NovelToon NovelToon

Perfect Mate

1

Rasa cinta dan benci sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi di setiap hidup manusia. Bahkan kedua kata sifat itu sulit dibedakan oleh setiap orang. Mana cinta dan mana benci. Ah, aku sendiri terkadang sulit juga membedakannya, hehehe.

Terkadang ada rasa benci yang berujung cinta, oops! Kenyataan memang sering hal itu terjadi di kehidupan nyata atau di kehidupan cerita-cerita yang hasil imajinasi.

Ada pula kebencian itu tetap bersemayam di hati seseorang sampai bertahun-tahun atau sampai seseorang itu mengembuskan napas terakhir. Tidak ada kata 'maaf', mungkin ... itu hanya kemungkinan dariku.

Perfect Mate. Pasangan Sempurna. Bukan berarti pasangan hidup dari cerita ini sempurna dari segala sisi, tapi lebih bagaimana pasangan itu saling melengkapi kekurangan dari pasangan hidup dengan caranya sendiri.

Manusia tidak ada yang sempurna. Karena yang kita ketahui sesungguhnya kesempurnaan itu hanya milik Tuhan. Benar yang kukatakan, bukan?

Tentu saja benar.

Tidak pernah terpikir dan sangat sulit ditebak memang tentang; jodoh, kematian, rezeki. Ketiga hal itu sudah menjadi rahasia, dari beberapa rahasia Tuhan. Manusia tak ada yang mengetahui takdir dalam hidupnya. Kita hanya bisa bertakwal, menerima segala ketetapan-Nya.

Kuingatkan, cerita yang kutulis ini banyak berisi hal yang tidak penting. Jadi, jangan harap kau akan mendengar sebuah cerita yang menakjubkan dari kisah-kisah yang ada. Sebab, aku ingin kau tidak kecewa. Aku tahu, kecewa selalu menyisakan luka.

Iya, iya. Aku tahu, aku terlalu bertele-tele.

Akan kusudahi bagian awal ini. Dan untukmu, kuucapkan:

..."Selamat Membaca!"...

...* * *...

Cinta itu fitrah, getarannya terasa oleh siapa saja yang merasakan. Tumbuh dalam hati sanubari setiap makhluk-Nya. Cinta itu lembut. Dia melembutkan hati orang yang tersentuh olehnya. Menghadirkan senyuman setulus dan semurni mata air pegunungan. Cinta itu menyejukkan. Dia membuat damai dan mempersatukan hati para pencinta. Yang melabuhkan dan mengaktualisasikan cinta dengan dan atas nama cinta-Nya. Cinta itu abadi. Dia mengabadikan jejak peradaban manusia. Yang berbuat kebaikan dan membangun kehidupan demi menggapai rida-Nya. Meraih kebahagiaan abadi di akhirat kelak.

Guncangan yang cukup keras menyentak kepala seorang gadis berjilbab hingga ia terbangun. Gadis itu tidak lain adalah Jessica Anastasya Wijaya.

"Jes, bangun, gih!" Suara Rendi terdengar dari kemudi depan, menghilangkan keheningan yang sempat terjadi dalam mobil.

Rendi yang duduk di kursi kemudi depan itu tersenyum tipis. Menoleh ke arah belakang, melihat wajah wanita yang beberapa hari akan berstatus istrinya itu. Sungguh tidak sabar bagi ia untuk segera menghalalkannya Jessica dalam balutan pernikahan.

Jessica menguap beberapa kali, lalu tersenyum tipis. "Iya, Kak Ren. Kita udah sampai, ya?" tanyanya dengan suara parau.

"Belum, Sayang." Mama Ani menyahut dari sampingnya.

"Lima menit lagi. Kita sampai, Nak," sahut Papa Andi yang duduk di samping Rendi.

Jessica tampak mengangguk paham.

Mereka semua pergi ke sebuah desa yang cukup jauh dari pusat kota untuk menemui ayah kandung dari Jessica. Tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak, tetapi mereka semua berdoa dan berharap agar masih hidup.

Alasan ingin menemuinya. Iya, karena untuk menjadi wali pernikahan nantinya. Baik Papa Andi maupun Mama Ani, berat untuk bertemu kembali dengan ayah kandung Jessica. Mengingat begitu bejat pria itu dulu.

Mereka mengadopsi Jessica pada umur lima tahun. Yang mereka tahu ibu kandung Jessica sudah meninggal dunia.

Jessica melihat keadaan di luar, dari kaca mobil. Cuaca di luar yang cukup tidak mendukung semakin membuat ia merasa sedih. Sudah belasan tahun ia tidak menemui keluarganya kandungnya.

"Rupa wajah ayah pun, aku sudah mulai tidak ingat lagi. Bagaimana kabar mereka?" gumam Jessica.

Jessica mengembuskan napas kasar. Kalau mengingat masa lalunya, ia akan tetap membenci dengan sebutan 'ayah'. Pria yang dianggap akan melindunginya saat belia, tetapi nyatanya berkebalikan dari hal tersebut.

Namun, ia selalu mengingat nasihat Papa Andi agar tidak membenci ayahnya itu. "Jangan membencinya, sampai kapan pun dia ayah kandungmu. Darahnya mengalir dalam tubuhmu, Nak. Sampai kau mati."

"Belok kiri atau kanan, Om?" tanya Rendi. Sesekali ia melirik Jessica melalui spion mobil.

"Ren, fokus!" Mama Ani menyeletuk, membuat Rendi tersenyum kikuk.

"Ah, iya, Tante," sahutnya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Sepertinya belok kiri, Ren," sahut Papa Andi. Pria paruh baya itu lupa-lupa ingat letak rumah Jessica, mengingat sudah lama ia tidak berkunjung.

Jessica terdiam. Ia sendiri juga tidak mengingat sama sekali arah rumahnya.

Rendi mengikuti instruksi Papa Andi.

Beberapa saat kemudian, mobil hitam itu berhenti di sebuah rumah minimalis sederhana. Letaknya cukup jauh dari pemukiman padat penduduk.

Meskipun rumah itu sederhana, tetapi kelihatan terawat. Banyak bunga-bunga tumbuh di halaman rumah minimalis itu. Membuat rumah itu kelihatan sangat asri.

Bau-bau tanah yang tersiram hujan menyeruak di indera penciuman. Suasana di desa memang beda di perkotaan. Pemandangan di desa itu sangat indah dan masih alami sekali. Udaranya segar. Menentramkan hati dan jiwa bagi siapa pun yang tinggal. Lain halnya dengan perkotaan yang sudah mulai tercemar oleh polutan udara dari berbagai jenis kendaraan atau pun pabrik-pabrik yang ada.

"Benar ini rumahnya, Om?" Rendi bertanya meyakinkan kemudian ia mematikan mesin mobil.

Papa Andi mengangguk mengiyakan. Segera melepas sabuk pengaman dan berjalan keluar.

Mama Ani menepuk pelan pundak Jessica. Membuyarkan lamunan putrinya itu. "Ayo turun, Nak. Semua akan baik-baik saja," ucapnya.

Mama Ani tampak paham apa yang sedang dipikirkan oleh Jessica. Setelah mengatakan itu wanita paruh baya itu membuka pintu mobil dan keluar.

"Iya, Ma," sahut Jessica. Kemudian ikut turun.

Rendi berjalan ke arah Jessica. Perjalanan selama tiga jam cukup untuk membuat persendiannya terasa kaku.

"Ada apa? Kenapa sedih, gitu?" Rendi bertanya khawatir melihat wajah Jessica yang tidak seceria saat mereka datang.

Jessica menoleh ke samping. Ia tersenyum semringah. "Nggak apa-apa, Kak Ren. Aku sedikit takut, aja," sahutnya.

Tangan Rendi terangkat ingin mengusap kepala Jessica yang dibaluti jilbab itu, tetapi tatapan tajam dari Papa Andi telah dulu menghentikan tindakannya.

"Nggak usah takut, ada aku di sini. Jika ayahmu itu main-main. Pukulan akan melayang," ucap Rendi. Ia memperlihatkan kepalan tangan. "Sudah lama, nggak ada jotos juga," sambungannya diiringi tawa ringan.

Jessica kembali tersenyum. Pria berjaket tebal itu selalu saja membuat guyonan yang berhasil membuat moodnya kembali bagus.

"Baiklah, jadi Kak Ren jalan dulu," pinta Jessica dengan antusias.

"Siap Sayang, eh Jessica." Rendi buru-buru meralat ucapannya, saat Mama Ani dan Papa Andi memelototinya.

2

"Siap Sayang, eh Jessica." Rendi buru-buru meralat ucapannya, saat Mama Ani dan Papa Andi memelototinya.

Drett! Drett!

Ponsel milik Rendi bergetar di dalam saku celananya. Ia segera mengambil benda pipi persegi itu.

"Siapa, Kak Ren?" Jessica bertanya penasaran.

"Calon kakak ipar," sahut Rendi, kemudian memencet tombol hijau.

Jessica ber-oh-ria, ia memilih berjalan duluan. Memberikan waktu privasi untuk Rendi berbicara dengan kakak lelakinya.

Setelah saluran teleponnya itu terhubung Rendi bertanya setelah mengucapkan salam, "Tumben lo nelepon. Rindu sama gue, Bar? Baru beberapa jam nggak lihat gue. Lo sudah rindu aja." Dengan percaya diri ia bertanya seperti itu.

"Cih! Kurang kerjaan gue rindu sama, lo!" Hanya umpatan sinis yang Bara lontarkan.

"Hahaha." Rendi tertawa keras. Sangat senang ia memancing emosi Bara. "Santai Bang Bara, marah-marah terus karena frustrasi hadapi istri ngidam? Lo dan Erwin memang pantas disebut suami takut istri. Seperti judul lagu.

Susis wo wo wo susis ...."

"Enggak! Gue calon kakak ipar lo. Berbicaralah dengan tutur kata yang baik." Bara mengusap wajahnya secara kasar di seberang sana. Sungguh sahabatnya memang sial4n.

Rendi berdehem.

"Calon Kak ipar yang terhormat. Ada urusan apa Anda menelepon?" Kali ini Rendi bertanya serius dan sopan. Sesuai dengan permintaan Bara.

Bara tersenyum. Cukup jengkel ia rasakan. "File rekaman perusahaan di mana lo menyimpannya? Gue sudah periksa di dalam laptop gue, enggak ada."

"Oh itu. File-nya semuanya gue simpan dalam laptop gue. Lo bisa pergi ke apartemen saja, Kak ipar yang terhormat," sahutnya.

Meskipun akan menikah dengan Jessica. Rendi tetap bekerja secara profesional dengan Bara. Sampai kapan pun ia akan tetap menjadi sekretaris dari seorang Bara Sadewa.

"Baiklah. Lo dan yang lainnya sudah sampai?"

"Baru saja, Kak ipar."

"Hem. Iya sudah, gue tutup teleponnya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Jangan lo membuat apartemen gue berantakan, Bar!" Rendi memberikan pesan di akhir ucapannya, karena ia tahu Bara seperti apa orangnya.

"Terserah gue. Bodoh amat!"

Tutt!

Bara mematikan telepon secara sepihak.

Membuat Rendi mendengus kesal.

"Si4l!" batin Rendi mengumpat.

Tidak mau terlarut dalam kekesalan itu. Ia segera berjalan cepat, menyusul Papa Andi, Mama Ani, dan Jessica.

Papa Andi mengetuk pelan pintu rumah itu. Sepi. Kelihatan tidak aktivitas apa pun di dalam rumah minimalis tersebut.

"Assalamu'alaikum." Jessica ikut mengetuk pintu. Tangannya bergetar hebat saat mengetuk pintu itu.

Setelah beberapa saat menunggu, pintu akhirnya terbuka dan terlihat seorang gadis yang berambut panjang. Itu Novi. Adik Jessica, dua tahun lebih muda dari Jessica. Gadis itu kaget saat melihat beberapa orang asing di depan rumahnya. Namun, ada satu orang yang ia merasa familier dari keempat orang itu.

"Siapa kalian?" Ia buru-buru ingin menutup pintu kembali. "Maaf, rumah ini tidak menerima tamu," ucapnya lagi.

"Kami bukan orang jahat, Nak." Mama Ani membuka suara. Mencoba mencegah agar pintu tidak tertutup rapat.

"Sekali lagi maaf. Kalian bisa pergi!"

Dengan suara gemetaran, Jessica berkata, "Dik, aku kakakmu ...."

Ia cukup senang melihat keadaan adiknya baik-baik saja. Tidak ada yang berubah yang ia rasakan dari sosok Novi. Adik yang dulu selalu ia gendong ke mana-mana. Ia tersenyum tipis bila mengingat masa-masa kecilnya dulu.

Pintu itu terbuka kembali. Sepasang bola mata berbeda warna saling bertemu. Dua saudara yang belasan tahun terpisah, akhirnya bisa bertemu hari itu. Kemudian saling memandang satu sama lain beberapa detik.

Mata Jessica tampak berair. Sedih. Terharu. Perasaannya campur aduk.

Beberapa detik terdiam. Jessica berjalan ke arah adik perempuannya itu. Langsung memeluk tubuhnya dengan erat.

"Lepasin!" Novi memberontak. Tidak suka dengan kehadiran Jessica.

Ia mendorong tubuh Jessica cukup keras. Hingga hampir saja Jessica terjatuh, tetapi Papa Andi sudah terlebih dahulu menahannya.

Jessica tidak berkata apa pun. Hanya bulir air mata yang mewakili bahwa ia benar-benar sedih. Rasa takut yang menghantui pikirannya selama perjalanan akhirnya terjadi. Adiknya itu seperti benci terhadap dirinya.

"Kamu punya sopan santun, nggak? Ini kakakmu!" Rendi menunjuk Jessica yang berdiri di sampingnya, ia maju ke depan. Tepat di hadapan Novi. Tidak terima Jessica diperlakukan seperti itu.

"Huh ... kakak? Aku tidak menganggapnya lagi!" sahutnya diiringi tawa tidak suka. "Kalian bisa pergi! Aku tidak suka keributan terjadi di rumah ini!"

Brak!

Novi menutup pintu itu cukup keras.

Tangisan Jessica semakin pecah di dalam dekapan Papa Andi. "Sudah, Nak. Mungkin adikmu masih kaget karena kedatangan kita secara tiba-tiba. Papa akan berusaha membujuk. Kamu tenang."

Rendi menghela napas panjang. Ia menendang pintu rumah yang tertutup itu.

"Cih, bocah kecil itu sungguh tidak ada akhlak!" Rendi berucap kesal. "Woy, buka pintunya! Gue dobrak paksa baru tahu lho, bocah!"

3

"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik pada dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri." (QS. Al-Isra [17]:7)

Uhuk!

Uhuk!

Seorang pria paruh baya terbatuk-batuk di tempat tidurnya. Dengan suara samar ia berkata, "Novi, siapa yang ada di luar?" tanyanya. Tanpa sengaja ia mendengar keributan yang terjadi di depan rumahnya.

"Nggak tahu, Yah. Mereka bikin ribut saja di rumah. Aku nggak izinin masuk," sahut Novi menghampiri ayahnya itu. Ia membantu ayahnya itu untuk duduk.

"Kapan kamu pergi ke kota, Novi? Temuilah kakakmu di sana. Ayah sangat ingin minta maaf kepada kakakmu itu. Ayah takut, umur ayah tidak akan lama. Uhuk!" Ia kembali terbatuk.

Penyakitnya sudah tidak ditahan lagi. Mungkin inilah karma yang ia rasakan, karena sudah berbuat semena-mena saat dulu ia masih sehat. Penyesalan, menghantuinya. Ia takut pintu maaf tertutup rapat, kesalahannya dahulu sangat mendalam tertinggal jauh dalam jejak perjalanan. Semua yang terjadi tidak mungkin kembali, hanya kata maaf mungkin yang ia katakan atas khilaf yang dilakukan dari masa lalunya itu kepada putri sulungnya, Jessica.

"Aku semakin membencimu, Kak Jessica," batin Novi tidak suka mendengar ucapan ayah itu. Sejak ayahnya sakit, terus saja memanggil Jessica. Padahal tidak ada apapun yang dilakukan Jessica.

Novi buru-buru mengambil obat dan segelas air putih. "Minum dulu obatnya," ujarnya.

"Hanan! Aku Andi, yang mengasuh putri sulungmu belasan tahun lalu. Ada urusan yang aku ingin bicarakan dengan kamu." Papa Andi berteriak cukup keras di depan pintu itu.

"Novi. Ayah--mengenal suara itu. Dia Andi. Iya dia Andi." Pria paruh baya bangkit berdiri. Meski tubuhnya lemah, ia mencoba tetap bangkit. "Mungkinkah dia datang bersama kakakmu juga?" tanyanya penuh harap.

Novi menggigit bibir bawahnya. "Huh, sial! Aku tidak suka kalau ayah bertemu dengan Kak—Jessica," gumamnya.

"Ayah, itu orang iseng aja. Mereka bikin ribut, Ayah mendingan tidur kembali. Kesehatan Ayah semakin drop akhir-akhir ini." Novi mencegah menyuruh ayahnya itu tidur kembali.

"Hanan ... sungguh tidak ada niat jahat apa pun aku datang ke sini. Tolong buka pintunya!" Suara Papa Andi kembali terdengar. "Jessica, rindu denganmu, Hanan," sambung Papa Andi.

"Novi, jangan mencoba membohongi ayah!" Pendengarannya tidak salah lagi. Ia tetap mencoba bangkit berdiri.

Brugh!

Tubuhnya jatuh ke ubin keramik. Sudah dua tahun ini ia divonis lumpuh total oleh dokter akibat kecelakaan yang terjadi.

Novi menghela napas panjang. "Kenapa, sih Kak Jessica ... Kak Jessica terus yang Ayah pikiran? Sementara, Kak Jessica tidak pernah memikirkan Ayah?!" Novi bertanya sengit. Ia mengambil kursi roda lalu mengangkat tubuh ayahnya itu. Meski kesal ia, juga tidak tega melihat ayahnya itu kesakitan.

"Tunggu di sini. Aku akan membuka pintu dulu." Novi mengentakkan kakinya kesal ke arah pintu.

Ayah Hanan mengangguk paham. Kebahagiaan terpancar di wajah yang sudah mulai keriput dimakan usia itu.

"Masuk!" Novi memandang malas kepada keempat orang di hadapannya itu.

Papa Andi mengembuskan napas lega. Usahanya tidak sia-sia ternyata.

"Dik ...." Jessica ingin meraih tangan Novi. Namun, adiknya itu segera menepis

"Nggak, usah pegang-pegang! Aku tidak mengenalmu," sahutnya ketus.

"Cih, bocah kecil sial4n!" Rendi mengumpat dalam hatinya. Kalau bukan adik dari calon istri mungkin ia akan memberikan sedikit pelajaran.

"Apa lo, lihat aku kayak gitu?" Novi berkata tidak suka kepada pria yang tidak ia kenal itu memandangnya dengan tatapan intimidasi.

"Jessica," panggil Ayah Hanan yang berhasil menarik perhatian semua orang.

Jessica menoleh ke arah sumber suara, terlihat sosok yang selama ini ia rindukan. "Ayah?" tanyanya tidak percaya. Ia berjalan cepat menuju kamar yang pintunya terbuka lebar.

Jessica ingin mencium kaki ayahnya itu untuk minta maaf, tetapi buru-buru Ayah Hanan mencegahnya. "Kamu hanya pantas untuk bersujud kepada Allah, Nak. Bangunlah," pintanya.

Jessica mengangguk. Pelukan hangat melepaskan kerinduan antara keduanya.

Jessica kembali menangis. "Ayah, maafin aku. Baru hari ini aku mengunjungimu," ucapnya lirih.

"Ayah yang seharusnya minta maaf, Nak. Maaf atas kesalahan ayah terdahulu."

Papa Andi, Mama Ani, dan Rendi ikut sedih melihat hal tersebut. Lain halnya dengan Novi yang hanya tersenyum masam melihat adegan dramatis tersebut. "Sok sekali," gumamnya.

"Dia itu kacang lupa sama kulitnya," cibir Novi santai.

Seluruh mata memandang ke arahnya.

"Apa kalian lihat aku kayak gitu? Yang aku ucapkan benar, bukan? Mentang-mentang diadopsi sama keluarga kaya. Dia lupa sama keluarganya yang miskin. Tidak habis pikir aku!" kata Novi.

Rendi sudah tidak tahan lagi. Mulut gadis itu sungguh minta dikasih pelajaran. Dengan segera, ia menarik lengan Novi membawa ke samping rumah.

"Hei, bocah kecil! Kamu itu tidak pernah diajarkan sopan santun? Mulutmu itu, astagfirullah!" Rendi beristigfar di akhir ucapannya.

Novi melepaskan cengkraman kasar Rendi. "Kamu yang tidak punya sopan santun! Main tarik tanganku, ini rumahku!" sahutnya, "Siapa kamu? Membela dia terus. Oh, apakah kamu om-om yang suka sama dia? Pantas saja," lanjutnya sembari menunjuk Jessica yang masih menangis dalam pelukan ayahnya. Ia tertawa mengejek.

"Cih!" Rendi berdecih sinis. Ia mengambil sarung tangan di dalam saku jaketnya, langsung menyumpal mulut gadis itu. "Kamu masih kecil, Dik. Aku bukan om-om, aku calon kakak iparmu! Nanti setelah aku sah jadi kakak iparmu. Aku akan mengajarkan sopan santun. Kamu memang perlu didikan." Setelah mengatakan hal tersebut Rendi langsung pergi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!