang sebelumnya kalau gue ini gampang berbaur, baru sebulan tinggal di sini hampir satu kampung udah pada kenal gue. Hebat kan? Penyebabnya karena gue sering nyapa atau senyum ke ibu-ibu yang lagi gibahin tetangganya sendiri di depan kosan, ngobrol sama bapak-bapak yang lagi ngopi sambil main catur di pos ronda, bantuin bocah-bocah ngambil bola karena bolanya sering nyangkut di pohon mangga depan kosan—sampai sekarang gue nggak tau kenapa tuh bola bisa nyangkut di sana, dan selalu tebar pesona sama anak perawan yang suka lewat depan kosan saat gue lagi nyanyi sambil ngejrengin gitar.

Di kampus si Ohang temen deket gue karena kami satu prodi, kalau di indekos temen deket gue itu namanya Yuvino Sebastian, biasa dipanggil Yuvin–kami deket karena temen sekamar, Yuvin itu anak kuliahan juga tapi beda kampus dan dia satu tingkat di atas gue alias senior.

Berhubung saat ini gue lagi rebahan di kasur dan lagi nggak ngapa-ngapain, alangkah baiknya jika gue ngerjain tugas sambil kepoin file penting yang di maksud Wati.

Iya, iya, iya, iya, iya.

Tanpa banyak jeda atau iklan gue langsung nyalain laptop terus nyolokin flashdisknya Wati, setelah benda kecil itu terdeteksi di laptop gue segera mengklik satu-satunya folder yang tersimpan di dalem flashdisk.

Alis gue terangkat sebelah saat tau apa isinya.

Apaan? File penting katanya? Kok isinya film India semua??? Apanya yang penting? Oh gue tau, pasti adegan Anjeli sama Rahul yang manjat menara sutet sambil nyanyi, atau adegan Puja nampar Raj dengan backsound gledek dan muka yang di zoom-in, zoom-out, zoom-in, zoom-out? Atau mungkin adegan Rahul sama Anjeli muter-muter di pohon sambil nyanyi?

Jujur aja nih tiap kali gue liat adegan itu gue suka mikir sendiri kepala mereka nggak pusing apa muterin pohon hampir sepuluh menit gitu? Gue yang cuma liat aja udah pusing.

Tapi gue salut sih sama penulis naskah film India, kok kepikiran gitu ya adegannya serba nyanyi semua. Gelisah nyanyi, seneng nyanyi, marah nyanyi, terus kecewa juga nyanyi. Gue curiga nih jangan-jangan dulu penulisnya pernah jadi penjual cd bajakan.

"Udah pulang lo, Nung?"

"Udah, Bang."

Sama kayak Yohan, bang Yuvin itu suka banget muncul tiba-tiba. Contohnya aja pas gue lagi bikin telor ceplok di dapur tiba-tiba udah ada di samping gue sambil ngemilin chiki, terus pas gue lagi tebar pesona sambil ngejrengin gitar tiba-tiba muncul di depan gue sambil bawa sapu dan nyuruh gue masuk karena mau maghrib, terakhir yang sering terjadi itu saat gue selesai mandi bang Yuvin udah ada di depan pintu kamar mandi katanya mah nungguin giliran dari tadi.

"Lo suka nonton film India?" Bang Yuvin nanya saat matanya mengarah ke layar laptop gue.

"Ah, enggak Bang. Ini punya temen," jawaban gue bikin bang Yuvin manggut-manggut, "Tumben jam segini udah pulang, biasanya malem terus?"

"Iya, lagi bebas dari tugas kelompok."

"Lo udah makan, Bang?"

"Belom, kenapa emang? Lo mau traktir soto ayam ya atau nasi padang?"

"Enggak, Bang."

"Terus?"

Sebelum ngasih penjelasan lebih jelas gue nyengir dulu, "Minta tolong bikinin mie rebus, istilahnya tuh sekalian gitu," ucap gue diiringi cengiran lebar.

Bang Yuvin rolling eyes terus naro buku-buku kuliah di atas laci kecil yang sebelumnya ada di dalem tasnya.

"Ogah, bikin aja sendiri."

Sempet kecewa denger ucapan bang Yuvin barusan, tapi itu emang konsekuensinya.

"Lagi mager Bang, nanti gue bagi kuahnya deh."

Lagi-lagi bang Yuvin rolling eyes, "Lo tungguin aja sampe magernya ilang."

Tungguin sampe magernya hilang ya? Hmm.. sampe berapa lama ya? Kalau menurut gue sih hilangnya paling sampai nanti malem atau enggak besok pagi.

"Kayaknya bakalan lama deh, Bang."

"Bodoamat!"

Bang Yuvin berdiri dari duduknya yang membuat mata gue berbinar-binar, pasti nih karena bang Yuvin kasihan liat muka gue yang melas di tambah perut gue yang udah kelaparan pasti dia mau bikinin nih, yakin dah.

"Bang, lo mau bikin emih kan?"

Tanpa noleh kebelakang bang Yuvin langsung bilang, "Enggak gue mau ke kamar mandi, mau berak."

Bagaikan terbang di langit ketujuh dengan perasaan yang senang tiba-tiba sayap gue patah dengan sendirinya, sakit coooiii. Kecewa berat nih gue sama bang Yuvin masa minta bikinin emih doang nggak mau padahal dapet pahala lho.

By the way, lo pada kalau gue minta bikinin emih pada mau kagak? Nanti gue kasih kuahnya dua sendok deh.

***

Song Yuvin as Yuvino Sebastian

Tipe Satu : Kurang Tidur

Gue kira di dunia ini yang punya lingkaran hitam di mata cuma hewan gendut bernama panda doang, tapi ternyata gue salah. Manusia terutama yang bernama cewek juga ada. Kalau panda punya lingkaran hitam di mata emang dari lahirnya begitu tapi kalau cewek karena kurang tidur.

Kok bisa? Ya, bisalah.

Mau cerita sedikit, di kampus gue punya kenalan cewek anak Sasing (Sastra Inggris) sebut aja namanya Arra, jadi si Arra itu kuliah di jam-jam yang nggak manusiawi alias kelas pagi. Nah, lo pada udah bisa nebak dan bisa ngerasain dong gimana rasanya belajar saat pagi hari? Di saat lo pada masih ngantuk terus bekas iler belum diseka sama belek yang masih nyangkut di ujung mata.

Kalau di kampus si Arra jarang pake make up nggak kayak mahasiswi lain yang nggak bisa lepas dari make up. Dan katanya, dia sempat cuci muka aja udah sujud syukur.

Mahasiswi tipe 'Kurang tidur' sering gue temui suka banget ngiket rambutnya baik itu model buntut kuda atau dicepol, katanya lagi sih biar rambutnya yang belum sempat disisir itu nggak ke mana-mana dan nggak berantakan.

Saat gue nggak sengaja berpapasan atau ngobrol sebentar sama si Arra, pakaian yang sering dia pake itu adalah hoodie kalau enggak ya jaket. Kalau gue pake hoodie atau jaket tujuannya biar bisa nutupin kaos gue yang kucel, tau deh kalau si Arra tujuannya buat apaan. Mungkin sama kali ya?

Beda atasan, beda juga bawahan. Kalau bawahan dia sering pake celana legging, jeans, kadang saking buru-burunya suka pake celana training katanya lagi sih biar cepet dan yang penting bersih.

Kalau gue lagi gabut dan jalan-jalan di sekitar kampus terus ngelewatin kelasnya dan ngintip bentar lewat jendela, gue suka ngeliat si Arra sering banget duduk dipojok belakang terus nyenderin badannya di tembok sambil merem-merem manja.

Terus kalau dosen sengaja ngegebrak papan tulis, si Arra langsung melotot dan duduk tegap apalagi mukanya jadi tegang gitu. Kocak sih, tapi kesian juga.

Kadang kalau sinyal otaknya belum LTE dan pikirannya lagi melayang ke mana-mana dia suka tiba-tiba ngomong pake bahasa Inggris yang menyebabkan ibu kantin cuma bisa bengong.

Ngomongin tentang si Arra, saat gue lagi jalan-jalan santai nggak tau tujuannya mau kemana indra penglihatan gue melihat sesosok makhluk yang tengah kita bicarakan. Tanpa banyak mikir panjang gue langsung nyamperin dia yang lagi duduk sendirian di teras depan kelasnya sambil baca kaming (kamus Inggris).

"Woi! Arraseo?"

Gue sering manggil Arra dengan sebutan Arraseo, di awal-awal sih dia nggak terima tapi lama-kelamaan udah nggak peduliin lagi. Oiya, lo pada tau Arraseo kagak? Itu lho bahasa Korea yang sering banget muncul di drama-drama yang kalau nggak salah artinya 'baiklah'. Nah, itu. Arraseo artinya itu.

Btw, gue tau Arraseo. Gara-gara nyokap gue yang keseringan nyetel drama Korea di TV, jadi saat gue ada di rumah dan ikut nonton di belakang pintu secara diam-diam, dikit-dikit gue agak ngerti bahasa Korea, keren nggak tuh? Jangankan bahasa Korea, bahasa ular kobra aja gue tau, tinggal melet-melet doang.

"Apaan?"

Arra noleh dengan wajah yang KKS (Kucel Kusam Suram) keliatan garis hitam di bawah matanya makin tebel sama kantung mata makin jelas kayaknya ini bocah bener-bener butuh refreshing. Kesian kalau terus-terusan kayak gitu bisa-bisa dia nekat buat gantung diri di pohon cabe.

"Hari ini kamu–"

"GUA TAMPOL LUH!"

Arra alias Arraseo dengan segala keganasannya ngambil ancang-ancang dengan ngangkat dan ngepalin tangannya buat nampol, akibat dari ancamannya itu gue nggak jadi lanjut ngomong takutnya muka gue yang ganteng ini kena bakteri yang nempel di tangannya.

Bisa aja kan si Arraseo abis ngupil terus belum cuci tangan? Gara-gara dia yang mau nampol gue, gagal deh gue jadi oppa-oppa Korea.

"Muka lo jelek amat, pasti semalem abis begadang ya?"

Tebakan gue diangguki dengan gerakan pelan sama si Arra sambil cemberut, "Pengen pulang ngantuk banget soalnya."

"Yaudah gih, sana pulang," suruh gue sambil ngibasin tangan kayak orang ngusir ayam.

Arra makin cemberut dia bahkan sampai ngeluarin napas panjang, "Ya enggak bisalah, gue masih ada kelas."

"Kesian amat, boloslah kali-kali. Titip absen."

Saran gue yang mungkin bagi anak teladan dan rajin macem Arra, nganggep kalau saran tadi menyesatkan.

"Nggak mau bolos soalnya nanti ada kuis," tolaknya sambil nguap lebar, dua detik kemudiannnnn...

Nah kan, nguapnya malah nular ke gue, emang bener ya kata orang kalau virus nguap itu bikin nular.

Beberapa detik yang lalu si Arra nguap sekarang dia ngusap-usap mukanya pelan sambil bilang, "Btw, lo ngapain di sini?"

"Biasa lagi gabut, nggak ada temen yang bisa diajak baku hantam."

Jangan salah paham, baku hantamnya di dunia games ya bukan di dunia nyata. Toh, baku hantam di dunia nyata bisa bikin sakit sekujur badan kalau di dunia games paling sakit leher doang.

"Belahan jiwa lo ke mana?"

Dahi gue mengerut karena nggak paham sama kata 'Belahan jiwa' yang di maksud. Belahan jiwa ya? Pacar aja kagak punya, masa iya belahan jiwa gue cicak-cicak di dinding.

"Siapa?"

"Yohan."

"Dih?! Kok jadi si Ohang?"

"Kalau gue merhatiin lo berdua, lo sama dia ke mana-mana berduaan mulu udah kayak pasangan homo."

Berhubung si Arraseo adalah perempuan, jadinya gue cuma bisa melotot karena dia seenak idungnya aja ngatain gue sama Ohang pasangan homo! Hellowww? Selamanya gue tetep lurus ya, nggak belok, apalagi nanjak.

"Heh! Sembarangan lo kalau ngomong, gue masih normal ya masih demen cewek apalagi yang cantik," omel gue bikin dia cekikikan.

"Tapi si Yohan ke mana?"

"Sibuk, dia kan udah jadi ketua himpunan sekarang."

Arra manggut-manggut mungkin baru sadar kalau si Yohan udah jadi orang sibuk di kampus, "Oh pantesan, lo juga kek cari kesibukkan sendiri kayak Yohan daripada nggak jelas gini gangguin orang, nyalonin diri jadi ketua BEM gitu?"

"Males ah, lagian jadi ketua BEM terlalu berat buat gue."

Semisal nih gue jadi ketua BEM yang ada nanti malah nggak keurus secara gue tuh bukan tipikal anak teladan yang rajin ngikutin banyak acara di kampus. Kalau boleh memilih gue lebih suka makan, main games, ngorok, sama dangdutan.

"Yaudah kalau nggak mau, lo bantuin bu Marni aja nyuci piring kalau enggak ngosrek wc."

"Lo nyuruh gue buat ngosrek muka lo sendiri?"

"Sialan!" Tanpa banyak basa-basi si Arra nabok gue pake kamusnya yang triliunan itu, sampai-sampai bikin bahu gue sakit. Bringas banget emang nih cewek, untung gue sabar.

"Pergi luh sono! Jangan deket-deket! Gue alergi sama cowok kayak lo!" sinisnya bikin gue demen buat ngisengin dia.

"Apaan? Lo alergi ama orang ganteng?"

"Najis."

"Iya tau kok gue emang ganteng, kebangetan malah."

Langsung aja gue nyibakin poni kebelakang pake jari-jari tangan, berasa makin ganteng. Adipati Dolken sama Rizky Nazar mah lewatttttt.

Arra rolling eyes terus bangkit dari duduknya. "Udah ah, gue udah nggak tahan deket-deket sama lo bawaannya pengen nampol."

Arra pergi ninggalin gue sendirian dan gue nggak tau dia mau pergi ke mana. "Woi! Arraseo-naega-hamkkeisseoyeo! Gue belum selesai memuji diri sendiri nih, lo mau ke mana?"

"Mau solat, biar nggak ketemu dedemit kayak lo!"

Bangke! Orang ganteng kayak gini dibilang dedemit! Nggak sekalian aja dibilang jurig kalau enggak gunderewo? Etapi jangan deh, terlalu serem lagian juga nggak ganteng.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!