NovelToon NovelToon

Meira

BAB. 1

Sebuah motor kini berhenti di depan kampus yang lumayan besar di kotanya. Gadis manis yang tadinya duduk manis di boncengan sepeda motor yang dikendarai oleh lelaki sebaya yaitu Ayahnya sendiri, kini perlahan turun dari boncengannya dan disambut sahabatnya bernama Ami yang terlihat sudah menunggunya dari tadi.

"Meira, Om Surya. Selamat pagi," sapa Ami ramah dengan senyumnya, Ami memang sudah akrab dengan semua anggota keluarga Meira sejak mereka masih SMA kelas 1.

"Pagi Mimi, Meira cantikan hari ini?" tanyanya sambil pamer gaya, rambut dikepang dua dengan pita merah, topi caping, baju putih dengan bawahan berwarna hitam serta jas almamater yang kebesaran melekat di tubuh mungilnya.

"Iya cantik," puji Ami, kenyataannya Meira memang cantik di matanya.

"Hihii... Mimi juga cantik kok." gantian, Meira balik memuji sahabatnya itu.

"Ami... Om, titip anak Om ya, kalau ada apa-apa hubungi aja Om," pinta Ayah Meira yang memang sangat khawatir dengan putrinya itu. Ini hari pertama Meira kembali bersosial ke lingkungan luar tanpa pengawasan salah satu anggota keluarga.

"Tenang aja Om, aku akan jagain Meira pokoknya, lagi pula tahun ini katanya ospeknya benar-benar diawasi pihak kampus," Ami berusaha membuat Ayahnya Meira tenang. "Tidak boleh ada kekerasan, pembulian apalagi pelecehan, jadi Om tidak perlu khawatir," ucap Ami, menenangkan kekhawatiran Ayah Meira.

"Iya, Ayah jangan khawatir. Nanti Ayah cape." sahut Meira memandang Ayahnya sayang.

"Ya sudah, kalau begitu Ayah berangkat kerja dulu," sebelum Ayahnya berangkat, Meira mencium tangan Ayahnya seperti kebiasaannya sejak kecil.

Meira sedikit kesulitan membawa semua pernak-pernik ospeknya, hari ini memang Meira lagi mengikuti ospek kampusnya setelah dua tahun fokus pada terapi saraf sekaligus kejar paket C nya.

Usianya kini sudah 20 tahun, lebih tua 1 atau 2 tahun dibandingkan teman-temannya yang rata-rata berusia 18 tahun dan 19 tahun bahkan ada yang masih 17 tahun kecuali Ami.

Sahabatnya itu benar-benar setia menunggunya sembuh dan bisa kembali kuliah bersama bahkan Ami rela mengikuti jurusan yang dianggap keluarga Meira lebih mudah dibandingkan jurusan yang lain, itu menurut mereka, nggak tau menurut kemampuan otak Meira.

Jurusan seni rupa itulah yang mereka pilihkan untuk Meira, mereka taunya seni rupa itu ya menggambar, menulis, pahat-memahat dan kerajinan tangan. Kalau cuma itu Meira memang masih menguasainya tapi kalau sudah berhubungan teori dengan bahasa orang jenius atau berhubungan dengan desain grafis komputer, udah deh Meira menyerah.

Tapi ya udah, itu urusan belakangan. Sekarang yang terpenting Meira bisa kuliah dan banyak bergaul dengan orang-orang sekitarnya karena itu adalah terapi paling mujarab untuknya.

Otak Meira itu seperti anak kecil yang pengetahuannya masih sedikit jadi seiring pengetahuannya bertambah akan sekitarnya maka dia juga mulai beradaptasi dan menyesuaikan dengan situasi yang dihadapinya dan kemungkinan besar dia bisa menjadi lebih dewasa seiring dengan waktu bertambah, hanya saja kemampuan otaknya tidak akan bisa sepintar dulu, kemampuan otaknya menurun akibat benturan keras tersebut.

Sama seperti benda yang retak kalau sudah rusak maka tidak akan kembali sempurna seperti sedia kala, begitu pun otak Meira. Itu cuma perumpamaan yang mereka buat, jadi jangan protes.

Pagi-pagi sekali mereka sudah berbaris bersama, untungnya Meira dan Ami berada dalam satu kelompok. Ini memang permintaan Ami pada pihak kampus, dia sudah menjelaskan bagaimana kondisi Meira yang masih rutin cek up ke rumah sakit.

Panitia ospek kini memberikan mereka pengarahan dan mengawasi atribut apa saja yang mereka pakai serta mencari orang-orang yang melupakan salah satu persyaratan ospek tersebut untuk diberi hukuman.

"Kenalin gue Daren Artama, gue yang akan menjadi pemandu kelompok kalian," ucap Daren memperkenalkan dirinya, sekaligus memberi pengarahan untuk kelompoknya.

"Kelompok duren! kalian buat yel-yel untuk kelompok kalian. Ingat harus ada kata duren," ucap panitia pemandu kelompok mereka.

"Tapi kan Meira nggak suka duren, Meira sukanya anggur, apel, dan mangga juga," protes dari Meira.

Meira tidak suka memiliki nama kelompok nama buah yang paling tidak dia sukai. Itu buah kesukaan Radodo adiknya yang selalu membuatnya kesal.

"Nama loe, siapa?" ketusnya, baru kali ini ada yang berani protes kebijakan yang mereka buat, pikir Daren.

"Kan tadi Meira sudah bilang, nama Meira itu, Meira. Ini tulisannya juga ada, gede lagi. Tadinya Meira mau ngasih warna pink. Tapi karena disuruhnya warna hijau jadi terpaksa warnanya hijau," jelasnya.

"Hahaa..." mereka teman sekelompok Meira, tidak bisa menahan tawa mereka lagi. Dari tadi gadis itu memang paling ngeselin tingkahnya. Semua hal yang tidak dia suka akan di protesnya.

"Meira jangan bicara seperti itu," pinta Ami, mencoba melarang Meira untuk bicara.

"DIAM...!" tatapnya Meira dengan wajah kesal namun tentu saja dia tidak akan melakukan apa-apa pada gadis itu. Peraturan Kampus yang sudah mereka sepakati sendiri yaitu tidak ada kekerasan dalam bentuk apa pun.

Sontak semua diam. Termasuk Meira yang menutup mulutnya rapat-rapat.

"Loe mau ngelawak di sini?" tanyanya ketus.

Meira cuma menggelengkan kepalanya berkali-kali. Sampai-sampai topi capingnya jatuh ke tanah.

"Yah jatuh. Upss..." Meira kembali menutup mulutnya dengan tangan, dia dan teman-temannya kan disuruh diam. Setelah kembali memasang topinya, Meira malah tersenyum bahagia menatap orang di hadapannya yang kini berkacak pinggang memandangnya setengah kesal.

"Haah..." Daren cuma bisa menghela napasnya, menghilangkan rasa kesalnya.

"Kalian buat yel-yel seperti yang gue suruh tadi, dan loe!" tunjuknya pada Meira.

Sedangkan Meira sudah mengangguk antusias. "TERSERAH LOE MAU BUAH APA PUN." tekannya setiap kosakata.

"Kalau jeruk?"

"TERSERAH..." sahutnya sambil berlalu, menjauh sejauh-jauhnya dari gadis yang paling ngeselin yang pernah ada di kampusnya itu.

"Asyik..." senangnya.

"Meira..." tegur Ami, ini yang dia takutkan. Sifat Meira yang seperti ini bisa membuatnya dalam masalah.

****

Jam istirahat, mereka bebas dari kelompok masing-masing. Ami meminta Meira untuk menunggunya di taman yang sudah dia tunjuk, sedangkan dia sendiri ingin membeli roti dan air minum.

"Meira, boleh duduk di sini ya? Meira cape," ucapnya pada seorang gadis berambut pendek namun cantik yang sedang duduk sendiri di sebuah kursi taman tepat di bawah pohon.

"Duduk aja," jawabnya cuek.

"Terima kasih. Meira boleh kenalan? Meira tidak memiliki banyak teman, cuma Mimi yang mau temanan sama Meira," dia memandang gadis di hadapannya dengan senyum cerianya sekaligus menyodorkan telapak tangannya untuk bersalaman.

Gadis itu memandang Meira cukup lama, dan mengabaikan ajakannya untuk bersalaman.

Tingkah aneh dan kekanak-kanakannya menjawab kenapa Meira tidak memiliki banyak teman. Siapa yang bisa tahan dengan sifatnya itu, yah kecuali temannya yang bernama Ami tadi. Dari penglihatannya Ami sangat sabar menghadapi Meira, sejak tadi Meira memang menjadi perhatian kelompok mereka, bukan karena kecantikannya tapi karena tingkah anehnya.

"Meira cape," keluhnya, tangannya masih setia menunggu balasan jabatan tangan dari gadis di sebelahnya itu.

"Gue Sany," ucapnya ketus, tidak tega juga ternyata melihat muka memelas Meira.

Terpaksa dia mengulurkan tangannya dan menerima perkenalan dari gadis di depannya yang bernama Meira.

Sany itu cewek tomboi, dia tidak suka berteman dengan cewek manja yang kerjaannya main salon-salonan, dia lebih suka berteman dengan cowok atau cewek yang cuek dan berani seperti dirinya.

Tapi sekarang sepertinya pengecualian untuk Meira, dia terlihat bahagia dengan senyum lebar kekanak-kanakan menghias bibirnya. Dan sepertinya Meira bukan gadis pesolek, dilihat dari wajah naturalnya yang cuma dihiasi bedak tipis serta lipstik merah muda yang juga tipis dan sederhana, Meira justru terlihat manis seperti anak kecil dan bukannya gadis kuliahan.

"Oh San..." Meira mencoba mengingat nama tersebut. "Sansan," ejanya pelan.

"Sany! Meira," koreksinya. Masa namanya dipenggal-penggal terus diulang lagi, batin Sany.

"Iya," sahut Meira senang. Hari ini dia bisa berkenalan dengan banyak teman baru, meski ada beberapa yang terkesan menjauhinya dan ilfeel pada tingkah kekanak-kanakannya.

Tidak lama kemudian, Ami datang dengan membawa banyak roti dan air mineral botol, dan kini mereka bertiga saling mengobrol bersama, meski Sany kadang memang bersikap ketus dan cuek tapi dia adalah teman yang asyik diajak mengobrol.

*****

"STOP..." teriak seorang gadis dengan suara cemprengnya.

Gadis yang bepakaian hitam putih, rambut di kepang, dan papan nama dari kertas kardus. Nampak jelas dia salah satu mahasiswa baru, anak ospek.

Dengan cepat dia merem motornya mendadak. Hampir saja, dia menabrak gadis itu kalau tangannya tidak reflek.

Gadis itu terlihat menghalangi jalannya dengan merentangkan kedua tangannya tanpa memikirkan resiko apa yang akan terjadi setelahnya.

"Dasar gadis gila," maki Alando.

Dengan perasaan kesal dia turun dari motor maticnya, dia akan memberi pelajaran pada gadis itu. Dan pastinya gadis itu akan dia buat menyesal karena sudah membuatnya hampir menabrak dan mencelakai mereka masing-masing.

"Loe...!"

"Kucing kecil, kamu tidak apa-apa? Kamu nggak sakit kan? Kasian, nanti Meira kasih makan ya. Jangan sakit." ucapnya pada seekor kucing kecil yang terlihat sakit.

Rupanya gadis itu menghalangi motornya karena ada seekor kucing yang lagi tiduran di pinggir jalan dan parahnya Alando tidak melihatnya sama sekali. Mungkin karena masalah yang baru dia hadapi tadi hingga dia tidak fokus pada jalanan.

Di matanya gadis itu nampak aneh, berbicara dengan seekor kucing tanpa melihat orang-orang di sekelilingnya yang juga ikut menoleh ke arahnya dan dan dirinya sendiri.

Hanya beberapa orang yang tau siapa pengendara motor di balik helm yang masih dia kenakan itu, karena yang datang rata-rata adalah mahasiswa baru yang lagi ospek, beda kalau yang melihatnya adalah mahasiswa lama yang sudah mengenalnya dan tentu saja mengenal geng ZACKS.

Tadinya dia ingin marah, tapi setelah dia melihat ternyata gadis itu cuma ingin menyelamatkan kucing kecil yang hampir dia tabrak itu, rasa kesalnya entah menghilang ke mana? Gadis itu mengingatkan pada mamanya yang juga pencinta hewan yang suka mengeong tersebut.

"Kakak nggak boleh jahat sama kucing, untung ada Meira kalau enggak dia bisa mati ketabrak, itu dosa." omel Meira, pada lelaki yang masih menggunakan helm tersebut, lelaki yang hampir melindas makhluk kecil di tangannya.

"Meira cariin makan dulu deh," ucapnya tanpa menghiraukan orang di depannya lagi, yang masih diam menatap tajam Meira di balik helmnya.

Gadis itu kian menjauh, membawa kucing itu entah ke mana? Dengan langkah kecil dan cerobohnya yang membuatnya hampir terjatuh atau menabrak sesuatu tanpa sengaja, dengan senandung ceria mengiringi setiap langkah ringannya.

"Hehh..." Alando tersenyum mengejek, ini pertama kalinya dia melihat kelakuan seorang gadis aneh yang jauh dari kata anggun dan dewasa. Biasanya gadis-gadis yang pernah dia temui, mereka akan menunjukkan sikap dewasa, anggun, sexy, dan elegan untuk menarik perhatian lelaki di sekitarnya, dan gadis itu benar-benar tidak biasa.

"ALANDO..." teriak seseorang di belakangnya.

Dua sahabatnya yang sudah lebih dulu datang darinya, sebenarnya hari ini masih belum masa kuliah, masih ada tiga hari lagi dimana kuliahnya benar-benar aktif. Tapi karena ada beberapa hal yang harus mereka urus dengan pihak kampus, jadilah mereka di sini sambil menonton jalannya ospek, yang pernah mereka jalani dua tahun yang lalu.

Loe, nggak ikut jadi panitia?" tanya Alando pada sahabatnya yang bernama Zaden, ketua dari geng ZACKS.

"Enggak, masa jabatan gue kan sudah berakhir tahun kemarin. Gue juga sudah malas ikut-ikutan organisasi kampus lagi." jawab Zaden.

Sebelumnya di tahun lalu Zaden merupakan ketua BEM atau bisa juga disebut presiden mahasiswa di kampus mereka. Sejak SMA dulu Zaden memang memiliki jiwa seorang pemimpin, karena itu dia sangat suka mengikuti organisasi apa pun di kampusnya, berbeda dengan Alando yang memang anti sosial.

"Tahun ini kayaknya kampus kita banyak menerima mahasiswa baru dibanding tahun lalu, dan kalian tau? Kenny dan Christ sepertinya sedang tebar pesona," beber Steven, salah satu anggota ZACKS yang paling cuek dan irit ngomong juga, sebelas dua belas barengan Alando. Hanya saja Alando lebih emosian.

"Mereka tidak pernah berubah," ucap Zaden, sudah sangat hapal dengan kelakuan dua sahabatnya tersebut.

****

"Ngapain kamu di sini, nggak ikut berdiri bersama mereka?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba menghampiri Meira, dan dari papan namanya tertulis Mita.

"Ssttt..." satu jari telunjuk berada di bibirnya yang mengerucut lucu, hingga Mita ingin sekali mentertawakannya tapi takutnya malah menyinggung perasaan gadis itu.

"Meira lagi sembunyi, Meira nggak suka dihukum, cape," ucap Meira, memilih duduk di bawah pohon, yang penting dia sudah mengisi daftar hadir.

"Sama dong, aku juga nggak mau di hukum. Masa aku harus merayu salah satu panitia, memang aku cewek apaan coba?" ujarnya kesal. "Ya udah, saat mereka lengah aku kabur," cerita Mita. Dia paling tidak suka dengan hal seperti itu.

"Emang Mi... Mit, cewek apaan?" tanyanya, sambil menatap papan nama yang ada di dada gadis di depannya tersebut. "Bukan cewek ya?" tanyanya lagi, masih bingung dengan kata-kata Mita.

"Enak aja, aku tuh cewek tulen tau. Maksudnya, aku itu cewek baik-baik bukan tukang rayu orang yang tidak dikenal, enak aja mereka main suruh-suruh." gerutunya.

"Oh..." angguk Meira dengan senyumnya, yang penting ngangguk aja dulu. Urusan mengerti atau tidaknya itu tidak penting buat Meira.

Ada yang mau mengajaknya bicara dan berteman aja sudah membuatnya bahagia.

Selama dua tahun ini kerjaannya cuma bolak-balik terapi ke rumah sakit. Orang yang bisa dia ajak bicara ya cuma orang tuanya dan adiknya serta Ami sahabatnya dari SMA.

Sesekali dia mengobrol dengan beberapa dokter dan perawat di rumah sakit. Dan ketika dia mulai mengikuti kejar paket c nya pun dia cuma berinteraksi dengan beberapa orang.

Tanpa sepengetahuan mereka berdua ternyata ada dua orang lelaki yang mendengar obrolan mereka, dan muncullah ide jahil yang kini terpikir rapi untuk mengerjai dua gadis tersebut.

Dua lelaki itu saling berpandangan dengan senyum liciknya, menyenangkan bisa melihat anak-anak ospek itu mendapat hukuman, seperti mereka dulu.

Walau pun sistem ospek sekarang sudah berbeda dari sistem mereka dulu. Kali ini ospeknya terlihat menyenangkan kalau pun dihukum paling cuma nyanyi-nyanyi dan joget-joget di depan umum. Tapi sepertinya menyenangkan juga melihat dua gadis bandel tersebut dihukum di depan umum.

"HEI AIDEN..." teriak mereka pada Aiden si ketua BEM yang juga kenalan mereka.

Aiden menoleh kepada dua orang tersebut yang ternyata adalah dua teman barunya sekaligus anggota geng ZACKS penguasa kampus saat ini, Kenny dan Christ. Aiden adalah adik kelas Kenny waktu SMP dulu, karena itu mereka cukup akrab.

"Ada apa?" tanya Aiden. Jangan bilang Kenny minta dikenalkan pada salah satu MABA, kalau itu terjadi lebih baik Aiden menghindar.

"Tuh lihat," tunjuk Kenny pada dua gadis yang sedang bersembunyi di balik pohon dengan santainya dan cekikikan berdua. Salah satu mahasiswa ospek, yang mungkin sedang menghindari hukumannya.

"Apa mereka tidak tau, pohon itu rumah si kunti. Itu bukan si kunti kan yang ketawa...?" ucap Aiden sanksi.

"Yah, loe kok buat orang merinding aja sih, horor loe," sahut Christ, dia memang paling kesal kalau ada yang membahas horor di depannya.

"Ya sudah, gue samperin mereka dulu," Aiden melangkah menuju dua gadis itu, mereka cekikikan sambil ngintip di balik pohon.

Dua gadis yang belum dewasa, dan tidak mengerti arti tanggung jawab. Menghindari hukuman dan mencari aman sendiri. Itu penilaian yang bisa dia berikan untuk dua orang gadis bandel tersebut.

"Jadi kalian bersembunyi di sini, menghindari hukuman?" tanya Aiden yang tiba-tiba muncul di belakang mereka berdua.

"Aaah... Meira ketangkap!"

"Kita akan dihukum!"

"Boleh Meira pingsan aja nggak?"

"Nggak ada alasan, kalian berdua akan gue hukum di depan semua mahasiswa." tegas Aiden si ketua BEM.

****

Vote, like dan koment.

Ini novel lama ya? 2018 pernah saya tulis di wattpa*, dulu banget walau cuma sampai 12 bab dan saya lanjutin kembali di sini.

Meira

BAB. 2

Sekarang Mita dan Meira berdiri di depan barisan mahasiswa ospek dengan di kelilingi panitia ospek dan juga ada beberapa mahasiswa lainnya yang juga lagi kena hukuman.

"Daren melihat dua orang gadis yang memang masuk dalam kelompok yang dia pandu. Yang satu suka membangkang dan satunya lagi suka seenaknya sendiri, dengan aturannya sendiri tentu saja.

"Loe nyanyi lagu kebangsaan Indonesia, yang keras biar semua orang bisa dengar!" Perintah Daren pada Mita yang saat ini sedang mengutuk keras pada seniornya tersebut, tapi sayang cuma bisa di dalam hati.

"Dan Loe.!" tunjuknya pada Meira, gadis yang dari tadi cuma cemberut menatap Daren si senior tukang suruh, menurut mata Meira.

Meira kesal karena kini dia juga harus ikut panas-panasan di lapangan, meski di sekelilingnya banyak terdapat pepohonan yang bikin adem.

"Ngapain loe cemberut gitu sama gue?" tanya Daren sedikit kesal pada Meira yang selalu membantah apa yang dia suruh. Selalu bertanya banyak hal yang bingung untuk dia jawab.

"Meira nggak suka berjemur, Meira kan bukan baju yang baru dicuci. Panas tau, kak Dardar aja deh yang berjemur sendirian." suruhnya dengan wajah kesal.

"Heh...! Dengar ya Meira?" bahkan Daren sudah sangat hapal dengan nama gadis cerewet tersebut. "Nama gue Daren. D.A.R.E.N." ejanya, seperti mengajari anak TK.

"Dibacanya Dar..."

"Dardar." sahut Meira.

"Hahaaa..." tawa keras memenuhi tempat tersebut, termasuk beberapa senior yang menjadi panitia di sana, bahkan Aiden si ketua BEM.

Untung dia bukan panitia pemandu kelompok tersebut, kalau tidak! Bisa setres dia seperti Daren yang kini frustasi mengacak-acak rambutnya yang baru dia beri pomade rambut.

"Loe!" Daren menarik napas beberapa kali untuk meredakan emosinya. "Ya sudah, loe menari aja deh." suruhnya dengan malas-malasan.

"Menari apa?" tanya Meira bingung. Minta pendapat dari senior galaknya tersebut.

"Terserah loe." jawabnya asal, menghukum satu orang yang bernama Meira aja bikin dia kewalahan apa lagi kalau sampai ada 10 Meira, hah... tidak bisa dibayangkan, batin Daren.

Untungnya dia bukan orang jahat, kalau iya! Sudah dipastikan Meira akan dia lakban mulutnya dan dia kunci dalam gudang saat ini juga.

"Tari jaipong?" tanyanya lagi, Meira sangat suka berbicara sekarang karena beberapa bulan sebelumnya suaranya sempat hilang.

"Terserah." jawabnya singkat.

"Tapi Meira nggak bisa, Meira cuma pernah melihatnya sekali." sahut Meira jujur, itu pun cuma di layar TV atau layar handphonenya.

"Terserah." jawabnya sambil menguap, menunggu gadis absurd tersebut melaksanakan hukumannya benar-benar melelahkan dan menguras emosi.

"Meira suka menari oppa gangnam style, tapi enggak ah... Meira malu." Meira tersenyum malu melihat sekitarnya, apalagi banyak cowok-cowok yang melihat ke arahnya dan kini perhatian itu seolah tertuju pada dirinya seorang.

Bukan melihatnya karena kagum atau terpesona tetapi lebih kepada geli melihat tingkah absurd cewek tersebut, mungkin cuma ada 1:100 orang di negara mereka.

"Memang loe punya malu?" tanya Daren sarkas.

"Punya kok." angguk Meira dengan polosnya, tidak peduli atau tidak mengerti dengan sindiran Daren. "Tapi Meira juga suka tari Bali sih."

"Ya udah." jawabnya lesu sambil menunggu Meira melakukan hukumannya dan berhenti mengoceh.

"Tapi Meira bukan orang Bali, jadi nggak bisa." sahutnya kemudian, tanpa mempedulikan muka Daren yang semakin memerah karena amarah yang masih bisa dia tahan.

"Terserah." bisa nggak sih nih cewek oo* berhenti ngomong? Batin Daren, namun sayangnya hanya bisa dia pendam dan menahan emosinya sekuat yang dia bisa.

"Memang ada tari yang namanya terserah? Meira baru tau." tanya Meira pada seniornya tersebut dengan pandangan minta di jawab secepatnya.

"Sekarang ada, gue yang buat! Udah loe sana, masuk ke kelompok kalian." perintah Daren, tanpa mempedulikan hukuman itu lagi, percuma. Yang ada justru Daren yang merasa di hukum oleh Tuhan, karena dirinya kini harus mengenal dan berhadapan dengan gadis bawel plus oo* tersebut.

"Tapi kan Meira belum menari?"

"Bodo amat..!"

***

Di waktu senggang mereka, para anggota senat kampus kini berkumpul di markas yang memang disediakan untuk organisasi mereka. Di saat seperti ini memang lagi sibuk-sibuknya untuk semua anggota BEM, menjadi panitia yang mengatasi semua kegiatan kampus itu tidak mudah, mereka mengorbankan banyak waktu, tenaga serta pikiran.

Tiba-tiba salah satu anggota dari mereka, yaitu Daren masuk ruangan dan mencak-mencak tidak jelas. "Ahh... setres gue menghadapi satu cewek aneh itu, kerjaannya ngoceh atau kalau nggak ya nanya mulu." Daren membeberkan uneg-unegnya saat ini.

"Maksud loe, Meira?" jawab Aiden, si ketua senat.

Dia sudah berhadapan dengan gadis itu beberapa waktu lalu, dan memang benar apa yang dijabarkan temannya itu, hanya saja dia tidak sesial Daren yang harus terus-terusan berurusan dengan Meira si gadis oo* itu.

"Eh... ternyata ada boss Zaden? Maaf boss gue nggak lihat." tutur Daren yang sedikit kurang enak hati, dia baru menyadari keberadaan mantan ketua BEM sekaligus pemimpin ZACKS di markas mereka. Meski mereka sudah cukup dekat selama berada di organisasi kampus tetap saja ada sedikit rasa segan menghadapi seorang Zaden, aura seorang pemimpin ZACKS sudah tertanam di otak mereka.

Zaden cuma mengedikkan bahunya tanda tidak mempermasalahkannya, lagi pula markas BEM ini sudah bukan tempatnya lagi.

"Gue cuma ada urusan sedikit di sini." jawab Zaden santai. "Tapi gue sedikit penasaran sih, kenapa loe bisa-bisanya kewalahan gara-gara menghadapi satu mahasiswi baru itu."

"Yah boss, loe belum ketemu aja tuh ma cewek aneh, sumpah ngeselin banget." gerutunya.

"Sepertinya gue nggak punya waktu berurusan dengan gadis seperti itu," jawab Zaden percaya diri, kemudian bangkit dari duduk nyamannya. "Ya sudah gue balik dulu, sampai nanti." pamit Zaden pada teman-temannya di organisasi.

"Oke..." sahut mereka.

****

"Kita balik sekarang?" tanya Kenny yang masih betah berada di kampus, melihat kegiatan ospek mahasiswa baru yang sangat menarik untuk ditonton.

"Loe mau tinggal di sini?" tanya Steven, pasalnya Kenny dan Christ saat ini ikut mobilnya. Dan dia tidak mau repot-repot menunggu dua orang itu memuaskan diri mereka tebar pesona pada mahasiswi baru tersebut.

"Enggaklah, entar gue pulangnya naik apa?" sahut Kenny dan diiyakan oleh Christ.

"Loe kira ini zaman apa?" ketus Steven. Sekarang sudah jaman modern yang serba canggih, asal punya handphone! Transportasi akan datang sendiri, tidak harus mencari ke mana-mana lagi cukup duduk santai.

"Hehee... gue ikut loe aja deh, lagi pula gue sudah cukup puas menonton mereka." ucapnya, mereka yang dimaksud tentu saja mahasiswi baru. Rasanya Kenny sudah tidak sabar menunggu kuliah aktif kembali, dia akan tebar pesona kepada adik tingkatnya nanti dan tau sendirilah anak-anak yang baru lulus SMA itu pastinya masih polos-polos, mudah digombal-gombalin.

"Eeh... tuh cewek yang sudah bikin Daren kesal kan?" tunjuk Christ pada seorang cewek, salah satu peserta ospek yang di beri hukuman di lapangan kampus dan di depan seluruh mahasiswa. Namun sayangnya justru Daren yang sepertinya mendapat hukuman langsung dari Tuhan.

Semua mata kini tertuju pada gadis tersebut, gadis yang kini sedang tertawa ceria bersama teman-teman barunya. Gadis yang sudah menjadi topik panas untuk ospek hari ini serta pusat perhatian seluruh mahasiswa karena tingkah aneh plus ngeselinnya.

Begitu pun Alando, mau tidak mau dia sedikit memutar memorinya pada kejadian beberapa jam yang lalu, di mana dia sedikit berinteraksi dengan gadis yang tidak biasa tersebut.

"Oh... Jadi dia yang dimaksud Daren!" sahut Zaden, namun itu bukan urusannya dan dia tidak terlalu peduli. "Ya sudah lah, ayo...!" kemudian mereka pun meninggalkan kampus tersebut dengan banyak cerita.

****

Tidak terasa mahasiswa-mahasiswa baru itu kini telah memasuki kampus dan menikmati kuliahnya hampir dua bulanan ini.

Dan di sinilah dia, berjalan secepat yang dia bisa.

Gadis itu datang tergesa-gesa karena hari ini dia bangun kesiangan gara-gara tidak bisa berhenti menonton drama Korea artis kesukaannya.

"Duk... Duk..." suara benda berjatuhan selain itu dia juga menabrak beberapa orang. Bahkan Meira pun sempat oleng dan jatuh kebelakang.

"Aduuh..." Meira mengaduh kesakitan dan menggosok pantat semoknya yang baru saja mencium lantai.

"AAHH punya mata nggak sih lo. Lo nggak lihat buku-buku gue berjatuhan?" ucap salah satu cewek cantik yang kalau dilihat saja perawatannya pasti mahal belum lagi baju yang dipakainya.

"Iya, dan lo juga sudah bikin kuku gue patah nih!" ucap cewek satunya yang nggak kalah cantik sambil meniup-niup kukunya. "Gaji satu bulan orang tua loe aja belum tentu nih bisa gantiin perawatan kuku gue ini."

tambahnya sambil melihat penampilan Meira dari atas sampai ke bawah, rambut kusam dengan hanya diikat ekor kuda pake gelang karet, baju yang entah sudah dipakai dari tahun berapa, dan sepatu kusam.

"Iyuuh... Gak banget." ucap mereka berdua sok-sokan ala Cinta Laura.

"Maaf Kak, tadi itu Meira buru-buru. Soalnya sekarang Meira ada mata kuliah Pak San San. Kakak-kakak cantik pasti tahu kan betapa mengerikannya Pak San San itu kalau sudah marah, gimana kalau Meira disuruh lari keliling lapangan terus pingsan. Tadi malam Meira kan nonton drama korea oppa Min Min terus nggak bisa berhenti nontonnya. Eh taunya kesiangan terus... bla... bla... bla..." celoteh Meira tanpa berhenti kayak kereta api yang nggak ada remnya.

Sedangkan dua cewek cantik super modis yang juga kakak tingkatnya tadi saling berpandangan cengo seolah mengatakan "Ada ya manusia langka kayak gini...?" mereka terus berlalu begitu saja tanpa mempedulikan celotehan nggak jelasnya gadis aneh itu.

"Eh... eh... Meira kan belum selesai cerita... ya ampun Pak San San, Meira nggak mau keliling lapangan." Meira terus berlari.

"Kreek..." Perlahan Meira membuka pintu kelas dan benar Pak San San sudah berada di kelasnya dan mulai memberikan kuliah. Meira takut-takut untuk terus berjalan, apalagi saat Pak San San melotot ke arahnya.

"Boleh Meira masuk ya pak?" ucap Meira pelan ketakutan.

"Kenapa terlambat? Saya sudah tekankan siapapun yang terlambat di mata kuliah saya tidak boleh masuk?" Timpal pak Sandoro galak.

"Maaf Pak, Meira nggak bisa berhenti nonton oppa Min Min habis ganteng sih terus Meira kesiangan deh." Meira senyum-senyum sambil membayangkan oppa Min Min nya.

Sontak semua teman sekelas Meira pada ngakak mendengar penjelasan polos Meira. Dua bulan sekelas selama menjadi mahasiswa baru membuat mereka kenal seperti apa Meira. Polos cenderung oon apalagi kalau sudah ngomong nggak berhenti henti membuat mereka memilih untuk kabur.

"DIAM...!" perintah Pak Sandoro kepada para mahasiswanya yang tertawa, sontak kelas berubah jadi kuburan aka sunyi.

"Kenapa kamu nonton opa-opa? Ckckk... anak zaman sekarang masa sukanya sama opa-opa seharusnya kamu itu suka sama yang seumuran sama kamu." nasihat pak Sandoro, membuat Meira diam cengo dan seisi kelas pun hampir menyemburkan tawanya hanya saja takut ditegur lagi.

"Ya sudah, keluar sana. Kamu saya hukum membuat resuman tentang materi hari ini. Besok kamu kumpulkan ke ruangan saya." perintah Pak Sandoro tegas.

"Iya Pak San." Meira patuh.

Meira terus berjalan tanpa arah, bosan menunggu berakhirnya mata kuliah Pak San San jadi Meira memutuskan untuk berkeliling kampus. Hingga tak terasa Meira sudah berada di belakang paling ujung kampus.

Meira baru tau kalau ada tempat seperti ini taman cantik dan banyak pohon, dia menyusuri taman tersebut hingga terdengar seperti ada orang berkelahi di belakang pohon itu, namun bukannya takut dan menjauh Meira justru mengintip di belakang pohon dan melihat dua orang mahasiswa sedang dipukuli beberapa orang di depannya karena kaget Meira akhirnya berteriak-teriak minta tolong.

"Tolong... tolong... ada penjahaat... ada penjahat, tolong..." saking kencengnya teriakan Meira beberapa mahasiswa bahkan dosen yang terkenal galak dan tidak pandang buluh selain Pak Sandoro yaitu Pak Abiyan yang sedang berada tidak jauh dari sana langsung mendatangi suara teriakan tersebut. Mereka akhirnya berkerumun di taman tersebut.

"Ada apa ini, kenapa kamu teriak-teriak?" Tanya Pak Abi bingung?

"Itu Pak, ada penjahat." tunjuk Meira pada  sekelompok pemuda yang sedang menatapnya tajam seakan ingin membunuhnya.

Pak Abi memandang mereka dengan pandangan meneliti "Haah...." desah Pak Abi.

"Kalian-kalian lagi yang bikin masalah, setelah ini kalian ke ruangan saya."

Siapa yang tidak kenal dengan mereka, sekelompok mahasiswa jurusan Teknik Informatika semester lima yang selalu bertindak preman dan seenaknya. Para mahasiswa mengenal mereka dengan sebutan ZACKS yang diambil dari inisial nama mereka masing-masing.

Zaden Pramudya si ketua geng, Alando Garindra si pemarah, Christian Affandy si tuan ramah, Kenny August si playboy, dan Steven Jayadi si cuek.

Bukannya pihak kampus tidak mau bersikap tegas menindak kenakalan mereka hanya saja beberapa dari mereka adalah penyumbang terbesar di kampus ini sehingga kesalahan mereka diabaikan begitu saja. Hukuman yang diberikan paling-paling skorsing satu minggu dan itu justru membuat mereka bahagia.

"Oh ya, kalian bawa mereka ke ruang kesehatan," suruh Pak Abi kepada beberapa mahasiswa yang berkerumunan itu, untuk membawa dua orang yang babak belur karena dipukul.

"Kalian ikut saya." Pak Abi memandang kelima mahasiswanya tersebut sambil berlalu. Sebelum mereka mengikuti Pak Abi salah satu dari mereka berlima yaitu Alando menghampiri cewek yang sudah melaporkan mereka tadi dengan tatapan murkanya Alando membisikan "Mati kau!" di telinga Meira yang membuatnya merinding. Meira jadi bingung kenapa dia harus mati, pikirnya.

Entah siapa yang menyebarkan video kejadian tersebut yang jelas hampir semua anak kampus mengetahui kejadiannya. Mereka kasihan dengan nasib yang akan dialami cewek tersebut sekaligus mentertawakan kebodohannya. Siapa pun yang ingin masa kuliahnya tentram, damai, aman, dan sentosa berusahalah untuk tidak bersinggungan dengan ZACKS. Sayangnya Meira tidak tahu siapa itu ZACKS.

*****

Vote, like dan koment yaa...

BAB. 3

Teman-teman sekelas Meira sibuk mengomentari video yang sekarang sedang viral di kampus mereka, apalagi itu melibatkan salah satu teman sekelas mereka.

Seolah-olah Meira adalah artis yang sedang naik daun penuh sensasi dengan membuat masalah dengan para ZACKS. Bahkan video Meira berhasil mengalahkan jumlah penonton artis sensasional Lucinta Luna yang katanya lagi hamilton.

"Meira... Meira..." Panggil teman-temannya. Mereka saling berebutan menginterogasi Meira yang baru saja masuk dengan wajah ditekuk. Salah satu teman dekatnya yaitu Ami memilih duduk di samping Meira dan bertanya.Kemudian disusul teman-temannya yang lain, Sany dan Mita.

"Meira, kamu kenapa mencari masalah dengan ZACKS sih?" tanya Ami dan di angguki dua teman lainnya.

Meira menatap Ami dengan wajah tidak mengertinya. "Meira tidak punya teman yang namanya Jak-Jak," sahutnya. Kebiasaan Meira yang selalu memplesetkan nama orang.

"Bukan Jak-Jak tapi ZACKS." koreksi Ami.

"Dan mereka memang bukan temanmu, Meira. Tapi musuh dan kamu akan mati." lanjutnya kemudian.

"Iih... Mimi jahat! Kok doa'in Meira mati sih, lagi pula Meira kan tidak punya musuh." polosnya.

"Bukan maksudnya doa'in kamu mati, Meira. Tapi nih lihat..." Sany memperlihatkan video yang tadi beredar, "Kamu sudah membuat masalah dengan ZACKS." tekannya.

"Iih... kok bisa Meira masuk yutup-yutup. Untung tadi Meira dandan," katanya senang.

"MEIRAA..." teriak mereka bertiga karena kesal. Meira benar-benar tidak terselamatkan stupidnya memang sudah mendarah daging.

"Bukan itu intinya, Meira. Kamu tau mereka?" tunjuk Ami pada sekelompok orang di video tersebut.

"Hemm..." gumamnya sambil ngangguk-ngangguk, "Mereka penjahat yang memukul dua orang tadi." jawabnya.

"Terus Meira teriakin deh! Untung Pak Abibi denger teriakkan Meira kalau enggak dua orang itu mati." bangganya.

"Iya, sekarang kamu yang akan mati." sahut Sany saking kesalnya, kesabarannya entah menghilang kemana ketika menghadapi sifat oon'nya Meira.

"Iih... Sansan kok ikut-ikutan doa'in meira mati sih?" cemberutnya.

"Uuh sabar... sabar..." ucap sany sambil ngelus dada. Ngomong sama Meira kudu stok kesabaran berlimpah sepanjang masa.

Sany kemudian memperlihatkan video tadi dan menunjuk cowok-cowok yang ada di video tersebut, "Mereka ini ZACKS, geng kampus ini. Kalau kamu cari masalah dengan mereka bisa dipastikan kamu akan mendapatkan masalah besar, apalagi tadi kamu sudah melaporkan mereka sama Pak Abyan. Sekarang mereka pasti marah sama kamu, ngerti?" Sany menjelaskan panjang lebar.

Meira mengangguk, "Apa mereka akan bunuh Meira?" tanyanya namun teman-temannya cuma mengedikkan bahu mereka, karena mereka juga tidak tahu.

Tapi yahh... nggak sampai separah itu juga sih, pikir mereka. Mungkin ZACKS hanya akan mengerjai Meira habis-habisan.

"Sebaiknya kamu hindari mereka dari sekarang?" Suruh sany.

"Pokoknya jangan sampai kamu bertemu mereka." tambah Mita. Meira hanya menganggukkan kepalanya.

 ****

 

Di sebuah ruangan yang memang sering mereka kunjungi tanpa adanya rasa bosan sedikitpun, dan sepertinya sudah jadi rumah mereka sendiri.

"Kalian tidak bosan saya panggil setiap hari ke sini?"

"Tidak Pak, kami justru sangat senang bisa melihat Pak Abi tiap hari." ucap Christ yang mendapat delikan tajam dari teman-temannya.

"Saya tidak mengerti mau ngomong apalagi sama kalian, kalian sudah cukup dewasa untuk mengerti yang salah maupun baik. Masa depan kalian ada di tangan kalian sendiri." nasehat Pak Aby.

Meskipun dia yakin anak-anak muda ini tidak mencerna kata-katanya dengan baik.

"Terutama kamu Alan! kamu cerdas seandainya kamu mau memanfaatkan kecedasan kamu itu." ya, Alando Garindra memang cerdas bahkan dia sering membawa prestasi untuk kampusnya hanya saja Alando lebih suka membuat masalah di kampusnya.

"Saya cuma minta jangan pernah berurusan dengan polisi," tegas Pak Abi memandang ke lima mahasiswanya "Kali ini saya tidak akan memberikan hukuman karena itu percuma, saya lebih baik langsung bicara pada orang tua kalian." lanjutnya.

"Yahh, Pak..." Koar Kenny dan Christ yang tidak terima justru berbanding terbalik dengan Alando, Zaden dan Steven yang tidak terlalu peduli justru mereka menanggapinya dengan santai.

"Orang tua saya ada di London loh Pak." ucap Kenny.

"Tenang saja. Saya bisa menunggu mereka kapan pun, kalian boleh keluar." Pak Aby menyilakan.

"Ahh... bisa kena marah bokap nih gue." keluh Kenny begitu pun Christ.

"Bokap nyokap gue pasti gak akan peduli dengan masalah ini, paling omongan pak Abiyan dianggap angin lalu dan ujung ujungnya mereka akan transfer untuk kesejahteraan kampus ini dan semuanya beres." kali ini Zaden yang bicara, dia sudah kenal orang tuanya seperti apa. Waktu Zaden kecil dia suka protes dengan sikap kedua orang tuanya tapi semakin dewasa dia sudah tidak peduli apapun yang mereka lakukan. Yang penting dia punya segalanya. Tidak beda jauh dengan Steven karena itu dia juga tidak menanggapinya terlalu berlebihan.

"Lan loe gimana?" Tanya Zaden yang juga di ikuti ketiga teman lainnya.

"Hemm... Loe tau sendiri gue sudah gak punya nyokap." jawabnya santai.

"Tapi loe kan masih punya bokap." Christ langsung mendapat tatapan tajam dari Alando serta pukulan di bahunya dari Zaden dan Steven, meskipun tidak terlalu keras tapi mampu menyadarkan dari keteledorannya "Upss gue salah ngomong." Christ merasa tidak nyaman.

Bukannya mereka tidak tau bagaimana Alando sangat membenci papanya itu apalagi kalau harus membahasnya. Karena mereka lah orang pertama yang tahu tentang kehidupan Alando.

"Bokap gue sudah mati, jadi jangan coba membahasnya lagi," Alando menatap Christ dengan kesal "Gue pergi." ucapnya, dan menghilang di balik pintu. Mereka sekarang berada di sebuah rooptop yang biasa mereka pakai untuk nongkrong.

"Oke kami akan menyusul." ucap Zaden, meskipun Zaden adalah ketua gengnya tapi dia sangat menghargai Alando. Mereka sudah bersahabat sejak mereka SMA. Zaden masih ingat bagaimana awal mereka bisa bersahabat dulu.

Flashback.

Seorang pelajar berpenampilan bersih dan tampan dan dilihat dari seragamnya itu adalah salah satu sekolah elit di kota ini. Namun pemuda itu terlihat sedang dipukuli tiga orang pelajar yang sepertinya bukan dari sekolah yang sama. Tiga pemuda itu memakai seragam SMA dari sekolah biasa putih dan abu-abu.

"Jangan sombong loe, mentang-mentang orang kaya loe rebut cewek gue." ucap salah satu pemukul. "Rasain nih, buk... buk..." mereka terus memukuli pemuda itu, meskipun dia juga melawan tapi sepertinya kekuatannya tidak mampu mengimbangi keroyokan tiga pemuda yang juga seusianya itu.

"Siapa yang rebut cewek loe sih? Cewek loe aja yang ngejar-ngejar gue!" ucapnya sombong.

"Setan loe... buk... buk..." dia terus digebukin.

"Cemen loe semua, beraninya main keroyokan." ucap seseorang yang tidak sengaja lewat di sana dan melihat seseorang dipukuli, hingga membuatnya ingin ikut campur. Dia paling tidak suka dengan orang yang sukanya main keroyokan dan tidak sportif.

"Eh siapa loe? Nggak usah ikut campur urusan kami." ucap salah satu dari mereka bertiga yang sepertinya dialah ketuanya.

"Urusan gue kalau loe mainnya kayak banci." ucapnya ketus.

"Kita hajar aja dia." mereka bertiga pun berusaha memukul kepala pemuda tadi namun berhasil ditangkis olehnya dan berbalik memukul perut salah satu dari mereka hingga jatuh dan dia kembali mengarahkan kakinya dan menendang tubuh keduanya dan menjatuhkan tubuh mereka ketanah hingga mereka mengaduh kesakitan.

"Ampun... ampun...! Kami minta maaf." ucap mereka bertiga kesakitan dan bergegas pergi dari sana.

Kini mata Alando tertuju pada pemuda seumurannya itu yang baru saja habis di keroyok.

"Lemah banget sih loe." ejeknya kepada pemuda yang tadi dipukuli.

"Gue bukannya lemah, gue sendirian mereka bertiga." Ucapnya tak mau kalah.

"Gue juga sendirian, tapi lihat... gue mampu menghadapi mereka." ucapnya balik dengan gaya sombongnya.

"Ya itu..." dia berusaha mencari alasan yang tepat, namun akhirnya. "Oke, gue ngaku! Gue lemah nggak kaya loe yang kuat dan kayaknya loe juga hebat menguasai bela diri, puas loe!" songongnya.

"Hemm..." dia pun hendak beranjak pergi namun ditahan oleh pemuda tadi.

"Kenalin, gue Zaden." ucap pemuda yang dipukuli tadi dengan senyum ramahnya.

Alando menatap pemuda itu menyelidik, namun akhirnya dia menerima uluran tangan itu. "Gue Alando." balasnya.

Sejak saat itu Zaden selalu mengikuti Alando bahkan dia pindah ke SMA yang sama dengan Alando padahal sekolah mereka sangat berbeda jauh.

Saat itu mereka masih kelas satu SMA Zaden bersekolah di SMA elit internasional yang mahal sedangkan Alando bersekolah di SMA Negeri, walaupun bisa dikatakan cukup favorite di kotanya.

Bahkan sejak mamanya Alando meninggal yang saat itu dia baru kelas dua SMA Zaden banyak membantu keuangan Alando untuk biaya sekolahnya, sedangkan untuk biaya sehari-harinya Alando mengandalkan uang tunjangan ibunya yang dulunya seorang PNS kadang-kadang Alando juga bekerja part time di sebuah warnet yang buka 24 jam saking banyaknya para penggila game.

Alando merasa berhutang budi kepada Zaden karena itu dia selalu berusaha menjaga temannya itu meskipun zaden tidak pernah mempermasalahkannya dan dia juga merasa mampu untuk melindungi dirinya sendiri.

Zaden justru senang memiliki sahabat seperti Alando. Sejak kenal dengan Alando hidupnya tidak pernah monoton lagi. Seperti roller coaster kadang naik kadang turun tidak seperti dulu yang dia tahu hanya peraturan dan tata kerama menjadi seorang Pramudya. Tapi untungnya orang tuanya tidak pernah melarangnya untuk berteman dengan Alando buat mereka mungkin pekerjaan jauh lebih penting dari pada sekedar mengurusi pergaulan anaknya.

Flashback end.

"Christy loe merusak suasana saja sih," tuduh Kenny, "Loe tau sendiri kan Alan benci banget sama bokapnya." tambah kenny.

"Siapa yang nggak benci, kalau dari kecil dia dan nyokapnya ditinggalin begitu saja hanya untuk seorang perempuan. Gue juga kalau berada di posisi Alan pasti benci banget tuh sama bokapnya." sambung Steven dengan gaya cueknya.

"Iya maaf, tadi gue gak sengaja keceplosan," sesal Christ, dia khilaf hingga tidak sadar sudah membahas bokapnya Alando.

Seketika Christ tersadar, dia merasa ada yang aneh dengan panggilan Kenny tadi. "Ehh... bule nyasar loe barusan manggil gue apa hah?" tanyanya marah, enak aja dia dipanggil Christy diakan bukan cewek.

Sedangkan Kenny langsung kabur menghindari amukan Christ. Sudah biasa melihat mereka seperti itu. Justru menjadi tidak biasa kalau melihat mereka adem ayem.

*****

Pagi-pagi sekali rumah kecil mereka sudah tampak riuh dengan dengan celotehan Meira.

"Iih... Radodo ayo cepet makannya!" suruh Meira kepada adik lelakinya Rado yang baru SMA kelas 3 yang usianya cuma beda tiga tahun darinya, "Nanti Meira terlambat." katanya lagi. Meira kalau bicara sama siapa pun selalu menyebut namanya bukan dengan kata ganti aku atau saya, itu sudah menjadi kebiasaannya.

Meira memiliki kedua orang tua yang begitu sayang kepadanya serta adik laki-laki yang sangat menyebalkan menurut Meira tapi dia juga menyayanginya.

Mereka bukan dari keluarga kaya, ayahnya cuma buruh pabrik perusahaan makanan sedangkan ibunya cuma ibu rumah tangga yang menyambi jualan pisang goreng di depan rumahnya. Namun kehidupan mereka sangatlah bahagia karena mereka selalu mensyukuri apa pun yang didapat dan jarang mengeluh juga.

"Apaan sih Meira, ini baru jam 07.00 masih ada waktu. Aku saja yang masih SMA nggak masalah." omel Rado.

"Kamu kenapa sih Ra, tidak biasanya kamu ingin cepat ke kampus? Kemarin aja kamu berangkatnya telat!" tanya ayahnya.

Sekarang mereka lagi sarapan di meja makan sederhana sebelum beraktivitas masing-masing.

"Kemarin itu kan Meira bangun kesiangan yah, hari ini tuh Meira ada urusan sama teman-teman Meira." jawabnya berbohong. Padahal dia lagi berusaha untuk tidak ketemu si Jak-Jak itu, makanya dia mau masuk lebih pagi.

***

Rado menghentikan motor matiknya tepat di depan gerbang kampus Meira. Kampus terlihat masih sepi, mungkin cuma mahasiswa teladan mirip kakaknya yang datang sepagi ini, pikir Rado.

Akhir-akhir ini kakaknya memang sering naik angkot dari pada berangkat bareng dengannya namun hari ini entah kenapa Meira ingin diantar olehnya. Setelah turun dari motor, Meira langsung masuk ke kampusnya dengan berhati hati.

"Eeh... kenapa Meira harus hati-hati? Mana mungkin juga jam segini Jak-Jak ada di kampus." pikirnya kemudian, seperti orang gila yang lagi ngomong sendirian.

Akhirnya Meira memutuskan berjalan dengan santainya, namun saat berada di kelasnya dia menemukan dua orang yang dikenalnya kemarin sedang tersenyum mengejek ke arah Meira.

"Mau menghindari kami hah...?" ucap salah satu dari mereka yang tatapannya lebih kejam, sedangkan yang satunya kelihatan lebih ramah.

"I iya..." jawabnya jujur, "Kata Mimi, Sansan dan Mimit. Meira harus menghindar dari Jak-Jak dan tidak boleh ketemu Jak-Jak. Kalau enggak Jak-Jak bisa membunuh Meira. Meira kan masih mau hidup. Meira belum menikah, belum punya anak, terus bagaimana dengan Ibu Meira nanti? Ibu Meira pasti sedih lagi. Terus ayah Meira juga sudah cape-cape kerja tiap hari cari uang buat kuliah Meira, eh Meira udah mati duluan sebelum lulus, kan kasian Ayah Meira. Terus Radodo adiknya Meira juga kasian entar nggak ada lagi yang minta antarin ke kampus. Terus..."

"STOP... DIAM...!" teriak Alando sambil mengangkat kelima jarinya. "Bawel banget sih nih cewek." kesal Alando, seumur-umur baru kali ini dia ketemu cewek kayak gini, bikin pusing. Sedangkan Zaden yang awalnya melongo malah ketawa keras mendengar ocehan cewek manis tersebut.

Diantara keempat teman-temannya Alando memang tidak memiliki sifat yang sabar dan dia juga sangatlah pemarah. Sedangkan Zaden, dia lebih tenang dan dewasa.

"Loe aja deh kali ini yang urusin nih cewek," mintanya pada zaden, "Bisa stress gue menghadapi dia." ucapnya pada Zaden lagi.

"Oke, tidak masalah." ucap Zaden.

Kemudian Alando langsung berlalu keluar dari kelasnya dengan tatapan amarah.

Zaden memandang Meira cukup lama seakan meneliti gadis yang ada di depannya. Gadis aneh yang bisa membuatnya tertawa dan membuat sahabatnya menyerah. Biasanya kalau ada masalah apapun maka Alando lah orang pertama yang akan menyelesaikannya, dia tidak akan pandang buluh siapa pun itu dan dia tidak peduli mau cewek atau pun cowok. Tapi kali ini dia malah menyerahkan padanya.

Sedangkan Meira sejak tadi diam membeku seakan dia adalah patung. Patung yang manis menurut Zaden.

"Apa kamu cuma akan jadi patung di sini? Tidak mau ngomong?" tanyanya. Karena tidak sedikit pun Meira membuka suaranya.

"Kan tadi Meira disuruh diam. Jadi Meira diam." ucapnya polos, "Meira nggak mau mati ah." lanjutnya hingga membuat Zaden tertawa.

"Oke. Jadi nama kamu Meira?" tanyanya lembut, menghadapi cewek kayak gini kudu sabar.

Meira mengangguk dengan senyum manisnya, "Iya, kata Ibu waktu Meira sekecil ini," Meira memegang ujung telunjuknya, "Meira itu kecil, merah dan cantik kayak seorang putri. Makanya Ibu memberi nama Meira putri." Jawabnya lucu.

Hingga membuat seorang Zaden tertawa geli. 'Ya ampun cewek ini lucu sekali.' mengingatkannya pada seseorang, batin Zaden.

"Baiklah, karena kamu lucu dan sudah membuat saya tertawa, maka saya memaafkan kamu." kata Zaden.

"Hah... kok kakak ganteng bisa tertawa sih, Meira kan bukan badut?" tanya Meira bingung.

"Yahh... lucu aja. Jadi menurutmu kakak ganteng yaa?" tanya Zaden, secara tidak sadar dia mengganti panggilan saya menjadi kakak. Selama ini banyak cewek-cewek yang bilang dia ganteng tapi itu hal yang biasa buat Zaden. Tapi entah kenapa kalau gadis ini yang bilang rasanya dia ingin terus menggodanya.

"Iya... kakak ganteng banget." sambil mengacungkan kedua jempolnya dengan imut yang membuat Zaden sangat gemes hingga tak sadar mengacak rambut Meira.

"Tapi kakak tadi juga ganteng banget, tapi sayang suka marah-marah coba senyum dikiiit aja sama Meira pasti juga ganteng banget-banget malah." tambah Meira dengan tingkah polosnya.

"Haahaa... kamu benar, dia itu memang sangat pemarah dan tidak suka tersenyum."

"Kasihan. Kata Ibu Meira Kalau kita suka marah-marah entar cepat tua, makanya Meira nggak pernah marah. Takut cepat tua, Meira kan belum lulus kuliah. Meira juga sangat suka senyum." katanya lugu. Membuat Zaden semakin gemes.

"Meira mau tau nggak siapa namanya?" tanyanya memancing gadis polos di depannya.

"Meira tau, dia Jak-Jak."

"Jak-Jak?" apa maksudnya ZACKS ya, pikir Zaden.

"Maksud Meira ZACKS ya?" Tanya Zaden. Dan Meira cuma mengangguk polos, meski tidak mengerti perbandingan kata-katanya.

"Bukan Meira, ZACKS itu nama geng kami. Itu diambil dari inisial nama kami." Zaden mencoba untuk menjelaskannya. "Dan teman kakak yang pemarah tadi Itu namanya Alando."

"Oh... namanya bagus banget, tapi namanya susah kak, Meira panggil Kak Al Al Aja ya kak?" tanyanya minta persetujuan takut salah lagi.

"Hahaha... iya terserah Meira aja. Oh iya Meira juga belum tau nama kakak kan?"

Meira menggeleng cepat, "Belum, Meira kan belum tau nama kakak juga." polosnya.

"Zaden, tapi Kalau Meira juga kesusahan manggil nama kakak, terserah Meira mau manggil kakak apa." semakin kesini, Zaden semakin mengerti karakter unik yang dimilki gadis polos di depannya ini. Bahkan mungkin kelebihan polos. Zaden berasa lagi ngomong sama seorang adik yang usianya 5 tahun yang pernah dimilikinya. Zaden membelai sayang rambut gadis di depannya tersebut.

"Meira mau menolong kakak nggak?" tanya Zaden.

"Kalau Meira bisa pasti Meira tolong. Tapi kalau tidak, ya tidak." jawabnya yakin.

"Oke. Meira bisa nggak membuat kak Alando tadi tidak menjadi pemarah lagi terus buat juga kak Alando bisa tersenyum?" entah kenapa dia merasa Kalau Meira bisa mengubah sifat sahabatnya tersebut. Zaden ingin Alando bisa bahagia lagi seperti sebelum kematian mamanya.

"Ehmm, mau tapi Meira nggak tau caranya." bingung Meira.

"Nanti Meira pasti tau sendiri kok caranya, tapi untuk sekarang Meira harus terus mengikuti Kak Alando."

"Tapi kan Meira harus pulang. Meira nggak bisa terus ikutin kak Al Al." Matanya menatap Zaden lugu penuh kebingungan.

"Meira tidak perlu ikutin kak Alando sampai ke rumahnya, cukup di kampus aja." Zaden berusaha menjelaskan. Maklum otaknya Meira ketukar sama otaknya anak kecil.

Tidak lama kemudian, teman-teman sekelas Meira berdatangan hendak masuk ke kelas dan saat melihat di kelas mereka ternyata ada ketua geng ZACKS mereka lansung berbalik keluar karena tidak mau mendapat masalah. Mereka hanya berdoa untuk keselamatan Meira. Jahat memang, tapi itulah hidup. Menyelamatkan diri sendiri lebih penting.

"Ya Sudah, kakak keluar dulu nanti Kita ketemu lagi." Zaden pun beranjak dari duduknya dan segera keluar.

Setelah Zaden berlalu dari sana barulah, teman-teman Meira bergegas masuk kelas, mencari tau keadaan Meira.

"Meira Kamu tidak kenapa-kenapa kan, tidak ada yang terluka kan, apa dia menyakitimu?" Ami, Mita dan sany bertanya bergantian, dan memutar tubuh Meira kalau-kalau Ada yang terluka.

"Meira nggak kenapa-kenapa kok, Meira sehat." jawabnya tidak mengerti maksud dari pertanyaan teman-temannya, dia kan selalu sehat, pikir Meira.

"Terus kak Zaden kenapa menemui kamu, dia tidak menyakiti kamu kan Meira?" tanya mereka lagi.

"Engga kok, kak Zad Zad baik. Kak Zad Zad bilang sudah memaafkan Meira. Tapi Meira harus bisa buat kak Al Al tersenyum," ucapnya bikin gemes teman temannya. "Jadi Meira harus selalu mengikuti kak Al Al." Tambahnya.

"Haah...?" kaget mereka, sepertinya ZACKS memang akan menyiksa Meira Perlahan.

Membuat Kak Alando tersenyum sama seperti Mengisi botol yang penuh lubang yang artinya tidak akan bisa. ZACKS benar-benar memanfaatkan ke stupid'an Meira, pikir mereka. Tapi mereka bertiga tidak bisa melakukan apa-apa selain berdoa untuk keselamatan Meira.

***

Vote, like dan koment yaa... terima kasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!