Seoul, Januari 2020
Tanah pemakaman yang terguyur hujan deras sesaat setelah upacara pemakaman selesai. Lee Seo Jun masih berdiri tegap membiarkan seluruh tubuhnya kuyup. Di sampingnya berdiri seorang gadis yang prihatin dan
memayunginya.
“Oppa, jangan menyiksa diri! keun-abeoji (paman) dan *k*eun-eomeoni (tante) pasti sedih melihatmu terpuruk.” Lee Moon, sepupu yang paling akrab dengan Seo Jun terisak tangis. Bukan hanya karena kehilangan paman dan tante, hatinya lebih hancur melihat keterpurukan Seo Jun yang belum bisa menerima kenyataan.
“Keun-abeoji meninggalkan wasiat padamu. Oppa harus semangat meneruskan bisnis keluarga.” Lee Moon terus berbicara meskipun tidak digubris.
Seo Jun mulai melangkah pergi, ia tak peduli payung itu tak melindunginya lagi. Toh ia terlanjur basah jadi lebih baik berpayungkan langit mendung yang ikut berkabung atas kepergian kedua orangtuanya.
“Nggak usah buntuti aku terus!” Bentak Seo Jun tanpa memandang wajah Lee Moon.
“Aku khawatir oppa! Kamu mau begini sampai kapan? Jika kamu merasa kematian mereka tak wajar, cepat bangkit dan beri keadilan buat mereka!” Seru Lee Moon, ia perlu membalas bentakan itu untuk menyadarkan sepupunya.
“Moon, aku mau pergi dari sini!” ujar Seo Jun tegas.
“Kemana? Berapa lama?”
“Aku perlu menenangkan diri. Siapkan tiketku ke Jakarta besok!” Seo Jun memberi perintah, namun setelah itu ia bersedia pergi sepayung dengan Lee Moon yang sudah menyanggupi permintaannya.
Jangankan ke Jakarta, ke luar angkasapun kuijinkan asal kau kembali dengan semangat melanjutkan hidup lagi, Oppa…
***
Di waktu yang bersamaan, seorang gadis muda baru saja diusir keluar dari kediaman mewahnya. Rumah peninggalan orangtuanya yang bangkrut pun disita bank, tidak hanya itu satu-satunya keluarga – ayahnya –
harus mendekam di bui gara-gara hutang piutang. Kini police line berwarna kuning menyegel pagar rumahnya.
“Eh tunggu! Setidaknya ijinkan aku membawa bajuku!”
pekik Amanda saat dua petugas mengamankannya keluar rumah.
Tanpa mendengar jawaban, tiga buah koper terlempar keluar menimpanya disusul dengan tertutupnya pintu gerbang. Sayup-sayup angin berembus, mendramatisir adegan mellow mengharu biru yang baru saja dialami
gadis malang itu.
Ia tidak tahu kemana kaki berpijak, kemana harus berteduh dari panasnya hujan dan teriknya matahari. Setelah ini bagaimana ia menyambung hidup yang belum jelas arah tujuan. Hais… Amanda menyiapkan tissue untuk pembaca yang siapa tahu ada yang terbawa perasaan merasakan beban yang dipikulnya.
Gadis malang itu mengamati dirinya mulai dari ujung leher ke ujung kaki, setelan kaos putih dan jeans belel yang tiga hari belum ia ganti masih menempel di tubuhnya. Ia meraba perutnya yang keroncongan minta diisi dan barulah ia tersadar tidak semua asset ayahnya disita. Dirabanya kantong belakang jeans dan menemukan sesuatu yang membuat semangatnya kembali.
“Ayah setidaknya nggak kejam banget. Baiklah, Amanda untuk sementara kamu tinggal di mobil aja.” Amanda menguatkan diri sendiri sembari memelototi kunci mobilnya. Satu-satunya harta berharga yang tersisa, di samping uang pegangan yang tidak sampai 1 juta rupiah.
Tiga kopernya ditaruh di belakang mobil Pajero Sportnya. Meskipun masih mampu mengemudikan mobil mahal, namun ia hanya tampak baik di luar saja, beberapa hari kemudian jika ia belum menemukan jalan keluar maka uangnya hanya akan habis untuk makan dan bensin.
“Ah, dipikir nanti aja urusan besok. Yang penting sekarang cari tempat aman buat parkir dan tidur! Semangat Amanda!” Pekik Amanda seorang diri di dalam mobil, jika bukan ia yang menyemangati dirinya lalu siapa lagi?
***
Tiga hari kemudian di bandara Internasional Soekarno Hatta…
Seo Jun menarik ranselnya sembari menelpon, sekeliling memang terasa asing baginya namun rasa itulah yang justru sangat menghibur. Tidak ada sorotan dari orang yang mengenalnya, tidak ada media yang mengejar
dan mendramatisir berita dukanya menjadi konsumsi publik, dan yang pasti ia bisa memalingkan sejenak perasaannya dari kenyataan sampai hatinya siap membuka lembaran baru.
“Moon, tolong atur urusan kantor, selesaikan meeting kerjasama dengan perusahaan Sun. Jangan ceroboh lagi! Kau bahkan teledor membeli tiket sampai aku harus mengundur waktu ke Jakarta.” Seo Jun memberikan banyak pesan, ia sebenarnya tahu sepupunya Lee Moon kurang cekatan dan tidak bisa sepenuhnya diandalkan. Tetapi hanya tersisa dia yang bisa dipercaya dan ia yakini tidak akan pernah mengkhianatinya.
“Oke siap bos! Sudahlah, kau nikmati liburanmu. Jangan terus menghubungiku setiap saat, gimana bisa liburan kalau udah jauh aja masih kontrol aku. Ingat, cari guide bernama Devi. Fotonya udah aku kirim di messenger, dan harusnya dia udah nungguin.” Ujar Lee Moon panjang lebar.
“Huft… oke. Nanti pulang aku bawain ole-ole atau kau bisa request sesukamu. Aku titip perusahaan padamu.” Ujar Seo Jun sebelum mengakhiri pembicaraan.
Hanya untuk ngobrol di telpon saja ia nyaris menghabiskan waktu satu jam dihitung sejak ia turun dari pesawat. Lee Moon sengaja mengulur keberangkatannya demi mencarikan tour guide yang professional dan ia percayai untuk menemani Seo Jun selama berada di Jakarta. Seo Jun mengamati foto wanita bernama Devi yang dikirim Moon. Gadis manis berkulit kuning langsat dan potongan rambut lurus sebahu, Seo Jun mengamati sekeliling mencari sosok wanita dalam foto.
Banyak penjemput yang memegang nama tamu yang dijemput, namun tidak ada satupun nama Seo Jun terpampang di sana. Ia mulai heran dan berencana menghubungi Moon kembali untuk menanyakan nomor ponsel Devi. Saat ini ia hanya mengandalkan Wifi bandara untuk berkomunikasi, ia belum bisa mengganti nomor lokal sebelum bertemu guidenya.
Sementara itu di tempat yang tak jauh dari Seo Jun berdiri, sepasang kekasih terlihat panic dan cekcok. Mereka terburu-buru lantaran was was ditinggal pesawat.
“Udah gue bilang, ini tuh terminal kedatangan. Lu pake sok yes aja yakin bener di sini.” Cecar Reagan yang lelah dan gerah karena mendorong troli yang dominan barang kekasihnya.
“O… jadi lu nyalain gue? Kalo lu emang yakin kenapa gak bilang gue salah trus ke tempat yang bener.” Sofie tahu ia salah, tapi gengsi terlalu tinggi untuk minta maaf. Satu-satunya cara adalah mencari kambing hitam dan membalikkan kesalahan pada Reagan.
Sofie kesal sampai enggan melihat wajah Reagan. Ia buang muka begitu saja sembari berjalan cepat mengikuti langkah cowok itu hingga sebuah ciptaan Tuhan yang mendekati sempurna menarik perhatiannya. Ia bahkan menghentikan langkah demi melihat lebih lama tanpa berkedip. Otak liciknya mulai menyumbang akal bulus, ia tidak boleh membiarkan cowok yang menyilaukan mata itu berlalu begitu saja atau ia akan terus menyesal di
kemudian hari.
“Aduh…” Sofie berteriak sembari menutupi bokong dengan sweaternya. Ia gelagapan seperti orang menahan air kecil.
Reagan yang sedari tadi belum berhenti kesal pun menoleh, seketika ia kaget dengan mimik wajah Sofie yang aneh. “Lu kenapa?”
“Anu… tamu gue datang. Gue harus ke toilet. Lu check in dulu ntar gue nyusul!” Sofie memegang perutnya seakan nyeri akibat datang bulan. Tanpa mendengar persetujuan Reagan, ia ngibrit menuju arah toilet.
Reagan meskipun cemas namun ia setuju dengan Sofie, ia harus segera check in jika tidak mau tiket mereka ke Bali hangus. Tanpa Sofie, ia leluasa berlari dan sekuat tenaga mendorong troli. Setelah urusan beres baru
ia akan mencari kekasihnya.
Sofie mengintip Reagan yang semakin menjauh, dari tingkahnya yang terburu-buru bisa dipastikan ia tidak akan berbalik menunggu Sofie. Kini saatnya menjalankan misi pertama untuk menarik perhatian cowok tampan yang masih berdiri kebingungan.
“Moon, wanita bernama Devi itu belum muncul. Kau yakin dia datang menjemputku?”
“Bentar, aku sambil hubungi dia tapi belum ada jawaban. Aduh Oppa… Oppa?”
What the… ponsel Seo Jun jatuh dan pecah berkeping-keping di saat pembicaraan dengan Lee Moon belum selesai. Pria itu ternganga seakan tak percaya, satu satunya alat komunikasi yang ia bawa kini tergeletak remuk di lantai dan ia belum bertemu guidenya. Ia berjongkok memungut bangkai ponselnya, barangkali masih ada harapan untuk menghidupkannya.
Sebuah tangan ikut mengambil casing ponsel yang tercecar, Seo Jun mengamati dari tangan hingga si pemiliknya. Ia berharap Devilah yang muncul, namun ketika melihat bukan wajah yang ia harap, rasa gelisahnya makin menjadi.
“Sorry, gue nggak sengaja. Lu gak papa? Ng… hape lu… sorry.” Sofie sengaja menabrakkan dirinya pada Seo Jun hingga ponsel pria itu melompat dari genggaman.
“Sorry? Kamu ngomong apa?” Seo Jun bicara dalam bahasa Korea, ia mulai gusar di saat guidenya belum datang justru ia bermasalah dengan gadis lokal yang mengajaknya komunikasi dengan bahasa yang tidak ia mengerti.
OMG… Oppa… ternyata dia cowok Korea. Sofie berteriak girang dalam hati, cowok Korea yang ia idamkan selama ini ternyata bisa ia temui di sini. Ia tak peduli reaksi pria itu, yang jelas ia sudah memulai dan tidak akan melepaskannya begitu saja.
***
"Kalo mau survive, lu nggak boleh gengsi. Kerja apapun yang penting halal, cia yo Manda!” pekik Amanda menyoraki dirinya. Sejak kehilangan rumah, harta orangtua beserta orangtuanya, dan teman-teman yang ngaku sahabat tapi menghilang saat tahu ia tidak punya apa-apa, Amanda lebih sering bicara sendiri. Ia kesepian dan sangat rawan frustasi, namun masih mencoba kuat dan berjuang dengan kedua tangan serta berdiri tegak di atas kedua kakinya. Hanya anak muda yang malas berusaha yang akan mati kelaparan, itu prinsipnya.
Ia baru saja mendapatkan ID card sebagai driver online resmi sebuah perusahaan angkutan online. Mobil mewahnya harus bisa menghasilkan, tidak hanya menghabiskan bensin untuk mutar-mutar tanpa tujuan jelas. Meski nomanden saat ini, yang penting ia masih kuat bertahan hidup dan tidur dari pom bensin ke pom bensin asalkan aman.
“Semangat! Kira-kira siapa penumpang pertama yang beruntung mendapatkan supir secantik aku ya?” Ujar Amanda kelewat narsis. Ia mulai mengaktifkan GPS dan akunnya untuk menampung orderan.
***
Sofie menyadari triknya menarik perhatian cowok ganteng yang mirip boy band itu mulai masuk ke skenario. Ia tak menyangka pria berkulit putih mulus itu ternyata cowok imporan dari Korea, beruntung sekali ia yang selama tiga tahun mempelajari bahasa Korea saking getolnya menonton drakor. Sofie tidak kesulitan berkomunikasi dengan pria itu, ia harus mendapatkan perhatian lebih dari si tampan.
“Sorry, aku nggak sengaja. Hpmu rusak ya, aku akan ganti rugi.” Sofie menyatakan rasa bersalahnya dalam bahasa Korea.
Seo Jun gagal fokus pada permintaan maaf gadis yang menabraknya, ia justru terkesima mendengar bahasa yang dilontarkan. Akhirnya ia tidak merasa berada di planet Namek dengan bahasa yang lain sendiri, ada juga orang lokal yang bisa diajak komunikasi. Seo Jun melirik sekeliling, wajah Devi tidak juga muncul. Ia harus memanfaatkan gadis yang bisa berbahasa Korea ini agar menjadi pemandunya sebagai alternatif jika Devi mangkir dari kerjaan. Bagaimanapun Seo Jun perlu seorang guide agar kedatangannya tidak sia-sia, ia tidak bisa bebas berwisata di kota besar yang sangat asing baginya.
“Gimana caranya kamu ganti rugi? Ini satu-satunya alat komunikasi yang aku bawa dan aku belum bertemu tur guideku.” Seru Seo Jun tidak bersahabat. Ia harus menggertak gadis itu agar tidak kabur dengan mudah.
“Ng… aku beliin yang baru deh gimana? Sorry banget aku nggak sengaja.” Sofie memelas, namun dalam hati ia tertawa girang.
“Tidak, aku tidak mau yang baru. Di dalam banyak data penting dan nomor kontak yang tidak aku hapal. Kamu harus bawa aku ke tempat servis ponsel sekarang atau kamu akan menyesal sudah membuang waktuku.” Ancam
Seo Jun.
Sofie terbahak dalam hati, pria itu mulai menunjukkan ketergantungan padanya. Boro-boro mengusirnya, pria itu nyatanya takut Sofie meninggalkannya.
“Ya sudah, kita ke pusat servis ponsel.”
Mereka berjalan menuju pemberhentian taksi, akhirnya Sofie bisa berlagak seakan pria Korea itu adalah kekasihnya. Berjalan berdua dan mencuri perhatian di sekitar saja sudah membuat kepalanya besar, apalagi kalau pria itu bisa digandengnya. Ia yakin semua wanita yang melirik bakal iri setengah mati padanya.
Sebuah taksi berhenti kemudian supirnya keluar dan berlari membukakan bagasi mobil serta mengambil alih koper dari pegangan Seo Jun. Mereka berdua masuk ke dalam mobil, Sofie seketika lega. Ia tetap takut jika Reagan datang mencarinya lalu memergokinya bersama pria asing. Bergegas dimatikan ponselnya agar kekasihnya tidak mengacaukan rencananya.
“Kemana ya bos?” tanya pak supir dari balik kemudi.
“Pak, tempat servis hape dimana ya?” Sofie bertanya balik, ia sendiri bukan orang asli Jakarta, gimana ia bisa tahu seluk beluk kota ini?
“Ow… ke mal area selatan deh neng, banyak konter hape di sana.” Ujar supir, ia memencet argo dan mulai berjalan.
Sementara itu Reagan celingukan mencari Sofie, bahkan menunggu di depan toilet wanita. Ia meronggoh kocek dan mengeluarkan ponsel, kepanikannya mulai menjadi saat nomor yang ia hubungi tidak aktif. Sofie tidak
tahu jalan dan sering tersesat, Reagan menyalahkan diri sendiri yang tega membiarkannya sendiri. Mereka masih punya waktu 15 menit sebelum boarding dibuka, Reagan harus menemukannya sebelum pesawat meninggalkan mereka.
***
Lee Moon baru bisa menghubungi Devi setelah puluhan kali miscal. Ia begitu panik mencemaskan sepupunya yang tidak familiar berada di tempat baru dan belum bertemu orang yang ia tunjuk sebagai guide. Jika terjadi sesuatu pada Seo Jun, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya.
“Devi, kamu kemana saja. Apa sudah ketemu sepupuku?” Moon enggan basa basi lagi, ia sudah over panic.
“Ng… aku tadi bolak balik toilet, sorry banget perutku lagi bermasalah hari ini. Dari tadi aku cari yang namanya Seo Jun tapi nggak ada yang menghampiri, aku udah ke pusat informasi tapi belum ada juga yang menemukannya.” Devi merasa sangat bersalah, suaranya terdengar jelas ketakutan.
Moon kehilangan tenaga, ia terhuyung duduk di atas kursi. “Jadi sepupuku hilang? Kamu nggak coba telpon dia?” teriak Moon mulai emosi.
“Udah, tapi nomornya nggak aktif.” Devi makin pesimis, rasa bersalahnya kian besar. Kalau sampai pria itu hilang, bukan tidak mungkin Lee Moon akan menuntutnya dan ia akan dapat sanksi dari perusahaan atau yang lebih parah ia akan dipecat.
“KAMU LAPOR POLISI CEPAT!” Moon makin tidak terkontrol, ia juga sedang menghubungi Seo Jun tetapi seperti yang Devi sampaikan, nomor itu tidak aktif. Tidak biasanya Seo Jun mematikan ponsel kecuali baterainya habis sebelum ia bertemu Devi. Tapi Moon kenal betul Sepupunya, pria itu tidak akan bertindak gegabah dan membahayakan dirinya. Mengingat itu akhirnya sedikit membuat Moon tenang.
“Kalau belum dua puluh empat jam hilang, belum bisa dinyatakan orang hilang. Maaf banget ya, Noona. Aku cari dia dulu, ada perkembangan apapun langsung aku kabari.” Devi mengakhiri pembicaraan, ia tidak boleh buang waktu lagi. Kemanapun pria itu pergi, ia bertekad harus menemukannya jika tidak mau kehilangan pekerjaan.
***
“Non, udah sampe nih.” Seru supir taksi dengan girang. Gimana tidak girang jika argonya mencapai dua ratusan ribu rupiah untuk perjalanan yang baru berakhir.
“Iy.. iya gue tahu kok. Bentar.” Sofie gelagapan, ia baru sadar dompetnya ia titipkan pada Reagan. Tas yang ia bawa hanya berisi beberapa recehan yang tidak sampai dua ratus ribu. Mampuslah ia yang seceroboh itu.
“Kenapa?” tanya Seo Jun saat melihat wajah kusut Sofie.
“Kamu punya rupiah? Bayarin ongkosnya.” Pinta Sofie separuh merengek. Pria itu datang ke Jakarta pasti punya persiapan, minimal ia punya pegangan uang Rupiah.
Seo Jun menghela napas dalam, gadis yang dari tadi sok bertanggung jawab itu ternyata malah minta ongkos padanya. “Berapa?”
“Neng lama amat sih.” Ujar supir makin tidak sabar.
“Bentar!” celetuk Sofie jutek. Ia baru saja senang hampir memenangkan pengalihan pembayaran namun malah disela oleh si bapak supir kumisan.
“Dua ratus dua puluh lima ribu.” Ungkap Sofie.
Seo Jun mengernyit, ia belum mengecek nilai tukar uang lokal dan langsung mempercayakan pada Moon untuk mengaturnya. Dan apesnya saat ia membuka dompet, ia baru sadar uang Rupiahnya tertinggal dalam amplop di atas meja kamarnya. Ia hanya membawa Won dalam jumlah banyak.
“Aku belum tukar uang.” Ujar Seo Jun sok cool.
Sofie memucat, jadi ia harus bagaimana? Kenapa ada kejadian di luar rencana yang menyusahkan dirinya? Pikirannya makin kusut saat mendengar ocehan si supir yang mulai habis kesabaran. Oh, God plis Help!
***
“Jadi gimana nih neng bayarannya lama amat, kalo nggak punya duit jangan naik taksi noh.” Sepuluh menit digantung tanpa kepastian pembayaran membuat tensi darah pak supir naik.
Sofie kelabakan, ia tidak punya siapapun yang bisa diandalkan. Tidak lucu jika ia mengaktifkan ponsel lalu merengek meminta bantuan Reagan, baru satu jam ia menghempaskan kekasihnya gara-gara kecantol pria Korea.
“Dompetku hilang, aku tidak bisa bayar ongkos ini. Uang yang kupegang nggak cukup, kamu bayarin dulu deh.” Seakan bermain ping pong, Sofie keukeh melempar tanggung jawab pembayaran pada Seo Jun.
“Nggak usah sok pake bahasa dewa neng, buruan bayar! Saya mau narik lagi nih!” Pak supir sudah seperti rentenir kebakaran jenggot.
Seo Jun harus membuat keputusan, ia tidak mau terlalu lama membuang waktu hanya untuk cekcok. Dikeluarkannya selembar uang 50.000 Won dan disodorkan pada supir. Uang itu segera ditarik pak supir yang sudah tidak sabar menerima bayaran.
“Duit apa ini? Palsu?” mukanya mengkerut, baru pertama kali melihat uang asing. Pak supir membolak balik selembar uang yang jika ditukar rupiah sudah mencapai dua kali ongkos.
“Uang Korea pak, tukarin sendiri di money changer. Itu udah lebih dari cukup buat bayar taksi bapak, lebih-lebih malah.” Jawab Sofie yang sewot dikasarin supir taksi. Setelah Seo Jun bisa membayar lebih, ia mulai bertingkah melakukan pembalasan.
“Udah beres kan? Ayo turun.” Seo Jun malas berbasa basi, harusnya ia sudah berkeliling kota minimal ke Monas, tapi malah menghabiskan waktu dengan kekonyolan seperti ini.
Pak supir yang masih belum yakin berusaha menahan mereka, “50.000 mana bisa buat bayar. Nambah selembar lagi!” todong pak supir galak.
“ih… bapak ini ya dikasih hati minta jantung. Tuman! Buruan turunin koper kami, itu duit udah sangat cukup.” Bentak Sofie tidak kalah ganas hingga si supir ciut.
Alhasil Seo Jun dan Sofie seperti turis nyasar ke mal, sembari menarik koper menyusuri pusat keramaian. Sekeliling mulai melirik keanehan mereka hingga membuat Sofie kegeeran, ia mencoba merangkul lengan Seo
Jun namun gagal karena pria itu berjalan sangat cepat di depannya.
“Mana tempat servis hape?” Seo Jun menoleh ke belakang, mencoba mencari jawaban dari pemandunya.
Sofie berjalan tersoak-soak dengan napas tersengal, ia lebih mirip ayam jago yang kalah tempur. “Di sono…” Ia menunjuk ke blok kiri, tangannya gemetaran.
Seo Jun mulai cemas melihat gadis itu, “Kamu kenapa?” ia menunggu Sofie menyusulnya.
“Ca... Capek…” Sofie langsung meraih lengan Seo Jun dan mencengkeramnya dengan kuat. Tangan kekar itu dijadikan tiang penyanggah agar tubuhnya tidak roboh.
Meskipun agak risih tetapi Seo Jun membiarkan Sofie bergelanyutan pada lengannya. “Buruan, ini udah makin siang. Aku mau jalan-jalan habis ini.” Ujar Seo Jun, setengah hari sudah ia buang waktu dengan hal yang tak berguna. Agendanya untuk keliling Monas tampaknya akan gagal jika ia berlama-lama di pusat perbelanjaan.
Sofie merengek kecapekan, ia akhirnya bisa berjalan bergandengan dengan Seo Jun. Senyum yang ia sembunyikan tampak mengerikan andai Seo Jun bisa melihatnya, ia berhasil beracting hingga bisa bergandengan layaknya orang kasmaran dan membuat berpuluh pasang mata menatap iri padanya.
Hihihi… Sempurna!
***
Devi menunggu di pusat informasi bandara namun Seo Jun tak kunjung muncul. Ia mulai tidak betah, menunggu dalam diam seperti patung sangat membosankan. Ditinggalkannya pusat informasi yang ia rasa tidak bisa diandalkan lagi. Lebih baik ia bergerak dan mencari info dari pihak lain, bila perlu ia akan bertanya satu persatu pada petugas yang standby di sana.
“Kalo dia udah nggak di sini, berarti dia bakal naik taksi.” Devi berpikir logis, ia harus mewawancarai supir yang mangkal di sana.
Berbekal foto yang dikirimkan Moon, Devi melacak taksi mana yang ditumpangi pria Korea itu. Satu demi satu taksi di pangkalan diinterogasi olehnya, namun belum membuahkan hasil yang memuaskan hingga tersisa satu unit taksi yang baru saja masuk ke pangkalan yang perlu didatangi Devi.
“Misi pak.” Sapa Devi ramah walau dengan wajah lelah dan senyum yang kaku dari bibir keringnya.
“Ya? Mau kemana non. Silahkan!” si supir salah sangka mengira Devi adalah calon penumpang.
“Nggak pak, aku lagi cari seseorang. Apa bapak melihat cowok ini?” Devi menunjukkan foto dari ponselnya, penglihatan si bapak yang buram terpaksa membuatnya menyipitkan mata untuk melihat layar ponsel.
Pria tua itu mengernyit, antara ragu dan yakin foto itu adalah orang yang sama dengan penumpangnya. “Ah, ini bocah yang ngomong pake bahasa asingkan?” Tanya si supir dengan volume lupa terkontrol saking kerasnya.
Devi mulai optimis, secerca harapan menyinari hatinya saat mendengar jawaban itu. “Iya pak bener. Bapak lihat dia di mana?”
Tiba-tiba bapak itu sewot, wajahnya yang semula bersahabat kini seakan bisa menelan orang. “Bukan lihat lagi, ini habis nganterin dia. Dasar kere, nggak punya duit tapi sok-sokan naik taksi. Masa tarifnya 220 ribu dibayarnya Cuma 50 ribu.” Si supir meronggoh uang yang dibayarkan oleh Seo Jun.
Devi mesem, antara geli atau prihatin dengan si supir. Padahal ia untung dua kali lipat dengan uang sebesar itu, namun dikiranya setara dengan Rupiah. Devi yakin supir itu pasti baru saja mengantarkan Seo Jun, bapak tua
itu pasti bisa mengantarnya pada tempat kliennya berada saat ini.
“Pak, saya bayarkan ongkos dia tadi. Uang ini saya ambil kembali ya, maaf banget. Dia teman saya dan nggak bisa bahasa Indonesia. Bapak tolong antarkan saya ke tempat dia sekarang. Ini saya bayarkan ongkos dia dulu,
kembaliannya ambil aja pak.” Devi menyodorkan uang 250 ribu Rupiah lalu meminta si supir segera membawanya ke tempat Seo Jun.
“Makasih non, ini aku balikin uang 50rbnya.” Ujar supir dengan polos, ia betul betul tidak percaya nilai uang tersebut lebih tinggi dari harga ongkosnya. Jika bukan karena Devi memberinya uang ganti, ia tidak akan bersenang hati meladeni gadis itu.
“Tadi mereka kemana pak?” tanya Devi penasaran, ia lupa belum sempat bertanya kemana tujuan Seo Jun saking senangnya berhasil memecahkan misteri.
“Ke mal non. Kok non nggak hubungin aja kalo emang temannya.” Tanya si supir mulai kepo.
“Justru itu aku gak bisa hubungin dia, kucari sampe bikin pengumuman di pusat informasi. Kok dia malah ke mal sih?” devi mengira ia salah menduga Seo Jun yang asing dengan kota ini, justru ia pendatang yang nekad pergi ke pusat keramaian sesampainya di sini tanpa pendamping.
“Ooo… mungkin karena itu temen ceweknya minta diantar ke mal, dia sempat tanya bapak tempat
servis hape di mana, makanya bapak bawa ke sana.” ujar si supir sembari melirik Devi dari kaca kecil di depannya.
“Waduh… hape temenku rusak pak? Pantesan aja ditelpon nggak nyambung.” Devi mulai mengerti situasinya.
“Eh tapi temen cewek? Dia bawa temen pak?” Devi baru sadar ada yang janggal, Moon bilang sepupunya datang sendiri tapi supir yang mengantarnya berkata Seo Jun bersama teman cewek. Devi mulai mencium ketidak-beresan,jangan-jangan cowok ini bawa selingkuhan.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!