"Aku tidak peduli dengan siapapun lagi, kini hidupku aku yang menentukan. Kalian yang sudah menghina dan memakiku akan aku pastikan kalian mengalami apa yang aku rasakan!!"
Audrey Isvara harus merasakan pahitnya hidup saat orang sekitarnya mencampakan dirinya ketika keluarganya terpuruk. Melihat satu-satunya orang yang menyayanginya berada di ambang kematian membuat Audrey tidak berpikir rasional, yang ada di pikirannya sekarang hanya satu, menyelamatkan sang mamah, serta membalas dendam kepada orang yang sudah membuat keluarganya berantakan.
"Apa yang bisa kau berikan padaku?" tanya seorang tuan muda kaya raya dengan berjuta prestasi gemilangnya di usia yang bisa di bilang masih sangat muda.
"Apapun yang Anda inginkan dari 'ku, maka akan aku berikan!" jawab Audrey dengan nada begitu tegas tanpa rasa takut, ia bahkan berani menatap mata pemuda di depannya itu. Pemuda yang terkenal berdarah dingin, serta mampu menyingkirkan semua pesaingnya hanya dengan sekali jentikan jari.
"Memangnya apa yang bisa aku dapatkan darimu, hah! Perusahaan bangkrut! Ayah bunuh diri! Keluarga sendiri mengusirmu! Hah, memangnya apalagi yang kau punya?!" tanya pemuda itu penuh dengan ejekan dan cibiran yang menusuk tepat di jantung Audrey.
Audrey meremas ujung gaun yang ia kenakan, ingin rasanya ia mengumpat, memaki pria arogan di depannya. Akan tetapi demi sang mamah, ia rela merendahkan dirinya sendiri agar mendapatkan apa yang ia butuhkan.
"Aku bisa memberikan tubuhku!" jawab Audrey lantang.
Pemuda itu terkesiap, ia tidak menyangka jika kata itu bisa lolos dari mulut gadis yang dua tahun lalu keluarganya pernah menolak lamaran darinya, saat itu pemuda yang sedang duduk di hadapan Audrey tidak sesukses sekarang serta ada sesuatu hal yang hanya pemuda itu dan keluarga Audrey saja yang tahu. Pemuda itu tidak memungkiri jika menyukai Audrey, akan tetapi hanya karena materi membuatnya sakit hati atas penolakan keluarga yang kini mengalami kebangkrutan. Namun, sekarang apa? Gadis itu malah merendah demi mendapatkan sebongkah uang untuk menyelamatkan ibunya.
"Hah, tubuhmu! Aku bisa mendapatkan yang lebih baik dari dirimu! Kau hanya seujung kuku dari para gadis yang rela memberikan tubuhnya kepadaku secara sukarela. Lalu untuk apa aku membayarmu mahal, hah!" cibir pemuda itu menatap tajam pada Audrey.
Audrey mencoba menahan setiap amarahnya, ia harus bertahan dari setiap hinaan dan cibiran yang ia dapatkan.
"Aku mohon! Demi mamahku yang terbaring, apapun yang Anda inginkan dariku akan aku penuhi. Tubuhku bahkan nyawaku akan aku berikan jika Anda menginginkannya!"
Audrey menjatuhkan diri ke lantai yang terbuat dari marmer, lututnya bertumpu pada lantai, air matanya berlinang tak terbendung lagi, yang ada dipikirannya cuman satu, bisa segera mendapatkan uang untuk biaya operasi mamahnya.
Pemuda itu sedikit terkesiap, akan tetapi tetap menunjukkan mimik wajah datar. Ia menyilangkan kakinya, menyangga dagunya dengan kedua punggung tangan di mana jari jemarinya saling bertautan. Pemuda itu terlihat berpikir, menimbang apakah akan membantu Audrey atau tidak.
"Kau akan memberikan apa yang aku ingin 'kan?" tanya pemuda itu dengan suara lantang.
Audrey hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan.
"Bahkan jika aku meminta menjadi budakku seumur hidupmu?" tanya pemuda itu lagi.
"Budak seumur hidup, apa harus seperti ini? Apa yang harus aku lakukan? Tapi ini demi Mamah," gumamnya dalam hati seraya semakin meremas ujung gaunnya.
"Bahkan jika aku harus menjadi budakmu, aku rela!" jawab Audrey dengan suara berat. Ia mencoba menahan segala amarah yang mulai menekan rongga dadanya, rasa sesak yang membuatnya kesulitan untuk bernapas.
Pemuda itu menatap Audrey yang tertunduk, senyum puas muncul di bibirnya. Ia kemudian berdiri serta berjalan ke sebuah brankas besi yang ada di ruangan itu. Dengan menekan tombol tertentu, brankas itu terbuka lebar. Betapa fantastik isinya, bertumpuk-tumpuk uang lembaran berwarna merah ada di sana, bahkan emas batangan yang entah ada berapa kilo juga tersimpan rapi di brankas itu.
"Ini seratus juta yang kau minta." Pemuda itu menaruh setumpuk uang berwarna merah di meja.
Audrey mendongakkan kepala, ia kemudian berdiri dari tempatnya berlutut tadi, berjalan ke arah di mana pemuda yang ia harapkan bantuannya itu berdiri.
Pemuda itu merengkuh pinggang Audrey, merapatkan tubuh gadis itu kepelukan, jemarinya menyentuh dagu gadis itu, mendongakkan sedikit ke atas agar manik mata mereka bisa saling bertemu.
"Ingat, jika kau sampai mengingkari ucapanmu atau menjalin hubungan dengan pria lain. Aku bisa pastikan kau, ibumu juga pria yang bersamamu akan aku kubur jadi satu!" ancam pemuda itu yang diakhiri dengan sebuah ciuman kasar di bibir Audrey.
Audrey berjalan gontai keluar dari ruangan tempatnya merendahkan harga diri serta martabatnya, mencoba menahan rasa perih yang menusuk serta mencabik-cabik jiwanya. Tiada lagi airmata yang luruh dari kelopak mata, semuanya seakan sudah kering karena segala cacian, hinaan serta cibiran dari orang yang ia percayai.
Pemuda itu tersenyum puas, Ravindra Mahavir adalah nama pemuda itu. Pemuda yang beberapa tahun lalu bukanlah siapa-siapa. Tapi kini dunia bisnis ada di genggamannya, teknologi, fashion, perbankan semua ia kuasai. Pemuda yang sungguh memiliki ambisi begitu besar.
"Aku sudah mendapatkannya. Tidak, tidak! Aku tidak mengizinkan menemuinya dulu, aku ingin mendidiknya agar dia menjadi gadis yang kuat." Ravin berbicara dengan seseorang dalam sebuah panggilan.
Audrey berjalan cepat menuju tempat pendaftaran operasi sang mamah yang mengalami gegar otak karena kecelakaan maut sesaat setelah ayahnya di temukan bunuh diri. Dengan penuh harapan ia berdoa agar usahanya tidak sia-sia, ia rela menjual jiwanya kepada manusia yang tak memiliki hati demi kesembuhan sang mamah, jadi semua itu tidak boleh terbuang begitu saja.
"Saya sudah membawa uangnya," ucap Audrey begitu sampai di ruang adminstrasi pendaftaran.
"Baiklah, kami akan segera mengkonfirmasi agar ibu Anda segera mendapatkan penanganan." Salah satu petugas adminstrasi segera mendata agar ibu Audrey segera bisa melakukan operasi.
Audrey tersenyum senang, meski hatinya pedih karena secara tidak langsung ia sudah tidak memiliki harga dirinya lagi, akan tetapi itu setimpal dengan apa yang akan didapatkan.
Audrey duduk di kursi menatap sang mamah yang terbaring dengan banyak alat penunjang hidup di tubuhnya, terlihat jelas jika sebenarnya gadis itu begitu rapuh, akan tetapi ia menolak untuk menjadi lemah, ia bertekad untuk bisa tegar dan kuat agar bisa membalas dendam kepada saudara yang sudah menendangnya keluar dari keluarga besar almarhum ayahnya.
Nama: Audrey Isvara(24thn), gadis manja, tapi keras kepala. Keluarga adalah yang utama, baginya tidak ada yang lebih penting dari itu.
Nama: Ravindra Mahavir(28thn), pemuda dengan sejuta prestasi dan keberhasilan, kaya dan tampan.(Versi China)
"Kenapa kertasnya kosong? Bagaimana bisa aku menandatangi perjanjian yang bahkan isinya saja apa, aku tidak tahu!" Audrey melayangkan protes pada Ravindra karena ia di paksa menandatangi surat perjanjian yang tidak jelas.
Ravindra meminta bertemu Audrey di sebuah resto yang dekat rumah sakit, dengan dalih untuk menandatangani sebuah kontrak.
"Siapa kamu sampai berani menolak?! Kamu tidak ingat kemarin nangis-nangis minta apa? Siapa yang menawarkan diri jadi budakku seumur hidup?!" Ravin mengingatkan.
Audrey mencebik kesal, sekarang ia menyesal karena telah setuju untuk menjadi budak seumur hidup pemuda arogan itu.
Bagaimana aku bisa membalas dendam jika aku sendiri saja sekarang terbelenggu seperti ini. Gumam Audrey.
"Cepat tanda tangan, tidak usah pakai wajah memelas!" paksa Ravin sekali lagi.
Audrey akhirnya menandantangani surat yang entah bakal di cetak kata atau syarat apa, ia sekarang bisa pasrah.
Ravin langsung mengambil kertas yang hanya berstempel dan sudah di tandatangani oleh Audrey.
"Sudah selesaikan? Kalau iya aku harus kembali ke Rumah sakit," ucap Audrey yang sudah kesal lama-lama disana.
"Mulai hari ini kau harus pindah ke rumahku," titah Ravin.
What? Matilah aku, kenapa harus pindah pula. Audrey membulatkan bola matanya mendengar perintah Ravin.
"Kenapa harus pindah kesana?" tanya Audrey.
"Pakai nanya pula, bagaimana kau bisa melayaniku jika kau tidak tinggal disana, hah! Otak itu di pakai buat mikir, percuma punya gelar sarjana lulusan Harvard kalau ternyata Oneng juga!" cibir Ravin.
Gila nih orang, tampan iya, kaya iya, tapi mulutnya! Amit-amit lebih pedes dari cabe rawit merah dua puluh kilo.
"Aku pikir tidak perlu pindah kesana!" bantah Audrey.
"Sekarang sudah tahu, 'kan? Jadi nggak perlu mikir!" bentak Ravin.
Ih, tampan-tampan galaknya melebihi emak tiri di sinetron ikan terbang.
"Iya, aku ngerti." Audrey mengalah dari pada harus merasakan pedasnya mulut Ravin.
"Malik!" Ravin memanggil asistennya.
"Iya, Tuan!" Malik sudah berdiri disisi Ravin.
"Simpan!" titah Ravin menyerahkan kertas yang sudah ditanda tangani oleh Audrey.
"Nanti sore Malik akan menjemputmu." Ravin bicara dengan nada datar sekarang.
"Iya." Audrey hanya bisa mengikuti.
Akhirnya gadis itu bangkit dari kursinya, sedikit membungkuk memberi hormat kemudian berjalan pergi. Entah kenapa langkahnya terhenti, ia kemudian membalik badan menatap Ravin.
"Terima kasih, berkat uang dari Anda, Mamah sudah di operasi tadi pagi," ucapnya dengan seutas senyum tanda bahagia.
Audrey kemudian langsung pergi meninggalkan Ravin yang tertegun ketika mendapat ucapan terima kasih dari gadis itu.
Ravin berusaha menutupi sesuatu, ia menatap punggung Audrey yang semakin lama berlalu tidak terlihat.
"Kenapa Anda melakukan ini, Tuan?" tanya Malik.
"Memangnya kenapa?" tanya Ravin balik.
"Saya hanya tidak mengerti," jawab Malik.
"Yang perlu kamu lakukan hanyalah menjalankan, tidak perlu mengerti apapun. Jika kau ingin mendapat pedang berkualitas bagus, maka kau harus menempa-nya dengan benar." Ravin menyangga dagunya, terlihat sedikit lengkungan di bibirnya.
Malik hanya mengangguk tanda mengerti dengan apa yang di katakan oleh tuannya.
Audrey berjalan seraya menendang kerikil berulangkali, ia merasa galau tingkat dewa, bagaimana tidak? Dia masih ingin balas dendam, eh sekarang malah jadi budak orang, bukankah miris? Apes dobel-dobel.
"Hish." Audrey mendesis di sela lamunannya.
Hingga sebuah mobil Sport berhenti tepat di sampingnya. Seorang gadis muda turun dengan angkuhnya, menatap sinis penuh ejekan pada Audrey.
"Wah, wah ... lihat siapa ini? Nona muda yang terlupakan! Dari tuan putri jadi Putri jalanan. Ih, mana panas gini suruh jalan kaki," ejek gadis itu seraya mengibaskan tangannya di depan wajah.
"Ho ... ho, si ayam Ka-te," cibir Audrey tak mau kalah, ia bersidekap menatap gadis yang bernama Kate Argawijaya, yang tak lain adalah adik sepupu Audrey.
"Eh, jaga tuh mulut, ya!" bentak Kate seraya menunjuk pada mulut Audrey.
"Apa? Kamu tidak suka di ejek tapi suka mengejek. Salahkan orangtua kamu yang kasih nama, kasih nama kok Ka-a-te-ee. Kayak ayam!" cibir Audrey seraya mengeja nama Kate.
Dari jauh Malik dan Ravin baru saja keluar dari parkiran resto tempat ia bertemu dengan Audrey. Malik tampak memperhatikan kedua gadis yang berseteru di pinggir jalan.
"Tuan, apa kita perlu membantu nona Audrey?" tanya Malik.
"Tidak perlu, berhenti saja di bahu jalan. Aku ingin melihat seberapa tangguh gadis itu." titah Ravin.
Malik menganggukkan kepala, ia lalu menepikan mobil berjarak sekitar lima meter dari tempat kedua gadis tadi berdiri.
Ravin menyangga dagunya dengan kepalan tangan yang bertumpu pada lutut kaki yang ia silangkan, ia menatap tajam ke arah Audrey dan Kate.
"Kalau ngomong jangan sembarangan kamu!" bentak Kate seraya mencengkeram kemeha bagian depan Audrey.
Tentu saja Audrey tidak tinggal diam, ia menarik rambut panjang Kate hingga hingga gadis itu menjerit.
"Aghhh," pekik Kate.
"Dasar cewek gila!" teriak Kate meringis kesakitan.
Audrey melepas rambut Kate dengan sedikit mendorongnya. Lalu ia tersenyum puas.
"Ini akibat kalau kau berani melawanku! Apa kamu kira aku takut dengan keluargamu? Hah, aku tidak takut. Malahan semakin bersemangat untuk melawan atas semua tindakan yang kalian lakukan pada keluargaku!" Audrey memasang wajah garang, benar-benar tidak menampakan gadis manis yang elegan seperti biasanya.
Kate yang hampir terjatuh karena dorongan Audrey pun begitu kesal. Ia merasa sejak dulu Audrey adalah saingannya. Audrey selalu lebih unggul dari Kate, baik dari pendidikan, sosial atau cowok. Namun sekarang ketika saudaranya itu sudah di titik terendah pun ia tidak bisa menginjak gadis itu, sehingga membuat Kate emosi.
"Kau!" Kate meremas tangannya di udara, ia ingin meluapkan emosinya tapi sedikit takut dengan Audrey yang menjadi garang.
"Apa? Mau aku cakar muka mulusmu?" Audrey mengancam Kate seraya menunjukkan kesepuluh jari jemarinya.
Kate bergidik, ia lebih memilih cepat-cepat masuk mobilnya kemudian pergi meninggalkan Audrey.
Audrey tahu jika nyali Kate itu ciut, ia berani jika hanya ada orangtuanya.
"Huh, dasar ayam Kate!" gerutu Audrey seraya menendang kerikil ke arah mobil Kate yang sudah melaju cepat.
Terlihat senyum bangga di wajahnya karena berhasil memukul mundur gadis angkuh nan manja itu.
Dari jauh Ravin masih memperhatikan Audrey, ada sedikit lengkungan di bibir pemuda itu.
"Malik."
"Ya, Tuan."
"Cari tahu siapa dan kenapa gadis itu berseteru dengan Audrey," titah Ravin.
"Saya mengerti." Malik kemudian melajukan mobil itu.
Berpapasan dengan Audrey yang berjalan, tentu saja Ravin mencuri pandang pada gadis yang akan menjadi budaknya.
"Dasar gadis bodoh, ternyata kau kuat juga," gumam Ravin, ia menyembunyikan ekspresi sebenarnya dari wajahnya.
Apa yang akan di lakukan Ravin, atau apa tujuan sebenarnya pemuda itu menerima Audrey, hanyalah dia yang tahu.
*
*
*
*
*
*
Bantu like koment ya, biar novelnya masuk rank karya baru, thank you 😘 😘
Audrey terlihat duduk termenung menatap mamahnya yang masih di rawat intensif pasca operasi, ia menatap wajah pucat wanita yang sudah melahirkannya.
"Andai papah dan Sean masih hidup, kita pasti tidak akan seperti ini 'kan, Mah?" tanya Audrey bicara pada mamahnya yang masih belum sadarkan diri.
Sean adalah kakaknya yang sudah meninggal sekitar empat tahun lalu di umur 25 tahun. Sean meninggal setelah mengalami kecelakaan mobil akibat menghindari mobil lain. Hal itu membuat Audrey terpukul dan trauma, dua orang terkasihnya harus bernasib sama, sama-sama mengalami kecelakaan mobil.
Audrey menengok jam tangannya, waktu sudah menunjukan pukul empat sore. Sudah waktunya ia melakukan kewajibannya, pindah ke istana pangeran gelap. Hah, begitulah kira-kira bayangan Audrey, istana yang akan mengurungnya selama sisa hidupnya, seperti Rapunsel yang di tahan oleh penyihir jahat demi ambisinya. Namun sayangnya ini bukan penyihir jahat, tapi iblis tampan terlampau tampan yang jahat.
Hehehehe, dasar otak isinya film Disney. Audrey tersenyum geli mengingat apa yang ada di pikirannya sendiri.
Kenyataan tak seperti ekspetasi, bukannya mengecewakan tapi malah mengagumkan. Saat menemui Ravin pertama kali ia kesana di malam hari, karena datang dengan hati yang kalut ia tidak melihat pasti rumah yang ia datangi. Tapi sekarang saat ia datang dalam keadaan sadar, bola matanya hampir meloncat keluar melihat betapa besarnya rumah Ravin yang berlantai tiga dan berdiri di atas tanah beberapa hektar, luas tanahnya ia tidak bisa menghitung dengan jari.
Ya iya kali dihitung pakai jari, sampe tahun kapan ngitungnya baru selesai?
"Nona Audrey, silahkan!" Malik mengajak Audrey untuk masuk ke rumah Ravin meski sebenarnya itu bisa di sebut istana.
Audrey semakin membelalakan mata ketika melangkahkan kaki di bibir pintu yang baru saja di buka, ada empat pelayan yang sudah berdiri di sisi pintu dan yang lainnya tampak berdiri dengan menundukan kepala, jika dihitung ada lebih dari 10 pelayan yang berada diruangan itu.
Gila! Pelayannya banyak amat! Lebih banyak dari rumahku dulu, dan kenapa semuanya wanita? Jangan bilang mereka juga-. Eh, stop memikirkan hal aneh, karena jiwamu sendiri sudah terikat dengan iblis tampan itu, fix.
Audrey berdiri di depan Ravin yang hanya terhalang sebuah meja. Pemuda yang duduk menyilangkan kaki dan menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, menatap tajam pada Audrey yang baru saja datang.
"Dengarkan semuanya!" Suara Ravin terdengar begitu lantang hingga menggema keseluruh ruangan, semua pelayan tampak semakin menundukan kepala, tak terkecuali Audrey yang masih menatap pemuda yang ia panggil iblis tampan.
"Mulai detik ini semua keperluanku, pakaian, makanan, kebersihan kamarku hanya dia yang boleh mengurusnya," titah Ravin seraya menunjuk pada Audrey.
Audrey membelalakan mata lebar. What? Astaga gue jadi budak beneran? Mana jadi pelayan dia. Tapi itu lebih baik dari pada jadi budak di atas ranjang. Senyum seringai muncul di bibir Audrey.
"Apa kalian mengerti?!" tanya Ravin lantang.
"Iya, Tuan!" Seluruh pelayan menjawab serentak.
"Kau, ikut aku!" Tunjuk Ravin pada Audrey, pemuda itu lantas berjalan menaiki anak tangga diikuti oleh Audrey.
Audrey berjalan seraya memperhatikan barang maupun pajangan dinding yang ia lewati, porselen mahal, lukisan yang begitu penuh rasa seni yang tinggi.
Wow benar-benar memanjakan mata. Gumam Audrey.
Ravin berhenti di depan sebuah pintu di lantai tiga. Audrey yang sedari tadi memperhatikan sekitar tidak sadar jika iblis tampan yang jadi tuannya berhenti, sehingga tanpa sengaja gadis itu menabrak sisi lengan kekar Ravin.
"Aduh!" Audrey yang hanya setinggi pundak Ravin pun, hidungnya menabrak tepat di lengan pemuda itu.
"Dasar kelinci ceroboh! Jalan pakai mata! Jangan asal maju saja!" bentak Ravin molotot pada Audrey.
Kelinci apanya? Sekata-kata aja ngatain orang, dasar iblis tampan! Dalam pikiran Audrey dia pengin sekali njulurin lidah buat meledek Ravin.
"Ya maaf," ucap Audrey yang masih menggosok hidungnya.
Ravin mencebik kesal pada Audrey yang tidak fokus, kemudian ia membuka pintu yang ada di hadapannya.
"Ini kamarku! Mulai saat ini kau yang bertugas membereskannya, semua kebutuhan ku harus sudah tersedia begitu aku membuka mata, apa kau mengerti?" tanya Ravin yang tidak mendapat jawaban dari Audrey.
Ternyata gadis itu tengah menatap kagum kamar pemuda itu. Bagaimana tidak? Di kamar itu sudah ada mini bar komplit dengan segala berbagai minuman, mulut gadis itu sampai menganga mengagumi besarnya kamar itu dengan segala fasilitas di dalamnya. Dulu ia memang kaya, akan tetapi tidak sekaya Ravin.
Ravin yang sadar ucapannya tidak mendapat respon, langsung menoleh Audrey yang berdiri di belakangnya, ia melotot karena Audrey malah melamun dengan mulut terbuka.
"Hoi! Ngapain kamu? Di ajak bicara malah bengong!" Lagi-lagi Audrey kena semprot Ravin.
Audrey yang tersadar pun langsung menangatupkan mulutnya rapat-rapat.
"Ada air liur tuh di mulutmu," ucap Ravin kemudian, sesungguhnya pemuda itu ingin tertawa melihat ekspresi kagum dari Audrey.
Gadis itu buru-buru mengusap mulutnya dengan punggung tangan, benar-benar ada air liur yang menetes.
Duh, malunya. Mau ditaruh dimana mukaku? Eh, aku mana ada muka. Sudah di bayar semua sama si iblis tampan. Gumam Audrey.
"Semua yang aku butuhkan nanti kepala pelayan yang akan memberitahumu, apa kau mengerti?" tanya Ravin dengan nada tinggi.
"Iya, aku ngerti." Audrey menggosok telinganya yang panas.
Fix, sehari saja bersama iblis tampan ini, aku perlu ke dokter THT karena kerusakan gendang telinga yang dihasilkan oleh teriakan si iblis yang sepertinya akan selalu mengomel di manapun dan kapanpun dia berada.
Ravin berjalan ke sebuah pintu, Audrey awalnya heran menghitung pintu yang terdapat di kamar itu. Biasanya pintu ada tiga, satu pintu masuk, satu pintu kamar mandi, dan satu pintu lemari. Tapi di kamar pemuda itu ada empat pintu, sehingga membuat Audrey bertanya-tanya dalam hati.
"Ini kamarmu, pintu ini menghubungkan kamarku dengan kamarmu," kata Ravin yang sudah membuka pintu itu.
"Tunggu! Kenapa harus ada pintu diantara kamar kita? Kamu nggak ada niat berbuat macam-macam, 'kan?" tanya Audrey menatap kamarnya dengan rasa heran kenapa kamar mereka harus sampai terhubung seperti itu.
BRAKKKK!!!
Ravin memukul pintu yang awalnya belum terbuka sempurna hingga akhirnya kini terbuka lebar. Audrey yang mendengar suara keras itu bergidik menutup mata.
Salah apalagi coba, ya Tuhan!
Tangan Ravin bertumpu pada kusen pintu, mengunci Audrey yang bersandar di kusen pintu dengan satu tangannya, mata Ravin menatap tajam gadis itu.
Audrey benar-benar terkejut, ia ikut menatap mata Ravin dengan wajah memelas.
"Kamu lupa, hah? Lupa status kamu? Apa perlu aku ingatkan lagi? Setiap inc tubuh kamu sudah menjadi milikku, andaipun aku ingin macam-macam kamu bisa apa, hah?!" bentak Ravin geram karena Audrey terus saja melupakan akan perjanjian mereka.
_
_
_
_
_
_
...Tes satu dua tiga, ehemmmm...
...Bantu like koment ya ......
...Biar othor tambah semangat...
...Thank u lope lope😘😘...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!